• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PANGGILAN MENJADI BRUDER FIC

B. Tugas Kerasulan

Sudah sejak awal, kehadiran kongregasi para Bruder FIC bertujuan untuk menjalankan tugas kerasulan. Dalam artikel-artikel Konstitusi pada bagian pokok mengenai tugas kerasulan sungguh ditekankan agar para bruder terlibat aktif dalam tugas kerasulan ditengah umat (masyarakat). Kerasulan yang dimaksud di sini adalah ikut ambil bagian dalam karya Yesus. Yesus hadir ke dalam dunia untuk berkeliling sambil mewartakan kabar baik kepada semua orang terutama bagi mereka yang tersingkir. Tugas kerasulan pertama-tama diteladankan oleh pendiri Kongregasi FIC yakni Pastor Ludovicus Rutten. “Mula-mula ia merasul diantara 3 anak, 30 anak, 50

anak 200 sampai 300 anak” (Kape, 1990:15-16). Jumlah anak yang didampingi oleh Pastor Rutten terus berkembang, sehingga ia memutuskan untuk mencari kaum muda yang sungguh mantap dan mau terlibat dalam karya baru untuk mendampingi anak-anak muda yang tersingkirkan.

Pemuda pertama yang menanggapi ajakan Rutten berasal dari ‘s-Hertogenbosch dan pada bulan September 1839 ia pergi ke St. Truiden untuk

mendapatkan pendidikan dasar menjadi calon bruder di tempat pendidikan calon Bruder Karitas. Kiranya pastor Rutten kurang beruntung pada calon bruder pertama ini. Sebab pada bulan Desember 1839 pemuda tersebut dipanggil oleh Tuhan. Untunglah bahwa sepeninggal pemuda dari s-Hertgenbosch, datang calon kedua yakni seorang pemuda yang berumur 29 tahun, putra seorang tukang kayu dari kota Tilburg yang bernama Jacques Hoecken (Ubachs, 2001:28). Pemuda inilah yang akan menjadi Bruder FIC pertama dalam Kongregasi FIC. Dikemudian hari beliau akan disebut Br. Bernardus (Kape, 1990:25). Karya kerasulan yang dirintis oleh para pendiri menjadi suatu tradisi dan tetap dipelihara dengan baik hingga saat ini. Hal itu terjadi karena Konstitusi menghendaki demikian “…dalam semangat pendiri, kita - sebagai Kongregasi - memutuskan bahwa tugas kerasulan kita terutama dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pembinaan” (Konst FIC, art. 16).

Adapun sasaran utama yang perlu mendapatkan pendidikan adalah mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, yang cacat, terlupakan, serta mereka yang kurang mengalami cinta kasih. Diyakini oleh pendiri bahwa melalui kerja keras dan doa yang cukup dalam melayani memperhatikan mereka, karya kerasulan yang

dijalankan para bruder semakin diberkati oleh Tuhan. Bruder Bernardus sendiri mengatakan demikian:

“Kongregasi sungguh hendak memberi perhatian kepada orang yang berkekurangan, dengan mengutamakan pendidikan anak-anak miskin dan terlantar, maka tidak cukuplah bila para bruder bekerja keras dengan kamauan yang baik saja serta dengan cita-cita luhur dan semangat suci” (Kape, 1990:43).

Sebagai Kongregasi yang bersifat internasional (Konst FIC, art. 6) para Bruder FIC diajak untuk berperan serta dalam pembangunan dunia yang lebih layak bagi manusia di luar tanah airnya sendiri (Konst FIC, art. 17). Untuk itu dibutuhkan sikap kesiapsediaan yang besar dan tanpa pamrih (Konst FIC, art. 22). Kesiapsediaan yang besar untuk membangun dunia baru diluar negaranya (daerah misi) nyata dalam semangat para Bruder di Maastricht. Paling tidak ada 113 Bruder yang mendaftarkan diri untuk merasul didaerah Misi dari 350 bruder yang ada pada waktu itu (Linden, 1981:3).

Para Bruder tersebut menunjukkan bahwa mereka selalu siap untuk menjalankan tugas kerasulan dimana dunia membutuhkan. Keberanian yang besar serta sikap tanpa pamrih untuk merasul sangat dibutuhkan dalam karya kerasulan, sebab dengan sikap tersebut mereka akan mampu menjalankan tugas kerasulan dengan baik. Sikap dasar lain yang perlu mendapatkan perhatian mendalam dan perlu terus diperkambangkan adalah sikap berani, mau menyangkal diri, ugahari, serta menghargai kemampuan diri.

Sikap-sikap di atas menjadikan seseorang berani untuk menjalankan karya kerasulannya secara lebih serius dan total. Itulah tuntutan religius yang sudah membaktikan diri melalui trikaulnya. Mereka yang sudah berkaul diharapkan mampu

untuk melawan keinginan serta kesenangannya sendiri. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu bekerja bersama dengan orang lain; juga kalau bekerja di luar kongregasi kita, apa lagi sebagai bawahan (Konst. FIC. Art. 24). Dalam menjalankan tugas kerasulan, para bruder perlu menyadari bahwa yang dikerjakan dalam karya kerasulan bukanlah karyanya sendiri, melainkan karya bersama. Oleh sebab itu dukungan persekutuan dalam kongregasi menjadi sangat penting. Terlebih dalam menentukan jenis karya kerasulan. Hal ini juga memerlukan pertimbangan yang mantap serta memperhatikan tanda-tanda zaman dan dalam iman terbuka terhadap dorongan Roh Kudus (Konst. FIC. Art. 27). Apa yang tertuang dalam Konstitusi FIC dapat juga disebut dengan misi hidup bersama dalam Kongregasi (Primadiana dan Samosir 2003: 275).

Suatu karya kerasulan yang ditangani dengan pertimbangan yang baik, menyertakan Roh Kudus serta melihat gerak zaman, maka karya yang dilaksanakan akan menjadi semakin efektif. Terlebih lagi dalam menjalankan karya tersebut ada kerjasama yang baik dengan semua pihak. Dalam bukunya yang berjudul: Tarekat dan pihak-pihak yang lain, Rm. Piet Go menganjurkan demikian: “Kerjasama dengan semua pihak dapat dilakukan dengan sesama terekat, para mantan anggotanya serta mitra yang lain” (Piet, 2005:72-78).

Kerjasama yang baik dengan semua pihak akan memunculkan adanya suatu sinergi yang terpadu antara yang satu dengan yang lain. Kenyataan tersebut mampu membuat suatu karya yang dirasa tidak sempurna dapat menjadi sempurna karena satu dengan yang lain saling melengkapi. Kekurangsempurnaan atau kelemahan yang dimiliki oleh seorang pribadi mendapatkan pemenuhan dari pribadi yang memiliki

kelebihan. Inilah yang disebut dengan; “Ada berbagai macam karunia, tetapi satu Roh. Ada bermacam-macam pelayanan tetapi satu Tuhan” (1 Kor, 12:4-5). Disadari atau tidak bahwa dalam menjalankan karya kerasulan sering terjadi ketidakcocokan antara pribadi yang satu dengan yang lain. Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa tugas kerasulan yang kita jalani membawa kekecewaan. Kekecewaan muncul disebabkan oleh kelemahan atau kekurangan yang ada dalam diri kita sendiri maupun karena keterbatasan sesama yang ada dalam persekutuan kita (Konst FIC, art. 28).

Jika keadaan tersebut hidup terus dalam persekutuan kita, kehidupan rohani kita dapat mengalami stagnasi. Lain halnya kalau kekecewaan yang ada dalam persekutuan dapat diolah secara mandalam secara pribadi maka kekecewaan yang ada dapat menjadikan diri menjadi pribadi yang dewasa. Pribadi yang mampu menerima keadaan orang lain sebagaimana adanya serta berani memberi pengampunan kepada mereka yang telah membuat dirinya kecewa.

Pengolahan hidup yang mendalam menjadikan perbedaan menjadi ladang subur untuk dapat berkembang bersama, karena yang terjadi bukan mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan kekuatan Kristus. Kristuslah yang menjadi andalan dirinya serta yang menjadi titik tolak perwartaanya. “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, melainkan Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor, 4:5). Kesadaran diri bahwa Tuhan selalu hadir dalam hati kita membuat kita semakin mencintai keadaan kita sebagai pribadi yang luhur dan berharga. Maka sedapat mungkin kita pun akan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup kita. “…tanggung jawab kerasulan kita akan manjadi lebih mendalam, jika disediakan waktu yang cukup untuk berefleksi dan

berdoa, untuk berkontak sungguh-sungguh dengan sesama, untuk berpartisipasi dalam kehidupan persekutuan, dan untuk beristirahat, serta berekreasi” (Konst FIC,. art. 29).

Bagaimanapun tugas kerasulan penting dalam hidup religius. Walaupun begitu, keharmonisan hidup baik secara pribadi maupun bersama perlu diperhatikan. Termasuk juga penghargaan kepada masing-masing pribadi yang ada dalam kongregasi. Sebab pribadi yang ada dalam kongregasi terutama mereka yang lemah, sakit, lanjut usia atau karena alasan lain, tetaplah bernilai dalam hidup kita. Mereka merupakan bagian dari hidup kita (Konst FIC, art. 30).

Dalam menjalankan tugas kerasulan, para bruder hendaknya selalu ingat bahwa kerasulan tanpa pendalaman hidup yang mendalam tidak berdayaguna. Tidak efektif. Maka kerasulan yang dijalankan hendaknya dilandasi oleh penghayatan triprasetia. “Triprasetia dan kerasulan kita tidak terpisahkan satu dari yang lain. Penghayatan triprasetia memperkaya semangat kerasulan kita, dan sekaligus kita boleh berharap, bahwa kegiatan kerasulan kita akan memperdalam penghayatan triprasetia kita” (Konst FIC, art. 31). Demikian halnya hubungan antara kerasulan dan persekutuan (Konst FIC, art. 32). Dalam artikel lain dikatakan bahwa “Kehidupan doa kita ditandai oleh motivasi kerasulan kita dan motivasi kerasulan kita diperkaya oleh doa kita” (Konst FIC, art. 33).

Semua itu hendaknya dijalankan secara selaras sehingga kerasulan yang dijalankan menjadi sesuatu yang berharga dan mendalam. Kerasulan yang dijalankan hendaknya tidak hanya tampak pada bagian luar saja tetapi sungguh mengurat-mengakar di dasar lubuk hati kita. Dengan begitu kita percaya bahwa, “Kerasulan

dapat merupakan model perubahan spiritual jika sikap yang jitu serta nilai-nilai dan tujuan-tujuan kristiani yang menyelarasi dituntut” (Hijweege dan Steggerda, 1994: 31).

Kemampuan untuk menyelaraskan antara hidup kerasulan dengan hidup doa, dalam kehidupan komunitas serta penghayatan triprasetia, menjadikan hidup kita semakin berkembang. Dengan demikian, kita yakin bahwa kerasulan yang kita jalankan menjadi subur dan menghasilkan buah melimpah. “Semakin mendalam hidup kita dan semakin mencari Allah yang mahakasih, maka segala sesuatau dalam hidup kita pun akan semakin harmonis, bertemu, dan manyatu … dan dalam Dia segala sesuatu akan bergabung dalam kasih.” (Konst FIC, art. 34).