• Tidak ada hasil yang ditemukan

DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik

PENDIDIKAN KEDOKTERAN

A. DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik

Kemudian disusunlah Naskah Akademik sebagai kerangka acuan untuk pembentukan draf rancangan undang-undang pendidikan kedokteran. Didalam naskah akademik, yang resmi dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2011, dijelaskan Landasan Filosofis, Landasan Historis, Landasan Sosiologis dan Landasan Hukum. Kemudian dijelaskan tentang sistem pendidikan kedokteran Indonesia, kondisi sistem pendidikan kedokteran terkini, masalah yang dihadapi, dan tantangan serta peluang pendidikan kedokteran di masa depan. Dalam seluruh tulisan naskah akademis itu, yang disebutkan hanya dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Istilah dokter layanan primer sama sekali TIDAK disebutkan.

Atas dasar Naskah Akademis ini, disusun rencana undang undang (RUU) Pendidikan Kedokteran. Berkali kali perbaikan dilakukan, akhirnya pada tanggal 16 Maret 2012, oleh Komisi 10 DPRUI, dikeluarkan RUU Pendidikan Kedokteran untuk kepentingan uji publik. Dalam RUU itu istilah dokter layanan primer juga TIDAK disebutkan.

B. Proses Pembahasan RUU Pendidikan Dokter di DPR

Menurut salah satu mantan anggota Komisi X yaitu Prof Sudigdo Adi dari Fraksi PDI Perjuangan, inisiatif mengenai RUU Pendidikan Kedokteran, sesungguhnya telah dibicarakan di Komisi X periode DPR 2004-20091. Konsep awal dari UU ini, setidaknya

beberapa hal, yaitu :

Pertama, Komisi X memandang penting untuk membentuk pendidikan dokter harus menjadi dokter yang mumpuni. Pemikiran ini merupakan koreksi atas keprihatinan terhadap situasi pendidikan kedokteran yang saat ini diperpendek masa studinya sehingga berimplikasi pada materi kurikulum klinis yang berubah pendekatan pengajarannya kepada mahasiswa lebih banyak sebagai observer saja.

Kedua, Komisi X memandang bahwa dengan penduduk Indonesia semakin banyak, di butuhkan sebaran dokter yang dapat menjangkau daerah pinggiran yang mumpuni bisa menangani.

Ketiga, Komisi X melihat bahwa fasilitas pendidikan kedokteran di fakultas Kedokteran yang bagus hanya sedikit. Banyak Fakultas kedokteran melakukan teaching hospital hanya nebeng, asal ikut, sehingga menyebabkan lulusan dokter menjadi tidak jelas.

Keempat, bahwa sistem pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih amburadul, antara Rumah sakit pusat, daerah dan kabupaten dan Puskesmas tidak saling terkoordinasi dengan baik.

Kelima, Komisi X memandang perlu untuk peningkatan kemampuan mahasiswa kedokteran, maka sebaiknya RS pemerintah semuanya menjadi RS Pendidikan agar RS pendidikan menjadi luas2.

Sudigdo Adi dengan tegas menyampaikan bahwa di Komisi X tidak pernah ada pembicaraan mengenai doker layanan primer sebagaimana konsepsi yang saat ini dimuat dalam UU No 20 tahun 2013. Pembahasan awal Komisi X berkutat pada sistem pendidikan kedokteran yang memiliki kaitan dengan sistem layanan kesehatan. Paradigma dalam pembicaraan di Komisi X adalah pendidikan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Tujuan utama dari inisiatif RUU Pendidikan Kedokteran adalah :

1 Tim buku putih melakukan diskusi khusus dengan Prof Sudigdo Adi.

2 Menurut Prof Sudigdo Adi: Untuk dokter yang pintar, ia menjadi pendidik di RS, dan hak mereka menjadi guru besar di samakan dengan posisi di DIKNAS. Tidak seperti di Indonesia, di Belanda pada Rumah Sakit yang dijadikan RS pendidikan, Fakultas Kedokteran dan Departemen Kesehatan menjadi satu, direktur RS juga menjadi dekan pendidikan kedokteran, dengan demikian maka terjadi pengaturan terintegrasi antara pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta penghematan biaya.

1. Pendidikan dokter di jadikan satu antara akademis dan klinis

2. Kendali mutu, agar fakultas kedokteran yang tidak memenuhi syarat harus ditutup. 3. Alokasi anggaran untuk pendidikan dokter, agar negara dapat memberikan subsidi

pendidikan kesehatan agar murah dan dapat diakses oleh rakyat miskin.

Untuk mendalami tujuan sebenarnya dari UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, Tim Buku Putih DLP melakukan kajian terhadap seluruh risalah sidang pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran dari awal tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2013. Jumlahnya sekitar 876 halaman. Dalam risalah tersebut tercatat DPR melakukan pembahasan RUU sebanyak 23 kali dengan perincian sebagai berikut:

1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebanyak 9 kali sepanjang Januari hingga Juni 2011 dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Rinciannya sebagai berikut :

Kamis, 13 Januari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan

Kamis, 27 Januari 2011 : RDPU dengan Pakar Kedokteran yaitu Lukman Hakim, Prof. Dr Sudigdo Adi, dr. Pranawa, Dr dr Fahmi Idris Kamis, 17 Februari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM Kamis, 24 Februari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM Rabu, 9 Maret 2011 : RDPU dengan Rektor-Rektor Universitas yaitu Universitas

Diponegoro, Universitas Sriwijaya, Universitas Hasanudin, Universitas Mulawarman, Universitas Trisakti, Universitas Yarsi, dan Universitas Kristen Indonesia

Rabu, 9 Maret 2011 : RDPU dengan ARSPI (Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia)

Kamis, 9 Juni 2011 : RDPU dengan Pakar Pendidikan Kedokteran yaitu Prof. Dr Sudigdo Adi, Prof DR Drg Egi Surya Sumantri, Prof. Dr dr Akmal Taher, Prof. Dr dr Laksono Trisnantoro, Dr dr Fahmi Idris, dr Pranawa

Senin, 20 Juni 2011 : RDPU dengan Prof Dr dr Laksono Trisnantoro Kamis, 2 Februari 2012 : RDPU dengan Fakultas Kedokteran UI dan Panja

Pemerintah

2. Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan pemerintah pada tanggal 27 Januari 2011 dengan Balitbang Kementerian Kesehatan

3. Lokakarya pada tanggal 23 Maret 2011 khusus mengenai kurikulum pendidikan kedokteran dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan yaitu Sudigdo Adi, BUKD diwakili Bambang S, PRSDM diwakili Yudianto, PB IDI diwakili dr. Priyo Sidi Pratomo, dan PDUI diwakili Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, MKes (Bram).

4. Pembahasan dalam Panitia Kerja (Panja) sebanyak 12 kali yaitu : Panja 11 Maret 2011, 15 Maret, 23 Maret 2011, 2 April 2012, 4 April 2012, 9 April 2012, 11 Maret 2013, 25 Juni 2013, 26 Juni 2013 (3 sesi sidang), dan 4 Juli 2013 (panja gabungan dengan Komisi IX). Pembahasan dalam Panja beberapa kali juga melibatkan pakar seperti Prof Sulaksono pada tanggal 15 Maret 2013, dan Prof. Ilham Marsis Oetomo dari PB IDI.

Dari kajian Tim Buku Putih PB IDI, terkonfirmasi bahwa rapat panja RUU Pendidikan Kedokteran Komisi X dari tanggal 11 Maret 2011 hingga 25 Juni 2013 tidak ada pembahasan mengenai profesi dokter layanan primer maupun program studi dokter layanan primer. Isu-isu yang menjadi fokus pembahasan di antaranya adalah mengenai rumah sakit pendidikan, kuota penerimaan mahasiswa kedokteran, fakultas kedokteran, dokter subspesialis, uji kompetensi, kurikulum pendidikan kedokteran, sinkronisasi standar pendidikan kedokteran versi UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan RUU Pendidikan Kedokteran.

Dalam rapat-rapat panja ditegaskan sejumlah hal yaitu :

1. Jenis profesi kedokteran spesialis adalah 4 jenis yaitu dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Terhadap profesi dokter spesialis, panja RUU menyepakai untuk mengakomodassi perkembangan profesi kedokteran spesialis dengan menambahkan dokter subspesialis. Dokter subspesialis masih berada dalam 1 domain dengan dokter spesialis.

2. Mengenai kurikulum kedokteran, anggota panja berpendapat bahwa kurikulum pokok pendidikan kedokteran paling tidak mengadopsi keilmuan bio medis, keterampilan kedokteran klinis, bioetika atau humaniora kesehatan, dan kedokteran komunitas atau kesehatan masyarakat.

3. Mengenai organisasi profesi, anggota panja sepakat bahwa organisasi profesi merujuk pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Penempatan rujukan organisasi ini diusulkan untuk dimuat dalam penjelasan pasal, namun pada akhirnya disepakati agar dicantumkan eksplisit dalam peraturan yang lebih operasional dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri.

4. Mengenai pelayanan pada tingkat primer, dilakukan dengan penguatan kompetensi dokter melalui kursus-kursus.

5. Pelaku pelayanan primer merujuk pada komunitas dokter yang menangani pasien pada tingkat primer yaitu dokter umum maupun dokter spesialis.

Dokumen terkait