• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7 Dokumentasi Penelitian

Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Sarana dan Prasarana TPAS Galuga

92

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Lisanatul Hifdziyah, lahir pada tanggal 05 Mei 1988. Penulis adalah anak ketiga dari 4 bersaudara pasangan Abu Tholhah dan Sriyatun. Jenjang pendidikan penulis dilalui dengan baik, dari mulai Taman Kanak-kanak, menamatkan pendidikan dasar di MI Darul Hikam Lamongan pada tahun 2001, menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah Darul Hikam Lamongan tahun 2004, hingga menamatkan sekolah menengah atas di SMA BPPT Al-Fattah Lamongan pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis juga mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) untuk jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, sehingga selepas SMA penulis langsung memasuki jenjang Strata 1 (S1). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis mengikuti berbagai kepanitiaan seperti menjadi panitia seminar anti narkoba Tingkat Persiapan Bersama (TPB), acara keagamaan, dan lain sebagainya. Pada tahun 2009, penulis menikah dengan laki-laki bernama Syaihul Umam.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, tersier, maupun segala keinginan lainnya dari lingkungan. Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dimana penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan.

Permasalahan sampah merupakan tantangan bagi para pengelola perkotaan. Febriani dan Sukarjaputra (2004) dalam Sutjahjo et al. (2007) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2020, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Sampah yang dihasilkan setiap penduduk Indonesia rata-rata 0.8 kg per kapita per hari pada tahun 1995, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 2,1 kg per kapita per hari.

Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang mengalami pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950,334 jiwa

2 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 % (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti semakin bertambahnya tingkat produksi dan konsumsi serta aktivitas lainnya berakibat semakin bertambahnya pula buangan (sampah) yang dihasilkan. Sampah tersebut diangkut dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Volume sampah yang dihasilkan Kota Bogor pada tahun 2006 rata-rata sebesar 2.185 m3 per hari dan meningkat menjadi 2.337 m3 per hari pada tahun 2010. Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah 1.636 m3, yaitu sebesar 70 persen dari besarnya timbulan sampah pada tahun 2010. Sampah tersebut diangkut dengan menggunakan 91 truk pengangkut sampah. Sampah yang tidak terangkut biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan kompos oleh masyarakat atau pihak swasta. Lebih lanjut, data timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010

Tahun Timbulan Sampah (m3/hari) Sampah Terangkut (m3/hari) Sampah Terangkut (%) 2006 2.185 1.497 68,50 2007 2.210 1.515 69,00 2008 2.224 1.542 69,30 2009 2.294 1.602 69,83 2010 2.337 1.636 70,00

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2011)

Sampah yang diangkut ke TPAS Galuga tidak hanya berasal dari Kota Bogor, tetapi juga berasal dari Kabupaten Bogor. Sampah yang diangkut dari Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar 16.174 m3 dengan menggunakan 78

3 truk pengangkut sampah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pengelolaan TPAS Galuga dilakukan secara bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor.

Pengelolaan sampah di TPAS Galuga masih berpegang pada paradigma lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah. Sampah yang telah diangkut ke TPAS Galuga hanya diratakan dan ditindih dengan alat berat lalu ditutup dengan tanah. Mobil pengangkut sampah yang melebihi kapasitasnya menyebabkan sampah tercecer serta kerusakan jalan yang dilalui kendaraan tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat memberikan dampak positif diantaranya menghasilkan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran air tanah, pencemaran udara, pemandangan yang tidak indah, serta berjangkitnya berbagai penyakit. Menurut Hadiwiyoto (1981), sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan, kesehatan dan keamanan, serta pencemaran. Gangguan tersebut meliputi : (1) pencemaran udara dan bau yang tidak sedap, (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan pH, (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah, (4) gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan kesehatan, bahkan kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah, dan (6) secara estetika, pemandangan yang tidak indah untuk dinikmati.

4 Peningkatan volume sampah yang dibuang akan menimbulkan dampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengelola sampah seperti untuk Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, serta tanah penimbun sampah di TPA. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti permukiman dan aktivitas ekonomi juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman.

Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, mengestimasi nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai penurunan kualitas lingkungan dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik permukiman yang berbeda-beda menyebabkan adanya pilihan seseorang dalam menentukan lokasi tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut disesuaikan dengan kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga, fasilitas yang disediakan, aksesibilitas, dan kesesuaian tata ruangnya. Harga menjadi persoalan

5 utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin lengkap fasilitas yang ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya, demikian halnya dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang.

Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam harga lahan. Semakin baik kualitas lingkungan maka harga lahan semakin meningkat. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari polusi udara maupun pencemaran air. Jika suatu tempat tinggal tidak bersih maka akan rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga dapat mengganggu kenyamanan seseorang yang tinggal di tempat tersebut.

King dan Marissa (2000) memberikan definisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteristik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat kerja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum.

Desa Galuga merupakan desa di Kabupaten Bogor yang sebagian wilayahnya digunakan sebagai lokasi TPAS. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya TPAS Galuga adalah bau yang tidak sedap dan timbulnya penyakit akibat pencemaran lingkungan. Semakin banyak volume sampah yang diangkut ke TPAS Galuga mengakibatkan semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan. Akan tetapi,

6 tingginya tingkat pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap bermukim di daerah tersebut.

Pencemaran lingkungan di sekitar TPAS Galuga yang semakin meningkat dapat mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya permintaan lahan. Selain itu, pencemaran lingkungan yang terjadi juga dapat menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya pembelian air minum.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga?

2. Berapa besar nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga?

3. Apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan persepsi masyarakat

2. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga

7 3. Mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan tersebut

mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan

ilmu pengetahuan.

2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengkaji nilai penurunan kualitas lingkungan.

3. Bagi pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengelola TPAS Galuga dengan baik sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dan batasan-batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian adalah daerah yang berada di sekitar TPAS Galuga.

2. Harga lahan yang dimaksud adalah harga pasar yang diperoleh dari harga transaksi jual beli atau harga penawaran.

3. Lahan yang dinilai adalah lahan yang berada di kawasan permukiman.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan yang dihitung adalah jarak lahan dengan TPAS Galuga, biaya kesehatan, luas lahan, biaya konsumsi air bersih, dan status lahan.

5. Estimasi nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode cost of illness dan replacement cost dan hanya dilakukan pada wilayah Desa Galuga dalam waktu satu tahun terakhir.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah

Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage), yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton, ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya, karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan Kramadibrata, 2007).

2.1.1 Timbulan Sampah

Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu. Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat peningkatan produksi dan konsumsi.

Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri, serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Komposisi sampah yang

9 berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan penggolongan tersebut :

a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan lain-lain.

b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan, restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas bahan- bahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain. c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat

pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA.

d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan, jembatan, dan lain-lain.

e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain.

f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran (insinerator).

10 g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan

bahan baku, sampai dengan hasil produksi.

h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok. Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.

2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.

11

2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik

Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru tercapai pada tingkat produksi yang

12 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut.

Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut.

2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode

13 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :

1. Open dumping

Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.

2. Control landfill

Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan.

3. Sanitary landfill

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

14 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah, terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a. Air lindi

Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen- komponen hasil penguraian sampah.

b. Pembentukan gas

Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani

karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

15 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering

2 Kedalaman sampai hamparan batuan (cm)

>150 100-150 <100 3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100 4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm) - - >5 5 Muka air tanah

 Apparent  Perched >150 >90 100-150 100-150 <100 <45 6 Lereng % <8 45-90 >15 7 Longsor - - Ada

Sumber : USDA (1983) dalam Hardjowigeno et al. (2007)

Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor 591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah

Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia

Dokumen terkait