• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK D

B. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam Undang-undang dan peraturan hukum lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.72

Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat masih demokrasi masih tetap diandalkan:

1. Sebagai "katup penekan" atau "pressure valve” atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran umum;

2. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai "the last resort” yakni sebagai tempat terakhir mencapai kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).73

Kedudukan dan keberadaan peradilan sebagai "pressure valve" dan "the last resort” peradilan masih tetap diakui memegang peran, fungsi, dan kewenangan sebagai penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of society), dianggap pula sebagai wali masyarakat (are regarding as custodian of society), juga dianggap

72

Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta : LP3S,1983), hlm. 143

73

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

sebagai pelaksana penegakan hukum yang lazim disebut dalam ungkapan (judiciary as the upholders of the rule of law).74

Peradilan yang adil memberikan penghargaan yang besar terhadap hak asasi manusia, baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sebagai terpidana. Tobias dan Peterson mengatakan bahwa:

"due process of law is a constitutional guaranty that no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary, protects the citizen against abitrary actions of the government”.75

Secara sosiologis peradilan merupakan lembaga kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Peradilan disebut sebagai lembaga sosial merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat. Kaidah-kaidah atau norma-norma ini meliputi aturan yang secara hierarki tersusun dan berpuncak pada pengadilan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan masyarakat, yaitu hidup tertib dan tenteram. Untuk memberikan suatu keadilan, peradilan melakukan kegiatan dan tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan Undang-undang yang berlaku. Secara sosiologis peradilan sebagai s u a t u s i s t e m lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berpuncak pada lembaga pengadilan, berproses secara konsisten dan bertujuan memberikan keadilan dalam masyarakat.

74

Ibid., hlm. 238

75

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 27

Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan. Dalam peradilan terkait beberapa beberapa lembaga, yaitu kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum dalam mewujudkan perlindungan, dan keadilan bagi setiap warga negara.

Arief Sidharta mengatakan bahwa peradilan adalah pranata (hukum) untuk secara formal, imparsial-objektif serta adil manusiawi, memproses penyelesaian defenitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk sebuah putusan yang disebut vonis, dan yang implimentasinya dapat dipaksakan dengan menggunakan aparat negara (mengikat semua pihak secara hukum) terhadap konflik antar subjek hukum, termasuk konflik antara warga masyarakat dan badan hukum publik (pemerintah).76

Pandangan filosofis peradilan berhubungan erat dengan konsepsi keadilan. Keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi di antara nilai yang ada dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan integrasi dari berbagai nilai kebijaksanaan yang t e l a h , s e d a n g dan selalu diusahakan untuk dicapai pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi. Konsepsi ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan dunia dan peradaban bangsa. Penerapan kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakekatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) melalui beberapa tahapan, yaitu:

76

Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Makalah disampaikan pada pertemuan pimpinan Fakltas Hukum Anggota Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia, (Bandung : UNPAR, 2000), hlm. 3.

1) Penerapan kebijakan atau kewenangan penyidikan; 2) Penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan;

3) Penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan;

4) Penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.

Keempat tahapan tersebut merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.77

Kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti kekuasaan mengadili (kekuasaan hukum oleh badan-badan pengadilan), tetapi mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum. Dalam perspektif sistem peradilan pidana, maka kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan penegakan hukum di bidang hukum pidana mencakup seluruh kekuasaan dan kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan (badan atau lembaga penyidik), kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum, kekuasaan mengadili (oleh badan pengadilan) dan kekuasaan pelaksana putusan/pidana (oleh badan/lembaga eksekusi).78

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa pada hakikatnya sistem peradilan pidana merupakan implementasi atau aplikasi dari kekuasaan kehakiman di bidang peradilan pidana. Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

77

Barda Nawawi Arief, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, Makalah Seminar Nasional Peradilan Anak, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1996), hlm. 3

78

pemasyarakatan terpidana.79 Sistem peradilan pidana terdapat beberapa komponen yang bekerja sama satu sama lain. Komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan (lembaga) pemasyarakatan. Komponen ini diharapkan membentuk suatu "integrated criminal justice administration".80

Ciri peradilan pidana sebagai suatu sistem berupa adanya titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan), adanya pengawasan dan pengendalian kekuasaan oleh komponen peradilan pidana, efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara, penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menetapkan “the administration of justice”.81 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada 3 (tiga) kerugian yang dapat diperkirakan, yaitu :

1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing- masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana);

3) Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.82

Kebijakan pengembangan dan peningkatan kualitas peradilan terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum. Berbagai

79

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan

dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru

Besar Tetap, (Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1993), hlm. 1

80

Ibid., hlm. 85

81

Romli Atmasmita, Op-Cit., hlm. 9.

82

aspek itu dapat mencakup kualitas individual sumber daya manusia, kualitas institusional atau kelembagaan, kualitas mekanisme dan tata kerja atau manajemen, kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat).83

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem penanggulangan kejahatan, berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagaian besar dari laporan atau keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapatkan pidana.84

Sistem peradilan pidana merupakan jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.85

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda, di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu (crime containment system), di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention), yaitu mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana.86

83

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 33 84

Mardjono Reksodiputro, Op-Cit., hlm. 84.

85

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 4.

86

Tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan, yaitu sebagai : 1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2) Menyesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.87

Negara yang sudah maju mempunyai susunan hukum acara pidana yang menyelenggarakan proses perkara pidana dengan cepat, sederhana dan biaya murah. Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural, agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan penerapannya keputusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat.

Proses perkara pidana yang sederhana diartikan penyelenggaraan administrasi terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang, berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran bekerja (circuit court) secara berbelit-belit. Dari dalam berkas tersebut tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak yang berkepentingan. Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan lebih kecil.88

Proses perkara pidana dengan cepat, sederhana, dan biaya murah dapat diwujudkan dengan bantuan sarana penunjang yang berupa kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara para petugas, membentuk badan koordinasi yang bersifat fungsional untuk pengawasan, proses verbal interogasi dan

87

Ibid., hlm. 84.

88

Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hlm. 16.

surat tuduhan disusun dengan singkat dan dimengerti, meningkatkan diferensiasi jenis kejahatan atau perkara diserta identifikasi pembidangan tugas penyelesaian perkara.89

Kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara petugas- petugas yang bersangkutan dalam pemeriksaan permulaan (penyidikan dan penuntutan) dan pemeriksaan akhir di persidangan, diperlukan "planning board" yang memuat perencanaan dan penyelesaian tugas, sebagai alat pengendali pekerjaan bersama. Para petugas hukum dapat membentuk koordinasi yang bersifat fungsional untuk pengawasan dan menyelenggarakan tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan,dan pelaksanaan putusan pidana.90

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Istilah peradilan menunjukkan kepada lingkungan badan peradilan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Agama; 3) Peradilan Militer; 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan istilah pengadilan, pengertiannya lebih mengacu kepada fungsi badan peradilan, karena suatu badan peradilan fungsinya menyelenggarakan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

89

Ibid., hlm. 18.

90

Dalam lingkungan badan peradilan tidak ditutup kemungkinan adanya pengkhususan, misalnya dalam peradilan umum berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dan sebagainya yang diatur oleh Undang-undang sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system) berbeda dengan sistem peradilan pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Menekankan atau memusatkan pada kepentingan anak harus merupakan pusat perhatian dalam pemeriksaan perkara pidana anak.

Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak.91 Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-penjahat muda, anak nakal, dan anak-anak terlantar.92

Sistem peradilan pidana anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak, pemasyarakatan anak. Landasan tindakan penegak hukum dalam sistem peradilan pidana adalah :93

91

Agung wahyono, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 14

92

Ibid., hlm. 6

93

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993), hlm. 5

1) Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara yang manusiawi, menjunjung tinggi human dignity. Hal ini mewajibkan para penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang ilmiah atau dengan metoda "scientific crime detection”, yakni cara pemeriksaan tindak pidana berlandaskan kematangan ilmiah. Menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konvensional dalam bentuk tangkap dulu, dan peras pengakuan dengan jalan pemeriksaan fisik dan mental. Sudah saatnya para penegak hukum mengasah jiwa, perasaan, dan penampilan mereka dibekali dengan kehalusan budi nurani yang tanggap atas rasa keadilan (sense of justice).

2) Memahami rasa tanggungjawab, hal ini sangat penting disadari para penegak hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana dirinya sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan perasaan. Sudah semestinya para penegak hukum merenungkan arti tanggungjawab dalam menangani setiap manusia yang dihadapkan kepadanya. Ketebalan rasa tanggungjawab (sense of responsibility) yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi para penegak hukum harus mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, pertanggungjawaban kepada masyarakat serta pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Landasan inilah yang mampu menopang kewibawaan dan citra penegakan hukum. Landasan dan sikap ini mampu mengembalikan citra kemurnian penegakan hukum, yang selama ini sering dituding tercela oleh sebagian kelompok anggota masyarakat. Mulai dari tudingan perampasan Hak Asasi Manusia, penganiayaan, dan sikap acuh tak acuh. Hal ini mengindikasikan seolah-olah hukum di Indonesia hanya memaksa tersangka atau terdakwa yang lemah dan miskin, tetapi sebaliknya hukum dan penegakan hukum itu diatur oleh mereka yang kaya (law grind the poor and rich men rule the law).94

Ani Abbas Manopo menegaskan beberapa prinsip dan hak yang penting ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia, yaitu:

1) Asas legalitas;

2) Asas praduga tak bersalah;

94

3) Hak-hak dalam penangkapan dan pendakwaan; 4) Hak-hak dalam penahanan sementara;

5) Hak minimal tersangka/terdakwa dalam mempersiapkan pembelaan; 6) Hak-hak dalam pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang;

7) Perlunya pengadilan yang bebas dan cara menyelenggarakan peradilan di muka umum;

8) Banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan.95

Sehubungan dengan hal ini, Steenhuis juga mengemukakan bahwa bila dilihat dari individu sebagai warga pelanggar hukum dikelilingi banyak perlindungan, seperti adanya asas praduga tak bersalah yang beralasan, seorang tersangka berhak untuk tidak menjawab pertanyaan selama dalam penyidikan, seorang tersangka berhak didampingi penasihat hukum, jika dianggap perlu tidak perlu membayar, seorang tersangka hanya boleh ditahan dan diperiksa untuk selama-lamanya 6 (enam) jam, seorang tersangka harus segera dibebaskan seketika batas waktu ini selesai, seorang tersangka berhak diberi kesempatan untuk memiliki berkas hasil pemeriksaan atas dirinya, seorang tersangka berhak mengajukan banding terhadap putusan hakim yang menempatkan tersangka tetap berada dalam tahanan, penerapan tindakan yang bersifat memaksa tidak dibenarkan menurut Undang-undang, seorang tersangka tidak boleh dituntut 2 (dua) kali untuk kejahatan yang sama, setiap perintah dan tuntutan harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat.

Kesalahan kecil mengakibatkan batalnya perintah/tuntutan tersebut, seorang tersangka juga berhak untuk tidak menjawab pertanyaan selama pemeriksaan di ruang pengadilan, pelaksanaan perintah/tuntutan juga dikenai persyaratan ketat,

95

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 27

kesalahan kecil saja dapat mengakibatkan pelaksanaan menjadi batal, seorang tersangka berhak untuk didengar/diperiksa perkaranya secara penuh oleh 2 (dua) pengadilan, sekalipun ia memilih untuk tidak hadir dalam persidangan pertama, seorang terdakwa setiap waktu dapat mengajukan permintaan ampun sehingga pelaksanaan pidana bagi dirinya ditangguhkan, kecuali dalam perkara-perkara di mana pidana penjara yang didahului oleh penahanan oleh hakim.96

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, termasuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada prinsipnya memiliki tujuan perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa), perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan, kodifikasi dan unifikasi acara pidana, mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat hukum, mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.97

Untuk mencapai tujuan ini, hukum acara pidana menetapkan 10 (sepuluh) asas yang merupakan pedoman, yaitu:

1) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;

2) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan diatur dengan cara yang diatur dengan Undang-undang;

3) Setiap orang yang disangka ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;

96

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Ekstensialisme dan

Abolisionisme, (Jakarta : Bina Cipta, 1996), hlm. 11 97

4) Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi; 5) Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas,

jujur, dan tidak memihak, diterapkan secara konsekuen dalam semua tingkat peradilan;

6) Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;

7) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya, termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;

8) P e n g a d i l a n m e m e r i k s a perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;

9) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam Undang-undang;

10)Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.98

Arti peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum/peraturan perundang-undangan formal. Dalam pengertian peradilan yang adil ini, terkandung penghargaan hak kemerdekaan seorang warga negara. Keadilan adalah suatu kondisi di mana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat.99 Hal ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Meskipun seorang warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan pidana/tindak pidana, hak-haknya sebagai warganegara tidaklah seluruhnya hapus atau hilang.

98

Ibid., hlm. 77

99

Agung Wahjono, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 17

Dalam proses hukum yang adil (due process of law) mencakup sekurang- kurangnya : perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara, pengadilan yang berhak menentukan salah-tidaknya terdakwa, sidang terbuka untuk umum (tidak boleh bersifat rahasia), kecuali sidang menyangkut anak atau kesusilaan, tersangka/terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya.100

Soedjono mengatakan bahwa selain dari fungsi politis prosedur pidana untuk melindungi hak-hak dari perbuatan sewenang-wenang dan campur tangan yang tidak adil dari negara, fungsi sosial yang berdiri sendiri berikut ini dapat dihubungkan dengannya.

1) Prosedur pidana memberikan peluang dan tempat untuk menyalurkan dan menghaluskan emosi yang bersifat agresif dan destruktif;

2) Informasi harus dihasilkan sedemikian rupa sehingga keputusan pengadilan dapat dinilai.101

Pendekatan sistem dan pendekatan fungsional dalam peradilan pidana termasuk Peradilan Pidana Anak. Dalam masyarakat terdapat 2 (dua) macam individu, yaitu “the law abiding citizen” (warga taat hukum) dan “the law breaker” (warga pelanggar hukum). Pemerintah (negara) dalam hal ini para penegak hukum memperlakukan kedua individu tersebut, diperhatikan hak-haknya sebagaimana dijamin hukum.102 Perlindungan hak-hak individu yang dijabarkan secara tegas dalam konstitusi, Undang-undang, berbagai peraturan dan jurisprudensi yang diikuti dengan pelaksanaan dan pengawasan serta tindakan yang tegas terhadap penegak hukum

100

Mardjono Reksodiputro, Op-Cit., hlm. 36

101

Soedjono Dirdjosisworo, Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, (Bandng : Alumni, 1981), hlm. 67

102

yang menyeleweng akan berpengaruh terhadap perilaku yang baik, tegas dan bertanggungjawab para penegak hukum dalam proses administrasi peradilan pidana.

Perwujudan keadilan sejati yang didambakan dan merupakan citra masyarakat relatif dapat tercermin dalam sikap perilaku pribadi-pribadi pelaksana penegakan hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan serta rehabilitasi sosial. Dalam perkembangan ke arah perlindungan hak-hak pribadi yang lebih meluas, juga peran profesi hukum umumnya terutama advokat dan pengacara, merupakan penegak hukum yang besar perannya.103

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan landasan kerangka hukum Indonesia. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum; peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama

Dokumen terkait