PERLINDUNGAN TERHADAP NARAPIDANA ANAK DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN NOMOR 12
TAHUN 1995
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JONNER MANIK
077005014/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERLINDUNGAN TERHADAP NARAPIDANA ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN NOMOR 12 TAHUN 1995 Nama Mahasiswa : Jonner Manik
Nomor Pokok : 077005014
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH,MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 24 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H
Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH,MS
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.
Penelitian tentang Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 terdiri atas 2 (dua) masalah, yaitu: bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak?, dan bagaimanakah konsep dan program binaan anak di Lembaga Pemasyarakatan?
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya. Analitis yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan mengatasi masalah-masalah tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan konsep perkembangan moral anak dalam kajian psikologi awalnya dipusatkan pada kajian disiplin, yaitu jenis disiplin terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang secara spesifik mengatur mengenai penanganan anak yang disangka atau didakwa melakukan pelanggaran hukum. Disamping itu PP Nomor 32 tahun 1999 Tentang Hak-Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai implementasi dari UU Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, telah secara jelas mencantumkan hak-hak anak didik pemasyarakatan secara limitatif.
Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk lebih serius menangani kesejahteraan anak dan perlindungan anak, khususnya kepada pembimbing kemasyarakatan anak agar dapat melakukan penyuluhan dalam melakukan penelitian kemasyarakatan anak, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai kewajiban Anak Didik Pemasyarakatansehingga perlu adanya pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan.
ABSTRACT
Children existence in place of detention and incarceration with people who more adult, placing children at gristle situation become the victim of various act of hardness. Children in a condition is that way referred as with the child which have conflict with the law (children in conflict with the law). Child which have conflict [to] with the law can be defined [by] a child which is on suspected, alleged or confessed [by] as have impinged criminal law.
Research about Protection To Child Convict Evaluated From Law of Community Number 12 Year 1995 consisted of by 2 (two) problem, that is : what will be protection arrangement to child in Institute of Community Child?, and what will be concept and program the binaan child in Institute Community?
As according to problems and research target, hence the nature of this research is analytical descriptive, that is interpret the existing data, for example about situation that experienced of the, view, attitude which look etcetera. that is a[n research addressed to get the suggestion hit what must be done overcome the certain problem.
Result of research show the concept of growth of child moral in psychology study [of] initially concentrated on by a discipline study, that is best discipline type to educate the child become the individual obeying law, and the discipline influence at social and personal adjustment.
Number Code 3 Year 1997 about Child Justice as speciffically arrange to hit the child handling which is on suspected or asserted to do the transgression. Beside that PP Number 32 year 1999 About Rights of Citizen of Binaan Pemasyarakatan as implementation from UU Number 12 year 1995 About Pemasyarakatan, have clearly mention the rights of protege commnity by limitatif.
Researcher suggest to government to more serious handle the prosperity of child and child protection, specially to counsellor of child social so that can do counselling in doing research of child social, and Number Code 12 Year 1995 about Pemasyarakatan do not arrange clear and specificly hit the obligation of Protege Pemasyarakatansehingga need the existence of furthermore arrangement with the execution regulation.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH; Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS; dan Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH dengan judul penelitian “Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995”
Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:
1. Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Bapak Andi Matalata atas kesempatan diberikannya program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Kepala BPSDM (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Bapak Drs. Mulki Manrafi, SH, MM atas kepercayaan memberikan kepercayaan program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Dirjen Pemasyarakatan Republik Indonesia Bapak Untung Sugiono, BC.Ip, SH, MH atas kesempatan memberikan dispensasi dalam menjalani program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas kesempatan untuk menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
7. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dalam penelitian.
8. Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan nasehat dalam penulisan.
9. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum selaku penguji tesis penelitian yang telah memberikan kontribusi dalam pemikiran.
10.Dr. Sunarmi, SH, MHum selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dalam penelitian tesis ini.
11.Alm. Bapak saya Kolman Manik dan Ibunda Dame Sibuea yang telah banyak meberikan dorongan semangat kepada penulis.
12.Bapak Mertua Cornelius Turnip dan Ibu Mertua Elveria Malau yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada penulis.
13.Teristimewa kepada istri tercinta Narti Turnip dan anak-anakku Evelyn, Sonia, David dan Patrik Moses yang telah memberikan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan tesis ini.
Ibarat pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak”, maka peneliti memohon maaf bilamana dalam penulisan terdapat kesalahan yang tidak semestinya. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
Medan, 3 Agustus 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jonner Manik
Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 16 April 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Pemasyarakatan Gg. Gitar No. – Tanjung Gusta
PENDIDIKAN FORMAL
- Sekolah Dasar Candra Kirana P. Sidempuan tahun 1983.
- Sekolah Menengah Pertama Putra Yani Panti P. Siantar tahun 1986.
- STM HKBP P. Siantar tahun 1989.
- Fakultas Hukum Universitas Panca Budi tahun 2002
- Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tahun 2007 s/d
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR ISTILAH ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
G. Metode Penelitian ... 25
BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK ... 28
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 28
B. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ... 49
C. Perlindungan Narapidana Anak ... 65
BAB III KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA ANAK ... 78
A. Doktrin Pemidanaan ... 78
B. Proses dan Program Pembinaan ... 84
C. Petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak ... 92
D. Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-Haknya ... 97
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 100
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Data Penghuni Klas II A Anak Medan
Berdasarkan Klasifikasi Penghuni pada Maret 2009... 93
3.2 Data Penghuni Klas II A Anak Medan
Berdasarkan Usia pada Maret 2009 ... 93
3.3 Data Penghuni Klas II A Anak Medan Berdasarkan
Tindak Pidana pada Maret 2009 ... 94
3.4 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Pejabat
Struktural pada Maret 2009 ... 95
3.5 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Tingkat
Pendidikan pada Maret 2009 ... 96
3.6 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Tingkat
Golongan Pada Maret 2009 ... 96
3.7 Data Penghuni Klas II A Anak Medan Berdasarkan
DAFTAR ISTILAH
Child Abused : Pemaksaan Kepada Anak
Declaration of the Rights of the Child : Deklarasi Hak-Hak Anak
Jongdrecht : Hukum Anak Muda
Kinderrecht : Aspek Hukum Anak
Minderjarig : Sudah Dewasa
Problem Oriented : Berorientasi Permasalahan
Secondary Prevention : Pencegahan Sekunder
Sense of Justice : Rasa Keadilan
Sense of Responsibility : Rasa Tanggungjawab
The Law Abiding Citizen : Warga Taat Hukum
DAFTAR SINGKATAN
CEDC : Children in Especially Difficult Circumstances DEPKUMHAM : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia KHA : Konvensi Hukum Anak
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan
MCK : Mandi Cuci Kakus
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal
25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak
Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak
anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan
terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan
situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.
Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas
di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan
kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas
lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya
meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya,
pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial
dan perlindungan anak tidak maksimal. Dengan demikian perlu adanya upaya yang
terus-menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan
kerjasama internasional.
Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama
pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment).
Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa,
akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun
masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan
hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia.
Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah
gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan
kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak.
Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia,
karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya.
Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus
perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu,
diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada
Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak
yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “.
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan
lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan dan sebagainya,
melainkan keselarasan dan keserasaian serta keseimbangan secara menyeluruh.
Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat bergantung kepada situasi, kondisi, keamanan, stabilitas, dan keadaan negara yang konsisten. Oleh karena itu perlu usaha memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat, dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Stabilitas di bidang politik akan tumbuh dengan tegaknya kehidupan konstitusional demokratis berdasakan hukum dan selanjutnya meningkatkan usaha memelihara ketertiban serta kepastian hkum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Hal ini dengan dapat dibuktikan dengan banyaknya perbuatan pidana (openbare orde) atau kenakalan anak-anak.1
Lebih dari 4.000 (empat ribu) anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap
tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah
mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau
rumah tahanan.2
Pada tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian Republik Indonesia terdapat lebih dari 11.344 (sebelas ribu tiga ratus empat puluh empat) anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari
1
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa sistem pemerintahan negara yang ditegaskan adalah negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)
2
Steven Allen, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System) di
hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 (empat ribu tiga ratus dua puluh lima) tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84 % (delapan puluh empat persen) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, dan Polda). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, telah tercatat 9.465 (sembilan ribu empat ratus enam puluh lima) anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53 % (lima puluh tiga persen) berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.3
Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama
orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi
korban berbagai tindak kekerasan.4 Anak-anak dalam kondisi demikian disebut
dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak
yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau
diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.5
Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya
sebagai berikut: “a child or young person who is alleged to have committed or who
has been found to have committed an offence”.6
3
www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008
4
Steven Allen,Op-Cit., hlm. ii
5
Pasal 40 ayat (1) Konvensi Hukum Anak
6
Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention The Rights of
The Child/CRC),7 anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak
dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP).8
UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai “children in especially
difficult circumstances” (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi,
rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada
lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan perlindungan berupa regulasi khusus,
dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak
dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan
yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak
biasanya menjalani hidup. 9
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara
melalui aparat penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial,
hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut
hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak
dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak
fundamental dari gangguan orang lain.10
Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut
7
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
8
Lihat KHA Pasal 37, 39 ,dan 40
9
Judith, Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13 (1), Spring 2003, hlm. 7
10
Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam
pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual. Terdapat 3 (tiga) hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.11
Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant Civil and Politic Rights/ICCPR), sebagai instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional utama (core instrument of human rights) yang memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut: Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut: diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1 sampai dengan 6).12
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak akan berada pada sebuah institusi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan. Potensi kekerasan semakin ditampakkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menetapkan bahwa pada saat menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang mengancam kehidupan anak karena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS Anak tidak perlu dilengkapi dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 65 menetapkan bahwa pembawaan dan penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan harus dilarang pada setiap fasilitas di mana anak-anak ditahan.13
11
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan
Politik, Esai-Esai Pilihan, hlm. 128 12
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
13
Negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal 14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum. Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di atas nampak dalam praktik negara melalui aparatnya dalam mewujudkan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system). 14
Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective
institutions through which in accused offender passes until the accusations have been
dispossed of or the assessed punishment concluded…”. Sistem peradilan pidana
terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang
menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub-sistem
untuk mencapai satu tujuan. 15
Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai, yaitu :
“…the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’ somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method”.16
dengan penghormatan martabat yang melekat pada anak itu dengan tujuan dasar pengasuhan pada fasilitas pemasyarakatan, yaitu menanamkan ras keadilan, harga diri dan penghormatan bagi hak-hak asasi dasar setiap orang
14
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke Indonesiaan, (Bandung ; Utomo, 2006), hlm. 213
15
www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008
16
Merujuk pada makna di atas maka lembaga-lembaga yang terkait dalam
sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga
yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam
tahap pelaksanaan putusan, yakni diawali pada institusi kepolisian, institusi
kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh
melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan,
tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya
sejak penangkapan sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan
institusi yang mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan
kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat instrumen represi
dan mendayagunakan instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.17
Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal
negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula
melanggar hak asasi manusia. Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak
ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses
hukum yang semestinya, maka terdiri dari: hak terdakwa dalam pra pemeriksaan
17
pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil; dan
pembatasan-pembatasan hukum.18
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan samapi anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan
kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai
berikut:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka
potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang
melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia
yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.19
18
Noor Muhammad, Op-Cit., hlm. 183.
19
Lihat Mukadimah KHA: Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus. Kemudian mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Lebih lanjut Pasal 2 menegaskan:
Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan
(vulnerable group).20 Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan
perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil
dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas
langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur,
terhadap keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 24 (1)).
Muladi dalam kapita selekta sistem peradilan pidana menjelaskan:
1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata.
2) Hukum pidana hendaknya jangan di gunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelad korban atau kerugiannya.
3) Hukum pidana jangan di pakai guna mencari sesuatu tujuan yang pada dasarnya dapat di capai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.
4) Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang di timbulkan lebih daripada kerugian yang di akibatkan oleh tindak pidana yang akan di rumuskan.
5) Hukum pidana jangan di gunakan apabila hasil sampingan (by product) yang lebih merugikan di bandingkan dengan perbuatan yang di kriminalisasikan. 6) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak sebanding oleh masyarakat
secara luas.
7) Jangan mempergunakan hukum pidana apabila penggunaannya di perkirakan tidak dapat efektif (enforceable).
8) Hukum pidana harus universalistic. 9) Hukum pidana harus rasional.
10)Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order legitimation and competence.
11)Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, prosedural, fearness and subtantive justice.
(2). Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.
20
12)Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis, kelembagaan, dan moralis sipil.
13)Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.
14)Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus, skala prioritas kepentingan pengaturan.
15)Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus di dayagunakan secara serentak dengan pencegahan non penal prevention without punishment.21
Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah
pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial
terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian serta
pembahasan tersendiri. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya peradilan khusus
agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian dilakukan dengan benar-benar untuk
kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa
mengabaikan terlaksananya hukum dan keadilan.
Kewajiban negara sangat dominan dalam perkembangan perundang-undangan
yang berlaku bagi anak-anak, khususnya dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20 tertanggal 30 \Maret 1951 yan
menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana
melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun.22 Jaksa Agung
dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka hakim
(pengadilan) hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi
penjahat anak-anak yang dimungkinkan ada penyelesaian lain, maka perlu
21
Hardi Widioso, “Tindakan/Pidana Atas Kasus Tindak Pidana Anak”, Warta
Pemasyarakatan Nomor 29 Tahun IX-April 2008, (Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan, 2008), hlm. 23 22
dipertimbangkan. Lembaga yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah
Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventure.23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
telah mencabut Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan
tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak
dalam menjalani proses perkara pidana. Akantetapi pada tataran implementasinya
dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya Undang-undang yang
dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup
dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.
Model peradilan restoratif yang lebih menekankan diskresi untuk
penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternatif sebagai upaya
menghindarkan stigma mental anak pada proses hokum. Model peradilan restoratif
ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran
dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.
Hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat
kepermukaan adalah kasus Raju. Anak berusia 8 (delapan) tahun ini ditahan selama
19 (sembilan belas) hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma.
Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan
Brandan Kabupaten Langkat Sumut telah sesuai dengan prosedural ketentuan hukum
peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati
23
anak Indonesia.
Sebagaimana dilansir Berita Harian Kompas yang memberitakan kasus Raju,
menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
yang bermunculan dari para pemerhati anak. Aparat penegak hukum sudah
melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain.24 Ketua
Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta
kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.25 Berbagai kelemahan formulasi corak atau
model sistem peradilan anak dipertaruhkan, padahal dianggap formulator sebagai
model peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti akan
membahas ”Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang
Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995”.
24
Kompas, 3 Maret 2006
25
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan,
yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap anak di Lembaga
Pemasyarakatan Anak?
2. Bagaimanakah konsep dan program binaan anak di Lembaga
Pemasyarakatan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan terhadap anak dalam sistem
peradilan pidana.
2. Untuk menjelaskan konsep dan program binaan anak di Lembaga
Pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian tesis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
memberikan perlindungan terhadap anak.
b. Sebagai sumbang saran bagi instasni terkait, khususnya yang berkaitan
c. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempurnaan
perangkat peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyaraktan yang berlaku saat ini.
d. Sebagai bahan kajian kalangan akademisi dalam upaya menambah wawasan
ilmu pengetahuan tentang perlindungan anak.
e. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus yang berkaitan
dengan anak, khususnya di Sumatera Utara.
E. Keaslian Penelitian
Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama,
peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum
melakukan kegiatan ilmiah tersebut.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) terdapat
beberapa penelitian khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan
yang membahas tentang ”Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau dari
Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995” ini belum pernah dilakukan
dalam judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spsesifik atau proses tertentu terjadi,26 dan suatu kerangka teori harus diuji untuk
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 27
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butis-butir pendapat, teori, tesis dari
penulis dan ahli hukum di bidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
toeritas, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan
eksternal bagi penulisan tesis.28
Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau
konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga
menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu
variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel
tersebut.
Sedangkan fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya
teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
26
Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta : FE UI, 1996), hlm. 203.
27
Ibid, hlm. 16. 28
harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.29 Hal ini
sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum
silakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep baru sebagai
preskrepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.30
a. Teori pemidanaan
Teori tentang pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyaraktan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.31
Untuk meletakkan anak ke dalam pengertian subjek hukum seperti orang
dewasa dan badan hukum, maka faktor internal maupun eksternal sanagt berpengaruh
untuk menggolongkan status anak. Unsur internal dan eksternal tersebut, yaitu:32
a. Unsur internal pada diri anak
1) Subjek hukum, sebagai seorang manusia anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dalam peraturan perundang-undangan. Yang diletakkan golongan orang yang belum dewasa, seorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. 2) Persamaan hak dan kewajiban anak, yang sama dengan orang dewasa
yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan. Hukum meletakkan anak sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak dan kewajiban sebagai subjek hukum.
b. Unsur eksternal pada diri anak
29
M. Solly Lubis, Op-Cit, hlm. 17.
30
Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 35.
31
Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
32
1) Persamaan kedudukan dalam hukum, dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum, yang ditentukan oleh peraturan hukum.
2) Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.
Perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang
Hak-Hak Anak pada tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human
Rights pada tahun 1984. Pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Declaration of the Rights of the Child
(Deklarasi Hak-Hak Anak).
Sementara itu masalah anak terus dibahas dalam beberapa kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders. Pada kongres pertama di Geneva tahun 1955 dibicarakan permasalahan
Prevention of Juvenile Deliquency. Sedangkan pada kongres kedua di London pada
tahun 1960 dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Deliquency dan masalah
Juvenile Deliquency tetap dibahas di Stockhlom pada tahun 1965.33
Permasalahan anak di Indonesia yang telah dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa
belum mempunyai dasar perundang-undangan yang jelas pada saat berbenturan
dengan proses peradilan anak.
b. Teori peradilan anak
Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigms of Juvenile Justice”
memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:
33
Seminar Kriminologi I pada tahun 1969 di Semarang memasukkan masalah Juvenile
1) Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model);
2) Model retributive (retributive model);
3) Model restorative (restorative model).
Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model
retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak
dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak.
Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai
suatu agensi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan
dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi
anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan,
dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang
membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada
sebelumnya.
Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai
“model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau
delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai,
melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi
adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan social lewat pemberian
sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku
delinkuen.
Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini dirasakan kelemahannya
dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model
ini dilihat masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk
meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal
memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka penyelamatan publik.
Keputusan bersifat ambivalen dan tidak taat asas (inconsistent) serta
cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan
keselamatan publik. Seiring dengan kritik terhadap model pembinaan pelaku
perorangan terhadap anak tersebut, kemudian muncul tuntutan untuk segera
mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis
“pemberian ganjaran”. Pengaplikasian filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk
merasionalisasikan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan
untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekuensi yang muncul
kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana
yang pasti, Undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan
membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku.
Untuk beracara di persidangan, masih ada yang mempergunakan hukum acara
bagi orang dewasa yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP. Padahal
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dapat dijadikan
sebagai sumber hukum. Perlindungan adalah tempat berlindung atau perbuatan
melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa
(pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat. Jadi perlindungan
peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di
suatu negara. Perlindungan hukum disini diberikan kepada anak yang menjadi
pelaku dari kejahatan seperti perkosaan, cabul dan pencurian.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa kepedulian umat manusia atas
eksistensi anak dan masa depannya telah mendapatkan legitimasi dengan
diratifikasinya konvensi perjuangan besar bangsa Indonesia tentang hak-hak anak.
Proses peradilan pidana anak akan berakhir pada institusi pemasyarakatan
manakala hakim memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan
diperintahkan menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi.
Dengan demikian anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan berarti
dirampas kebebasan pribadinya akibat menjalani hukuman. 34
Menghilangkan kebebasan menurut Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak
yang kehilangan kebebasannya, dimaknai bentuk penahanan atau hukuman penjara
apa pun atau penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, dimana orang
tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu pihak kehakiman,
administrasi atau pihak umum lainnya.35 Selanjutnya butir 12 menentukan bahwa
menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan
keadaan-keadaan yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak
34
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
35
yang ditahan pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan
manfaat dari kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan
berfungsi untuk memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka,
untuk membina rasa tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan
keterampilan-keterampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka
sebagai anggota-anggota masyarakat.
Jika membaca legal term “menjalani pidana”, diserahkan pada negara untuk
dididik, dan “atas permintaan orang tua atau walinya dididik dan ditempatkan” di
LAPAS dengan didasari putusan pengadilan menunjukkan bahwa negara diberikan
hak untuk mengambil alih kewenangan pengasuhan orang tua. Hal yang perlu
dicemaskan adalah diberikannya kewenangan kepada petugas LAPAS menggunakan
kekerasan.
Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 melarang segala bentuk tindak
kekerasan seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat setiap manusia.
Segala bentuk penghukuman tersebut jelas tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 10
Kovenan yang mengatur bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada
diri manusia. Pasal 37 Konvenan Hukum Anak juga menjamin hal serupa dimana
huruf a mengatakan :
dipertegas kembali pada huruf (c) yang mennetapkan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.36
2. Kerangka Konsepsi
Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain,
seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep
adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang
berjalan dalam fikiran penelitian untuk keperluan analitis.37 Kerangka konsepsional
mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk
sebagai dasar penelitian hukum.38
Suatu konsep atau kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu
pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali
masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka
kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi
operasional yang akan dapat dijadikan pegangan konkrit didalam proses penelitian.
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika
masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula
fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep
36
Lihat Pasal 37 Konvenan Hukum Anak.
37
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Aditya Bakti, 1996), hlm. 306.
38
sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan
antara variabel yang ingin menetukan adanya hubungan empiris.39
Pentingnya defenisi oerasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar
secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu:
1. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana anak
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Sedangkan menurut Shanty
Dellyana, perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dan harus
diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
2. Irma Setyowati Soemitri membedakan 2 (dua) pengertian perlindungan anak,
yaitu:
a. Perlindungan anak bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik
dan bidang hukum perdata.
b. Perlindungan anak bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial,
bidang kesehatan, bidang pendidikan.40
39
Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 21.
40
3. Narapidana anak adalah anak yang bersalah dan ditempatkan pembinaannya
di Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status
mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil.41
4. Lembaga Pemasyarakatan suatu instansi yang memberikan pembinaan agar
tercapainya suatu sistem pemasyarakatan berupa satu rangkaian kesatuan
penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.42
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini
adalah deskriptif analitis, yaitu menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi
yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya.
Analitis yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran
mengenai apa yang harus dilakukan mengatasi masalah-masalah tertentu.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara
41
Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan paling lama samapi berumur 18 tahun. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berusia 18 tahun. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai 18 tahun.
42
melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur,
karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum
dan sejarah hukum.
Penelitian ini menurut Ronald Dwokin dikenal dengan istilah penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang
tertulis di dalam buku (law as its written in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge
through judicial process).
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan
pengambilan data dari lapangan sehingga antara yang seharusnya (das sollen) dan
kenyataan (das sein) saling memiliki keterkaitan.
Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara (interview) kepada
informan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan di antaranya :
1. Pegawai administrasi Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan.
Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research).
Adapun data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari
KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan
sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus,
ensiklopedi dan sebagainya.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara
kualitatif. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder,
kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan.
Data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan untuk mendapat gambaran yang utuh,
menyeluruh dan tepat masalah-masalah yang akan dijawab. Data-data tersebut
dianalisis dengan melakukan interpretasi atau ditafsirkan dan selanjutnya hasil
BAB II
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Dimensi Psikologis Anak
Konsep perkembangan moral anak dalam kajian psikologi awalnya dipusatkan
pada kajian disiplin, yaitu jenis disiplin terbaik untuk mendidik anak menjadi
individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian
pribadi dan sosial.
Kajian terhadap perkembangan moral anak tidak bisa terlepas dari perilaku
moral itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Hurlock bahwa perilaku moral anak
adalah:
“Perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, perilaku moral
dikendalikan oleh konsep-konsep moral-peraturan perilaku yang telah menjadi
kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku
yang diharapkan dan seluruh anggota kelompok”.43
Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya, tidak saja sesuai
dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Hal ini rnuncul
bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah
43
Mandiana, Pola Pembinaan Anak Didik Pemsyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
laku yang diatur dari dalam, disertai parasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan
masing-masing.
Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek impulsif. Anak
harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka
cukup besar, mereka harus diberi penjelasan mengapa ini benar dan itu salah. Mereka
juga harus mempunyai kesempatan untuk mengarnbil bagian dalam kelompok
sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok.
Hal yang lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan. untuk
melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang
salah. Ini dapat dicapai dengan hasil yang paling baik dengan mengaitkan reaksi
menyenangkan dengan hal benar, dan reaksi yang tidak menyenangkan dengan reaksi
yang salah. Untuk menjamin kemauan untuk bertidak sesuai dengan cara yang
diinginkan masyarakat, anak harus menerima persetujuan kelompok.
Bagi seorang anak, belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat
merupakan proses yang panjang dan lama yang terus hingga masa remaja. Belajar
berperilaku merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa
kanak-kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang
benar dan yang salah dalam situasi yang sederhana dan meletakkan dasar bagi
perkembangan hati nurani. Dalam mempelajari sikap moral, menurut pendapat
Hurlock, terdapat (4) empat hal yang paling pokok untuk mempelajari apa yang
diharapkan kelompok sosial dan anggotanya sebagaimana terkandung dalam
dan rasa malu bila berperilaku tidak sesuai dengan harapan kelompok, dan
mempunyai kesernpatan untuk berinteraksi sosial untuk belajar apa saja yang
diharapkan anggota kelompok. Secara lebih jauh Hurlock menyatakan bahwa ada
beberapa peranan yang mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu peranan
pertama, hukum-kebiasaan-peraturan dalam perkembangan moral mempunyai
kedudukan yang strategis yaitu menuntut anak untuk belajar apa yang menjadi
harapan kelompok sosialnya.
Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap benar atau salah
karena tindakan itu dianggap menunjang, atau menghalangi kesejahteraan kelompok.
Kebiasaan yang palmg penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan
hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Dan yang lainnya, yang sama mengikat,
seperti hukum, bertahan sebagai kebiasaan tanpa adanya hukuman bagi yang
melanggarnya.
Peran kedua, dalam perkembangan moral adalah peran hati nurani, dimana
pengembangan hati nurani sebagai kendali internal perilaku individu. Pada masa kini
telah ada anggapan bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan
bahwa tidak saja setiap anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah,
tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku. Hal ini
dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting dimasa anak-anak.
Hati nurani juga memiliki peran sebagai tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan
mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan
Peran ketiga, untuk belajar menjadi anak bermoral adalah pengembangan rasa
bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah telah dijelaskan sebagai sejenis evaluasi diri
khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda
dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa
bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya bahwa
perilakunya jatuh dibawah standar yang ditetapkannya. Adapun untuk terciptanya
perasaan bersalah pada diri anak paling tidak harus memenuhi empat kondisi, yaitu
pertama anak-anak harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan
salah atau baik dan buruk. Kedua, mereka harus menerima kewajiban mengatur
perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang mereka terima. Ketiga, mereka
harus merasa bertanggungjawab atas setiap penyelewengan dan standar tersebut dan
mengaku bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan, dan keempat,
mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk
menyadari bahwa ketidaksesuaian antara mereka telah terjadi. Keempat, kondisi
kehidupan tersebut, bahwa untuk belajar menjadi orang bermoral adalah mempunyai
kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Dimana interaksi
sosial mempunyai peranan penting dalam perkembangan moral dengan mernberi anak
standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya dan dengan memberi mereka
sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut rnelalui persetujuan dan
2. Kebijakan Perlindungan Anak
a. Pengertian perlindungan anak
Anak dalam pemaknaan yang umum memiliki aspek yang sangat luas, tidak
saja hanya disoroti dan satu bidang kajian ilmu saja, melainkan dari berbagai bidang
kajian baik dari sudut pandang agama, hukum, sosial-budaya, ekonomi, politik, dan
aspek disiplin ilmu yang lainnya. Makna anak dari berbagai cabang ilmu akan
memiliki perbedaan baik secara subtansial, fungsi, dan tujuan. Bila kita soroti dan
sudut pandang agama, maka pemaknaan anak diasosiasikan bahwa anak adalah
makhluk ciptaan Tuhan YME dimana keberadaannya melalui proses penciptaan yang
berdimensi kewenangan kehendak Yang Kuasa. Secara rasional, seorang anak
terbentuk dari unsur gaib yang transendental dari prosesi ratifikasi sains (ilmu
pengetahuan) dengan unsur-unsur lahiriah yang diambil dari nilai-nilai material alam
semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dan prosesi keyakinan beragama.
Dari konsep dasar agama sebagaimana telah dikemukakan diatas dan
dikaitkan dengan proses hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan
pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak
sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang. Tentunya hal ini
berbeda dengan pandangan yang diberikan dari dunia barat yang berpatokan kepada
filsafat, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang telah dikemukakan oleh para ahli
dari dunia barat, seperti pendapat Darwin, Herbert Spencer, Karl Marx, August
Comte, dan yang lainnya, dimana mereka memandang tentang eksistensi anak
transparansi. Pemaknaan anak yang diberikan oleh para ahli hukum berlandaskan
pada teori-teori alam semesta (natural law) yang menekankan pada prinsip-prinsip
“the struggle for life and survival of the fittest” (perjuangan untuk hidup dan yang
kuat akan bertahan).
Khususnya di negara Indonesia kedudukan anak menjadi bagian utama dalam
sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa, dan negara, baik dalam
menumbuhkembangkan inteligensi anak maupun mental spiritual. Hal ini dilandasi
dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang memiliki sistem hukum
yang berasal dari sendi-sendi hukum adat dan ras. Dalam tataran realitas tersebut
bangsa Indonesia telah menempatkan anak selain sebagai aset masa depan pelanjut
estafet pembangunan, juga telah menempatkan anak pada tempat yang seyogyanya
mampu melakukan tugas perkembangannya. Namun seiring dengan kemajuan iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi), dan dampak negatif dari perkembangan teknologi
informasi serta dampak krisis multidimensi telah memporakporandakkan seluruh
tatanan fungsi dan peran pelayanan, perhatian, dan pendidikan anak baik di
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Begitupun anak didik yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan serta latar belakang yang mengantarkannya untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut. Adapun faktor melatarbelakangi anak didik Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut melakukan tindak kriminalitas sangat beraneka ragam sebagaimana diakui oleh Sutherland dan Cressey bahwa “kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor-faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun rnenurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian”.44
44
Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menimbulkan tindak kriminalitas
yang dilakukan oleh anak didik di Lembaga Pemasyarakatan ada 2 (dua) faktor yaitu :
faktor internal (dalam diri anak didik) dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal
dari luar diri individu. Adapun faktor-faktor internal yang bersumber dari diri
individu terbagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu faktor internal yang bersifat khusus
dan faktor internal yang bersifat umum.
Faktor internal yang bersifat khusus adalah lebih menitikberatkan pada
kondisi psikologis anak didik Lembaga Pemasyarakatan, dimana kondisi psikologis
anak tersebut dalam keadaan sakit dan tertekan. Menurut Abdulsyani, ada beberapa
sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan antara lain :
1) Keadaan sakit jiwa, individu yang sedang mengalami sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap anti sosial. Sakit jiwa ini bisa disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau dimungkinkan anak didik Lembaga Pemasyarakatan tersebut pernah melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa besar dan berat, dimana orang yang sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan.
2) Daya emosional, dimana daya emosional erat kaitannya dengan masalah sosial bila tidak tumbuh dalam keadaan seimbang, tidak menutup kemungkinan bahwa anak didik tersebut melakukan penyimpangan yaitu tindak kriminal.
3) Rendahnya mentalitas, hal ini lebih disebabkan oleh adanya kemampuan seseorang untuk mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya. 4) Anomi, dimana secara psikologis kepribadian manusia itu sifatnya dinamis,
yang ditandai dengan adanya kehendak, berorganisasi, mengembangkan budaya dan sejenisnya.45
Masa anomi ini ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan
mulai menginjak dengan keadaan baru. Sebagai ukuran orang akan mengalami anomi
(kebingungan) ketika :
45