• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah perundang-undangan Indonesia penuh dengan berbagai pertentangan dan kemelut. Permasalahan itu muncul saat budaya kolonial dan budaya dari negara lain, serta keinginan untuk mempertahankan budaya kita sendiri saling bertentangan. Ini memunculkan suatu situasi dimana masyarakat bersikap reaktif terhadap ide, wacana, golongan, bahkan peristiwa tertentu yang tidak sesuai dengan kepercayaan atau kepentingannya. Belum lagi kepentingan politik, birokrasi dan lembaga-lembaga lainnya. Semua ini menyebabkan munculnya berbagai peraturan yang saling bertentangan atau tumpang-tindih

Namun, paradigma hukum terbuka di Indonesia tidak memberi tempat adanya undang- undang induk atau pokok. Artinya, semua undang-undang berada dalam posisi setara atau setingkat. Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah harmonisasi horizontal terhadap semua undang-undang lain yang setingkat.

Salah satu alasan mengapa IDI mengajukan revisi UU 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, adalah UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran—terkait dokter layanan primer—tidak harmonis dengan dua Undang-undang lainnya, yaitu

1. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, 2. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Dalam hal ini, ketidak-harmonisan yang ada adalah yang mengatur mengenai jenis profesi, kelembagaan profesi, gelar, praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Detail ketidak-harmonisan itu adalah sebagai berikut:

A. Ketidak-harmonisan Jenis Profesi

Jenis profesi dalam UU Pendidikan Kedokteran pasal 1 ayat (9), bertumpang-tindih dengan UU Praktik Kedokteran pasal 1 ayat (2). Lihat Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Tumpang Tindih jenis profesi

Undang-undang Bunyi Pasal Keterangan

UU Nomor 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran

Pasal 1 ayat (2): Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jenis profesi dokter (medis): Dokter, dokter gigi, dokter spesialis dokter gigi spesialis

Undang-undang Bunyi Pasal Keterangan

UU Nomor 20 Tahun 2013 Pendidikan Kedokteran

Pasal 1 ayat (9): Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah. Pasal 1 ayat (10): Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter gigi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.

Jenis profesi dokter: Dokter, Dokter layanan primer, Dokter spesialis- subspesialis, Dokter gigi, Dokter gigi spesialis- subspesialis

UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran memasukkan ‘dokter layanan primer’ ke dalam jenis profesi dokter, nomenklatur yang tidak dikenali oleh jenis profesi dokter (medis) dalam UU Praktik Kedokteran. Problematikanya adalah di UU Praktik Kedokteran, tidak diatur dimana dokter layanan primer akan berpraktik setelah selesai dididik.

Sebenarnya, dalam hal jenis profesi, UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 11 ayat (2) yang menjelaskan bahwa Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Jadi di dalam UU Tenaga Kesehatan, profesi Dokter Layanan Primer juga tidak dikenal. Namun Mahkamah Kontitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2016 mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal UU No 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan yang di mohonkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), MK mencabut pasal 11 ayat (2) dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga perbedaan ini tidak relevan. Namun tidak bisa dihindari, bahwa posisi profesi dokter layanan primer tidak jelas.

IDI berpendapat dokter layanan primer bukanlah gelar profesi, tetapi merujuk pada lokasi pelayanan, yaitu pelayanan pada FKTP 1. Penamaan lokasi pelayanan menjadi gelar profesi

ini akan merusak sistematika pemberian gelar.

B. Ketidak-harmonisan Kewenangan

Kewenangan atau otoritas tugas profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan kewenangan yang terdapat dalam UU Praktik Kedokteran. Untuk jelasnya, lihat pasal 51 huruf (b) UU Praktik Kedokteran dengan penjelasan pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran dalam Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Ketidak-harmonisan Kewenangan

Undang-undang Pasal Keterangan

UU Nomor 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.

Kewenangan pemberian rujukan oleh dokter dan dokter gigi menunjuk pada: Dokter,

dokter gigi, dokter spesialis dokter gigi spesialis UU Nomor 20 Tahun

2013 Pendidikan Kedokteran

Penjelasan pasal 8 ayat 2:

Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Program dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional.

DLP sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, serta kendali mutu dan kendali biaya dalam sistem jaminan kesehatan nasional

Ini berarti kewenangan atau otoritas profesi kedokteran juga saling bertentangan. Dalam UU pendidikan kedokteran pasal 8 ayat (2), Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang berwenang untuk merujuk pasien dari sarana kesehatan tingkat pertama ke sarana kesehatan tingkat kedua, melakukan kendali mutu dan biaya dalam sistem JKN. Sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran pasal 51 huruf (b) yang berkuasa untuk memberikan rujukan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis- subspesialis.

Ketidak-harmonisan kewenangan atau otoritas antara dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis dalam UU tentang Praktik Kedokteran dengan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dapat berimplikasi menimbulkan masalah dalam praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN.

Dengan dinormakannya profesi baru dokter layanan primer, timbul inkonsistensi norma yang berakibat kepada kekacauan tatanan sistem hukum praktik kedokteran. Hal ini dapat diidentifikasi dengan adanya norma “dokter layanan primer” namun tidak memiliki justifikasi dalam sistem hukum praktik kedokteran, karenanya adanya ketidakcocokan dengan regulasi dan prosedur praktik kedokteran, terutama mengenai syarat penerbitan Sertifikat Kompetensi oleh Kolegium terkait, yang hanya mengenal kualifikasi dokter dan dokter spesialis-subspesialis.

Padahal, kekacauan tatanan sistem hukum dan ketidakpastian hukum mestinya dihindari karena mengancam jaminan kepastian hukum pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Konsistensi norma hukum menjadi bagian tak terpisahkan dari kepastian hukum sebagai

sifat utama dari norma Undang-undang. Konsistensi antar subsistem hukum muncul jika sistem tersebut memiliki sifat wholism2. Kepastian hukum yang adil menjadi penyangga

prinsip Negara Hukum (rechs staat). Kepastian hukum yang adil dan keadilan yang dipastikan dengan hukum3.

Selama ini, praktik pelayanan kedokteran primer dilakukan oleh dokter umum. Salah satu kewenangan dokter umum adalah memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu sebagai kontak pertama. Berdasarkan Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN pasal 17 bahwa dokter umum melayani jenjang pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sedangkan jika menurut UU tentang Pendidikan Kedokteran, penjelasan pasal 8 ayat (2) bahwa kontak pertama JKN adalah Dokter Layanan Primer (DLP). Hal ini berpotensi terjadinya kriminalisasi dokter umum yang menangani pasien JKN, yang mengakibatkan BPJS rentan terhadap tuntutan akibat bekerjasama dengan dokter umum dalam penyelenggaran JKN.

C. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, yaitu tentang gelar profesi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

Undang-undang Pasal Keterangan

UU Nomor 20 Tahun 2013 Pendidikan Kedokteran

Pasal 8 ayat (3)

Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis

Gelar Setara Spesialis belum melalui prosedur yang benar sehingga menimbulkan kesimpangsiuran. UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal 26 ayat (6)

Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.

2 Martinah, “Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature”, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 5-6

3 Jimly Asshiddiqie, “Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 117.

UU Pendidikan Kedokteran menyebutkan dokter layanan primer adalah gelar yang setara spesialis. Namun, setara spesialis itu tidak sama dengan spesialis. Tidak bisa dihindari anggapan adalah bahwa setara spesialis itu berada diantara dokter umum dan dokter spesialis. Masalah yang timbul akibat adanya anggapan baik dari kalangan masyarakat, maupun kalangan dokter sendiri bahwa dokter umum itu kastanya di bawah spesialis, menjadi lebih parah, karena sekarang kastanya dibawah dokter spesialis dan dokter layanan primer.

Ini adalah masalah yang serius dan kronis. Karena itu IDI ingin merevisi UU Pendidikan Kedokteran, salah satu alasannya adalah agar dokter umum itu sama derajatnya dengan dokter spesialis, hanya berbeda dalam lapangan pengabdian.

Dokumen terkait