• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP

Klarifikasi buku “Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi Pelayanan Primer”

D. Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP

Asumsi selanjutnya yang tidak tepat mengenai Program studi DLP adalah tujuan pendiriannya untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit11. Kontak pertama

pelayanan medis pada sistem JKN dilakukan di FKTP. Apabila FKTP tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan, maka dapat melakukan rujukan ke jenjang lanjutan yaitu FKTL. Tingginya angka rujukan ke rumah sakit (FKTL) menjadi salah satu tolok ukur rendahnya kualitas layanan primer. Berdasarkan asumsi inilah Dokter Layanan Primer (DLP) diprediksi menjadi solusi dalam memperkuat pelayanan primer. Padahal Data Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari FKTP, baik tahun 201512, maupun 2016 (s/d

bulan Agustus 2016)13 , menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di

bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12%. Lihat misalnya rasio rujukan tahun 2016 pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Rasio Rujukan dan Kunjungan FKTP per Tahun 2015-Agustus 2016

Jenis FKTP Kunjungan Rujukan Rasio

Dokter Praktik Perorangan 9.494.333 941.582 9.92%

Klinik TNI 946.395 216.458 22.87%

Klinik POLRI 677.352 112.554 16.62%

Klinik Pratama 19.229.082 2.226.405 11.58%

Puskesmas 48.000.905 5.871.107 12.23%

RS Tipe D Pratama 9.089 919 10.11%

Dokter Gigi Praktik Perorangan 705.479 24.544 3.48%

Total 79.062.635 9.393.569 11.88%

Sumber: laporan BPJS Agustus 2016

Gambaran rujukan pada tiap divisi regional (divre) juga masih dibawah 15 %, lihat Tabel 8 berikut.

Tingginya rasio rujukan terhadap kunjungan pada salah satu jenis FKTP diasumsikan merupakan sebab dari kurangnya kompetensi dokter di pelayanan primer sehingga cenderung untuk merujuk. Padahal tingginya angka rujukan pada beberapa lokasi

11 Contoh “Selama ini angka rujukan masih tinggi karena kompetensi dokter di layanan primer masih perlu ditingkatkan” - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16102300002/perkuat- upaya-promotif-preventif-melalui-DLP.html#sthash.Wihin0b6.dpuf

12 Mundiharno, Direktur Perencanaan Pengembangan & MR, BPJS: Jaminan Kesehatan Nasional: Pencapaian & tantangan dari sudut pandang penyelenggara, Presentasi pada Kongres InaHEA ke-3 Yogyakarta, 28 Juli 2016

Puskesmas belum berarti kelemahan terletak pada dokter di pelayanan primer. Istilah yang tepat untuk masalah ini adalah ketidakmampuan FKTP, bukan ketidakmampuan dokter di layanan primer.

Tabel 8. Rasio Rujukan Menurut Divisi Regional (Divre)

Divisi Regional Kunjungan Rujukan Rasio

Divre Aceh dan Sumatera Utara 7.402.741 1.042.110 14,08% Divre Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi 6.478.934 82.202 1,27% Divre Sumatera Selatan, Belitung, Bengkuliu 3.175.120 394.355 12,42% Divre Jabodetabek 14.187.563 1.490.919 10,51% Divre Jawa Barat 7.733.042 956.814 12,37% Divre Jawa Tengah dan Yogyakarta 13.270.594 1.321.992 9,96% Divre Jawa Timur 11.324.645 1.623.738 14,34% Divre Kalimantan Timur, Tengah, Selatan dan Utara 2.637.044 273.505 10,37% Divre Sulawesi Selatan, Tenggara, Barat dan Maluku 3.865.883 291.516 7,54% Divre Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, Maluku Utara 2.022.480 20.513 1,01% Divre Bali, NTB, dan NTT 2.900.005 269.131 9,28% Divre Papua dan Papua Barat 637.523 39.463 6,19% Divre Banten, Kalimantan Barat dan Lampung 3.427.061 379.959 11,09%

Sumber: Laporan BPJS, Agustus 2016.

Terdapat beberapa permasalahan radikal yang berimplikasi pada lemahnya FKTP, yaitu:

1. Fasilitas Kurang Memadai

FKTP mempunyai beban berat dalam memberikan pelayanan kesehatan. FKTP umumnya memiliki fasilitas yang kurang lengkap jika dibandingkan dengan rumah sakit. Data Riset Fasilitas Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 2,4% Puskesmas di Indonesia mengalami rusak berat dan 9,9% mengalami rusak sedang. Puskesmas pada wilayah dengan rasio rujukan tinggi cenderung memiliki presentase tinggi Puskesmas dengan kerusakan sedang hingga berat.

Kelengkapan peralatan kesehatan menjadi salah satu kunci pelayanan kesehatan yang berkualitas. Poliklinik umum dan Puskesmas di Indonesia yang memiliki kelengkapan alat diatas 60% hanya sebesar 42,4%. Bahkan sebesar 3,7% dan 6,3% Puskesmas belum memiliki alat esensial pemeriksaan yaitu stetoskop dan tensimeter14.

14 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.” Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan Puskesmas 2011.” 2011.

Senada dengan itu, pada tahun 2016, berdasarkan hasil Diskusi Kelompok terfokus, DJSN telah mengidentifikasi bahwa beberapa daerah fasilitas pelayanan yang ada tidak memungkinkan dokter umum menangani jumlah kasus penyakit yang seharusnya 144 penyakit. Misalnya Jawa Tengah (Semarang) hanya 126 diagnosis; Bali (Denpasar) hanya 110 diagnosis; Sulawesi Selatan (Makasar) hanya 122 diagnosis; Kepulauan Riau (Batam) hanya 121 diagnosis; Kalimantan Tengah (Palangkaraya) hanya 97 diagnosis; Sumatera Barat (Padang) hanya 130 diagnosis; Kota Bekasi hanya 126 diagnosis; Kabupaten Bekasi hanya 122 diagnosis dan Klinik TNI hanya 115 diagnosis.

2. Layanan Pengobatan Tidak Adekuat

Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan, biaya obat akan disokong oleh BPJS termasuk dalam biaya kapitasi,namun pembelanjaan dilakukan mandiri oleh FKTP atau tenaga kefarmasian dari Dinas Kabupaten15. Berdasarkan 144 diagnosis penyakit

yang dapat ditangani oleh FKTP, tentu harus dipersiapkan obat dengan kapasitas pasien yang datang. Data tahun 2011 menunjukkan sebanyak 74,6% Puskesmas tidak menerima pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Selain itu, sebesar 44,2% Puskesmas tidak memiliki pedoman pengobatan dasar. Sedangkan supervisi Dinas Kesehatan dalam hal pengawasan, evaluasi dan bimbingan program pengobatan hanya berjalan pada 51,4% Puskesmas di Indonesia16. Dapat dimengerti mengapa penyediaan obat di Puskesmas masih banyak

masalah. Rata-rata Puskesmas hanya mempunyai 70 % obat yang diperlukan17.

Tenaga kesehatan penyelenggara pelayanan pengobatan ditangani oleh ahli kefarmasian. Jumlah presentase apoteker, S1 Farmasi dan D3 Farmasi pada seluruh Puskesmas di Indonesia secara berturut-turut adalah 14,3%, 7,5% dan 26,7%18. Keabsenan tenaga ahli

tersebut berimbas pada kualitas pelayanan pengobatan Puskesmas sehingga menjadikan lemahnya FKTP.

3. Biaya Pelayanan di Atas Biaya Penggantian

Sistem pelayanan JKN mengadopsi prinsip kapitasi dalam penerapannya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyokong dana kapitasi per kapita per bulan pada FKTP. Standar kapitasi untuk FKTP adalah Rp. 2000 – Rp. 10.000 per orang/per bulan. Kapitasi ini sebenarnya masih dibawah biaya pelayanan sebenarnya (real cost), yang diperkirakan sekitar 20.000 per orang19. Sebagai kontak pertama penyedia pelayanan

medis, FKTP cenderung mengeluarkan rujukan pada pasien dengan penyakit yang diperkirakan memakan biaya pelayanan yang tinggi untuk menghindari defisit internal.

15 PMK No. 28 Tahun 2014

16 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, opcit. 17 ibid

18 ibid

4. Rujukan Atas Permintaan Sendiri (APS)

Sebagian masyarakat sakit yang bertempat tinggal dekat FKTL, ketika sakit akan lebih memilih berkunjung ke FKTL tersebut. Bagi sebagian masyarakat tersebut, FKTP merupakan kontak awal penanganan medis hanya untuk mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit. Hal itunya yang menjadi penyebab tingginya data rujukan pada beberapa Puskesmas di berbagai wilayah. Misalnya di divisi regional Aceh angka rujukan APS relatif tinggi, yaitu 30-75% dari total rujukan.20 Pasien telah membayar premi JKN setiap bulannya,

sehingga mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di lokasi yang menurut mereka lebih baik.

Dokumen terkait