• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK D

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Konsep perkembangan moral anak dalam kajian psikologi awalnya dipusatkan pada kajian disiplin, yaitu jenis disiplin terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial.

Kajian terhadap perkembangan moral anak tidak bisa terlepas dari perilaku moral itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Hurlock bahwa perilaku moral anak adalah:

“Perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep moral-peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dan seluruh anggota kelompok”.43

Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya, tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Hal ini rnuncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah

43

Mandiana, Pola Pembinaan Anak Didik Pemsyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak

Tangerang Menuju Pada Innovation Treatment System Sesuai PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Surabaya : FH UNS, 2005), hlm. 74

laku yang diatur dari dalam, disertai parasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing.

Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek impulsif. Anak harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelasan mengapa ini benar dan itu salah. Mereka juga harus mempunyai kesempatan untuk mengarnbil bagian dalam kelompok sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok.

Hal yang lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan. untuk melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah. Ini dapat dicapai dengan hasil yang paling baik dengan mengaitkan reaksi menyenangkan dengan hal benar, dan reaksi yang tidak menyenangkan dengan reaksi yang salah. Untuk menjamin kemauan untuk bertidak sesuai dengan cara yang diinginkan masyarakat, anak harus menerima persetujuan kelompok.

Bagi seorang anak, belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus hingga masa remaja. Belajar berperilaku merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak- kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan yang salah dalam situasi yang sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani. Dalam mempelajari sikap moral, menurut pendapat Hurlock, terdapat (4) empat hal yang paling pokok untuk mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dan anggotanya sebagaimana terkandung dalam hukum- kebiasaan-peraturan, mengembangkan nurani, belajar mengalami perasaan bersalah,

dan rasa malu bila berperilaku tidak sesuai dengan harapan kelompok, dan mempunyai kesernpatan untuk berinteraksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok. Secara lebih jauh Hurlock menyatakan bahwa ada beberapa peranan yang mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu peranan pertama, hukum-kebiasaan-peraturan dalam perkembangan moral mempunyai kedudukan yang strategis yaitu menuntut anak untuk belajar apa yang menjadi harapan kelompok sosialnya.

Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap benar atau salah karena tindakan itu dianggap menunjang, atau menghalangi kesejahteraan kelompok. Kebiasaan yang palmg penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Dan yang lainnya, yang sama mengikat, seperti hukum, bertahan sebagai kebiasaan tanpa adanya hukuman bagi yang melanggarnya.

Peran kedua, dalam perkembangan moral adalah peran hati nurani, dimana pengembangan hati nurani sebagai kendali internal perilaku individu. Pada masa kini telah ada anggapan bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa tidak saja setiap anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah, tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku. Hal ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting dimasa anak-anak. Hati nurani juga memiliki peran sebagai tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.

Peran ketiga, untuk belajar menjadi anak bermoral adalah pengembangan rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah telah dijelaskan sebagai sejenis evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jatuh dibawah standar yang ditetapkannya. Adapun untuk terciptanya perasaan bersalah pada diri anak paling tidak harus memenuhi empat kondisi, yaitu pertama anak-anak harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan salah atau baik dan buruk. Kedua, mereka harus menerima kewajiban mengatur perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang mereka terima. Ketiga, mereka harus merasa bertanggungjawab atas setiap penyelewengan dan standar tersebut dan mengaku bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan, dan keempat, mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa ketidaksesuaian antara mereka telah terjadi. Keempat, kondisi kehidupan tersebut, bahwa untuk belajar menjadi orang bermoral adalah mempunyai kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Dimana interaksi sosial mempunyai peranan penting dalam perkembangan moral dengan mernberi anak standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya dan dengan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut rnelalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial.

2. Kebijakan Perlindungan Anak

a. Pengertian perlindungan anak

Anak dalam pemaknaan yang umum memiliki aspek yang sangat luas, tidak saja hanya disoroti dan satu bidang kajian ilmu saja, melainkan dari berbagai bidang kajian baik dari sudut pandang agama, hukum, sosial-budaya, ekonomi, politik, dan aspek disiplin ilmu yang lainnya. Makna anak dari berbagai cabang ilmu akan memiliki perbedaan baik secara subtansial, fungsi, dan tujuan. Bila kita soroti dan sudut pandang agama, maka pemaknaan anak diasosiasikan bahwa anak adalah makhluk ciptaan Tuhan YME dimana keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi kewenangan kehendak Yang Kuasa. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transendental dari prosesi ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur lahiriah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dan prosesi keyakinan beragama.

Dari konsep dasar agama sebagaimana telah dikemukakan diatas dan dikaitkan dengan proses hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang. Tentunya hal ini berbeda dengan pandangan yang diberikan dari dunia barat yang berpatokan kepada filsafat, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang telah dikemukakan oleh para ahli dari dunia barat, seperti pendapat Darwin, Herbert Spencer, Karl Marx, August Comte, dan yang lainnya, dimana mereka memandang tentang eksistensi anak melalui proses evolusi fisik, kultur, dan peradaban tentang status anak secara

transparansi. Pemaknaan anak yang diberikan oleh para ahli hukum berlandaskan pada teori-teori alam semesta (natural law) yang menekankan pada prinsip-prinsip “the struggle for life and survival of the fittest” (perjuangan untuk hidup dan yang kuat akan bertahan).

Khususnya di negara Indonesia kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa, dan negara, baik dalam menumbuhkembangkan inteligensi anak maupun mental spiritual. Hal ini dilandasi dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat dan ras. Dalam tataran realitas tersebut bangsa Indonesia telah menempatkan anak selain sebagai aset masa depan pelanjut estafet pembangunan, juga telah menempatkan anak pada tempat yang seyogyanya mampu melakukan tugas perkembangannya. Namun seiring dengan kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi serta dampak krisis multidimensi telah memporakporandakkan seluruh tatanan fungsi dan peran pelayanan, perhatian, dan pendidikan anak baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Begitupun anak didik yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan serta latar belakang yang mengantarkannya untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut. Adapun faktor melatarbelakangi anak didik Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut melakukan tindak kriminalitas sangat beraneka ragam sebagaimana diakui oleh Sutherland dan Cressey bahwa “kejahatan adalah hasil dari faktor- faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun rnenurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian”.44

44

Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menimbulkan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak didik di Lembaga Pemasyarakatan ada 2 (dua) faktor yaitu : faktor internal (dalam diri anak didik) dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu. Adapun faktor-faktor internal yang bersumber dari diri individu terbagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu faktor internal yang bersifat khusus dan faktor internal yang bersifat umum.

Faktor internal yang bersifat khusus adalah lebih menitikberatkan pada kondisi psikologis anak didik Lembaga Pemasyarakatan, dimana kondisi psikologis anak tersebut dalam keadaan sakit dan tertekan. Menurut Abdulsyani, ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan antara lain :

1) Keadaan sakit jiwa, individu yang sedang mengalami sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap anti sosial. Sakit jiwa ini bisa disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau dimungkinkan anak didik Lembaga Pemasyarakatan tersebut pernah melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa besar dan berat, dimana orang yang sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan.

2) Daya emosional, dimana daya emosional erat kaitannya dengan masalah sosial bila tidak tumbuh dalam keadaan seimbang, tidak menutup kemungkinan bahwa anak didik tersebut melakukan penyimpangan yaitu tindak kriminal.

3) Rendahnya mentalitas, hal ini lebih disebabkan oleh adanya kemampuan seseorang untuk mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya. 4) Anomi, dimana secara psikologis kepribadian manusia itu sifatnya dinamis,

yang ditandai dengan adanya kehendak, berorganisasi, mengembangkan budaya dan sejenisnya.45

Masa anomi ini ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dengan keadaan baru. Sebagai ukuran orang akan mengalami anomi (kebingungan) ketika :

45

1) la berhadapan dengan suatu kejadian atau perubahan yang belum pernah dialaminya.

2) la berhadapan dengan situasi yang baru, ketika ia harus menyesuaikan diri dengan cara-cara yang baru pula.46

Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu yang menyebabkan individu tersebut melakukan kejahatan kriminalitas, diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Faktor ekonomi, bagaimanapun faktor-faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perbuatan tindak kriminalitas, karena kebutuhan ekonomi adalah merupakan kebutuhan pokok, bila seseorang merasa tidak terpenuhinya kebutuhan pokok tersebut berusaha mencari jalan seoptimal mungkin, bahkan tidak menutup kemungkinan akan melakukan segala macam cara untuk meraihnya. Secara lebih rincinya faktor-faktor ekonomi yang menimbulkan tindak kriminalitas diantaranya adanya perubahan harga barang-barang, pengangguran, dan urbanisasi.

2) Faktor agarna, norma-norma yang terkandung dalam agama (semua agama menganjurkan kebenaran dan kebaikan) mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam hidup manusia, sebab norma-norma tersebut merupakan norma ketuhanan, dan sesuatu yang telah digariskan oleh agama itu senantiasa baik dan membimbing manusia kearah jalan yang benar. Bagaimanapun lebih jauhnya agama memberikan landasan yang paling esensial bagi kehidupan manusia, dan agama merupakan salah satu sosial kontrol yang utama organisasinya/orgarnisasi keamanan, agama sendiri dapat menentukan tingkah laku manusia sesuai dengan nilai-nilai keagamaannya. Namun sebaliknya bila agama hanya dijadikan sebagai formalitas ritual saja dan tidak larut memberikan warna terhadap seluruh aktifitas manusia, maka agama tersebut tidak memiliki apa-apa atau akan hilang kebermaknaannya.

3) Pengaruh negatif dari dunia informasi baik melalui media elektronik maupun media cetak, hal ini akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap seluruh tatanan kehidupan anak didik Lapas, bahkan ada sebagian anak didik lapas yang melakukan pelanggaran kriminal setelah mereka menonton/melihat tayangan-tayangan atau membaca bacaan yang bersifat porno dan informasi lainnya yang tak layak ditonton oleh anak.47

46

Ibid., hlm. 46

47

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua.48

Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah: dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.49

Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah yang belum akil baligh.50 Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa (minderjarig), apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun. Menurut Zakariya Ahmad Al Barry, dewasa

48

Hilman Hadikusuma, Hukum Adat dalam Yurisprudensi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 11.

49

Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 19.

50

maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada putri. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putra berumur 12 (dua belas) tahun dan putri berumur 9 (sembilan) tahun. Kalau anak mengatakan bahwa dia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang mengalami. Kalau sudah melewati usia tersebut diatas tetapi belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ; dewasa, harus ditunggu sampai ia berumur 15 (lima belas) tahun.51

Sugiri mengatakan bahwa selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas usia anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 20 (dua puluh) tahun untuk laki-laki, seperti di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara Barat lainnya.52

Zakiah Darajat mengatakan bahwa mengenai batas usia anak-anak dan dewasa berdasarkan pada usia remaja adalah bahwa masa usia 9 (sembilan) tahun antara 13 (tiga belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun sebagai masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, dimana anak- anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi

51

Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 114

52

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, (Bandung : Armico, 1984), hlm. 34.

anak-anak baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak bukan pula orang dewasa.53

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual-beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun berwewenang kawin.54

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 ditentukan bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial budaya masyarakat.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan

53

Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta : Inti Idayu Press, 1983), hlm. 101.

54

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hlm. 27

perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.

Berkaitan dengan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengertian Anak Nakal, tidak terlepas dari kemampuan anak mempertanggungjawabkan kenakalan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental, dan sosial anak menjadi perhatian. Dalam hal ini dipertimbangkan berbagai komponen seperti moral dan keadaan psikologis dan ketajaman pikiran anak dalam menentukan pertanggungjawabannya atas kenakalan yang diperbuatnya.55

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

55

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.56

Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat pada tanggal 30 Mei 1977, terdapat 2 (dua) perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:

1) Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2) Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin".57

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprtisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

56

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademi Pressindo, 1989), hlm. 35.

57

diskriminasi. Perlindungan anak diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.58 Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.59

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintah, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.60 Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa “masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk

58

Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Konvensi : Volume II No. 2 (Medan : LAAI, 1998), hlm. 3

59

Arif Gosita, Op-Cit., hlm. 52.

60

Maidin Gultom, Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran Dalam Usaha Perlindungan Anak

melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis tapi perlu pendekatan lebih luas , yaitu ekonomi, sosial, dan budaya".61

Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian luas, yaitu:

1. Luas lingkup perlindungan:

a.Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,

Dokumen terkait