• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

I.8 Metodologi Penelitian

II.2.3 Efektivitas Komunikasi

Menurut Tubbs (1996:11-12) dalam bukunya Human Communication Konteks-konteks Komunikasi, ada empat karakteristik untuk menilai efektivitas/kualitas komunikasi hubungan manusiawi atau hubungan antara dua orang, yakni:

1. Informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural dan sosiologis.

2. Aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.

3. Peranan dalam hubungan antarpesona pada pokoknya lebih ditentukan oleh karakter pribadi daripada oleh situasi.

4. Lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok..

Pilihan perseorangan dan informasi psikologis yaitu pengetahuan mengenai sikap dan kepercayaan pribadi, perilaku-perilaku yang khas, dan sebagainya.

Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kualitas hubungan antara dua orang itu adalah:

a. Penyingkapan diri (self disclosure)

Adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan sosial seseorang dan berkaitan dengan kesehatan mental dan dengan pengembangan konsep diri.

b. Kepercayaan dan keberbalasan. c. Keakraban.

e. Kesalingbergantungan yang berkaitan dengan rasa percaya, komitmen dan perhatian/kepedulian.

f. Afiliasi yang berkaitan dengan sikap bersahabat, suka berkumpul/bersama dengan orang lain serta ramah.

Ciri-ciri perilaku berafiliasi tinggi adalah: - memberi nasehat - mengkoordinasikan - mengarahkan - memulai - memimpin II.3 Tunanetra

II.3.1 Pengertian Tunanetra

Dalam masyarakat umumnya, istilah tunanetra sering dikaitkan dengan pengertian “buta”. Bila ditinjau dari segi etimologi bahasa, kata tuna berarti rusak, sedangkan kata buta berarti tidak dapat melihat karena rusak matanya. Jika kata tunanetra berarti rusaknya penglihatan, maka pada hakekatnya pengertian tunanetra bukanlah semata-mata pada hilangnya penglihatan, akan tetapi masih mempunyai sisa penglihatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah tunanetra lebih tepat menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami kekurangan penglihatan, sedangkan pengertian buta digunakan untuk menunjukkan keadaan seseorang yang rusak penglihatannya sehingga mengakibatkan tidak dapat melihat. Jadi, tunanetra berarti kerusakan mata atau

kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan yaitu buta dan kurang lihat.

John D. Kershaw berpendapat bahwa kebutaan ialah “a blind person is one who can not see” (seorang buta ialah orang yang tidak dapat melihat dengan jelas). Menurut Departemen Sosial, tunanetra (penyandang cacat netra) adalah seseorang yang tidak dapat menghitung jari tangan pada jarak satu meter di depannya, dengan menggunakan indera mata.

Sedangkan menurut WHO, kebutaan adalah suatu keadaan dimana tajam penglihatan-penglihatan, setelah koreksi optimal, kurang dari kemampuan menghitung jari pada jarak sampai dengan 3 meter. Sebagai penjelasan dapat diterangkan, bahwa pada orang normal kemampuan menghitung jari adalah sampai dengan jarak 60 meter. Dengan demikian, tajam penglihatan setelah koreksi optimal kurang dari 3/60 atau 5% dari tajam penglihatan normal, sudah termasuk dalam kategori kebutaan.

Selanjutnya, Departemen Sosial membedakan tunanetra menjadi dua golongan, yaitu buta total dan buta sebagian (low vision) yaitu ketunanetraan yang masih memiliki sisa penglihatan.

Kurang lihat (partially sighted/low vision) menunjukkan keadaan mata yang masih berfungsi akan tetapi kurang baik atau secara umum seseorang dikatakan kurang lihat apabila setidak-tidaknya masih dapat melihat jari-jari tangannya. Mereka yang kurang lihat masih dapat diajarkan dengan metode visual namun tetap memerlukan bantuan atau teknik khusus yang tidak terdapat disekolah-sekolah biasa. Dengan demikian, anak kurang lihat masih dapat menggunakan sisa penglihatannya sebagai medium utama dalam belajar dengan

menggunakan metode visual dan dengan bantuan alat-alat khusus (Ramidjo, 1998:2).

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatan yang diderita oleh anak tunanetra dapat menimbulkan berbagai masalah terutama keterbatasan-keterbatasan penglihatannya. Keterbatasan tersebut antara lain karena anak tunanetra mempunyai tanggapan yang sangat kurang, bila dibandingkan dengan anak awas. Karena keterbatasannya dalam memperoleh rangsangan visual itu, mereka merasa dunia mereka kecil dan sempit. Hal ini menimbulkan masalah-masalah yang kemudian menumbuhkan dampak psikologis dan tingkah laku yang negatif pada anak tunanetra.

Ramidjo (1998:4-5) dalam tulisannya yang berjudul “Ortopedagogik Ketunanetraan” mendaftarkan 3 dampak psikologis ketunanetraan yang menjadi karakteristik ketunanetraan sebagai berikut :

1. Perasaan curiga terhadap orang lain.

Perasaan curiga disebabkan karena keterbatasan rangsangan visual yang mengakibatkan anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan lingkungannya, sehingga kemampuan mobilitasnya terganggu. Dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan kesal, marah, kecewa, tetapi ia tidak tahu kepada siapa perasaan tidak senang itu dapat ditumpahkan.

Perasaan-perasaan kecewa tersebut mendorong mereka untuk selalu berhati-hati terhadap situasi maupun kondisi setempat. Sikap berhati-hati-berhati-hati yang terlalu berlebihan akan berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi perasaan-perasaan kecewa yang disebabkan oleh keterbatasan rangsangan visual, maka dikembangkan potensi yang masih ada misalnya dengan mempertajam indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman dan indera pengecapan.

2. Perasaan mudah tersinggung.

Perasaan ini pada anak tunanetra karena disebabkan oleh keterbatasannya rangsangan visual yang diterimanya serta peranan indera lain yang kurang baik. Hal tersebut didapat dari pengalaman sehari-hari misalnya, mendengar orang berbicara kepadanya dengan tekanan suara tertentu, singgungan fisik yang tidak disengaja oleh temannya dan sebagainya. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perasaan mudah tersinggung. Untuk mengatasi hal ini diusahakan melalui pendidikan agama, olah raga dan kesenian yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra merasa bahagia dalam hidupnya dan tidak selalu menyesali nasibnya karena kecacatannya.

3. Ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain.

Sikap ketergantungan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum sepenuhnya dapat mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan kasih sayang yang berlebihan dari orang tua atau saudaranya dengan cara memberikan pertolongan-pertolongan yang berlebihan kepada anak tunanetra, sehingga ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun untuk menolong dirinya

sendiri seperti mandi, makan dan minum, berpakaian, memakai sepatu dan sebagainya.

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra

Adapun dampak ketunanetraan/keterbatasan dasar anak tunanetra adalah: 1. Perkembangan Bahasa.

Sebagian besar ahli percaya bahwa kekurangan penglihatan tidak merubah kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hanya sebagian kecil aspek komunikasi ditemukan adanya perbedaan, misalnya dalam hal “gesture” (mimik muka). Karena indera pendengaran lebih banyak digunakan daripada penglihatan dalam mempelajari bahasa, maka tidaklah mengherankan jika hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra relatif tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Anak tunanetra masih dapat mendengar bahasa dan bahkan mungkin lebih termotivasi untuk menggunakannya, karena ini merupakan cara utama yang dapat mereka lakukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

2. Kemampuan Intelektual.

Hasil penelitian para ahli menunjukkan Intelegensia Quatient (IQ) anak tunanetra tidak secara mencolok lebih rendah daripada anak awas setelah diukur dengan menggunakan tes intelegensi verbal yang standar. Bagi anak buta total, kemampuan anak diukur dalam menggunakan indera perabaan (suatu kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dalam membaca braille).

3. Kemampuan Konseptual.

Perkembangan kemampuan konseptual atau kognitif anak tunanetra tertinggal di belakang anak-anak awas. Anak tunanetra juga cenderung lebih miskin dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran abstrak. Kekurangan tersebut bukan disebabkan karena sifat-sifat pembawaannya, tetapi karena kurangnya mendapatkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang memadai.

4. Penyesuaian Sosial.

Akibat dari hilangnya atau terbatasnya daya penglihatan menyebabkan anak tunanetra menjadi pasif dan hilang keinginannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi proses belajar anak. Salah satu kesulitan anak tunanetra dalam menguasai keterampilan sosial tertentu misalnya bagaimana menampilkan ekspresi muka yang tepat (Ramidjo, 1998:7-9).

II.4 Konseling Individual

II.4.1 Pengertian Konseling Individual

Konseling adalah suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian dirinya. Sedangkan Glen E. Smith mendefinisikan konseling yakni suatu proses dimana konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu (Willis, 2004:17).

Sementara itu, John McLeod (2003:16) menyatakan bahwa konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di antara mereka.

Shertzer dan Stone dalam bukunya “Fundamental of Counseling” (Lubis, 2006:11) mengemukakan konseling ialah berhubungan dengan usaha untuk mempengaruhi perubahan sebahagian besar tingkah laku klien secara sukarela (klien ingin untuk mengubah perilakunya yang bermasalah dan mendapatkan bantuan dari konselor).

Milton E. Hahn mengartikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh pelatihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya (Willis, 2004:18).

Selanjutnya, Burks dan Stefflre (1979) mengatakan bahwa konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien untuk memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (McLeod, 2003:5).

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling individual merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberitahuan bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya serta mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual

Dalam Willis (2004:63-64), client-centered therapy sering juga disebut suatu metode yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).

Ciri-ciri konseling individual ini adalah:

1. Ditujukan kepada klien yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.

2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi intelektualnya.

3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial-psikologis masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.

4. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal-self dengan actual-self.

5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Tujuan konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi masalahnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras, melakukan sesuatu dengan rasa tanggung jawab dan percaya diri.

II.4.3 Tujuan Konseling Individual

Terapi terpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers pada tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran diri yang ideal (ideal-self) dengan kenyataan diri yang sebenarnya (actual-self).

Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain. Sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami dirinya sendiri (kekuatan dan kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor.

2. Kesiapan klien untuk menerima bimbingan. 3. Taraf intelegensi klien yang memadai.

Secara umum dikatakan bahwa tujuan konseling harus mencapai :

a) Effective daily living, artinya setelah selesai proses konseling, klien harus dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdaya guna untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Tuhannya;

b) Relationship with other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, dan sebagainya.

II.4.4 Proses Konseling Individual

Berikut ini adalah tahap-tahap konseling terapi terpusat pada klien, yakni:

1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau membatalkannya.

2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu konselor menyadarkan klien.

3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien sebagaimana adanya.

4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.

5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya.

6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan).

7. Klien merealisasikan pilihannya itu.

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual

Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Karena itu dalam pelaksanaan teknik konseling diutamakan sifat-sifat konselor berikut:

1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.

2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan, dan konsisten.

3. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu.

4. Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

Adapun penggunaan teknik-teknik itu seperti: (1) pertanyaan

(2) dorongan (3) interpretasi (4) sugesti

Dokumen terkait