TINJAUAN PUSTAKA
2.9. Eceng Gondok ( Eichhornia Crassipes (Mart) Solm )
Eceng gondok adalah tumbuhan air yang mengapung (floating) dan termasuk dalam phylum Spermathophyta kelas Monocotyledone, ordo Liliaceae,
famili Pontederiaceae, genus Eichornia crassipes (Mart) Solm (Gopal, 1981). Eceng gondok pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di sungai Amazon Brasil (Goldfrey, 2000). Tumbuhan ini telah menyebar keseluruh daerah sub tropis dan menjadi salah satu tumbuhan yang menjadi perhatian karena memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini di anggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan dan dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Eceng gondok masuk ke Indonesia pada tahun 1894 di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias dan penutup kolam ikan.
Penyebaran yang luas keseluruh dunia menyebabkan berkembangnya nilai tumbuhan ini. Di Myanmar dikenal dengan nama „Beda bin‟ atau “Ye padauk”. Di
Kamboja di sebut dengan „Kamplauk‟, di Vietnam dikenal dengan istilah ‟Lucbinh‟ dan di Malaysia dikenal dengan nama „Keladi bunting‟. Eceng gondok bukan hanya sebagai tanaman hias untuk kolam, namun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kertas, kompos, biogas, kerajinan tangan, sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang dan sebagainya. Di berbagai negara seperti Jerman, Amerika, Australia, Inggris, China, Chech, dan Egypt, eceng gondok digunakan untuk mengolah limbah domestik dan limbah cair industri seperti limbah pabrik kertas, tekstil, industri, karet, industri kimia dan pabrik kelapa sawit (Kurniadie, 2002).
Pertumbuhan yang cepat dan kerapatan eceng gondok yang tinggi menyebabkan tumbuhan ini di anggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Gangguan ini bisa dirasakan secara langsung atau tidak langsung terhadap pemanfaatan perairan secara optimal, untuk itu diperlukan penanganan yang tepat agar dampak postifnya tetap dapat berfungsi dengan baik (Kurniadie, 2002).
Banyak penelitian yang telah melaporkan kemampuan tanaman air dalam menyerap dan mengakumulasi logam berat. Eceng gondok (Eichernia crassipes (Mart) Solm) merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat (Ingole, 2003). Banyak peneliti yang tertarik pada potensi tumbuhan ini karena eceng gondok merupakan tanaman dengan toleransi tinggi, dapat tumbuh baik dalam limbah, pertumbuhan- nya cepat dapat menyerap dan mengakumulasi logam dengan baik dan dalam waktu singkat. Eceng Gondok juga dapat menurunkan nilai Biologycal Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solid (TSS) dan Chemical Oxygen Demand
(COD) limbah cair (Zayed et al. 1998). Zhu (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa eceng gondok mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa logam berat seperti Cd, Cr, Cu, As, Ni dan Se.
2.9.1. Biologi Eceng Gondok
Eceng gondok memiliki daun berwarna hijau yang licin berkilat, bentuknya bulat dan lebarnya 2-5 inci. Memiliki bunga berwarna ungu dan memiliki garis kuning pada bunga yang besar. Berkembang biak secara generatif
(seksual) dan vegetatif (aseksual). Perkembang biakan secara vegetatif lebih umum daripada generatif. Induk eceng gondok memperpanjang stolonnya kemudian tumbuh anaknya di ujung stolon. Eceng gondok berakar serabut yang tidak bercabang. Akarnya memproduksi sejumlah besar akar lateral yaitu 70 buah/cm. Panjang akar bervariasi mulai dari 10-300 cm (Godfrey, 2000).
Pertumbuhan eceng gondok memerlukan cahaya yang cukup. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 27-30oC. Pada daerah tropik tumbuhan ini dapat berkembang dengan baik. Pertumbuhan terhenti pada suhu dibawah 10oC atau suhu diatas 40oC dan akan mati pada suhu dibawah 0 oC atau 45 oC dalam waktu 48 jam. Faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan eceng gondok adalah pH. Kisaran pH optimum untuk pertumbuhannya aldalh 6-8. Pada pH 4 tumbuhan ini lebih banyak menyerap unsur P (phospor) dan pada pH 7 lebih banyak menyerap unsur N (nitrogen) dan unsur K (kalium) (Gopal, 1987). Gambar 3 adalah gambar tanaman eceng gondok dan Gambar 4 adalah gambar morfologi eceng gondok.
Gambar 4 Morfologi eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) solm) (Godfrey, 2000).
Keterangan: B = Helai daun (leaf blade); F = Pengapung (float); FI = Bunga (flower); I = Leher daun (isthmus); L = Ligula (ligulae); R= Akar (root).
2.9.2. Eceng Gondok dalam Pengolahan Limbah
Cara untuk menghilangkan polutan dari limbah domestik dan industri telah dikembangkan metode dengan menggunakan tanaman air. Beberapa tanaman yang telah dilakukan penelitian sebelumnya dan didapatkan hasil bahwa yang memiliki potensi terbesar untuk digunakan dalam pengendalian pencemaran air adalah jenis hyacinth (Eichhornia crassipes (Mart) Solm). Hyacinth air memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat dan mempunyai kemampuan untuk mengakumu- lasi nutrisi dan air limbah yang mengandung racun (Gupta et al. 1988).
Menurut Orth (1988) bahwa jenis tanaman yang disenangi untuk kolam limbah di negara berkembang adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solm ). Hal ini diawali dari penemuan Dymond (1948) dalam Gopal (1987 ) yang menyatakan bahwa eceng gondok dapat tumbuh di dalam air limbah domestik dan limbah industri yang mengandung unsur N dan P yang cukup tinggi.
Eceng gondok memiliki potensi untuk mengolah limbah domestik dan limbah industri. Eceng gondok merupakan biofilter yang dapat dengan menyerap logam berat seperti timbal, kadmium, merkuri, dan nikel dalam jumlah tinggi tanpa menunjukkan tanda-tanda toksisitas (Wolverton & Mc.Donald 1979). Hasil penelitian sebelumnya mengatakan bahwa eceng gondok mampu menyerap dan mengakumulasi berbagai logam berat seperti besi, mangan, seng, aluminium,
kadmium, timah, merkuri, nikel, perak, kobalt, strontium, kromium dan tembaga. Bahkan platinum ditemukan pula terakumulasi dalam jaringan (Gopal, 1987).
Kemampuan eceng gondok sebagai biofilter adalah dengan adanya mikroba rhizosfera pada akar dan di dukung oleh daya adsorpsi serta akumulasi yang besar terhadap bahan pencemar tertentu, maka dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengendali pencemaran di perairan (Marianto, 2001). Bahan-bahan organik maupun anorganik termasuk logam berat yang terlarut di dalam air dapat di reduksi oleh mikroba rhizosfera yang terdapat pada akar eceng gondok dengan cara menyerapnya dari perairan dan sedimen kemudian mengakumulasikan bahan terlarut ini ke dalam struktur tubuhnya (Suriawiria, 1993). Akan tetapi jika kehadiran eceng gondok sudah melebihi ambang batas yang dapat di tolelir oleh lingkungan perairan, maka justru akan mencemari lingkungan tersebut.
Eceng gondok dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran air karena kemampuannya dalam mengakumulasi logam berat dalam tubuhnya (bio-akumulator). Kemampuan eceng gondok ini karena pada akarnya terdapat mikroba rhizosfera yang mengakumulasi logam berat. Menurut Surawiria (1993) bahwa mikroba rhizosfera adalah bentuk simbiosis antara bakteri dengan jamur, yang mampu melakukan penguraian terhadap bahan organik maupun anorganik yang terdapat dalam air serta menggunakannya sebagai sumber nutrisi.