• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 1 Daerah Aliran Sunga

2.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu

2.1.2.2 Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sunga

Pengertian kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat

berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al. (2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.

Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS.

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab, secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan.

Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat;

2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa: 1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran;

2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan

3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek;

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran; dan

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan bagi pelaksanaan proyek selanjutnya.

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat

dan kemitraan; (2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (3) menumbuhkan rasa tanggap masyarakat untuk melakukan pengawasansosial; (4) memberikan saran dan pendapat, dan; (5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo1989). Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan. Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat, hal ini dikarenakan: (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya programpembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3) merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Sentosa (1990) sebagaimana dikutip Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif;

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian;

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan; 4. Spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh;

5. Menumbuhkan kesadaran; dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain; dan

Anggota kelembagaan partisipatoris DAS sendiri dapat terdiri dari perwakilan tiga kelompok utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, kelompok dunia usaha dan kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah terkait dengan perencanaan pembangunan, pengelolaan hutan dan lahan pertanian, pertambangan, perikanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup. Dunia usaha (swasta) bisa berupa badan usaha milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. Perwakilan masyarakat bisa berupa pakar dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, LSM yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS serta individu-individu/tokoh yang memberikan perhatian terhadap pengelolaan (pemanfaatan/pelestarian) ekosistem DAS.

Melalui kelembagaan DAS maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak bisa memperoleh manfaat, peran, tanggung jawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan DAS (Dephut 2003a). Kriteria untuk efektivitas kelembagaan sendiri adalah seberapa baik suatu organisasi berjalan dibandingkan dengan seperangkat standarnya sendiri. Kelembagaan DAS dapat dikatakan efektif bila output yang direncanakan, efek yang diharapkan, dan dampak yang dimaksudkan dapat tercapai.

Mengacu pada penelitian DAS Citanduy ukuran tingkat keberlanjutan kelembagaan dapat dinilai berdasarkan variabel-variabel: (1) peran serta anggota; (2) pelayanan terhadap anggota; (3) manfaat lembaga bagi anggota; (4) good governance; dan (5) kompleksitas. Tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal juga dianalisis melalui faktor-faktor sebagai faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Adapun determinan faktor sebagai variabel-variabel independen dalam studi DAS Citanduy, meliputi: (1) kepemimpinan; (2) pendidikan anggota; (3) aturan tertulis; (4) aturan tidak tertulis; (5) ukuran kelembagaan; (6) intervensi pemerintah yang berdampak positif; (7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif; (8) ketersediaan prasarana dan sarana umum; (9) jejaring kerjasama antar kelembagaan; (10) usia

kelembagaan; (11) proses pendirian kelembagaan; dan (12) kecukupan anggaran (Dharmawan et al. 2005).

Menurut Fukuyama sebagaimana dikutip Nasdian (2004), keberlanjutan kelembagaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut terdiri dari (1) kepemimpinan; (2) pendidikan; dan (3) anggaran, sedangkan faktor eksternal terdiri dari (1) kebijakan; (2) pemerintah lokal; dan (3) insentif. Aksi kelembagaan di DAS Citanduy ini memfokuskan pada konstruksi

”Wadah Pengelolaan Bersama” yang terbagi menjadi tiga aras yaitu: (1)

internasional dan nasional; (2) supra lokal (antar provinsi/kabupaten/kota); dan (3) komunitas lokal. Selain itu, kelembagaan pengelolaan DAS harus berlandaskan

kepada membangun kemitraan antar tiga “ruang kekuasaan”: civil society, state

dan private sector. Prinsip yang digunakan oleh kelembagaan pengelolaan DAS antara lain:

1. Kelembagaan tersebut merupakan manifestasi dari “sharing” seluruh

pemangku kepentingan, dimana peranan masing-masing pemangku kepentingan dalam kelembagaan tersebut (pola hubungan) dapat ditelaah secara kritis dari analisis pihak-pihak terkait. Telaah dianggap penting untuk menetapkan kedudukan organisasi atau badan yang melaksanakan fungsi hubungan kelembagaan tersebut.

2. Fokus “pekerjaan” kelembagaan tersebut adalah kepada aktivitas yang

partisipatif dan diperkirakan secara operasional dapat didukung dan difasilitasi oleh beragam kebijakan central and local government.

3. Kelembagaan tersebut baik secara konseptual maupun operasional mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada satuan daerah tingkat dua atau kabupaten/kota (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah). Prinsip ini penting untuk mendukung aksi-aksi kolektif partisipatif dan sampai sejauh mana kabupaten/kota dan/local government mampu membiayai beragam implementasi dari aktivitas partisipatif tersebut.

Pada penelitian DAS di Lampung, NTT dan DAS di Bhima India, terbukti bahwa kelembagaan DAS yang diinisiasi oleh LSM dan NGO setempat jauh lebih baik dan memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi dibandingkan kelembagaan

yang diinisiasi dan dibangun oleh pemerintah setempat (Hadi et al. 2006). Hal ini dikarenakan posisi LSM dan NGO tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas dan posisi tawar-menawar masyarakat lokal agar setara dengan para pemangku kepentingan yang ada. Berdasarkan studi kasus geo-ekologis dan sosial ekonomi DAS Citanduy, maka dapat diidentifikasi bahwa wilayah hilir adalah wilayah yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal tertinggi, sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy (Dharmawan et al. 2005)

2.1.3 Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan

Definisi tentang pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan World Commission on Environment and Development (WCED) adalah “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan

generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri” (Arifin 2001).

Menurut Sugandhy (2007), pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Paradigma pembangunan yang terjadi selama ini oleh beberapa pihak bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalism), lingkungan untuk manusia (eco-humanis), dan lingkungan untuk lingkungan (eco- environmentalism). Namun apa yang terjadi selama tiga dekade adalah pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan yang berkelanjutan merupakan perpaduan dari tiga pandangan di atas, dimana pembangunan hendaknya ditujukkan untuk kesejahteraan masyarakat (termasuk di dalamnya pembangunan di dalam bidang ekonomi) dan kelestarian lingkungan hidup (Purba 2002).

Dilihat dari sudut pandang DAS, hal yang menjadi dasar pemikiran pengelolaan DAS adalah “Sustainable Resources Use Management” atau

Pengelolaan yang Berkelanjutan, artinya, setiap upaya perlindungan, rehabilitasi, dan adaptasi yang dilakukan, hendaknya dapat dilembagakan dalam bentuk organisasi masyarakat (community organization). Bentuk ini sudah mulai muncul dalam wujud forum-forum DAS dan terbentuknya kelompok masyarakat yang bertindak langsung melakukan perlindungan dan rehabilitasi lahan DAS (Sumampouw et al. t.t). Prinsip penting dari pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan adalah:

1. Pentingnya Modal Sosial (social capital), dalam bentuk pendanaan mandiri ataupun pendanaan bersama antara publik dengan pemerintah;

2. Modal Organisasi Masyarakat (modality in community organization) dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yang mandiri;

3. Adanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pelaku-pelaku yang memiliki cerita sukses dan kreatif dalam penanganan satuan kelola daerah aliran sungai;

4. Pentingnya kehendak politik (political will) dari pemerintah daerah serta lintas sektoral yang tidak lagi didasarkan atas pertimbangan batas wilayah melainkan lebih bertumpu pada pertimbangan batas ekosistem.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya. Keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah jika:

1. Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar;

2. Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas rehabilitasi DAS;

3. Hak atas lahan (tenureship) jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil; 4. Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka

pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang (manfaat sosial); dan

5. Ada kerjasama antar pemangku kepentingan pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai suatu kesatuan alamiah yang terdiri

dari wilayah hulu, tengah dan hilir, dalam konteks pengelolaan “One River, One

Pembangunan keberlanjutan dalam konteks DAS adalah bagaimana antara sub hulu, tengah, hilir DAS terdapat kesamaan visi dan misi, dimana tidak hanya hulu saja yang berperan dalam menjaga kelestarian DAS namun sub tengah maupun hilir pun berkontribusi dalam menjaga kelestarian DAS melalui kolaborasi yang dilakukan aktor-aktor terkait yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, maupun akademisi turut dilibatkan. Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, yakni fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dari berbagai sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang.

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) selama ini lebih disebabkan oleh pemangku kepentingan yang mengelola DAS. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari tiga aktor utama yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan mempengaruhi sub DAS lainnya yaitu bagian tengah dan hilir Sungai Cikapundung. Untuk itu diperlukan suatu upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam rangka menjaga keberlangsungan ekosistem DAS yang baik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membentuk kelembagaan partisipatoris yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang juga merupakan anggota dari 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Dengan terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan akademisi turut mendukung serta bahu-membahu untuk mempercepat pemulihan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dengan mengajak seluruh pihak khususnya masyarakat bantaran Sungai Cikapundung untuk senantiasa berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) karena selama ini masyarakat tersebutlah yang berhubungan langsung dengan sungai.

Kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris secara intensif dan terus menerus inilah yang akhirnya dapat menyadarkan masyarakat di sekitar

bantaran Sungai Cikapundung (baik itu di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung) untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ekosistem di DAS guna mencegah bencana yang terjadi seperti banjir dan longsor di hilir.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Mempengaruhi : Tidak diteliti lebih lanjut : Terdapat hubungan : Kualitatif : Kuantitatif Warga di Tengah Sungai Cikapundung Penyelamatan Hulu DAS

Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh Kelembagaan Partisipatoris  Aksi Kali Bersih

 Aksi Tanam Pohon  Pengolahan Sampah/Limbah  Penyuluhan dan Penyadaran Warga Keterlibatan Pemangku Kepentingan  Masyarakat  Swasta  Pemerintah

Kerusakan Hulu DAS

Perubahan Sikap dan Perilaku, Warga di Hulu DAS

Citarum (Sub DAS Cikapundung) terhadap Lingkungan Hidup Tingkat Pengetahuan Tingkat Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Tingkat Keterlibatan

Warga dalam Penghijauan Tingkat Gotong Royong Tengah DAS Hilir DAS

Warga di Hulu Sungai Cikapundung

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Semakin tinggi upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh kelembagaan partisipatoris maka akan semakin tinggi tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung.

2. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung maka tingkat kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan semakin rendah.

2.4 Definisi Konseptual

1. Keterlibatan pemangku kepentingan adalah keikutsertaan pemangku kepentingan yang terdiri dari masyarakat, pemerintah dan juga swasta dalam mengelola sumberdaya alam sehingga berkontribusi dalam menghasilkan kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung), berikut penjelasan dari masing-masing pemangku kepentingan tersebut.

i. Masyarakat adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut atau suatu komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) yang terkait dalam pengelolaan ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

ii. Swasta adalah organisasi atau lembaga non pemerintah yang memiliki kepentingan dalam ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) guna mencapai keuntungan bagi organisasinya.

iii. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang lebih dalam mengelola hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) di wilayahnya dan memiliki peran yang sangat penting untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu yang terkait kelestarian ekosistem DAS di daerahnya.

2. Kerusakan hulu DAS adalah ketidakberfungsian bagian hulu DAS sebagai penyedia oksigen dan perlindungan serta fungsi tata air bagi DAS bagian

tengah dan hilir. Hal ini ditandai dengan banyaknya lahan kritis di daerah hulu dan banyaknya industri-industri sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor di hilir.

3. Bagian tengah DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

4. Bagian hilir DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

5. Penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah upaya- upaya yang dilakukan guna mengembalikan fungsi DAS bagian hulu sebagai daerah penyangga air dan daerah hijau.

6. Kelembagaan partisipatoris DAS adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam (DAS) secara partisipatif terkait perencanaan, hingga pelaksanaannya serta dengan sarana dan prasarana dari kelompok itu sendiri. 7. Aksi kali bersih adalah kegiatan untuk mengambil sampah dan limbah di

sepanjang aliran sungai guna membersihkan sungai agar tidak tercemar dan tidak menimbulkan bencana banjir di hilir.

8. Aksi tanam pohon adalah kegiatan untuk menanam berbagai jenis pohon di daerah kritis di sepanjang DAS guna sebagai penyangga dan penyuplai air serta sebagai pencegah banjir di DAS bagian tengah dan hilir.

9. Pengolahan sampah/limbah adalah kegiatan mendaur ulang sampah baik itu organik dan non organik agar dapat diamanfaatkan kembali menjadi barang yang dapat bernilai atau bermanfaat kembali.

10.Penyuluhan dan penyadaran warga adalah proses penyebarluasan informasi, ilmu pengetahuan kepada masyarakat sebagai upaya mencegah masyarakat khususnya masyarakat di DAS agar tidak menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah/sampah. Penyuluhan dan penyadaran warga ini dilakukan dengan aksi langsung bersama masyarakat di sekitar DAS.

11.Warga di hulu Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah hulu Sungai Cikapundung.

12.Warga di tengah Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah tengah Sungai Cikapundung.

13.Kesadaran masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah sejauh mana masyarakat yang berada di sepanjang Sungai Cikapundung mengerti akan pentingnya fungsi kawasan hulu sebagai daerah tangkapan air dan penyangga sehingga tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari ataupun merusak sungai namun sebaliknya melakukan kegiatan- kegiatan yang dapat melestarikan DAS.

2.5 Definisi Operasional

Tingkat kesadaran masyarakat dinilai dari beberapa aspek, antara lain:

1. Tingkat pengetahuan adalah kognisi/pengetahuan yang dimiliki oleh warga mengenai sampah, sungai, penghijauan dan gotong royong. Tinggi rendahnya tingkat pengetahuan responden dapat diukur dari baik/tidaknya pengetahuan responden terkait sampah, sungai, penghijauan, dan gotong royong.

a. Rendah: jika responden tidak dapat membedakan jenis sampah, serta jika responden menjawab kurang/tidak penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor 0 b. Tinggi: jika responden dapat membedakan jenis sampah, serta jika

responden menjawab penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor1

2. Tingkat membuang sampah/limbah ke sungai adalah sejauh mana warga tidak membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya ke aliran sungai. Perubahan perilaku responden dalam membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya dapat diukur dari kemana responden

tersebut biasa membuang sampah/limbah rumah tangganya setelah adanya kelembagaan partisipatoris di daerahnya.

a. Sangat buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya ke sungai di daerahnya, skor 0

b. Buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dibakar, skor 1

c. Baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dikubur, skor 2

d. Sangat baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya menggunakan TPS, skor 3

3. Tingkat keterlibatan warga dalam penghijauan adalah keikutsertaan masyarakat yang berada di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) untuk melakukan aksi tanam pohon di daerah atau kawasan- kawasan kritis. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan penghijauan dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya

a. Tidak pernah: jika responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 0

b. Jarang: dalam satu tahun responden hanya terlibat satu hingga dua kali kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 1

c. Kadang-kadang: dalam satu tahun responden terlibat lebih dari dua kali dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 2 d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang

diadakan di daerahnya, skor 3

4. Tingkat keterlibatan warga dalam gotong royong adalah tingkat kerjasama