• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil 1.Teori Agensi

5. Earning Management

Earning management merupakan isu yang paling sering diteliti di bidang akuntansi dan manajemen keuangan. Hal ini disebabkan karena keuntungan perusahaan merupakan dasar untuk keputusan alokasi sumber daya perusahaan secara ekonomi. Kondisi ini mendorong manajer perusahaan untuk memanipulasi atau mengelola pendapatan perusahaan untuk transfer kekayaan dan keuntungan lainnya (Hettihewa, 2003 dalam Fivi dan Ira, 2008:27). Menurut, Scott (2000) dalam Fivi dan Ira (2008:27), earning management adalah suatu cara penyajian laba yang disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan oleh manajer, melalui pemilihan suatu set kebijakan akuntansi atau melalui pengelolaan akrual.

30 akuntansi sehingga tujuan manajemen dapat dicapai. Dari definisi tersebut, terdapat dua sudut pandang dalam earning management, yaitu:

a. Earning management dipandang sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dengan maksimisasi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik.

b. Earning management dipandang sebagai efficient contracting, dimana manajemen laba memberi manajer fleksibilitas untuk melindungi perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak terduga dan untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Hal ini sesuai dengan pendapat Healy dan Wahlen (1999) dalam Fivi dan Ira (2008:27), earning management terjadi ketika manajemen menggunakan judgement dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan

stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan. a. Faktor-faktor pendorong Earning Management

Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya earning management (Watt dan Zimmerman, 1986 dalam Fivi dan Ira, 2008:27), yaitu:

1) Bonus Plan Hypothesis

Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang menggunakan

bonus plan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan, untuk memaksimalkan bonus yang akan mereka

31 peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Dengan demikian, diperkirakan bahwa manajer dari perusahaan dengan kebijakan bonus plan, akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang akan meningkatkan laba tahun berjalan.

2) Debt Covenant Hypothesis

Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran kredit cenderung memilih metoda akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.

3) Political Cost Hypothesis

Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya mengenakan peraturan

antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain. Fleksibilitas dalam Standar Akuntansi Keuangan, menyebabkan manajemen dapat melakukan tindakan manajemen laba, dengan memilih kebijakan akuntansi yang dapat menguntungkannya. Penentuan nilai persediaan, pengakuan pendapatan peranti lunak dan umur amortisasi

goodwill merupakan beberapa contoh dari banyak pilihan kebijakan akuntansi dan pilihan keputusan estimasi yang memberi fleksibilitas/keleluasaan bagi perusahaan dalam mencatat transaksi dan

32 dalam penyusunan laporan keuangan. Adanya fleksibilitas ini membuat manajemen bisa “kreatif” dalam penyusunan laporan keuangan dan memainkan angka-angka keuangan (Mulford dan Comiskey, 2010:33).

Dasar akrual disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan, karena lebih rasional/wajar dibandingkan dasar kas/tunai. Akrual adalah pengaruh dari suatu kejadian usaha langsung diamati pada saat terjadinya. Jika suatu usaha memberikan suatu jasa, melakukan penjualan atau menyelesaikan suatu beban, transaksi tersebut akan dicatat di dalam buku tanpa memperhatikan apakah kas sudah dikeluarkan atau belum (Secokosumo et al., 1993 dalam Fivi dan Ira, 2008:28). Sedangkan menurut Weygant (1995) dalam Fivi dan Ira (2008:28) akrual adalah mengakui dampak transaksi terhadap laporan keuangan dalam periode waktu ketika pendapatan dan beban terjadi, oleh sebab itu, pendapatan diakui pada waktu dihasilkan dan beban pada waktu terjadi, tidak perlu waktu kas berpindah tangan.

Pada dasarnya, akrual itu penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang sahih. Tetapi bisa jadi sebagian dari akrual yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan bukan akrual yang menjadikan laporan keuangan sahih tetapi akrual yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi keputusan stakeholder. Oleh karena itu, akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan

33

(discretionary accrual) (Fivi dan Ira, 2008:29). Discretionary accrual

memberikan manajer fleksibilitas untuk menentukan besarnya transaksi akrual, seperti penentuan pencadangan piutang tak tertagih, biaya garansi, nilai persediaan, dan penentuan saat serta jumlah extraordinary items.

Sehingga discretionary accrual ini seringkali digunakan sebagai proksi dilakukannya manajemen laba. Sementara itu, nondiscretionary accrual

meliputi pemilihan metode akuntansi akrual oleh manajer yang diharapkan akan digunakan secara konsisten dalam menyajikan laporan keuangan. Contohnya adalah pemilihan metode depresiasi dan kebijakan akuntansi untuk pengakuan pendapatan.

Skandal akuntansi, seringkali diawali dengan tindakan manajemen laba. Seperti kasus skandal pelaporan akuntansi Enron, Merck, World Com dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al., 2006 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007:2). Fenomena kecurangan laporan keuangan dan manajemen laba di Indonesia, terjadi pada kasus PT Kimia Farma Tbk., dan PT Lippo Tbk., pada tahun 2002 mengindikasikan adanya praktik manajemen laba yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi laba. PT Kimia Farma Tbk., pada tahun 2002 mengindikasikan adanya praktik manajemen laba dengan menaikkan laba hingga Rp 32,7 miliar. Manajemen laba tersebut diduga terkait dengan keinginan manajemen lama untuk dipilih kembali oleh pemerintah guna mengelola perusahaan farmasi tersebut. PT Indofarma pada tahun 2004 melakukan praktik manajemen laba dengan menyajikan overstated (lebih saji) laba bersih

34 senilai Rp 28,870 miliar, sebagai dampak dari penilaian persediaan barang dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok penjualan tahun tersebut understated (kurang saji). Targetnya adalah menaikkan laba (Bapepam, 2004 dalam Avianti, 2006:829).

Berbagai fakta dan teori yang telah diuraikan di atas mengindikasikan bahwa terdapat hubungan erat antara earning management dan financial statement fraud. Pernyataan tersebut diperkuat kembali oleh Rezaee (2002:7) yang menyatakan bahwa:

“suatu financial statement fraud sering diawali dengan salah saji atau

manajemen laba dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak material tetapi akhirnya berkembang menjadi fraud secara besar-besaran dan menghasilkan laporan keuangan tahunan yang menyesatkan secara material”.

Berdasarkan uraian di atas, sangat relevan bila penelitian untuk mendeteksi financial statement fraud diproksikan dengan earning management yang dilakukan perusahaan. Hal ini diperkuat oleh Hogan et al., (2008:17) manajemen laba terjadi dimana manajemen memiliki pilihan kebijakan (discretionary) dengan tingkat akrual yang signifikan dan tidak biasa sebagai area dengan risiko tinggi. Area dengan risiko tinggi ini, apabila ditambah prosedur audit spesifik akan meningkatkan pendeteksian kecurangan. Penelitian lainnya yang mendukung penggunaan earning management sebagai proksi dari pendeteksian kecurangan laporan keuangan dilakukan oleh Jones et al., (2007). Penelitian ini menguji apakah ukuran-ukuran discretionary accrual berhubungan dengan keberadaan kecurangan. Hasilnya, discretionary accrual memiliki

35 probabilitas tertinggi dalam hal hubungan dengan kecurangan (fraud)

(Jones et al., 2007:21). 6. Leverage

Leverage adalah utang sebagai sumber dana yang digunakan untuk membiayai asset perusahaan diluar sumber dana modal atau ekuitas

(Sam’ani, 2008:49). Leverage diartikan sebagai seberapa jauh perusahaan

menggunakan pendanaan melalui utang. Dalam penelitian ini, leverage

adalah perbandingan antara utang dan aktiva. Ukuran ini berhubungan dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan utang (Agnes, 2001:93). Tingkat utang yang tinggi dapat meningkatkan probabilitas kecurangan laporan keuangan karena adanya perpindahan risiko dari pemilik modal dan manajer kepada kreditor (pemberi pinjaman) (Spathis, 2002:184). Manajemen dapat memanipulasi laporan keuangan untuk memenuhi perjanjian utang. Leverage memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan. Hal ini berarti bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan (Spathis, 2002:188). Oleh karena itu, leverage dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Brazel et al., (2009:1152) yang menggunakan variabel leverage sebagai proksi dari financial distress

36 memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan kecurangan dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami tekanan keuangan.

Tingkat leverage yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan melakukan kecurangan laporan keuangan saat mengalami tekanan keuangan (financial distress), hal ini memberi motivasi bagi manajemen untuk melakukan kecurangan (Spathis, 2002:188). Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi akibat besarnya jumlah utang dibandingkan dengan jumlah aktiva yang dimiliki perusahaan, diduga melakukan earning management karena perusahaan terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya. Perusahaan akan berusaha menghindarinya dengan membuat kebijaksanaan yang dapat meningkatkan pendapatan maupun laba. Dengan demikian akan memberikan posisi bargaining yang relatif lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang utang perusahaan (Jiambalvo, 1996 dalam Agnes, 2001:93).

Dokumen terkait