• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA ANAK

A. Doktrin Pemidanaan

Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa keadaan Lapas Anak sangat memprihatinkan. Dana kesehatan yang dipagu dalam anggaran tahun 2005 hanya berkisar Rp. 20,- per orang perhari. Di lain pihak Menkumham di komisi III DPR menyatakan bahwa negara berhutang kepada pemborong makanan untuk penghuni Lapas sampai tahun 2005, kurang lebih sebesar 150 milyar. Akibat dari keadaan ini sudah tentu akan berdampak kepada kualitas pelayanan termasuk mutu bahan makanan.112

Sementara itu semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, belum nyata-nyata berpihak kepada narapidana anak. Pada saat dalam proses peradilan, mereka sudah diperlakukan sedemikian rupa sehingga tata cara penyidikan, penuntutan dan persidangan, diberlakukan ketentuan khusus yaitu tidak menggunakan seragam seperti layaknya diberlakukan kepada orang dewasa. Hal itu untuk menjaga agar jiwanya tidak terjadi trauma yang mendalam, yang dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam menyongsong masa depannya.

112

Namun sebaliknya di Lapas Anak, semangat itu tidak terlihat. Perlakuan kepada anak hampir tidak berbeda dengan perlakuan terhadap narapidana dewasa. Malahan dibangun pagar pengaman sehingga nuansa Lapas anak sebagai institusi pendidikan terdistorsi oleh pendekatan pengamanan. Seolah-olah mereka dicurigai selalu akan membuat onar atau melarikan diri.

Situasi ini sangat memprihatinkan, karena dari mata kuliah penologi diketahui bahwa di beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris dan lain-lain, pendekatan pembinaan kepada narapidana anak justru menjadi bahan pertimbangan untuk memperlakukan narapidana dewasa. Dengan perkataan lain, pendekatan perlakuan kepada pelanggar hukum dewasa di ilhami oleh pendekatan perlakuan kepada pelanggar hukum anak yang lebih promotif dan protektif.

Dari fenomena diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masih diperlukan upaya yang terus menerus agar negara dapat berperan sesuai fungsinya, terutama dalam rangka pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak bagi anak didik pemasyarakatan.

Akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah me-launching program yang disebut Lembaga Pemasyarakatan Anak yang ramah anak. Program ini sudah barang tentu sangat strategis. Namun dalam pelaksanaannya memerlukan stake holders yang dapat bersama-sama mendukung keberhasilan program tersebut. Disadari bahwa kendala utama dari program tersebut, menurut Direktur Bimkemas dalam diskusi panel dengan Team Penyusunan RPP adalah belum adanya perhatian dan dukungan yang optimal dari pemerintah.

Hal ini dibuktikan dengan minimnya dukungan pendanaan bagi program- program pembinaan anak didik pemasyarakatan. Walaupun dasar hukum untuk melaksanakan pembinaan anak didik pemasyarakatan sudah ada, berdasarkan PP 32/1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, namun dirasakan adanya kesenjangan antara harapan dengan pelaksanaannya. Hal ini disebabkan pembentukan PP tersebut masih sama dengan pembinaan narapidana dewasa, sehingga nuansa kemajuan, perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak anak masih belum optimal.

Oleh karena itulah pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan ini (nama masih tentatif) sebagai implementasi dari pasal 63 UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak, harus dianggap sebagai peluang yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan membangun kesempatan-kesempatan bagi terlaksananya pembinaan anak didik pemasyarakatan secara berdaya guna dan tepat sasaran.

Ilmu penologi mengenal bahwa tujuan pemidanaan berubah dari waktu ke waktu sesuai paradigma pemidanaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam sejarah, perubahan tujuan pemidanaan tersebut meliputi doktrin, yaitu :

1) Doktrin pembalasan.

Berkembang pada saat awal-awal peradaban. Hal ini tidak terlepas dari bunyi yang terkandung dalam beberapa kitab suci dari agama dan kepercayaan yang berkembang saat itu. Doktrin ini berasumsi bahwa konsep keadilan digambarkan sebagai suatu keseimbangan; mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Artinya bagi setiap pembunuhan maka akan dikatakan adil apabila si pembunuh di hukum mati.

Eksistensi penjara pada saat itu, hanya sebagai tempat penampungan sementara sambil menunggu hukuman pembalasan dilaksanakan. Dalam sejarah pemidanaan doktrin ini gagal untuk mereduksi kejahatan di masyarakat. Malahan diceritakan bahwa ketika orang menonton hukuman

potong tangan karena kasus pencurian, akantetapi terjadi pencopetan dalam kejadian tersebut.

2) Doktrin penjeraan.

Dilandasi oleh pengetahuan filasafat yang menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia itu memiliki kehendak bebas (free will). Termasuk juga bebas melakukan kejahatan. Oleh sebab itu hukuman yang diberikan pun adalah dibatasi kebebasannya. Asumsinya adalah karena manusia itu bebas maka kesakitan yang paling hakiki adalah dicabut kebebasannya. Dengan demikian si pelaku kejahatan akan takut dan jera untuk melakukan perbuatan jahatnya.

Namun yang menjadi masalah adalah pelaksanaan pidana hilang kebebasan bergerak melalui pemenjaraan pun tidak bebas dari masalah. Karena dari para ahli ilmu sosial terutama sosiologi terbukti bahwa pemasukan orang ke dalam penjara ternyata dapat menimbulkan dampak prisonisasi. Prisonisasi adalah keadaan dimana terjadi suatu proses sosialisasi nilai-nilai masyarakat penjara yang dapat menimbulkan si narapidana dapat lebih buruk atau lebih jahat dibandingkan dengan sebelum ia masuk penjara. Dapat dimaklumi bahwa keadaan penjara di Eropa saat itu (abad 18) sedemikian buruknya sehingga mengundang banyak reaksi dari berbagai ahli seperti John Howard. Oleh karena itu doktrin penjeraan sudah ditinggalkan oleh banyak negara.

3) Doktrin rehabilitasi.

Adalah doktrin yang dikemukakan sebagai reaksi dari kegagalan doktrin penjeraan. Doktrin ini berasumsi bahwa pada hakekatnya pelanggar hukum itu adalah orang yang memiliki kekurangan atau memiliki penyakit. Oleh sebab itu ia harus diperbaiki atau direhabilitasi. Namun karena dalam pelaksanaannya doktrin ini terlalu menempatkan individu pelanggar hukum secara eklusif maka doktrin ini mengalami kegagalan pula.

4) Doktrin re-integrasi sosial.

Berasumsi bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi, disamping karena kesalahan individu juga masyarakat pun memiliki andil dan tanggungjawab dalam mengkondisikan terjadinya kejahatan tersebut. Oleh sebab itu maka pembinaan para pelanggar hukum tidak boleh dilepaskan dari masyarakatnya. Harus diupayakan pemulihan hubungan yang harmonis antara pelanggar hukum dengan masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan pemulihan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan.113

113

Hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Kehidupan diartikan sebagai hubungan antara sesama manusia. Sedangkan penghidupan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dalam kaitan ini manusia memanfaatkan alam untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sejalan dengan konsepsi pemasyarakatan dan dikaitkan dengan pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum, kini sedang dihembuskan konsep yang dinamakan restoratif justice atau keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua fihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana menangani akibat/implikasinya dimasa yang akan datang. Adapun prinsip-prinsip dari keadilan restoratif adalah :114

1) Membuat pelanggar hukum bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya,

2) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;

3) Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, dan sekolah teman sebaya; 4) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah

tersebut;

5) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal;

6) Memperhatikan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas, maka secara intemasional telah dikeluarkan berbagai konvensi yang menuntun setiap negara anggota PBB untuk memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum, misalnya Beijing Rules (1985), Riyadh Guidelines (1990), Peraturan PBB tentang perlindungan bagi remaja yang kehilangan Kebebasannya (1990) dan lain sebagainya. Yang pada intinya karena

114

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, (Jakarta : Alnindra Dunia Perkasa, 2007), hlm. 347

keadaan yang melekat pada diri anak baik biologis, psikis, sosial maupun kultural, berada dalam kondisi yang rentan dan masih tergantung pada orang dewasa. Kerentanan tersebut menimbulkan sejumlah resiko yang banyak dihadapi oleh seorang anak. Apabila resiko-resiko tersebut tidak dapat ditekan maka potensi yang ada dalam dirinya untuk tumbuh dan berkembang manjadi manusia dewasa yang berkualitas akan menjadi lemah. Maka oleh karena itu ia hams dilindungi demi perkembangan masa depannya secara optimal. Tugas perlindungan kepada anak adalah menjadi kewajiban negara dan pemerintah. Untuk keperluan itu, hak-hak anak telah dicantumkan secara limitatif dalam berbagai peraturan yang berlaku bagi perlindungannya.

Dalam konteks Indonesia Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa perlindungan anak adalah merupakan hak anak yang sangat esensial. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Demikian pula Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang secara spesifik mengatur mengenai penanganan anak yang disangka atau didakwa melakukan pelanggaran hukum. Disamping itu PP Nomor 32 tahun 1999 Tentang Hak-Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai implementasi dari UU Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, telah secara jelas mencantumkan hak-hak anak didik pemasyarakatan secara limitatif.

Dilihat dari kandungan instrumen hukum tersebut diatas, maka tugas-tugas memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum bukan tugas yang ringan.

Tugas ini memerlukan kualitas pelaksana yang handal dan profesional. Demikian pula persyaratan ini berlaku bagi petugas Bapas dan Petugas Lapas Anak, yang nantinya sangat intens berhubungan dengan anak didik pemasyarakatan. Oleh sebab itulah peneliti menyikapi pembentukan RPP ini sebagai peluang yang strategis dalam rangka mendukung optimalisasi kinerja Lapas Anak. Karena melalui RPP ini semua kelemahan dan hambatan yang terdapat dalam peraturan yang saat ini berlaku dapat diatasi seoptimal mungkin.

Dokumen terkait