• Tidak ada hasil yang ditemukan

137Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik : 122-

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 138-140)

layaknya orang berkemah. Satu tenda diisi oleh tiga generasi yakni kakek, orangtua dan cucu.

Sebagai penerima lahan 1000 ha, warga SAD Batin 9 berharap mendapat keleluasaan untuk mengelola lahan sawit yang telah secara resmi menjadi milik mereka. Namun kenyataannya, batas antar lahan tidak terdefinisi dengan jelas. Rata-rata penguasaan tanah adalah 1,3 ha yang manajemen-nya berada di bawah koperasi. Lahan 1000 ha rupanya tidak dapat langsung diperoleh oleh warga melainkan harus melalui koperasi. Beberapa ketentuan keanggotaan harus dipenuhi warga sebelum mendapat hak penuh untuk mengelola. Posisi warga penerima lahan sawit 1000 ha saat ini hanya sebagai “penunggu” kebun sawit. Pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari adalah pengumpul berondolan sawit. Kegiatan mengumpulkan brondolan sawit diupah Rp. 300/kg oleh perusahaan. Meskipun secara legal mereka adalah penerima lahan 1000 ha, namun mereka tidak mendapat hak untuk memanen. Kesepakatan yang dibangun antara koperasi dengan warga penerima sejumlah 771 KK adalah warga harus membayar kredit kepemilikan sawit sejumlah Rp. 28 Milyar yang diambil dari panen sawit lahan 1000 ha. Hanya saja, pemanenan dilakukan oleh PT. Asiatic Persada (PT. AP) dan koperasi tinggal menerima perhitungan yang keseluruhan proses dilakukan oleh PT. AP.

Hasil panen dianggap asset oleh keduabelah pihak dan asset harus masuk ke koperasi untuk memudahkan perhitungan. Pengakuan dari ketua koperasi menyatakan bahwa telah terjadi pengurangan asset sehingga dana yang dibagi- kan kepada anggota koperasi makin sedikit. Pengurangan asset diakibatkan oleh banyak hal diantaranya warga tidak menjual sawit yang di- panen kepada perusahaan, melainkan kepada pihak ketiga. Beberapa warga Desa Bungku dite- mukan berstatus sebagai pembeli sawit warga. Salah satu contoh yang ditemukan adalah K- nama samaran. Informan tersebut merupakan

pembeli sawit. Dalam sehari dapat mengumpul- kan sawit sebanyak 10 ton dengan harga beli 800- 950/kg. sawit tersebut akan dijual ke pabrik yang berada di Mersam dengan harga Rp 1350/kg. Selisih harga jual merupakan keuntungan kotor yang diperoleh. Apabila yang terserap hanya 8 ton, maka dalam sehari, penghasilan kotor men- capai Rp. 3.200.000. Akibat banyak sawit yang dijual ke luar pihak perusahaan, panen terakhir yang masuk ke PT. AP hanya 15 ton yang apabila dirupiahkan untuk harga sawit 1200/kg menca- pai: Rp. 18 juta. Nilai 18 juta harus dibagi dua dimana separuhnya harus diberikan kepada PT. AP sebagai bagian pelunasan hutang. Separuh- nya masih harus dipotong untuk administrasi koperasi sejumlah 20% sehingga nilai rupiah yang tersisa adalah Rp. 1.800.000 yang harus dibagikan kepada 771 KK. Inilah mekanisme pengelolaan lahan 1000 ha yang disebut oleh PT. AP sebagai pola kemitraan.

Praktek-praktek penguasaan negara atas sum- ber daya ekonomi rakyat, menjadikan kelompok SAD Batin 9 semakin terpinggirkan. SAD ter- paksa harus kehilangan sumber-sumber peng- hidupan yang pada akhirnya memicu rusaknya tatanan sosial budaya. Keberadaan perkebunan sawit secara tidak langsung telah mencerabut SAD dari sumber penghidupan asal mereka yaitu hutan. Dari perkebunan sawitlah, akhirnya mereka mulai mengembangkan sumber-sumber penghidupan alternatif diantaranya dengan menjadi buruh di perkebunan seperti dapat dili- hat dalam tabel berikut ini:

Tabel. 4. Jenis Pekerjaan di Perkebunan Sawit

(Sumber: data primer, 2011)

No Jenis Pekerjaan Upah

1 Buruh Brondolan Rp. 300/kg 2 Buruh Nyimas

(membersihkan rumput)

Rp. 42.000/hari

3 Buruh pemupukan Rp. 42.000/hari 4 Buruh panen Rp. 100/kg

5 Sopir Rp. 1000.000/bulan 6 Satpam Rp. 1000.000/bulan

Dengan menjadi buruh di perkebunan sawit inilah, sebagian dari mereka bisa memperoleh penghasilan. Selain dari sawit, mereka juga me- miliki mata pencaharian lain seperti: menyadap karet, membuat arang kayu, membuat kusen (tu- kang gesek). Pelibatan SAD Batin 9 dalam sistem perkebunan besar menempatkan petani jauh dari sumberdaya-nya bahkan tidak dapat lagi dika- tegorikan sebagai rumah tangga petani, melain- kan buruh. Dalam sistem produksi perkebunan besar, buruh tidak ada bedanya dengan posisi buruh pabrik. Kelompok ini berada di dalam sistem, memiliki nilai tawar yang tinggi terhadap keberlangsungan sistem produksi namun tidak dapat mengontrol nilai tawar yang dimiliki untuk mendongkrak kesejahteraan mereka. Intervensi perkebunan menggusur karakter warga dalam mengembangkan sistem pencaharian mereka.

Posisi buruh merupakan posisi yang mem- perlihatkan ketidak-berdaulatan mereka atas dirinya. Model yang ditawarkan oleh pemerintah adalah model KKPA yang secara formal sudah ditawarkan melalui MOU Bupati tentang lahan 1000 ha dan pendirian koperasi 771 KK yang ter- gabung dalam plasma. Dalam MOU disepakati bahwa pengelolaan lahan 1000 ha akan dilakukan dengan sistem plasma. Kenyataannya adalah seluruh lahan berstatus sebagai inti. Warga terli- bat hanya sebagai buruh harian lepas. Jam kerja ditentukan dari pukul 07.30-14.00. Terdapat aturan yang menyatakan bahwa karyawan yang bekerja pada kebun sawit milik perusahaan tidak boleh memiliki kebun dengan alasan khawatir pupuk dilarikan ke kebun milik. Tingkat upah yang diberikan tidak sebanding dengan nilai jual komoditas sawit di pasaran dunia.25

Pada kenyataannya, kelompok SAD harus merespon perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dengan menggunakan ukuran-ukuran dan simbol-simbol modernisme. Ketiadaan sumber penghidupan menyebabkan mereka lebih disibukkan dengan urusan mem- pertahankan hidup daripada memikirkan cara untuk meningkatkan pengetahuan ataupun mempelajari perubahan-perubahan yang ada di lingkungan mereka. Potret perubahan kehidupan SAD dapat dicermati dalam tabel berikut ini:

Tabel. 5. Perbandingan Kehidupan SAD sebelum dan sesudah Masuknya Perkebunan

Sawit

(Sumber: Hidayat, 2011)

25Harga tandan buah segar Rp.1000-1900/kg. jika

diasumsikan produksi sawit adalah 3-4 ton/ha/bulan, maka dalam setiap hektar, pendapatan kotor petani sawit akan mencapai Rp. 3 juta -7,6 juta tergantung tingkat harga dan produksi kebun sawit. Angka ini akan sangat timpang apabila dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima

sebesar Rp. 200.000/bulan dari yang seharusnya diterima sebesar Rp. 1,5 juta.

Unsur/ Elemen

Pra-masuknya perkebunan Sawit

Pasca masuknya perkebunan sawit

Lingkungan fisik (sungai)

Sungai menjadi media transportasi penting yang menjadi penghubung antar kelompok SAD. Sungai juga menjadi penyedia nutrisi melalui ikan-ikan yang melimpah dan dapat dikonsumsi setiap saat

Sungai menjadi dangkal dan menyempit. Jumlah ikan berkurang bahkan sulit dijumpai

Tempat tinggal/ Rumah

Tinggal di rumah panggung, beratap ijuk

enau/mengkuang, berdinding kulit pohon yang dikeringkan/jalinan batang bambu muda yang dipotong dan diikat dengan rotan. Rumah-rumah ini dibangun di dekat aliran sungai

Tidak sepenuhnya

mempertahankan model rumah panggung sebagai tempat tinggal. Rumah-rumah dibangun dengan menggunakan arsitektur modern, berdinding tembok, bahkan banyak yang sudah berlantai keramik. Rumah juga tidak dibangun di dekat aliran sungai, namun sudah menyebar Aktivitas

Mata Pencaharian

Berkebun/berladang, mengambil madu dari pohon sialang, mencari ikan di sungai, mengambil durian, memikat ayam hutan, menanam padi ladang dan umbi-umbian

Menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, menyadap karet di perkebunan-perkebunan milik masyarakat

Struktur kepemimpi nan adat

Mengenal sistem pangkat dan gelar yang mempunyai fungsi sosial dalam mengatur keseharian hidup orang Batin IX

Struktur kepemimpinan adat sudah tidak dijalankan lagi. Sebutan gelar masih ada tapi sudah tidak berfungsi sebagai pimpinan adat

Interaksi Sosial

Terjalin dengan baik, saling mengenal satu dengan yang lain, ikatan kekeluargaan kuat

Benih-benih individualisme mulai tumbuh akibat penetrasi kapitalisme yang masuk melalui budaya konsumerisme Kepemilikan

tanah

Kepemilikan tradisional – membuka ladang dengan menebang pohon di hutan. Semakin banyak menebang hutan, semakin luas kepemilikan tanahnya

Pemilikan tanah mengacu pada sistem legalitas formal

139

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 138-140)

Garis besar

Dokumen terkait