• Tidak ada hasil yang ditemukan

117M Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut : 96-

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 118-120)

Jika kita melihat pada struktur “modal” dan kuasa yang bermain di Meranti dan sekitarnya, sedikitnya ada empat kelompok yang memiliki interest. Pertama, kekuatan modal keturunan Tionghoa yang sudah bercokol puluhan tahun. Kelompok ini masuk pada basis kebutuhan dasar masyarakat Meranti, seperti transportasi darat dan laut, kebutuhan pokok, dan sebagian usaha perkebunan; kedua, kelompok pemain besar yang berafiliasi dengan kekuatan lokal melaku- kan eksploitasi hutan alam dan kayu; ketiga keku- atan asing, hal ini selalu dilihat sebagai para pegusaha Malaysia dan Singapura yang tidak pernah menggunakan langsung tangannya, tetapi memilih jalur aman memainkan relasi gelap di bisnis illegal logging dan kebutuhan dasar masyarakat Meranti; dan terakhir adalah kekuatan birokrasi dan politisi lokal. Kelompok ini bahkan masuk pada semua lini dalam me- mainkan isu sekaligus pelaku kebijakan. Kita mafhum bahwa sejak reformasi, biaya politik sangat tinggi dan para politisi harus mengerah- kan semua modal untuk menuju kursi kekuasa- an. Tiga eleman modal menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga memunculkan persoalan yang menahun sekaligus sebuah kekuatan dan isu yang bisa dipelihara dan dimainkan.

Saat RAPP mendapat izin konsesi HTI di Pulau Padang, beberapa analis melihat ada peta per- saingan antara perusahaan besar dengan para pemain kecil dan pelaku Illegal Logging yang bertahun-tahun mensuplai beberapa perusahaan di Malaysia.47 Sempat muncul isu bahwa gerakan masyarakat Pulau Padang di dukung oleh para pelaku illegal logging dan beberapa perusahaan Malaysia. Orang sudah faham bahwa pencurian kayu di Meranti sudah lama terjadi dan pejualan kayu illegal ke Malaysia sudah berlangsung

puluhan tahun. Kondisi geograf is wilayah ini sangat mendukung, di samping dekat dengan Malaysia, pulau-pulau di Meranti sangat banyak anak sungai (jalur tikus) yang begitu mudah bagi beberapa pelaku kejahatan dan pencurian kayu untuk kabur dari penglihatan dan kejaran aparat kemanan. Tentu kita memahami kemampuan aparat penegak hukum kita dan sadar pula dengan perilakunya, sehingga sekalipun tertang- kap, jarang yang tidak dilepas. Dikalangan mereka sudah menjadi rahasia umum, saat tertangkap harus menyiapkan segepok rupiah untuk lepas dari seretan ke meja hijau.

Ekspansi RAPP ke Pulau Padang, Rangsang, dan Tebing Tinggi memperjelas ada beberapa pemain di wilayah ini yang kehilangan kesem- patan dan terdesak, khususnya para pelaku ille- gal logging. Wilayah yang selama ini dikenal di sekitar sekitar Desa Selatakar, Kudap, Lukit (Pulau Padang) dan Pulau Rangsang Barat- Timur dan sekitarnya adalah wilayah pengua- saan para pengusaha kelas sedang dan kecil yang mensuplai kayu ke Malaysia. Dan kini mereka terdesak oleh perluasan eksploitasi RAPP di wilayah tersebut. Dugaan ini sebenarnya tidak terlalu kabur, karena persoalan illegal logging antara pelaku-pelaku pembabat hutan alam di Riau telah lama mengirim kayu tersebut ke Ma- laysia.48 Beberapa sarjana Indonesia yang sedang studi di Malaysia pernah secara serius mendis- kusikan hal tersebut di Malaysia, dan banyak elite-elite Malaysia mengakui hal tersebut, namun Malaysia tidak mau dipersalahkan begitu saja, sebab banyak dari para tentara dan pelaku bisnis Indonesia yang menyeret-nyeret pengusaha

47 “Cukong Malaysia Bekingi Illegal Logging di

Riau?”. http.www.okezone.com. 2 Juni 2012. Diakses tanggal 11 Maret 2013.

48 Bahkan beberapa anggota DPR sempat mensinyalir

hal tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa karena Malay- sia yang hutannya jauh lebih sedikit dibanding Indonesia justru mereka mengekspor kayu lebih besar dibanding In- donesia. Pertanyaannya dari mana kayu itu diperoleh Ma- laysia? Ibid.

Malaysia untuk terlibat dalam perdagangan ilegal tersebut.49

Akhirnya, kita harus melihat Illegal Logging adalah bagian dari persoalan-persoalan agraria yang muncul ke permukaan sebagai aksesoris persoalan besarnya. Persoalan utama yang men- dasar adalah konflik agraria yang terus menga- lami peningkatan dari tahun ke tahun. Seolah tak menemukan solusi, negara kehilangan ruh untuk menyelesaikan dan meminimalisir berba- gai persoalan. Dalam catatan banyak pemerhati dan peneliti agraria di Riau, laju konflik seban- ding dengan laju luas wilayah konflik dan jum- lah rumah tangga konflik. Akan tetapi tidak signif ikan jumlah perusahaan yang terlibat dalam konflik. Artinya, para “pemain” yang ter- libat dalam konflik masih kelompok usaha lama yang selama ini terlibat secara serius di wilayah tersebut. Dalam analisis konflik dan pelaku tidak menunjukkan perkembangan yang luar biasa, tetapi sungguh menimbulkan dampak yang begi- tu besar. Oleh karena itu tindakan hulu dari akar persoalan mesti menjadi prioritas dari kebijakan agraria Indonesia ke depan.

C. Kesimpulan

Konflik dan ketegangan dalam persoalan agraria di Riau sejak tahun 2011 mengalami perubahan. Jika sebelumnya konflik didominasi pada lahan perkebunan, khususnya perkebunan sawit, kini konflik beralih pada hutan tanaman industri. Sebenarnya dua lahan itu tidak bisa dipisahkan karena sebenarnya mayoritas lahan perkebunan di Riau sebelumnya juga hutan alam yang telah dihabisi. Pada periode 1990-an, pembukaan hutan secara luas dan mengalihkan lahan tersebut ke sawit memunculkan persoalan

yang panjang. Konflik di lahan tersebut banyak yang tidak terselesaikan sampai akhirnya banyak warga tempatan mengalah karena memang tidak mampu melawan tindakan korporasi. Mereka lebih memilih pindah dan beralih profesi karena tidak sanggup untuk bertahan.

Tahun 2000-an hal yang sama kembali terjadi pembukaan lahan secara luas terjadi akibat kebi- jakan negara yang mendukung penuh perusa- haan pulp and paper di Riau. Dengan belajar model yang terjadi pada tahun 1990-an, tampak- nya persoalan yang sama akan terjadi pada tahun- tahun mendatang. Saat ini, pemerintah mendu- kung secara penuh dengan memberikan izin- izin konsesi kepada perusahaan untuk melaku- kan eksploitasi hutan alam, pada gilirannya setelah kayunya habis, maka akan banyak menyusul izin baru, baik untuk lahan perke- bunan maupun tanaman industri.50 Berkaca dari persoalan tersebut, penulis meyakini jika mereka gagal memanfaatkan lahan untuk kepentingan tanaman industri, maka akan dialihkan ke perkebunan dan sawit menjadi prioritas utama. Gerakan perlawanan petani dan warga Pulau Padang sampai pada titik jenuh, karena kekuatan modal mereka untuk melawan kini sudah “habis”. Apa yang diyakini dalam collective ac- tion-Tilly sebenarnya menunjukkan kejelasn

49 Diskusi dengan Abdul Halim Mahally, Kandidiat

Doktor di University Kebangsaan Malaysia. Pernyataan ini keluar dari beberapa elite Malaysia dalam rangka menekan perdagangan ilegal kayu-kayu dari Riau.

50 Sempat terjadi moratorium pemberian izin untuk

pembukaan lahan hutan tanaman industri selama satu tahun, namun pada tahun 2013 kembali dibuka. Pada kaus Pulau Padang yang sebelumnya sempat terjadi pengehntian sementara justru kini sudah dibuka kembali, dan RAPP sudah beroperasi kembali di Pulau Padang, lihat Khairul Hadi, “Riau akan Semakin Sering Dilanda Banjir dan Kekeringan”. 10 Mei 2013. www.goriau.com. Diakses pada tanggal 14 Mei 2013. Lihat juga hasil mediasi yang dibentuk oleh pemerintah, namun tak juga dilaksanakan, “Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. (SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011)”, (Ex- ecutive Summary). Dokumen tidak dipublikasikan.

119

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 118-120)

Garis besar

Dokumen terkait