• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

I.8 Metodologi Penelitian

II.4.6 Karakteristik Hubungan

Benjamin mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang profesional dengan klien dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan serta mempunyai minat, pengetahuan, dan keterampilan (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut :

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan- kecenderungan, yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya

keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif dimana si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan ekternal terjadi di dalam sikap dan tindakan serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dalam hubungan konseling yakni:

a) Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian hangat bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa bersahabat, tidak formal, serta membangkitkan semangat dan rasa humor. b) Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan klien,

dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.

c) Keterlibatan klien, yaitu terlihat klien sungguh-sungguh mengikuti proses konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan keinginannya. Selanjutnya dia bersemangat mengemukakan ide, alternatif dan upaya-upaya.

Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Rasa kebersamaan yang diciptakan konselor akan membuat jarak antara dia dengan klien menjadi dekat.

Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan resistensi, maka dia tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya.

II.5 Konsep Diri

II.5.1 Pengertian Konsep Diri

Menurut Dayakisni (2003:65), konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs,1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory)

Teori Rogers atau teori diri adalah teori yang berpusat pada pribadi, yang ditemukan oleh Carl Ransom Rogers. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilainya dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, pengagungan dan cinta dari irang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi seutuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu, sehingga ia tidak bersifat defensif, namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi.

Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan lama persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang, sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya. Termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan dan percaya diri (Graham, 2005:92-93).

Selanjutnya teori ini banyak digunakan dalam hubungan konseling yang berpusat pada klien terapi (client-centered therapy). Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila para klien mempersepsikan bahwa para ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya (Hall, 1993:127-128).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman.

Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel, sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian, ia akan mengalami banyak emosi baik yang positif maupun yang negatif. Seseorang akan cenderung mencek pengalaman-pengalaman masa lalu yang dilambangkan dengan dunia sebagaimana adanya. Uji terhadap kenyataan ini memberikan orang pengetahuan yang dapat diandalkan tentang dunia, sehingga orang dapat bertingkah laku secara realistis.

2. Tidak adanya sikap defensif.

Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya dan bersikap realistis, sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru dan selalu berubah serta cenderung menyesuaikan diri sebagai respon atas pengalaman selanjutnya.

3. Kesadaran yang cermat.

Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif), sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.

4. Penghargaan diri tanpa syarat.

Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan terhadap diri sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri-ciri beringkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan yang berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya masa depan bergantung pada dirinya sendiri, tidak ada peristiwa di masa lampau, sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.

Perubahan tingkah laku (self concept) akan mendorong seseorang berinteraksi atau menjalin hubungan dengan orang lain sebagai dasar pemenuhan akan kebutuhan atas pengakuan orang lain (Hall, 1993:128).

II.6 Hubungan Komunikasi Layanan Konseling Individual dengan Pembentukan Konsep Diri

Sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian-uraian di atas, bahwa komunikasi layanan konseling individual adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif dalam mengubah sikap, pendapat serta perilaku seseorang. Hal ini dikarenakan di dalam konseling individual menggunakan komunikasi hubungan manusiawi/insani yang memiliki proses siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus menrus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu menciptakan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi. Dalam penelitian ini pemberi pesan adalah konselor dan penerima pesan adalah klien tunanetra.

Komunikasi layanan konseling individual yang bersifat dialogis (berupa percakapan) ini terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat keterlibatan/keikutsertaan antara konselor dan klien akan menciptakan suatu hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Aspek penting dalam penerimaan pesan di antara keduanya adalah memperhatikan mendengar, memahami dan mengingat.

Jadi dalam hal ini konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu, sehingga klien dapat mengemukakan perasaannya atau permasalahannya sebagaimana adanya.

Komunikasi layanan konseling individual memiliki umpan balik yang berlangsung dan seketika, sebagaimana Luft (Tubbs, 1996:28) menyatakan umpan balik (feed back) adalah balasan atas perilaku yang diperbuat. Dengan adanya umpan balik ini, maka si konselor dapat mengetahui tanggapan si klien seketika

itu juga pada saat komunikasi berlangsung. Konselor mengetahui dengan pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, konselor akan memberikan kesempatan kepada si klien untuk bertanya dan memberikan tanggapan/respon seluas-luasnya sehingga maksud si konselor dapat tercapai dan tujuan konseling pun tercapai juga.

Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri si klien yang selanjutnya akan membentuk identitas diri atau konsep dirinya.

Komunikasi layanan konseling individual sebenarnya suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Usaha untuk saling mempengaruhi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan atau menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan yang dipengaruhi.

Dalam hal ini, agar komunikasi layanan komunikasi konseling individual tersebut dapat mencapai hasil yang baik, maka si konselor harus mengenal latar belakang psikologis dan sosiologis kliennya. Pada prakteknya, konselor harus mampu menyesuaikan pesan dengan memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis seperti sikap, watak atau kebiasaan si klien, sehinggga pesan tersebut dapat diterima.

Identitas diri atau pandangan tentang diri pribadi merupakan sesuatu yang menyangkut totalitas diri seseorang yang mencakup aspek biologis, psikologis dan sosiologis yang tampak dalam perilaku, sikap, perkataan dan perbuatan-perbuatan individu tersebut yang tidak identik satu sama lain.

Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) mengatakan bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dicapai, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘pembentukan’ berarti hal atau cara membentuk. Pembentukan konsep diri berarti hal atau cara membentuk konsep diri. Konsep diri dibentuk oleh adanya suatu interaksi dan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang dilaksanakan dapat berupa komunikasi verbal (lisan) maupun non verbal (perilaku non verbal/bahasa tubuh).

Komunikasi layanan konseling individual merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif dalam upaya membentuk konsep diri klien, hal ini disebabkan komunikasi konseling lebih memperhatikan kedekatan/ketelibatan/hubungan yang bermakna antara konselor dan klien. Dalam kedekatan tersebut, konselor banyak memanfaatkan penggunaan latar belakang psikologis dan sosiologis si klien, dengan demikian pembentukan konsep diri lebih efektif.

Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi layanan konseling individual berperan dalam mengefektifkan proses pembentukan konsep diri si klien. Nilai- nilai sosial yang disosialisasikan dalam upaya membentuk konsep diri akan lebih mengena apabila disosialisasikan melalui komunikasi layanan konseling individual.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Sejarah Singkat Panti Asuhan Karya Murni

Setelah Perang Dunia ke II, tentara Belanda datang ke Susteran Santo Yosef yang tinggal di Daendlesstrat (sekarang Jalan Hayam Wuruk 11 Medan). Tentara itu membawa dan menyerahkan seorang putri penyandang cacat netra bernama Martha Ponikem dan sudah berumur 13 tahun. Tentara Belanda ini berpesan agar putri ini diberi pendidikan yang baik. Sr. Ildefonsa van de Watering menerima anak itu dengan senang hati.

Namun setelah anak itu tinggal beberapa waktu di Susteran, muncul suatu masalah dan pertanyaan yang sebelumnya kurang dipikirkan lebih mendalam. Pendidikan/pengajaran apa dan bagaimana yang tepat diberikan

kepada anak ini. Pertanyaan ini seolah-olah mendapat jawaban ketika Sr. Ildefonsa mendapat kesempatan cuti awal di tahun 1950 ke negaranya di

Belanda. Dalam rangka cuti, Sr. Ildefonsa berkeinginan mengunjungi dan belajar bagaimana mendidik dan mengajar para tunanetra di salah satu institut yang namanya De Wijnberg di Grave. Sr. Ildefonsa berulang kali ke tempat ini untuk belajar dan sekaligus bagaimana memahami orang-orang cacat khususnya anak tunanetra.

Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Grave tempat institut anak tunanetra itu, Sr. Ildefonsa bertemu dengan seorang gadis tunanetra bernama Trees Kim Lan Bong, yang sudah dididik selama 13 tahun di Institut De

Wijnberg. Trees Kim Lan Bong berasal dari Pulau Bangka – Indonesia. Dalam pertemuannya itu Trees menyatakan keinginan dan kerinduannya untuk kembali ke Indonesia dan mau membantu taman-temannya yang tunanetra di Indonesia. Betapa bahagia dan gembiranya hati Sr. Ildefonsa mendengar ungkapan Trees. Itu berarti usaha Sr. Ildefonsa berhasil.

Pada tanggal 15 Juli 1950 berangkatlah Sr. Ildefonsa bersama dengan Trees menuju Indonesia dan tiba pada tanggal 15 Agustus 1950 di Jalan Hayam Wuruk Medan. Trees Bong menjadi guru pertama yang dapat mengajar anak tunanetra yang pernah dibawa tentara Belanda itu ke Susteran di Jalan Hayam Wuruk. Tidak lama lagi sesudah Trees mengajar Martha Ponikem, datang lagi seorang putri Ambon yang tunanetra bernama Agustina Hallatu.

Demikianlah anak tunanetra semakin tahun semakin bertambah dan mereka diasramakan. Pada tahun 1953 sekolah tunanetra ini dikukuhkan menjadi bentuk lembaga yang bernama Sint Oda Stichting. Sint Oda Stichting bukan hanya mengasuh dan mendidik anak tunanetra, tetapi ikut juga mendidik anak anak tunarungu (bisu-tuli). Karena itu pada tahun 1964, Sint Oda Stichting berubah nama menjadi Yayasan Karya Murni, dan panti asuhannya juga menjadi Panti Asuhan Karya Murni.

Kompleks Jalan Hayam Wuruk dirasa terlalu sempit untuk berbagai kegiatan, maka pada tahun 1972 pendidikan dan asrama untuk anak tunarungu dipindah ke Pasar Merah Medan. Sedangkan anak tunanetra pendidikan dan asramanya dipindah ke Jalan Karya Wisata Medan pada tahun 1980.

Yayasan Karya Murni mengelola 5 unit pelayanan yaitu:

1. Panti asuhan yang terdiri dari anak-anak cacat netra, cacat rungu, yatim piatu, yatim, piatu dan ekonomi lemah.

2. Pendidikan untuk anak tunanetra (SLB/A tingkat SD dan SLTP). 3. Pendidikan untuk anak tunarungu (SLB/B tingkat SD).

4. Panti Pijat Jamin (lapangan kerja bagi anak yang sudah menyelesaikan kursus (massage).

5. Poliklinik yang dikhususkan untuk anak-anak panti asuhan dan juga masyarakat sekitar.

III.1.2 Profil Panti Asuhan Karya Murni A. Identitas

 Nama : Panti Asuhan Karya Murni

 Alamat : Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor  Telepon : 061-763987

 Alamat kantor : Jl. Hayam Wuruk 11 Medan  Tahun berdiri : 26 Agustus 1953

 Tahun dihuni : Tahun 1980

 Instansi yang melindungi : Kongregasi Suster Santo Yosef  Badan penyelenggara : Yayasan Karya Murni

 Pimpinan Panti Asuhan : Sr. Mauritsia Harianja KSSY

 Dasar pendirian : Pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak cacat, yatim piatu dan ekonomi lemah

 Sumber dana : Depsos, Dharmais, sumbangan masyarakat  Sifat sumber dana : Triwulan, insidental

B. Visi dan Misi

 Visi : Terwujudnya rasa kepercayaan diri warga panti asuhan Karya Murni melalui penghargaan dan pemberdayaan yang berlandaskan ajaran moral Katholik.

 Misi : 1. Menyelenggarakan panti asuhan dengan sistem terpadu. 2. Memberdayakan warga panti asuhan melalui latihan vokal,

musik, massage (pijat), jahit menjahit, sablon, pertukangan, pertenunan, lilin.

3. Memajukan kehidupan rohani melalui pembinaan iman. C. Keadaan Fisik

 Luas tanah yang digunakan: Asrama: 584,5 m2

Kantor: 42 m2  Fasilitas dan sarana:

- Kantor - Ruang olah raga (lapangan) - Ruang tidur - Ruang cuci, WC, kamar mandi - Dapur - Ruang jemuran kain

- Gudang - Ruang jahit

- Ruang untuk belajar - Ruang tamu untuk anak - Ruang makan - Ruang tamu untuk orang tua - Poliklinik - Ruang kesenian

D. Susunan pengurus panti asuhan Karya Murni

I. Ketua : Sr. Ignatia simbolon II. Sekretaris : Sr. Vinsensia Naibaho III. Bendahara : Sr. Felisiana Purba IV. Pembantu : 1. Sr. Gaudensia Haloho

2. Sartono Simbolon, SH

3. Drs. Losten Tamba MPd. V. Pimpinan merangkap sebagai konselor : Sr. Mauritsia Harianja KSSY di Panti Asuhan Karya Murni

III.1.3 Keadaan Umum Siswa/i Panti Asuhan Karya Murni 1. Kapasitas panti asuhan: 95 orang

2. Anak yang bersubsidi: 89 orang 3. Yang belum bersubsidi: - 4. Jumlah anak asuh: 89 orang

 Laki-laki: 42 orang  Perempuan: 47 orang

Tabel 3

Golongan Usia Siswa/i Tunanetra

Golongan Usia Lk Pr Jumlah

0-6 tahun 2 2 4 7-13 tahun 13 12 25 14-17 tahun 3 9 12 18-21 tahun 12 13 25 22 tahun ke atas 12 11 23 42 47 89

Sumber: Arsip Panti Asuhan Karya Murni

III.1.4 Program Kerja dan Kegiatan Panti Asuhan Karya Murni A. Program Kerja

1. Program kerja jangka pendek:

a. Menampung dan merawat serta mendidik anak tunanetra, tunarungu, yatim piatu, yatim, piatu dan ekonomi lemah.

b. Mengusahakan dana beasiswa anak-anak untuk meningkatkan pendidikannya.

c. Mengusahakan beasiswa bagi guru untuk meningkatkan kualifikasi mengajar dan keterampilan.

d. Berusaha/mencari lapangan kerja bagi anak yang sudah tamat dan pendidikan lainnya.

2. Program kerja jangka panjang:

a. Membuka lapangan kerja bagi anak-anak yang sudah tamat seperti panti pijat, konveksi (jahit menjahit), salon, berladang dan bertukang. b. Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak/keterampilan khususnya

anak tunanetra dan tunarungu. B. Jadwal Harian Panti Asuhan Karya Murni

05.00 – 05.15 : Bangun/doa pagi 05.15 – 06.00 : Mandi/kerja 06.00 – 06.30 : Makan/sarapan 06.30 – 07.00 : Cuci piring 07.00 – 14.00 : Sekolah 14.00 – 14.30 : Makan siang 14.30 – 15.30 : Istirahat

15.30 – 17.00 : Keterampilan seperti berladang, musik, nyanyi, jahit menjahit dan bertukang.

17.00 – 17.30 : Mandi 17.30 – 18.00 : Mandi sore 18.00 – 18.30 : Cuci piring 18.45 – 20.30 : Belajar 20.30 – 21.30 : Rekreasi/menonton/mendengar jurnal TV 21.30 – 22.00 : Doa malam 22.00 : Tidur

C. Kegiatan di Panti Asuhan Karya Murni

a. Kegiatan rutin/harian : Senin s/d Sabtu b. Kegiatan olah raga : Minggu

c. Kegiatan kesenian : Selasa/Kamis d. Kegiatan keterampilan : Rabu/Jumat

e. Pembinaan rohani : Kamis/Minggu I dan III f. Pramuka : Sabtu

III.2 Metode Penelitian

Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang mengutamakan proses/kedalaman data daripada keluasan data. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsi atau merekonstruksi wawancara- wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.

III.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa/i di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor, yang menurut data saat ini berjumlah 89 orang, yang terdiri dari laki-laki 42 orang dan perempuan 47 orang.

Menurut Kriyantono (2006:161) dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada penelitian kualitatif disebut subjek penelitian atau informan.

Adapun kriteria yang menjadi subjek penelitian/informan adalah sebagai berikut :

- Subjek terdiri dari 4 orang siswa/i panti asuhan Karya Murni yang duduk di tingkat SLTP (2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan).

- Subjek adalah tunanetra dengan kisaran tngkat penglihatan dari kebutaan total hingga kurang awas (low vision) – atau ketunanetraan berat hingga ketunanetraan ringan.

- Subjek memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik untuk dapat diwawancarai.

- Subjek mempunyai kesadaran yang cukup baik akan diri dan lingkungannya. Berdasarkan kriteria tersebut, maka peneliti mengambil 4 orang sebagai subjek penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik snowball sampling (sampel bola salju), yaitu teknik penentuan sampel yang awalnya berjumlah kecil, kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan sampel pertama diminta memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan sampel lagi, begitu seterusnya sampai jumlahnya banyak. Proses ini baru berakhir bila periset merasa data telah jenuh, artinya periset merasa tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara (Kriyantono, 2003:157).

Dengan demikian apabila data-data yang diperlukan dalam peneltian dianggap masih belum mencukupi melalui 4 orang subjek penelitian, maka tidak menutup kemungkinan subjek penelitian akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penentuan jumlah informan didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat homogenitas/sifat-sifat populasi yang relatif sama.

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu teknik mengumpulkan data dengan menghimpun data/informasi dari sumber-sumber bacaaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu kegiatan dimana peneliti mengumpulkan data di lokasi penelitian yang meliputi :

a. Pengamatan (Observasi Partisipan)

Peneliti melibatkan diri secara pasif dalam beberapa kegiatan subjek penelitian. Pengamatan ini dilakukan untuk melengkapi data wawancara. Adapun kegiatan observasi itu dilakukan:

- pada jam istirahat sekolah,

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri,

- serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 sore.

b. Wawancara Mendalam (Indepth/Qualitative Interview)

Pada saat wawancara peneliti mengunakan pedoman wawancara (Interview Guide) untuk mengarahkan penelitian supaya tidak melenceng. Hasil wawancara tersebut direkam dalam pita rekaman (kaset) dan juga dicatat pada kertas (transkrip wawancara).

Jenis wawancara yang dipakai adalah wawancara tidak baku dengan tipe pertanyaan terbuka, artinya peneliti dan informan memperoleh

keleluasaan. Peneliti boleh menyimpang dari pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Peneliti boleh menambahi suatu pertanyaan yang telah dibakukan itu (pedoman wawancara) dengan pertanyaannya sendiri untuk memperoleh jawaban yang lebih lengkap atau layak. Peneliti juga tidak membatasi panjangnya jawaban informan, melainkan dengan memberi informan lebih banyak keleluasaan untuk menafsirkan topik yang akan dibicarakan.

Adapun kegiatan wawancara itu dilakukan:

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan

Dokumen terkait