• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Kinetika Adsorpsi

2.5.6. Mekanisme Absorpsi Logam Berat oleh Kijing Taiwan

Mekanisme penyerapan logam berat oleh kijing taiwan adalah berdasarkan pada sifat kijing taiwan sebagai filter feeder yaitu sistem metabolisme dan pernapasannya menyatu sehingga mampu menyaring partikel yang berukuran antara 0,1 sampai 50,0 µm dari badan air, selanjutnya pada ukuran partikel > 4,0 µm mampun menyaring hingga 100%. Karena sifat tersebut maka kijing taiwan digunakan sebagai pembersih perairan (Kadar, 1997).

Alat pencernaan kijing berturut-turut terdiri dari mulut yang tidak berahang atau bergigi, sepasang labial palps yang bercilia, oesofagus, lambung, usus, rektum, dan anus. Selain alat pencernaan, di dalam tubuh kerang terdapat pula hati yang menyelubungi dinding lambung, ginjal, pembuluh darah, dan pembuluh urat saraf. Kijing atau kerang air tawar tergolong filter feeder, yaitu hewan yang memperoleh makanan dengan cara meyedot air. Volume air yang dapat disaring oleh kerang adalah 2,5 liter per individu dewasa per jam. Air masuk ke dalam mantel melalui bagian bawah inhalant siphon (alat penyedot) terus mengalir menuju insang dan keluar lagi melalui bagian atas inhalant siphon. Partikel makanan akan ikut bersama air berlindung dalam lendir, sebelum dikirim ke mulut. Pada bagian itu, partikel makanan akan di pilih. Partikel kecil akan lolos masuk ke dalam oesophagus, lalu ke dalam usus. Sedangkan partikel besar akan

keluar lagi bersama air melalui inhalant siphon (Salman & Southgate 2005). Makanan yang masuk bersama air tadi digerakkan, diperas, lalu di cerna dengan bantuan cilia (rambut getar) pada tubuhnya. Cilia mampu bergerak 2-20 kali per detik.

Sifat kebanyakan ikan yang sangat agresif menangkap makanan, namun kerang air tawar bersifat sangat pasif. Kerang air tawar tidak dapat berenang seperti ikan, oleh sebab itu makanan yang masuk ke dalam kerang air tawar sangat tergantung kepada kondisi perairan yang ditempatinya. Perairan yang subur dapat memberikan sumbangan makanan yang cukup bagi kerang air tawar. Makanan itu akan di pilih sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Pada perairan ini hewan itu akan tumbuh cepat. Sebaliknya, perairan yang kurang subur tidak dapat memberikan sumbangan makanan yang cukup bagi kerang air tawar, sehingga pertumbuhannya akan lambat (Moorkens, 1999).

Jenis dan ukuran makanan yang masuk sangat tergantung pada umurnya. Saat larva, kerang air tawar memakan organisme yang berukuran sangat kecil, beberapa mikron, seperti bakteri, detritus, mikro organisme hijau dan organisme tak berwarna. Menjelang dewasa menangkap makanan berukuran lebih besar, termasuk diatomae, macam-macam protozoa, kepingan plankton dan organisme lainnya (Beran, 1997).

2.6. Adsorben

Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari suatu fase fluida. Kebanyakan adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori-pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu, oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada permukaan luar dan bisa mencapai 2.000 m2/g. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya (Mc. Cabe et al. 1999).

Menurut Suzuki (1990), adsorben yang digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar dan non polar.

1. Adsorben polar di sebut juga hydrophilic.

Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit.

2. Adsorben non polar di sebut juga hydrophobic.

Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon aktif. Menurut IUPAC (Internasional Union of Pure and Applied Chemical) ada beberapa klasifikasi pori yaitu :

a. Mikropori : diameter < 2nm b. Mesopori : diameter 2 – 50 nm c. Makropori : diameter > 50 nm

Menurut Mulyati (2006), beberapa karakteristik yang harus dipenuhi oleh adsorben untuk dapat menjadi adsorben komersial adalah sebagai berikut:

(1) Memiliki luas permukaan yang besar per unit massa sehingga kapasitas adsorpsinya tinggi.

(2) Ketahanan struktur fisik yang tinggi.

(3) Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun. (4) Tidak terjadi perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan desorpsi.

(5) Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi.

(6) Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat (Suzuki, 1990).

2.7. Adsorbat

Adsorbat adalah substansi dalam bentuk cair atau gas yang terkonsentrasi pada permukaan adsorben. Adsorbat terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok polar seperti air dan kelompok non polar seperti metanol, etanol dan kelompok hidrokarbon (Suzuki, 1990).

Karbondioksida merupakan jenis adsorbat yang sesuai digunakan untuk adsorben jenis hidrofobik seperti karbon aktif. Karbondioksida merupakan persenyawaan antara karbon dengan oksigen. Pada kondisi tekanan dan temperatur atmosfir, karbondioksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak reaktif, tidak beracun dan tidak mudah terbakar (non flammable). Pada kondisi triple point, karbondioksida dapat berupa padat, cair ataupun gas

bergantung pada kondisinya. Karbondioksida berada pada fase padat pada temperature 109 oF (-78,5 oC) dan tekanan atmosfir akan langsung menyublimasi tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Pada tekanan dan temperatur di atas triple point dan di bawah temperatur 87,9 oF (31,1oC) maka karbondioksida cair dan gas akan berada pada kondisi kesetimbangan.

Dalam proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-tom, ion-ion atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya (Microsoft, 2000) yang melibatkan ikatan intramolekuler di antara keduanya (Osmonics, 2000). Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna dan logam (Kadirvelu & Namasivayam 2003).

Cheremisinoff dan Ellerbusch (1978) dalam Pari (1995) mengatakan bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik (physisorption) dan adsorpsi secara kimia (chemisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi karena perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Waals) sehingga molekul-molekul adsorbat secara fisik terikat pada molekul adsorben. Jenis adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda (multi layer) dalam hal ini tiap lapisan molekul terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar konsentrasi kontaminan dalam suatu larutan maka makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada adsorben. Adsorpsi fisik ini bersifat dapat balik (reversible) yang berarti atom-atom atau ion-ion yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang sesuai dengan sifat ion yang diikat. Sedangkan adsorpsi secara kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang kuat dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi pengaktifan sehingga untuk melepaskannya diperlukan pula energi yang besarnya relatif sama dengan energi pembentukan.

Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi adalah peristiwa molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (di sebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar dan sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori adsorben (di sebut difusi internal).

2.8. Kitosan

Kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi udang semakin bertambah, sehingga juga menimbulkan meningkatnya jumlah limbah udang. Meningkatnya jumlah limbah udang ini merupakan masalah yang perlu di carikan upaya-upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat poli-elektrolitik (Hirano, 1986). Kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein dan lemak, oleh karena itu kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri farmasi dan kesehatan (Muzzarelli, 1986).

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40 %), kalsium karbonat (45 % - 50 %), dan kitin (15 % - 20 %), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60 % - 23,90 %), kalsium karbonat (53,70 % - 78,40 %), dan kitin (18,70 % - 32,20 %), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah di pilih dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah (Focher et al. 1992).

Proses isolasi kitin dan kitosan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses isolasi kitin dan kitosan dari bahan baku rajungan menggunakan metode enzimatik khususnya pada tahap deproteinisasi. Faktor-faktor tersebut berupa konsentrasi enzim, pH dan suhu proses. Perlakuan terbaik pada penelitian tahap I adalah konsentrasi enzim 3 % yang memiliki parameter kadar protein 29,5 % dan rendemen 14,15 %. Pada kombinasi perlakuan terbaik pada penelitian tahap II dihasilkan pada perlakuan pH 7,0 dan suhu 60 oC yang memiliki parameter

sebagai berikut: kadar air 1,76 %, kadar abu 0,21 %, viskositas 64,50 cps, kadar protein 13,88 %, derajat deasetilasi 7,69 % dan rendemen 15,13 %. Hasil penelitian terbaik dimanfaatkan sebagai bahan pengkoagulasi limbah cair

precooking tuna kaleng. Komposisi koagulan yang dihasilkan adalah kadar air 17,25 %, kadar lemak 2,54 %, kadar protein 69,90 % dan hasil koagulan 8,26 % (Hartati et al. 2002).

Isolasi kitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleaching) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi (Ferrer et al. 1996 ).

Kitosan yang di sebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder. Gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Tokura & Nishi 1995).

Kitosan mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun dan merupakan flokulan, koagulan yang baik serta pengkelat logam. Kitosan telah digunakan bersama-sama dengan bahan-bahan polimer perdagangan PA 322 dan PN161, serta diperoleh bahwa penambahan 1 % larutan kitosan dan polimer tersebut ternyata mempengaruhi penurunan kekeruhan, bentuk padatan sementara (suspended solid), COD, dan kandungan krom. Penggunaan 1% larutan dalam waktu penyelesaian 90 menit memberikan hasil yang terbaik, yaitu mengurangi 98,8 % kekeruhan dan 97,9 % bentuk padatan, 84 % COD, serta 100 % kandungan khrom (Hartanto et al. 2003). Gambar 2 adalah struktur kima kitin dan kitosan.

Gambar 2 Transformasi kitin menjadi kitosan (Habibie, 2000).

Gambaran reaksi pelepasan gugus asetil pada kitin sehingga mengalami transformasi menjadi kitosan dapat diamati dalam Gambar 2 tersebut, yang menggambarkan bahwa kitin dihasilkan masih banyak mengandung gugus asetil yang terikat kuat. Gugus asetil tersebut banyak terlepas dari ikatannya setelah dilakukan proses deasetilasi dengan basa kuat. Jika di lihat dari konformasi strukturnya maka struktur kitosan memiliki gugus amida yang lebih terbuka di luar dan lebih mudah untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya karena tidak terhalangi oleh gugus asetil (Habibie, 2000).

Kitosan memiliki gugus amida yang lebih terbuka di luar dan lebih mudah untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya karena tidak terhalangi oleh gugus asetil. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dan asumsi bahwa aktivitas kitosan akan semakin meningkat sering dengan semakin banyaknya gugus asetil yang terlepas sehingga gugus amida semakin bebas untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya (Darmawan, 2007).

Dokumen terkait