• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI

SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH

GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

LISANATUL HIFDZIYAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

LISANATUL HIFDZIYAH. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing Oleh NINDYANTORO.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang merupakan satu-satunya TPAS Kota Bogor dan sekaligus TPAS Kabupaten Bogor telah mengalami peningkatan volume sampah dari tahun ke tahun, sehingga terdapat gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS tersebut. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada masyarakat di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah juga berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan lahan untuk pengelolaan TPAS tersebut serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal akibat peningkatan jumlah penduduk.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian responden mengenai kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga dengan menggunakan skala perbedaan semantik (semantic differential), menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement cost), dan mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPAS Galuga secara umum menilai keberadaan TPAS Galuga menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential yang lebih rendah setelah adanya TPAS Galuga.

Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum sebesar Rp 1.230.828.000,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas lingkungan adalah sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Nilai ini merupakan biaya kerugian yang dirasakan masyarakat dalam waktu satu tahun terakhir.

Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih.

(3)

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI

SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH

GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

LISANATUL HIFDZIYAH H44070005

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Penurunan Kualitas

Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten

Bogor Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(5)

Judul Skripsi : Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat

Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa

Barat

Nama : Lisanatul Hifdziyah

NIM : H44070005

Disetujui Dosen Pembimbing

Ir. Nindyantoro, MSP NIP.19620323 1990021 1 001

Diketahui Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis

mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Suami penulis (Syaihul Umam), orangtua, dan seluruh keluarga besar atas

segala do’a dan dukungannya.

2. Ir. Nindyantoro, MSP atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama

proses penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr. selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto,

SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen untuk pertanyaan, saran, dan

kritiknya.

4. Bapak Dani, Staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor atas bantuan

data yang mendukung penelitian ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan, FEM IPB. Terima kasih atas ilmu dan jasa yang telah diberikan

selama ini.

6. Febri, Heni, Putri, Nisa, Fiandra, dan Norita atas kebersamaan dan

dukungannya.

7. Teman-teman ESL 44 atas dukungannya selama ini.

8. Keluarga Cendana 53 (Ayu, Tati, Aini, Ayang, Lida, Icha, Fitrah, Mbak Alin,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar

Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman

di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden, mengestimasi besarnya

nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS

Galuga, serta mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan dicerminkan

juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun

bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi terkait dengan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(8)

DAFTAR ISI

2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 17

2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 18

2.2 Aspek Sumberdaya Lahan ... 20

2.2.1 Harga Lahan ... 20

2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan ... 21

2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan... 23

2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) ... 24

2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost ... 24

2.5 Penelitian Terdahulu ... 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 29

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 29

IV. METODE PENELITIAN ... 32

4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 34 4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas

(9)

x

Sampah Galuga ... 35

4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 40 5.1.2 Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 50

6.1 Deskripsi Lingkungan Pemukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden ... 56

6.2 Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan ... 62

6.2.1 Analisis Biaya Kesehatan ... 63

6.2.2 Analisis Biaya Pengganti ... 66

6.2.3 Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan ... 66

6.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga 67 6.3.1 Harga Lahan ... 67

6.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 68

(10)

xi

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

7.1 Kesimpulan ... 75

7.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 79

(11)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010 .... 2

2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah Secara Terbuka ... 15

3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data ... 34

4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun 2009 ... 48

5 Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya ... 50

6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 53

7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 53

8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 54

9 Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden ... 61

10 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air ... 64

11 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara ... 65

12 Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air 66 13 Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan ... 67

(12)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan ... 24

2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 31

3 Peta Orientasi TPAS Galuga ... 49

4 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di sekitar

TPAS Galuga ... 56

5 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air ... 58

6 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara ... 59

7 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat

Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 60

8 Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga ... 62

(13)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data Analisis Regresi Berganda ... 80

2 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga... 82

3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor yang mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga... 83

4 Hasil Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga ... 84

5 Data Biaya Pengobatan ... 85

6 Data Biaya Pengganti ... 88

(14)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap

lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan

primer, sekunder, tersier, maupun segala keinginan lainnya dari lingkungan.

Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dimana

penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting

dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia baik

produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan

sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah

pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat

dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi

yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan.

Permasalahan sampah merupakan tantangan bagi para pengelola

perkotaan. Febriani dan Sukarjaputra (2004) dalam Sutjahjo et al. (2007)

mengungkapkan bahwa hingga tahun 2020, volume sampah perkotaan di

Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Sampah yang dihasilkan

setiap penduduk Indonesia rata-rata 0.8 kg per kapita per hari pada tahun 1995,

dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000, sedangkan pada

tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 2,1 kg per kapita per hari.

Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang mengalami

pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Hasil sensus penduduk tahun 2010

(15)

2 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 % (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota

Bogor, 2011). Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti semakin

bertambahnya tingkat produksi dan konsumsi serta aktivitas lainnya berakibat

semakin bertambahnya pula buangan (sampah) yang dihasilkan. Sampah tersebut

diangkut dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga

yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, timbulan

sampah yang dihasilkan Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2006

hingga tahun 2010. Volume sampah yang dihasilkan Kota Bogor pada tahun 2006

rata-rata sebesar 2.185 m3 per hari dan meningkat menjadi 2.337 m3 per hari pada

tahun 2010. Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah 1.636 m3,

yaitu sebesar 70 persen dari besarnya timbulan sampah pada tahun 2010. Sampah

tersebut diangkut dengan menggunakan 91 truk pengangkut sampah. Sampah

yang tidak terangkut biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan

kompos oleh masyarakat atau pihak swasta. Lebih lanjut, data timbulan sampah

yang dihasilkan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010

Tahun Timbulan Sampah

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2011)

Sampah yang diangkut ke TPAS Galuga tidak hanya berasal dari Kota

Bogor, tetapi juga berasal dari Kabupaten Bogor. Sampah yang diangkut dari

(16)

3 truk pengangkut sampah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011).

Pengelolaan TPAS Galuga dilakukan secara bersama oleh pemerintah Kota Bogor

dan pemerintah Kabupaten Bogor.

Pengelolaan sampah di TPAS Galuga masih berpegang pada paradigma

lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah. Sampah yang

telah diangkut ke TPAS Galuga hanya diratakan dan ditindih dengan alat berat

lalu ditutup dengan tanah. Mobil pengangkut sampah yang melebihi kapasitasnya

menyebabkan sampah tercecer serta kerusakan jalan yang dilalui kendaraan

tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat memberikan dampak positif diantaranya

menghasilkan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat,

sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadinya penurunan kualitas

lingkungan berupa pencemaran air tanah, pencemaran udara, pemandangan yang

tidak indah, serta berjangkitnya berbagai penyakit. Menurut Hadiwiyoto (1981),

sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan, kesehatan dan

keamanan, serta pencemaran. Gangguan tersebut meliputi : (1) pencemaran udara

dan bau yang tidak sedap, (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan

kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan

pH, (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah, (4) gas-gas yang

dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan kesehatan, bahkan

kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan penyakit yang

ditimbulkan oleh sampah, dan (6) secara estetika, pemandangan yang tidak indah

(17)

4 Peningkatan volume sampah yang dibuang akan menimbulkan dampak

pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengelola sampah seperti untuk Tempat

Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah,

serta tanah penimbun sampah di TPA. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena

kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti permukiman dan aktivitas

ekonomi juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya

jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap

kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap

namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya

persyaratan lingkungan permukiman.

Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan

permukiman di sekitar TPAS Galuga, mengestimasi nilai ekonomi penurunan

kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS tersebut. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui apakah nilai penurunan kualitas lingkungan

dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik permukiman yang berbeda-beda menyebabkan adanya

pilihan seseorang dalam menentukan lokasi tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal

akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut disesuaikan dengan

kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi

pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga, fasilitas yang

(18)

5 utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin lengkap fasilitas yang

ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya, demikian halnya

dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang.

Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi

lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam

harga lahan. Semakin baik kualitas lingkungan maka harga lahan semakin

meningkat. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan.

Kebersihan lingkungan dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari

polusi udara maupun pencemaran air. Jika suatu tempat tinggal tidak bersih maka

akan rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga dapat mengganggu kenyamanan

seseorang yang tinggal di tempat tersebut.

King dan Marissa (2000) memberikan definisi harga lahan dilihat dari

kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1)

lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah

kamar mandi, (3) karakteristik lingkungan sekitar : pajak properti, angka

kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat kerja, pusat

perbelanjaan, dan adanya transportasi umum.

Desa Galuga merupakan desa di Kabupaten Bogor yang sebagian

wilayahnya digunakan sebagai lokasi TPAS. Tempat Pembuangan Akhir Sampah

(TPAS) tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah

Kabupaten Bogor. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya TPAS Galuga

adalah bau yang tidak sedap dan timbulnya penyakit akibat pencemaran

lingkungan. Semakin banyak volume sampah yang diangkut ke TPAS Galuga

(19)

6 tingginya tingkat pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap

bermukim di daerah tersebut.

Pencemaran lingkungan di sekitar TPAS Galuga yang semakin

meningkat dapat mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar

TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah dan pertambahan jumlah penduduk

menyebabkan semakin meningkatnya permintaan lahan. Selain itu, pencemaran

lingkungan yang terjadi juga dapat menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan

sejumlah biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya pembelian air minum.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kondisi lingkungan permukiman di

sekitar TPAS Galuga?

2. Berapa besar nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat

keberadaan TPAS Galuga?

3. Apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan

permukiman di sekitar TPAS Galuga?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai

berikut :

1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga

berdasarkan persepsi masyarakat

2. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan

(20)

7 3. Mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan tersebut

mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan

ilmu pengetahuan.

2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam

mengkaji nilai penurunan kualitas lingkungan.

3. Bagi pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan

dapat menjadi masukan dalam mengelola TPAS Galuga dengan baik

sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dan batasan-batasan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian adalah daerah yang berada di sekitar TPAS Galuga.

2. Harga lahan yang dimaksud adalah harga pasar yang diperoleh dari harga

transaksi jual beli atau harga penawaran.

3. Lahan yang dinilai adalah lahan yang berada di kawasan permukiman.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan yang dihitung adalah jarak

lahan dengan TPAS Galuga, biaya kesehatan, luas lahan, biaya konsumsi air

bersih, dan status lahan.

5. Estimasi nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS

Galuga menggunakan metode cost of illness dan replacement cost dan hanya

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah

Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang

sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun

buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah

pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage),

yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas

cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah

organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton,

ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya,

karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah

tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan

Kramadibrata, 2007).

2.1.1 Timbulan Sampah

Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang

menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu.

Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah

perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor

dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak

jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat

peningkatan produksi dan konsumsi.

Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri,

serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri

(22)

9 berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari

perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik

yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa

sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan

penggolongan tersebut :

a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah

anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari

dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan

lain-lain.

b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan,

restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas

bahan-bahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain.

c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat

pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan

aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung

kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu

dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA.

d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari

sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan,

jembatan, dan lain-lain.

e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat

rekreasi, dan lain-lain.

f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran

(23)

10 g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan

bahan baku, sampai dengan hasil produksi.

h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat

dimanfaatkan lagi.

Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok.

Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan

buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air

kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik

maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau

hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan

bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.

2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia

merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih

belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1)

ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume

timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan

pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana

umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci

rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi

(24)

11

2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik

Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak

semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu

penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan

sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya

sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000)

menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan

oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu

karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi

akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak

mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki

suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik

barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh

pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung

oleh pemerintah.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik

yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang

publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property

resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa

karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan

bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat

dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar

(25)

12 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut

dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola

TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu

masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil

atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien

baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen

swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif.

Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar.

Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain

yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor

produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau

eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari

satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada

kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya

kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut.

Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya

pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan

salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum

dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak

sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut.

2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus

(26)

13 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam

Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak

dikenal adalah :

1. Open dumping

Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah

hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.

2. Control landfill

Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary

landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam

pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal

untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu

dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan

dipadatkan.

3. Sanitary landfill

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu

hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah

ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga

mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan

dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi

sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya

berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari

metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat

pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta

(27)

14 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah,

terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu:

a. Air lindi

Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air

hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan

komponen-komponen hasil penguraian sampah.

b. Pembentukan gas

Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas

karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik

akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani

karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar,

sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat

yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya

keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah

akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi

beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah

yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak

menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian

dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang

ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka

(2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir

Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada

(28)

15 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering

2 Kedalaman sampai hamparan batuan (cm)

>150 100-150 <100

3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100 4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm) - - >5

Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah

Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor

591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan

Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan

metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010).

Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk

pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill

membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah

Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia

(terutama kesehatan) maupun terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan

sampah dapat langsung dirasakan dan dapat juga dirasakan secara tidak langsung

(Suprihatin et al. 1999) dalam Utari 2006.

1) Dampak Terhadap Kesehatan

Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah

(29)

16 menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat

menjangkit penyakit. Potensi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :

a. Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang

berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat

bercampur dengan air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga

meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang

memadai.

b. Penyakit jamur, misalnya jamur kulit.

c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit

yang dijangkit oleh cacing pita.

d. Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang

sudah terkontaminasi air raksa.

2) Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan

mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa

spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan.

Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik

dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang

tidak sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi.

3) Dampak Terhadap Sosial Ekonomi

a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang

kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak

sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan

(30)

17 b. Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.

c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan efek rendahnya

tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung

(untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak

masuk kerja).

d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan

memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,

drainase, dan lain-lain.

2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pengolahan sampah yang baik dapat memberikan manfaat bagi manusia

yaitu memiliki potensi ekonomi dan lingkungan dengan meminimalisir

pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang

sampah padat, pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, maupun

pengolahan terhadap air lindi.

Hadiwiyoto (1981) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak

positif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar tempat

pembuangan sampah. Dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sampah dapat dipakai unuk menimbun tanah.

b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat

pertumbuhan tanaman.

c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak.

d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi

menjadi tenaga listrik.

(31)

18

2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata

cara pemillihan lokasi TPA sampah dengan beberapa pertimbangan (Dardak,

2007), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan

laut. Pertimbangan tersebut disusun berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama

adalah tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang

berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa

zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk

menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih

dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang

merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.

Selain itu, pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek

penataan ruang sebagai berikut :

1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan

daerah perkotaan (Urbanized Area)

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong

pengembangannya (Urbanized Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama

menuju perkotaan/daerah padat.

Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan

air minum yang didalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal

19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk

perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah

(32)

19 dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan

controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu juga dilakukan

pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.

Menurut Soedradjat (2005) dalam Suhan (2009) kawasan sekitar TPA

dibagi menjadi dua zona, yaitu :

1. Zona Penyangga

Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai

pada jarak tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled landfill dan Sanitary

Landfill, yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut :

a. 0 – 100 meter harus berupa sabuk hijau.

b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan.

2. Zona Budidaya Terbatas

Zona budidaya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona

penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA

yang berupa :

a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang

dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-sehari.

b. Bahaya ledakan gas metan.

c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat.

Zona budidaya terbatas ditentukan pada jarak 501 – 800 meter dari

batas terluar TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :

a. Rekreasi dan RTH, misalnya rekreasi pendidikan dan penghijauan di

(33)

20 b. Industri terkait sampah, misalnya industri daur ulang sampah anorganik

dan pembuatan pupuk kompos.

c. Pertanian non pangan, misalnya penggunaan lahan untuk budidaya pohon

jati, sengon, dan lain-lain.

d. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan

persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khususnya

untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.

2.2 Aspek Sumberdaya Lahan

Lahan merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting

untuk diperhatikan dalam perencanaan tataguna lahan. Lahan termasuk

sumberdaya alam yang multifungsi dalam aktivitas dan kegiatan manusia baik

untuk kegiatan fasilitatif atau penggunaan tempat seperti untuk permukiman,

perkantoran, lokasi industri dan jalan maupun untuk kegiatan ekstraktif seperti

pertanian dan pertambangan. Lahan sebagai obyek dari aktivitas manusia,

ketersediaannya relatif tetap dari waktu ke waktu.

Lahan memiliki jumlah yang terbatas dan merupakan sumberdaya yang

hampir tak terbarui (non renewable), sedangkan jumlah permintaan lahan terus

bertambah. Kelangkaan dari sumberdaya lahan ini akan berpengaruh terhadap

harga lahan itu sendiri. Peningkatan permintaan lahan tidak hanya terjadi pada

penggunaan lahan untuk permukiman, tetapi juga penggunaan lain seperti

penggunaan lahan untuk sektor perekonomian.

2.2.1 Harga Lahan

Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai

(34)

21 lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market

expression) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya

kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi

pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan

merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan

biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak.

Alonso (1970) juga mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang

yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada

periode waktu tertentu. Definisi tersebut belum secara jelas membedakan antara

harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengaitkan dengan

dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari

beberapa jenis rente Ricardian, rente lokasi atau rente sosial.

Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas

umum akan meningkat. Maka dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya

pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang

dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang diikuti pula oleh meningkatnya

pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat

pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan

memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif

penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan.

2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan

Barlowe (1972) dalam Nuryanti (2006) menjelaskan permintaan terhadap

lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas

(35)

22 Secara ekonomi, permintaan lahan merupakan keinginan dan minat masyarakat

untuk membeli suatu lahan. Penawaran secara fisik adalah keberadaan fisik

sumberdaya tanah, seperti fisik hutan, deposit mineral, tambang atau area dengan

permukaan tanah yang tertutup, unit kepemilikan, dan wilayah administrasi.

Penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan

yang digunakan oleh manusia dan secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan

sehingga ada nilai (value) di atasnya serta menunjukkan keinginan atau minat

untuk menanggung biaya pengembangannya.

Daniel (2002) mengungkapkan bahwa ada dua faktor dalam menentukan

harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran dan faktor pemintaan lahan

tersebut. Berdasarkan faktor penawaran yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut.

Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan

kandungan mineral di dalam lahan tersebut. Berdasarkan perbedaan lokasi lahan,

dapat dilihat aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan

umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya

banjir.

Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan

lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk,

pendapatan, dan ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa

yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan

positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut

maka harga lahan juga akan semakin mahal (Harcrow,1992).

Ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka

(36)

23 sangat dipengaruhi oleh harga, tingkat ketergantungan terhadap harga

mengakibatkan elastisitas harga terhadap penawaran (supply). Bila harga lahan

meningkat secara relatif terhadap biaya, maka orang akan berlomba-lomba untuk

memanfaatkan lahan, dan sebaliknya jika harga lahan turun, maka lahan akan

dibiarkan saja. Hal yang sama akan terjadi pada permintaan lahan (Rony, 1996)

dalam Nuryanti (2006).

Penetapan harga lahan juga dapat ditetapkan secara : (1) land rent

berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari

lahan tersebut, (2) ekonometrika berdasarkan karakeristik lingkungan yang

mempengaruhi di sekitar lokasi lahan, (3) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai

dengan kategori letak lahan (Hasanah, 2004) dalam Nuryanti (2006).

2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan

Nilai suatu lahan berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang

diturunkan dari lahan tersebut. Hasil pertanian dan penyewaan perumahan

merupakan manfaat yang sangat jelas, tetapi akses dari tempat kerja ke pusat

perbelanjaan yang nyaman dan fasilitas-fasilitas lingkungan seperti taman dan

kualitas lingkungan yang baik juga menumbuhkan manfaat penting bagi orang

yang mempunyai hak untuk menggunakan lahan tersebut. Perbedaan lokasi lahan

dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau

harga yang bersangkutan. Lebih konkritnya bahwa semakin bertambah baiknya

lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat (Pearce dan Turner, 1990).

(37)

24

Sumber : Pearce dan Turner, (1990)

Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan

2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential)

Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta

untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar

adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya.

Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana

pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi

nilai paling besar dan sifat negatif diberi nilai paling kecil tetap dipertahankan

dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik biasanya

digunakan dalam menilai sikap konsumen terhadap suatu produk. Misalnya skor

satu untuk menilai produk yang mempunyai kualitas yang sangat buruk sampai

dengan skor lima untuk menilai produk yang sangat bagus.

2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost

Metode yang digunakan untuk mengestimasi penurunan kualitas

lingkungan di sekitar TPAS Galuga adalah dengan menggunakan metode cost of

illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode

tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa Property Price

p’

Slope pp

p

(38)

25 biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka

dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan.

Menurut Champ P. A. (2003) metode biaya kesehatan tidak mengestimasi

surplus konsumen atau harga marginal. Metode biaya kesehatan secara sederhana

berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya

perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau

masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut

akan kesehatan.

Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung

dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi

medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah

biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap

pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya

perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan,

biaya logistik, dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya

tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit

tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien

(pendapatan) yang terkena penyakit tersebut.

Biaya pengganti adalah nilai aset yang didasari oleh biaya untuk

mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti

dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau

diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi.

Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat

(39)

26 berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk

menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar

penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh

biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk

ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai

sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan,

dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai.

2.5 Penelitian Terdahulu

Effendy (2005) melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai

lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Berdasarkan hasil analisis dan

perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai

gas polutan dari ke empat TPA (TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar

Gebang) berada diwilayah ambang batas menurut (Kep-13/MENLH/3/1995) dan

(Kep-50/MENLH/11/1996) kecuali untuk gas amonia (NH3) di TPA Bantar

Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mg/m3 atau 0,02 mg/m3 diatas ambang

baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Pondok Rajeg, Waru

dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku

Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah

standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai

Standar Baku Mutu khusus sampah.

Sutjahjo et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS

dengan pendekatan ‘Zero Waste’ (nir limbah) berbasis partisipasi masyarakat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga

(40)

27 tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola

pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola

cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk

lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan

lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut.

Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status

tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat ‘tercemar ringan’ pada skala 1.

Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi

langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem

drainase/parit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh

besarnya jarak (52%) dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan,

lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat (48%).

Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air

sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur

sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang

Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah

sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui

ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu

Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri

coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada

pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks

41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65

yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara

(41)

28 dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan

perikanan dan pertanian.

Hasil penelitian Silalahi (2008) menunjukkan bahwa faktor yang

berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model

linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke

kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan

NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan

pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan

yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan

(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan semakin

meningkatnya aktivitas produksi dan konsumsi yang berimplikasi terhadap

semakin banyaknya volume sampah yang dihasilkan. Peningkatan volume sampah

berasal dari sampah perumahan atau permukiman, fasilitas umum (sapuan jalan,

terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya), dan industri.

Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor merupakan

salah satu kendala dalam penyediaan TPAS, sehingga melibatkan kota/kabupaten

lain untuk dijadikan TPAS yaitu Kabupaten Bogor. Pengolahan sampah Kota

Bogor dilaksanakan di TPAS Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor.

Volume sampah yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan permintaan

terhadap lahan untuk pengolahan sampah. Bersamaan dengan peningkatan volume

sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk

juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah

ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal

ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman, sehingga

terdapat lingkungan permukiman yang kurang memperhatikan persyaratan

kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang

memilih untuk tetap tinggal di sekitar TPAS Galuga walaupun timbul dampak

negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar TPAS tersebut.

Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga

bedasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis deskriptif,

(43)

30 TPAS Galuga dengan metode cost of illness dan replacement cost. Selanjutnya,

dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS

Galuga menggunakan model regresi berganda dengan bantuan Microsoft Office

Excel 2007 dan minitab 14. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah

penurunan kualitas lingkungan juga dicerminkan oleh harga lahan permukiman di

sekitar TPAS Galuga.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi besarnya nilai

ekonomi akibat keberadaan TPAS Galuga, sehingga dapat memberikan

rekomendasi upaya yang dapat diambil oleh pemerintah Kota Bogor dan

pemerintah Kabupaten Bogor dalam meminimalisir dampak negatif yang

ditimbulkan TPAS tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan

kerangka pemikiran yang dilaksanakan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian

(44)
(45)

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang

Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive)

dikarenakan di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas lingkungan/pencemaran di sekitar TPAS Galuga.

Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.

4.2 Jenis dan Sumberdata

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

skunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara kepada responden.

Adapun yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah data mengenai

kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, besarnya nilai ekonomi

penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta

faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga.

Data sekunder yang digunakan adalah data-data yang terkait dengan

daerah penelitian dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data

skunder ini berupa data timbulan sampah TPAS Galuga, data Desa Galuga, serta

literatur-literatur yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari

kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor serta kantor pemerintahan

lain yang terkait dengan daerah penelitian.

4.3 Penentuan Jumlah Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling),

yaitu sebanyak 60 responden (kepala keluarga) dengan jumlah populasi sebanyak

(46)

33 dipilih sesuai dengan data lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi TPAS.

Menurut Agung (2005), ukuran sampel berdasarkan teorema limit sentral

ditetapkan minimal sebanyak 30 responden.

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang

dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Metode pengumpulan data

dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur, observasi, dan

wawancara terhadap responden. Syarat responden (frame sampling) yaitu, 1)

Responden merupakan kepala keluarga atau yang bertanggung jawab dalam suatu

rumah tangga yang tinggal di sekitar TPAS Galuga, 2) Masyarakat yang menjadi

responden telah tinggal di tempat tersebut lebih dari tiga tahun, berkeluarga, dan

dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar mendapat responden

yang berpengalaman sehingga mendapat informasi yang mendalam mengenai

dampak penurunan kualitas lingkungan terhadap harga lahan di sekitar TPAS

serta, 3) Responden yang dipilih adalah responden yang berada di Kampung

Cimangir (RT 04 dan RT 05), Kampung Sinarjaya (RT 09), dan Kampung Moyan

(RT 10 dan RT 11) karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan TPAS

Galuga.

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualiatif dan

kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan

menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan minitab

14. Pada Tabel 3 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode

(47)

34 Tabel 3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penlitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Deskripsi kondisi lingkungan pemukiman di sekitar TPAS 3 Mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi harga lahan di

4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan

permukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan menggunakan analisis

deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun

suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat

deskripsi, gambaran secara sistematis, aktual dan akurat, mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999).

Data dan informasi yang berasal dari kuisioner diolah dan disajikan dalam

bentuk diagram pie sederhana dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang

sama. Hasil yang diperoleh kemudian dipersentasekan berdasarkan jumlah

responden. Persentase terbesar dari setiap hasil merupakan faktor dominan dari

(48)

35 Selain itu dihitung nilai rata-rata skala perbedaan semantik (semantic

differential) untuk menyimpulkan hasil penilaian responden. Skala perbedaan

semantik untuk penilaian responden terhadap kebersihan digunakan lima nilai

skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat kotor, nilai dua untuk kategori kotor,

nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori bersih, dan nilai

lima untuk kategori sangat bersih. Skala perbedaan semantik untuk penilaian

responden terhadap kondisi air digunakan dua nilai skala, yaitu nilai nol untuk

kategori tercemar dan nilai satu untuk kategori tidak tercemar. Skala perbedaan

semantik untuk penilaian responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga

digunakan tiga nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori tidak baik, nilai dua

untuk kategori cukup, dan nilai tiga untuk kategori baik. Skala perbedaan

semantik untuk penilaian responden terhadap tingkat gangguan digunakan lima

nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat tidak terganggu, nilai dua untuk

kategori terganggu, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori

terganggu, dan nilai lima untuk kategori sangat mengganggu.

4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga diestimasi

berdasarkan biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement

cost), maka dilakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan. Biaya-biaya

tersebut dilihat dari asumsi pertama yaitu, biaya kesehatan akan dikeluarkan oleh

masyarakat di sekitar TPAS Galuga akibat dari mengkonsumsi air sumur dan

menghirup udara di sekitar TPAS Galuga. Kedua, biaya pengganti akan

dikeluarkan oleh masyarakat sebagai akibat dari penggantian konsumsi air karena

(49)

36

1) Cost of Illness

Menurut Dwight et al. (2004) dalam Gita (2010) pendekatan cost of illness

atau biaya penyakit dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian

kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan

fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya

terhadap kesehatan fisik. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya

morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit.

Cost of illness dari opporunity cost, mencakup peluang orang sakit untuk

bekerja tidak dapat direalisasikan, dan currative cost atau biaya pengobatan atau

penyembuhan. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan

penderita lain meliputi perawatan pada rumah sakit, perawatan selama

penyembuhan, obat-obatan, serta biaya transportasi.

Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat

seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung di ukur melalui penggandaan

upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Dengan kata lain, besarnya

biaya penyakit dapat dihitung dengan model sebagai berikut :

= +� … … … …. .…. (1)

dimana :

= biaya penyakit

= hilangnya pendapatan

Gambar

Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data
Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kondisi saat ini pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang diproduksi setiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang ke TPA Bantargebang,

Jenis telur cacing yang ditemukan dan hasil identifikasi pada feses sapi yang digembalakan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Tamangapa Makassar dengan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui kualitas airtanah di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Desa Semali Kecamatan

Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Personal Hygiene dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap Keluhan Kesehatan pada Pemulung di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan

Adapun tujuan lain yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: (1) mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Cipayung terhadap keberadaan TPAS Cipayung, (2) menganalisa

Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Harianja (2006) tentang WTA masyarakat terhadap TPAS Bantar Gerbang Kota Bekasi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA

Skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari pihak-pihak yang ada di sekitar penulis, karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima

PEMBAHASAN Hasil penelitian berdasarkan wawancara indepth interview terhadap ke-12 informan yang terdiri dari 6 pemulung dan 6 staf pengelola TPAS Sarimukti Kecamatan Cipatat