• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spsesifik atau proses tertentu terjadi,26 dan suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 27 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butis-butir pendapat, teori, tesis dari penulis dan ahli hukum di bidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan toeritas, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis.28

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

26

Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta : FE UI, 1996), hlm. 203.

27

Ibid, hlm. 16. 28

harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.29 Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum silakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep baru sebagai preskrepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.30

a. Teori pemidanaan

Teori tentang pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyaraktan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.31

Untuk meletakkan anak ke dalam pengertian subjek hukum seperti orang dewasa dan badan hukum, maka faktor internal maupun eksternal sanagt berpengaruh untuk menggolongkan status anak. Unsur internal dan eksternal tersebut, yaitu:32

a. Unsur internal pada diri anak

1) Subjek hukum, sebagai seorang manusia anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dalam peraturan perundang-undangan. Yang diletakkan golongan orang yang belum dewasa, seorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. 2) Persamaan hak dan kewajiban anak, yang sama dengan orang dewasa

yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan. Hukum meletakkan anak sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak dan kewajiban sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak

29

M. Solly Lubis, Op-Cit, hlm. 17.

30

Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 35.

31

Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

32

Maulana Hasan Wadong, Advokat dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Grasindo, 2000), hlm. 6.

1) Persamaan kedudukan dalam hukum, dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum, yang ditentukan oleh peraturan hukum.

2) Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.

Perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak- Hak Anak pada tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1984. Pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak).

Sementara itu masalah anak terus dibahas dalam beberapa kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Pada kongres pertama di Geneva tahun 1955 dibicarakan permasalahan Prevention of Juvenile Deliquency. Sedangkan pada kongres kedua di London pada tahun 1960 dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Deliquency dan masalah Juvenile Deliquency tetap dibahas di Stockhlom pada tahun 1965.33

Permasalahan anak di Indonesia yang telah dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mempunyai dasar perundang-undangan yang jelas pada saat berbenturan dengan proses peradilan anak.

b. Teori peradilan anak

Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigms of Juvenile Justice” memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:

33

Seminar Kriminologi I pada tahun 1969 di Semarang memasukkan masalah Juvenile

1) Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model); 2) Model retributive (retributive model);

3) Model restorative (restorative model).

Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya.

Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan social lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku delinkuen.

Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai,

dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model ini dilihat masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka penyelamatan publik.

Keputusan bersifat ambivalen dan tidak taat asas (inconsistent) serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan publik. Seiring dengan kritik terhadap model pembinaan pelaku perorangan terhadap anak tersebut, kemudian muncul tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis “pemberian ganjaran”. Pengaplikasian filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk merasionalisasikan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana yang pasti, Undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku.

Untuk beracara di persidangan, masih ada yang mempergunakan hukum acara bagi orang dewasa yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP. Padahal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Perlindungan adalah tempat berlindung atau perbuatan melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat. Jadi perlindungan hukum adalah tempat berlindungnya seseorang dari suatu tindak pidana melalui

peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di suatu negara. Perlindungan hukum disini diberikan kepada anak yang menjadi pelaku dari kejahatan seperti perkosaan, cabul dan pencurian.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa kepedulian umat manusia atas eksistensi anak dan masa depannya telah mendapatkan legitimasi dengan diratifikasinya konvensi perjuangan besar bangsa Indonesia tentang hak-hak anak.

Proses peradilan pidana anak akan berakhir pada institusi pemasyarakatan manakala hakim memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan diperintahkan menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi. Dengan demikian anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan berarti dirampas kebebasan pribadinya akibat menjalani hukuman. 34

Menghilangkan kebebasan menurut Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang kehilangan kebebasannya, dimaknai bentuk penahanan atau hukuman penjara apa pun atau penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, dimana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu pihak kehakiman, administrasi atau pihak umum lainnya.35 Selanjutnya butir 12 menentukan bahwa menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan keadaan- keadaan yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak

34

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Lihat Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

35

Lihat Butir 11 huruf (b) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya.

yang ditahan pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina rasa tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan keterampilan- keterampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka sebagai anggota-anggota masyarakat.

Jika membaca legal term “menjalani pidana”, diserahkan pada negara untuk dididik, dan “atas permintaan orang tua atau walinya dididik dan ditempatkan” di LAPAS dengan didasari putusan pengadilan menunjukkan bahwa negara diberikan hak untuk mengambil alih kewenangan pengasuhan orang tua. Hal yang perlu dicemaskan adalah diberikannya kewenangan kepada petugas LAPAS menggunakan kekerasan.

Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 melarang segala bentuk tindak kekerasan seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat setiap manusia. Segala bentuk penghukuman tersebut jelas tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 10 Kovenan yang mengatur bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. Pasal 37 Konvenan Hukum Anak juga menjamin hal serupa dimana huruf a mengatakan :

Negara-negara pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Kemudian kewajiban ini

dipertegas kembali pada huruf (c) yang mennetapkan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.36

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam fikiran penelitian untuk keperluan analitis.37 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum.38

Suatu konsep atau kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat dijadikan pegangan konkrit didalam proses penelitian.

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep

36

Lihat Pasal 37 Konvenan Hukum Anak.

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Aditya Bakti, 1996), hlm. 306.

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 7.

sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan antara variabel yang ingin menetukan adanya hubungan empiris.39

Pentingnya defenisi oerasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Sedangkan menurut Shanty Dellyana, perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dan harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 2. Irma Setyowati Soemitri membedakan 2 (dua) pengertian perlindungan anak,

yaitu:

a. Perlindungan anak bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik dan bidang hukum perdata.

b. Perlindungan anak bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.40

39

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 21.

40

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 13.

3. Narapidana anak adalah anak yang bersalah dan ditempatkan pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil.41 4. Lembaga Pemasyarakatan suatu instansi yang memberikan pembinaan agar

tercapainya suatu sistem pemasyarakatan berupa satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.42

Dokumen terkait