• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Komunikasi Layanan Konseling Individual Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Komunikasi Layanan Konseling Individual Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor)."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor)

SKRIPSI

Diajukan guna Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi Program Ekstensi

Diajukan Oleh

ROTUA SINAGA SIMANJORANG 060922064

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya yang tiada tara sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih Tuhan, kasih dan kuasa-Mu yang ajaib itulah yang selalu menyertai dan menguatkanku di masa-masa sulit sekalipun.

Secara khusus skripsi ini peneliti persembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan cinta kasihnya berupa nasehat dan semangat untuk keberhasilan perkuliahan peneliti, juga saudara-saudaraku yang telah memberikan insipirasi selama penulisan skripsi ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Humaizi. M.A selaku Pembantu Dekan I Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi dukungan dan inspirasi di awal pemilihan judul skripsi peneliti.

(3)

informasi selama ini.

6. Suster Angelina Pane dan Suster Vinsensia Naibaho selaku kepala SLB/A Karya Murni yang lama dan yang baru yang telah memberikan ijin bagi penelitian ini.

7. Suster Bastiana selaku Kepala Logistik Panti Asuhan yang telah menerima peneliti untuk meneliti dan memberikan informasi dan masukan berharga bagi peneliti dan penelitian ini.

8. Suster Mauritsia Harianja KSSY selaku Kepala Panti Asuhan merangkap sebagai konselor di Panti Asuhan Karya Murni yang telah menyertai peneliti dalam melakukan observasi dan memberikan informasi-informasi berharga untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih juga telah memberikan banyak kesempatan dan keleluasaan waktu kepada peneliti untuk melakukan wawancara dengan para informan.

9. Ms. Eva Manik selaku staf pengajar kelas TKLB/A Karya Murni yang dengan tulus dari sejak pra penelitian telah menerima peneliti untuk ikut membantunya mengajar di kelas serta membantu peneliti dalam mencari informasi tentang seluk beluk Karya Murni dan seluruh penghuni Panti Asuhan. Terima kasih buat “kesehatian” dan misi kita yang sama terhadap anak-anak tunanetra di Karya Murni.

(4)

11. Teman-teman dekat peneliti : Bang Bobby Johari, Christina Napitupulu dan Sahrijal Barus yang selalu ada serta bersama-sama berjuang dalam melewati hari-hari selama penulisan skripsi. Terima kasih telah menjadi motivator dan pemberi semangat, dukungan, bantuan, informasi, kritikan serta canda dan tawa baik lewat sms maupun ketika berdiskusi di “parkiran perpustakaan”. Juga buat Mona, terima kasih buat mottonya “learning by doing” yang telah menjadi inspirasi peneliti selama melakukan penelitian.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perbaikan dan kelengkapan isi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemiikiran bagi kita semua.

Medan, Juni 2008 Hormat Peneliti

(5)

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 5

I.3 Pembatasan Masalah ... 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

I.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

I.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

I.5 Kajian Pustaka ... 8

I.5.1 Komunikasi ... 8

I.5.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 11

I.5.3 Tunanetra ... 12

I.5.4 Konseling Individual ... 13

I.5.5 Konsep Diri ... 16

I.6 Definisi Konsep ... 17

I.7 Definisi Operasionalisasi ... 20

(6)

II.1.1 Pengertian Komunikasi ... 28

II.1.2 Fungsi Komunikasi ... 29

II.1.3 Model Penelitian Komunikasi ... 29

II.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 31

II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 31

II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi ... ... 32

II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 35

II.3 Tunanetra ... 36

II.3.1 Pengertian Tunanetra ... 36

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan ... 38

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra ... 40

II.4 Konseling Individual ... 41

II.4.1 Pengertian Konseling Individual ... ... 41

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual ... 43

II.4.3 Tujuan Konseling Individual ... 44

II.4.4 Proses Konseling Individual ... 45

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual ... 46

II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual ... ... 47

II.5 Konsep Diri ... 49

II.5.1 Pengertian Konsep Diri ... ... 49

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory) ... ... 50

(7)

III.1.1 Sejarah Singkat Panti Asuhan

Karya Murni ... 56

III.1.2 Gambaran Umum Panti Asuhan Karya Murni ... 58

III.1.3 Keadaan Umum Panti Asuhan Karya Murni ... 60

III.1.4 Program Kerja dan Kegiatan Panti Asuhan Karya Murni ... 61

III.2 Metode Penelitian ... 63

III.3 Subjek Penelitian ... 63

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 65

III.5 Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV ANALISIS DATA KUALITATIF IV.1 Informan I ... 68

IV.1.1 Identitas Informan ... 68

IV.1.2 Interpretasi Data ... 69

IV.1.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... ... 71

IV.1.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 73

IV.1.5 Analisis Data (Matriks) ... 75

IV.1.6 Kesimpulan Temuan Data Informan I ... 76

IV.2 Informan II ... 79

IV.2.1 Identitas Informan ... 79

IV.2.2 Interpretasi Data ... 80

IV.2.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 81

(8)

IV.3 Informan III ... 89

IV.3.1 Identitas Informan ... 89

IV.3.2 Interpretasi Data ... 90

IV.3.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 91

IV.3.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 93

IV.3.5 Analisis Data (Matriks) ... 94

IV.3.6 Kesimpulan Temuan Data Informan III ... 95

IV.4 Informan IV ... 97

IV.4.1 Identitas Informan ... 97

IV.4.2 Interpretasi Data ... 98

IV.4.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 100

IV.4.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 101

IV.4.5 Analisis Data (Matriks) ... 103

IV.4.6 Kesimpulan Temuan Data Informan IV ... 104

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 106

V.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

No. Tabel Halaman Tabel 1 Formula Laswell apabila dihubungkan

dengan penelitian ... 10

Tabel 2 Konsep Operasional ... 18

Tabel 3 Golongan Usia Siswa/i Tunanetra... 61

Tabel 4 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I ... 75

Tabel 5 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II ... 85

Tabel 6 Rangkuman Temuan Penelitian Informan III ... 94

(10)
(11)

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI INI DISETUJUI DAN DIPERTAHANKAN OLEH : NAMA : ROTUA SINAGA SIMANJORANG

NIM : 060922064

DEPARTEMEN : ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

JUDUL : PERANAN KOMUNIKASI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL DALAM MEMBENTUK KONSEP DIRI (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor)

DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

EMILIA RAMADHANI, S.Sos Drs. AMIR PURBA, M.A NIP. 132 316 972 NIP. 131 654 104

DEKAN FISIP USU

(12)

Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra di Panti Asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor, berikut untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang digunakan, siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien, masalah-masalah apa yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah klien. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Laswell. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel komunikasi layanan konseling individual dengan variabel pembentukan konsep diri.

(13)

Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra di Panti Asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor, berikut untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang digunakan, siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien, masalah-masalah apa yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah klien. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Laswell. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel komunikasi layanan konseling individual dengan variabel pembentukan konsep diri.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia sesungguhnya adalah citra Tuhan yang mempesona. Pesona itu dijumpai dalam diri semua bayi yang lahir ke dunia dengan kelengkapan organ-organ tubuh maupun mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Oleh karena itu, selayaknyalah hidup mesti dihormati bagaimanapun wujudnya di dalam diri setiap orang, karena pada dasarnya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menyukai dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat menyebabkan manusia tersebut merasa rendah diri karena merasa tidak berguna dan selalu bergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain.

Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu sesuai dengan jenis kecacatannya. Begitu juga dengan penyandang tunanetra, stigma yang diberikan masyarakat awas (melihat normal) sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi prasangka bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan.

(15)

Untuk mengatasi permasalahan yang ada pada mereka, maka anak tunanetra perlu dididik dan diberdayakan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan/keterampilan yang wajar seperti anak normal lainnya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa :

Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.

Pendidikan SLB/A Karya Murni yang berlokasi di Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor adalah salah satu wadah yang berperan dalam mengatasi problema yang timbul dari penderita cacat netra yakni dengan memberikan hak pendidikan dan keterampilan yang sama dengan anak normal lainnya. Semua anak dididik sesuai dengan bakat dan kemampuannya dengan tidak mengabaikan kurikulum pendidikan pemerintah tahun 1994. Sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Seri Amal dan bermitra kerja dengan Keuskupan Agung Medan ini berdiri sejak tahun 1953. Jenjang pendidikan yang ada terdiri dari : Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB).

(16)

menyiapkan makanan bagi anak-anak tunanetra. Tiap unit panti asuhan dikepalai oleh seorang suster.

Di panti asuhan ini, para siswa/i dikelompokkan sesuai dengan tingkatan usianya masing-masing, dengan maksud agar tiap anak mengalami perkembangan yang wajar sesuai dengan pertambahan usianya sekaligus untuk lebih memandirikan mereka, sehingga ketika tiba waktunya harus keluar dari panti asuhan mereka bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat awas lainnya, tentunya dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang didapat dari sekolah dan panti asuhan.

Adapun yang menjadi penghuni panti asuhan ini adalah para siswa/i tunanetra yang yatim, piatu, yatim piatu, ditinggalkan/ditolak keluarga, ekonomi lemah, dititipkan keluarga sampai yang dengan kemauannya sendiri ingin tinggal di panti asuhan. Di sini semua anak diperlakukan dan dihormati sama tanpa memandang asal- usul, suku, agama, tingkat ekonomi ataupun keadaan fisik.

Siswa adalah manusia berpotensi yang layak dikembangkan untuk mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Seorang siswa tunanetra yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena keterbatasan rangsangan visual, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berperilaku positif.

(17)

belakang pendidikan psikologi, yang kesehariannya tinggal dan bertugas di panti asuhan.

Pola komunikasi konseling yang umumnya terdapat di lingkungan panti asuhan Karya Murni ini adalah bersifat kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi, namun tetap mengutamakan sisi kedisplinan/ketegasan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya para siswa/i tunanetra memiliki tingkat kecerdasan, daya tangkap, sifat dan kepribadian yang tidak sama satu sama lain.

Pada kenyataan yang terlihat, para siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni ini sedikit banyak dapat mengatasi segala kelemahan yang ada pada mereka. Hal ini dapat terlihat dari kemandirian mereka dalam mengerjakan tugas-tugas rutin seperti mengenakan dan memilih pakaian yang serasi, menyiapkan dan mengunakan alat-alat makan di atas meja, memelihara kebersihan diri sendiri, pergi ke sekolah dan kembali pulang ke panti asuhan sendiri maupun mampu menjalin persahabatan/bersosialisasi dengan teman sebayanya, guru pembimbing, suster pengasuh, dan terhadap warga lainnya di sekitar lingkungan sekolah dan panti asuhan. Selain itu, beberapa dari mereka juga berhasil mengukir sejumlah prestasi di bidang olah raga, akademis, pembinaan mental/kreativitas dan seni.

(18)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor?

2. Bagaimanakah teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra dalam membentuk konsep diri mereka?

3. Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra?

4. Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra?

5. Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra?

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas dan terarah, sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Populasi penelitian adalah siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor.

(19)

3. Penelitian ini terfokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni.

4. Pembentukan konsep diri klien tunanetra dilihat dari perangkat teori Rogers/teori diri (Self Theory) tentang lima sifat khas seseorang yang

berfungsi sepenuhnya (fully human being).

5. Tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor.

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra terhadap proses pembentukan konsep diri klien tunanetra

(20)

d. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra.

e. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor terhadap masalah yang dihadapi klien tunanetra.

I.4.2 Manfaat Penelitian

Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi konseling individual yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri siswa/i tunanetra.

b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang ilmu komunikasi.

(21)

I.5 Kajian Pustaka

Kajian pustaka berfungsi untuk menguraikan teori, konsep, atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Kajian pustaka merupakan dasar untuk membuat definisi konsep dan operasionalisasi variabel. Menurut Kriyantono (2006:45) teori dalam pendekatan kualitatif berfungsi sebagai pisau analisis yakni membantu peneliti untuk mengumpulkan dan memaknai data serta mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi.

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: I.5.1 Komunikasi

Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).

Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).

(22)

Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan:

1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa kata-kata, saran, pikiran maupun pesan non verbal (perilaku non verbal) dalam proses konseling.

2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra.

3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan yaitu melalui organ pengindera.

4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor.

(23)

Tabel 1

Formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian

Who

(Komunikator)

Says What (Pesan)

InWhich Channel (Media)

To Whom (Komunikan)

With What Effect (Efek yang ditimbulkan) Konselor a. Pesan verbal

(bahasa lisan) b. Pesan non verbal

(perilaku non verbal)

Organ pengindera

Siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor sebagai klien tunanetra

(24)

I.5.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi

Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Goyer mengatakan bahwa komunikasi insani menjadi unik karena kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami pengalaman orang lain (Tubbs, 1996:5).

Adapun unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2

2. Pesan 3. Saluran

4. Gangguan (interference) 5. Umpan balik

6. Waktu

Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4).

Adapun karakteristik komunikasi hubungan manusiawi sebagai berikut: a. Kepercayaan dan pengertian.

(25)

c. Konteks, terdiri dari:

- situasi atau keadaan (setting)

- lingkungan sosial psikologis di mana komunikasi terjadi dan hubungan berkembang.

d. Penegasan (konfirmasi) dan diskonfirmasi. e. Sikap mendukung dan bertahan.

f. Afeksi dan kontrol (Tubbs, 1996:206).

I.5.3 Tunanetra

Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa yakni: tuna = rugi, netra = mata atau cacat mata. Jadi tunanetra menggambarkan keadaan

penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat (buta total) maupun ringan (low vision/kurang awas).

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan-kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemampuan berkembang yang dialami anak awas.

(26)

Masalah-masalah yang timbul bagi anak tunanetra antara lain: (1) Mudah curiga terhadap orang lain.

(2) Mudah tersinggung perasaannya.

(3) Rasa ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain (Ramidjo, 1998:4-5).

I.5.4 Konseling Individual

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara etimologi berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Jones mendefinisikan konseling sebagai kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri (Lubis, 2006:7).

Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini:

a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien. b. Terjadi dalam suasana yang profesional.

c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.

(27)

individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9).

Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefinisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut:

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

(28)

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif - si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi di dalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

(29)

I.5.5 Konsep Diri

Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Teori ini disebut juga teori Rogers/teori diri (Self Theory), yakni teori yang berpusat pada pribadi. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilai dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

(30)

sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan dalam persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya, termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan, percaya diri (Graham, 2005:92-93).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman. 2. Tidak adanya sikap defensif. 3. Kesadaran yang cermat. 4. Penghargaan diri tanpa syarat.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain (Hall, 1993:128).

I.6 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak (hasil pemikiran rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan.

(31)

(Kriyantono, 2006:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis dengan dunia empiris.

[image:31.595.95.542.278.717.2]

Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Konsep Operasional

Konsep Variabel Operasionalisasi Konsep Indikator 1. Variabel Komunikasi

Layanan Konseling Individual

a. Keikutsertaan untuk berkonseling

- berminat/tidak berminat untuk berkonseling b. Suasana sewaktu

berkonseling

- apakah tercipta suasana akrab, rileks, kekeluargaan dan sebagainya

c. Cara penyampaian pesan

- melalui pesan verbal (komunikasi lisan) dan perilaku non verbal d. Umpan balik - ada umpan balik/respon e. Pemahaman akan pesan - paham/mengerti akan pesan

yang disampaikan 2. Variabel Pembentukan

Konsep Diri

a. Terbuka pada pengalaman

- rasa cemas, marah atau takut sudah berkurang/hilang terhadap masalah yang sedang dihadapi

- optimis akan masa depan b. Tidak bersikap defensif - sudah bersikap terbuka

(32)

c. Kesadaran yang cermat - sudah memiliki rasa percaya diri

- menyadari kelebihan/bakat yang dimiliki

d. Penghargaan diri tanpa syarat

- merasa cukup berarti di lingkungannya

- ada prestasi di dalam maupun di luar kelas e. Menjalin hubungan

yang harmonis dengan orang lain (Hall, 1993:128).

- dapat bergaul dengan semua penghuni panti asuhan

(33)

I.7 Definisi Operasionalisasi

Definisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel dalam konsep operasional. Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel komunikasi layanan konseling individual terdiri dari:

a. Keikutsertaan untuk berkonseling yaitu apakah siswa tunanetra (klien tunanetra) berminat atau tidak untuk ikut serta atau melibatkan diri

berkonseling dengan konselor.

Dari sini juga akan diketahui siapa yang proaktif dalam layanan konseling tersebut – konselor atau klien tunanetra.

b. Suasana berkonseling yaitu bagaimana keadaan/kondisi antara konselor dengan klien tunanetra ketika berkonseling – apakah tercipta suasana akrab, kebersamaan/intim, rileks dan kekeluargaan atau sebaliknya.

c. Cara penyampaian pesan yaitu bagaimana konselor menyampaikan pesannya – apakah melalui komunikasi lisan (pesan verbal) dengan disertai bahasa tubuh (perilaku non verbal) atau tidak disertai dengan perilaku non verbal.

Dari sini juga akan diketahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra.

d. Umpan balik yaitu apakah terdapat umpan balik atau respon antara konselor dan klien tunanetra.

(34)

Dari sini juga akan diketahui masalah apa saja yang pada umumnya menjadi fokus layanan bagi klien tunanetra berikut bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra.

2. Variabel pembentukan konsep diri terdiri dari:

a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunanetra (klien tunanetra) mulai mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari karena terlalu mengancam atau terlalu merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu bisa berupa kecemasan, ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa melihat lagi, masalah keluarga, pelajaran di sekolah, masalah hubungan dengan teman atau guru dan sebagainya.

Selanjutnya ia mengetahui bahwa ia telah mengalami dirinya sehingga tingkah lakunya berubah secara konstruktif sesuai dengan dirinya/perasaannya yang baru dialaminya, bahwa ia adalah semua perasaan itu. Sikap ini berhasil apabila klien tidak perlu cemas atau takut lagi terhadap apa yang mungkin melekat pada pengalaman itu. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia inginkan.

(35)

Sikap ini dimulai dengan mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya.

c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk di dalam diri klien tunanetra dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain. Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap bahwa dirinya cukup berarti di lingkungannya.

d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana klien tunanetra bebas mengaktualisasikan diri untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang dimiliki.

(36)

I.8 Metodologi Penelitian I.8.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor. Lokasi ini dipilih oleh peneliti sebab siswa/i di panti ini telah banyak yang mengukir prestasi di tingkat lokal maupun nasional. Prestasi-prestasi itu antara lain:

1. Bidang akademis: beberapa kali berhasil menjuarai lomba mengarang tingkat nasional dan lomba baca indah tingkat propinsi.

2. Bidang pembinaan mental/kreativitas: dua kali terpilih mengikuti Jambore Nasional di Jakarta, mengadakan mini konser di Medan, terpilih sebagai duta dari Sumatera Utara mengikuti konser “Children of the World” di Jakarta bersama dengan duta-duta dari negara lain serta ikut memeriahkan perayaan HUT RI ke 56 di Lapangan Merdeka Medan.

3. Bidang olahraga: beberapa kali peringkat pertama menjuarai lomba catur anak-anak cacat tingkat propinsi dan tingkat nasional, peringkat pertama lomba lari 100 meter anak-anak cacat tingkat internasional di Australia dan tingkat nasional di Solo.

(37)

I.8.2 Metode Penelitian

Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang mengutamakan proses/kedalaman data daripada keluasan data. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsi atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian (Alsa, 2003:55).

I.8.3 Subjek Penelitian

Menurut Kriyantono (2006:161) dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada penelitian kualitatif disebut subjek penelitian atau informan.

Adapun kriteria yang menjadi subjek penelitian/informan adalah sebagai berikut :

- Subjek terdiri dari 4 orang siswa/i panti asuhan Karya Murni yang duduk di tingkat SLTP (2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan).

- Subjek adalah tunanetra dengan kisaran tngkat penglihatan dari kebutaan total hingga kurang awas (low vision) – atau ketunanetraan berat hingga ketunanetraan ringan.

- Subjek memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik untuk dapat diwawancarai.

(38)

kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan sampel pertama diminta memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan sampel lagi, begitu seterusnya sampai jumlahnya banyak. Proses ini baru berakhir bila periset merasa data telah jenuh, artinya periset merasa tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara (Kriyantono, 2003:157).

Dengan demikian apabila data-data yang diperlukan dalam peneltian dianggap masih belum mencukupi melalui 4 orang subjek penelitian, maka tidak menutup kemungkinan subjek penelitian akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penentuan jumlah informan didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat homogenitas/sifat-sifat populasi yang relatif sama.

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu teknik mengumpulkan data dengan menghimpun data/informasi dari sumber-sumber bacaaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu kegiatan dimana peneliti mengumpulkan data di lokasi penelitian yang meliputi:

a. Pengamatan (Observasi Partisipan)

Peneliti melibatkan diri secara pasif dalam beberapa kegiatan subjek penelitian. Pengamatan ini dilakukan untuk melengkapi data wawancara. Adapun kegiatan observasi itu dilakukan:

(39)

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri,

- serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.

b. Wawancara Mendalam (Indepth/Qualitative Interview)

Pada saat wawancara peneliti mengunakan pedoman wawancara (Interview Guide) untuk mengarahkan penelitian supaya tidak melenceng. Hasil wawancara tersebut direkam dalam pita rekaman (kaset) dan juga dicatat pada kertas (transkrip wawancara).

Adapun kegiatan wawancara itu dilakukan:

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri sehingga peneliti dan subjek penelitian memiliki keleluasaan waktu sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah,

- serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.

I.8.5 Teknik Analisis Data

(40)

Adapun poses analisis dalam penelitian ini terdiri dari tiga fase yaitu: (1) Reduksi data (data reduction)

Reduksi data adalah proses menyeleksi, memfokuskan dan menyederhanakan data yang tercantum dalam catatan lapangan atau transkrip wawancara. Reduksi data ini tidak hanya dimaksudkan agar menjadi padat sehingga mudah dikelola, tetapi juga agar lebih mudah dipahami dari perspektif masalah yang dibahas.

(2) Penyajian data (data display)

Fase kedua dari analisis data ini adalah menentukan bagaimana data itu akan disajikan. Sajian data tersebut dimaksudkan untuk mempermudah peneliti membuat ekstrapolasi dari data karena dengan sajian ini peneliti dapat dengan lebih cepat melihat adanya hubungan-hubungan yang sistematik. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk sajian data berupa tabel (matriks). (3) Penarikan kesimpulan (conclusion)

(41)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai proses pengoperan lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).

Sedangkan Carl Hovland mengemukakan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses dimana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (Soenarjo, 1995:143).

Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).

(42)

II.1.2 Fungsi Komunikasi

Laswell (Effendy, 1993:27) mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment) maksudnya penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai-nilai dan bagian-bagian unsur di dalamnya.

b. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the components of society in making a response to the environment).

c. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Di sini berperan para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun sekolah, yang meneruskan warisan sosial kepada keturunan berikutnya.

Lebih lanjut lagi Effendy mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Menginformasikan b. Mendidik

c. Menghibur d. Mempengaruhi

II.1.3 Model Penelitian Komunikasi

(43)

keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.

Sementara itu, Laswell (Effendy, 1993:253) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni : 1. Komunikator (pengirim pesan atau sender)

2. Pesan (message)

3. Media (saluran atau channel)

4. Komunikan (penerima pesan atau recipient) 5. Efek (efek atau effect)

Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan:

1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa kata-kata, saran, pikiran maupun pesan nonverbal (bahasa tubuh) dalam proses konseling.

2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan oleh konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra.

(44)

4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor.

5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra.

Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan komunikator, teknik komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi (Effendy, 1993:55):

a) Komunikasi informatif (menginformasikan, memberitahukan) b) Komunikasi persuasif (membujuk)

c) Komunikasi koersif (memaksa) d) Komunikasi instruktif (memerintah)

e) Komunikasi hubungan manusiawi (hubungan insani)

II.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi

II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi

Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Tubbs, 1996:5). Yang membuat komunikasi insani menjadi unik adalah kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami orang lain.

(45)

serentak dan saling mempengaruhi sehingga kedua komunikator akan mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi.

Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4).

II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi

Unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2

Merupakan sumber informasi dan berfungsi untuk memberi dan menerima pesan secara serentak dan pada saat yang bersamaan saling mempengaruhi. Aspek penting dalam penerimaan pesan adalah memperhatikan, mendengar, memahami dan mengingat.

2. Pesan

Ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi: a. Pesan verbal disengaja

(46)

3. Saluran

Saluran adalah media yang menyampaikan rangsangan komunikasi. Saluran komunikasi tatap muka organ pengindera yang biasanya digunakan adalah: indera pendengaran, penglihatan dan perabaan.

4. Gangguan (interference)

Gangguan adalah segala sesuatu yang mengubah informasi yang disampaikan kepada penerima pesan dan mengalihkannya dari penerimaan tersebut.

Gangguan ada dua jenis yaitu:

a) Gangguan teknis: faktor yang menyebabkan si penerima merasakan perubahan dalam informasi atau rangsangan yang tiba.

b) Gangguan semantik: apabila penerima memberi arti yang berlainana atas sinyal yang disampaikan oleh pengirim.

5. Umpan balik

Luft menyatakan umpan balik (feed back) sebagai balasan atas perilaku yang diperbuat. Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri sendiri.

6. Waktu

(47)

Berikut proses siklus komunikasi hubungan manusiawi sesuai dengan unsur-unsurnya menurut Tubbs (1996:6):

Bagan 1

Proses Siklus Komunikasi Hubungan Manusiawi

SALURAN

PESAN GANGGUAN

KOMUNIKATOR 1 sebagai pengirim/penerima

pesan

KOMUNIKATOR 2 sebagai pengirim/penerima

pesan

GANGGUAN PESAN

(48)

II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi

Menurut Tubbs (1996:11-12) dalam bukunya Human Communication Konteks-konteks Komunikasi, ada empat karakteristik untuk menilai efektivitas/kualitas komunikasi hubungan manusiawi atau hubungan antara dua orang, yakni:

1. Informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural dan sosiologis.

2. Aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.

3. Peranan dalam hubungan antarpesona pada pokoknya lebih ditentukan oleh karakter pribadi daripada oleh situasi.

4. Lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok..

Pilihan perseorangan dan informasi psikologis yaitu pengetahuan mengenai sikap dan kepercayaan pribadi, perilaku-perilaku yang khas, dan sebagainya.

Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kualitas hubungan antara dua orang itu adalah:

a. Penyingkapan diri (self disclosure)

Adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan sosial seseorang dan berkaitan dengan kesehatan mental dan dengan pengembangan konsep diri.

b. Kepercayaan dan keberbalasan. c. Keakraban.

(49)

e. Kesalingbergantungan yang berkaitan dengan rasa percaya, komitmen dan perhatian/kepedulian.

f. Afiliasi yang berkaitan dengan sikap bersahabat, suka berkumpul/bersama dengan orang lain serta ramah.

Ciri-ciri perilaku berafiliasi tinggi adalah: - memberi nasehat

- mengkoordinasikan - mengarahkan - memulai - memimpin

II.3 Tunanetra

II.3.1 Pengertian Tunanetra

Dalam masyarakat umumnya, istilah tunanetra sering dikaitkan dengan pengertian “buta”. Bila ditinjau dari segi etimologi bahasa, kata tuna berarti rusak, sedangkan kata buta berarti tidak dapat melihat karena rusak matanya. Jika kata tunanetra berarti rusaknya penglihatan, maka pada hakekatnya pengertian tunanetra bukanlah semata-mata pada hilangnya penglihatan, akan tetapi masih mempunyai sisa penglihatan.

(50)

kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan yaitu buta dan kurang lihat.

John D. Kershaw berpendapat bahwa kebutaan ialah “a blind person is one who can not see” (seorang buta ialah orang yang tidak dapat melihat dengan jelas). Menurut Departemen Sosial, tunanetra (penyandang cacat netra) adalah seseorang yang tidak dapat menghitung jari tangan pada jarak satu meter di depannya, dengan menggunakan indera mata.

Sedangkan menurut WHO, kebutaan adalah suatu keadaan dimana tajam penglihatan-penglihatan, setelah koreksi optimal, kurang dari kemampuan menghitung jari pada jarak sampai dengan 3 meter. Sebagai penjelasan dapat diterangkan, bahwa pada orang normal kemampuan menghitung jari adalah sampai dengan jarak 60 meter. Dengan demikian, tajam penglihatan setelah koreksi optimal kurang dari 3/60 atau 5% dari tajam penglihatan normal, sudah termasuk dalam kategori kebutaan.

Selanjutnya, Departemen Sosial membedakan tunanetra menjadi dua golongan, yaitu buta total dan buta sebagian (low vision) yaitu ketunanetraan yang masih memiliki sisa penglihatan.

(51)

menggunakan metode visual dan dengan bantuan alat-alat khusus (Ramidjo, 1998:2).

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatan yang diderita oleh anak tunanetra dapat menimbulkan berbagai masalah terutama keterbatasan-keterbatasan penglihatannya. Keterbatasan tersebut antara lain karena anak tunanetra mempunyai tanggapan yang sangat kurang, bila dibandingkan dengan anak awas. Karena keterbatasannya dalam memperoleh rangsangan visual itu, mereka merasa dunia mereka kecil dan sempit. Hal ini menimbulkan masalah-masalah yang kemudian menumbuhkan dampak psikologis dan tingkah laku yang negatif pada anak tunanetra.

Ramidjo (1998:4-5) dalam tulisannya yang berjudul “Ortopedagogik Ketunanetraan” mendaftarkan 3 dampak psikologis ketunanetraan yang menjadi karakteristik ketunanetraan sebagai berikut :

1. Perasaan curiga terhadap orang lain.

(52)

Perasaan-perasaan kecewa tersebut mendorong mereka untuk selalu berhati-hati terhadap situasi maupun kondisi setempat. Sikap berhati-hati-berhati-hati yang terlalu berlebihan akan berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi perasaan-perasaan kecewa yang disebabkan oleh keterbatasan rangsangan visual, maka dikembangkan potensi yang masih ada misalnya dengan mempertajam indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman dan indera pengecapan.

2. Perasaan mudah tersinggung.

Perasaan ini pada anak tunanetra karena disebabkan oleh keterbatasannya rangsangan visual yang diterimanya serta peranan indera lain yang kurang baik. Hal tersebut didapat dari pengalaman sehari-hari misalnya, mendengar orang berbicara kepadanya dengan tekanan suara tertentu, singgungan fisik yang tidak disengaja oleh temannya dan sebagainya. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perasaan mudah tersinggung. Untuk mengatasi hal ini diusahakan melalui pendidikan agama, olah raga dan kesenian yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra merasa bahagia dalam hidupnya dan tidak selalu menyesali nasibnya karena kecacatannya.

3. Ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain.

(53)

sendiri seperti mandi, makan dan minum, berpakaian, memakai sepatu dan sebagainya.

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra

Adapun dampak ketunanetraan/keterbatasan dasar anak tunanetra adalah: 1. Perkembangan Bahasa.

Sebagian besar ahli percaya bahwa kekurangan penglihatan tidak merubah kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hanya sebagian kecil aspek komunikasi ditemukan adanya perbedaan, misalnya dalam hal “gesture” (mimik muka). Karena indera pendengaran lebih banyak digunakan daripada penglihatan dalam mempelajari bahasa, maka tidaklah mengherankan jika hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra relatif tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Anak tunanetra masih dapat mendengar bahasa dan bahkan mungkin lebih termotivasi untuk menggunakannya, karena ini merupakan cara utama yang dapat mereka lakukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

2. Kemampuan Intelektual.

(54)

3. Kemampuan Konseptual.

Perkembangan kemampuan konseptual atau kognitif anak tunanetra tertinggal di belakang anak-anak awas. Anak tunanetra juga cenderung lebih miskin dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran abstrak. Kekurangan tersebut bukan disebabkan karena sifat-sifat pembawaannya, tetapi karena kurangnya mendapatkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang memadai.

4. Penyesuaian Sosial.

Akibat dari hilangnya atau terbatasnya daya penglihatan menyebabkan anak tunanetra menjadi pasif dan hilang keinginannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi proses belajar anak. Salah satu kesulitan anak tunanetra dalam menguasai keterampilan sosial tertentu misalnya bagaimana menampilkan ekspresi muka yang tepat (Ramidjo, 1998:7-9).

II.4 Konseling Individual

II.4.1 Pengertian Konseling Individual

(55)

Sementara itu, John McLeod (2003:16) menyatakan bahwa konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di antara mereka.

Shertzer dan Stone dalam bukunya “Fundamental of Counseling” (Lubis, 2006:11) mengemukakan konseling ialah berhubungan dengan usaha untuk mempengaruhi perubahan sebahagian besar tingkah laku klien secara sukarela (klien ingin untuk mengubah perilakunya yang bermasalah dan mendapatkan bantuan dari konselor).

Milton E. Hahn mengartikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh pelatihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya (Willis, 2004:18).

(56)

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling individual merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberitahuan bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya serta mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual

Dalam Willis (2004:63-64), client-centered therapy sering juga disebut suatu metode yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).

Ciri-ciri konseling individual ini adalah:

1. Ditujukan kepada klien yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.

2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi intelektualnya.

3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial-psikologis masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.

(57)

5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Tujuan konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi masalahnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras, melakukan sesuatu dengan rasa tanggung jawab dan percaya diri.

II.4.3 Tujuan Konseling Individual

Terapi terpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers pada tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran diri yang ideal (ideal-self) dengan kenyataan diri yang sebenarnya (actual-self).

Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain. Sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami dirinya sendiri (kekuatan dan kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor.

(58)

Secara umum dikatakan bahwa tujuan konseling harus mencapai :

a) Effective daily living, artinya setelah selesai proses konseling, klien harus dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdaya guna untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Tuhannya;

b) Relationship with other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, dan sebagainya.

II.4.4 Proses Konseling Individual

Berikut ini adalah tahap-tahap konseling terapi terpusat pada klien, yakni:

1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau membatalkannya.

2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu konselor menyadarkan klien.

3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien sebagaimana adanya.

4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.

(59)

6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan).

7. Klien merealisasikan pilihannya itu.

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual

Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Karena itu dalam pelaksanaan teknik konseling diutamakan sifat-sifat konselor berikut:

1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.

2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan, dan konsisten.

3. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu.

4. Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

Adapun penggunaan teknik-teknik itu seperti: (1) pertanyaan

(60)

II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual

Benjamin mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang profesional dengan klien dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan serta mempunyai minat, pengetahuan, dan keterampilan (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut :

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan, yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya

keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

(61)

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif dimana si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan ekternal terjadi di dalam sikap dan tindakan serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dalam hubungan konseling yakni:

a) Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian hangat bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa bersahabat, tidak formal, serta membangkitkan semangat dan rasa humor. b) Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan klien,

dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.

(62)

Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Rasa kebersamaan yang diciptakan konselor akan membuat jarak antara dia dengan klien menjadi dekat.

Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan resistensi, maka dia tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya.

II.5 Konsep Diri

II.5.1 Pengertian Konsep Diri

Menurut Dayakisni (2003:65), konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs,1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

(63)

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory)

Teori Rogers atau teori diri adalah teori yang berpusat pada pribadi, yang ditemukan oleh Carl Ransom Rogers. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilainya dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, pengagungan dan cinta dari irang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi seutuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu, sehingga ia tidak bersifat defensif, namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi.

(64)

Selanjutnya teori ini banyak digunakan dalam hubungan konseling yang berpusat pada klien terapi (client-centered therapy). Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila para klien mempersepsikan bahwa para ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya (Hall, 1993:127-128).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman.

Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel, sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian, ia akan mengalami banyak emosi baik yang positif maupun yang negatif. Seseorang akan cenderung mencek pengalaman-pengalaman masa lalu yang dilambangkan dengan dunia sebagaimana adanya. Uji terhadap kenyataan ini memberikan orang pengetahuan yang dapat diandalkan tentang dunia, sehingga orang dapat bertingkah laku secara realistis.

2. Tidak adanya sikap defensif.

(65)

3. Kesadaran yang cermat.

Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif), sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.

4. Penghargaan diri tanpa syarat.

Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan terhadap diri sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri-ciri beringkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan yang berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya masa depan bergantung pada dirinya sendiri, tidak ada peristiwa di masa lampau, sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.

(66)

II.6 Hubungan Komunikasi Layanan Konseling Individual dengan Pembentukan Konsep Diri

Sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian-uraian di atas, bahwa komunikasi layanan konseling individual adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif dalam mengubah sikap, pendapat serta perilaku seseorang. Hal ini dikarenakan di dalam konseling individual menggunakan komunikasi hubungan manusiawi/insani yang memiliki proses siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus menrus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu menciptakan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi. Dalam penelitian ini pemberi pesan adalah konselor dan penerima pesan adalah klien tunanetra.

Komunikasi layanan konseling individual yang bersifat dialogis (berupa percakapan) ini terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat keterlibatan/keikutsertaan antara konselor dan klien akan menciptakan suatu hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Aspek penting dalam penerimaan pesan di antara keduanya adalah memperhatikan mendengar, memahami dan mengingat.

Jadi dalam hal ini konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu, sehingga klien dapat mengemukakan perasaannya atau permasalahannya sebagaimana adanya.

(67)

itu juga pada saat komunikasi berlangsung. Konselor mengetahui dengan pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, konselor akan memberikan kesempatan kepada si klien untuk bertanya dan memberikan tanggapan/respon seluas-luasnya sehingga maksud si konselor dapat tercapai dan tujuan konseling pun tercapai juga.

Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri si klien yang selanjutnya akan membentuk identitas diri atau konsep dirinya.

Komunikasi layanan konseling individual sebenarnya suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Usaha untuk saling mempengaruhi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan atau menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan yang dipengaruhi.

Dalam hal ini, agar komunikasi layanan komunikasi konseling individual tersebut dapat mencapai hasil yang baik, maka si konselor harus mengenal latar belakang psikologis dan sosiologis kliennya. Pada prakteknya, konselor harus mampu menyesuaikan pesan dengan memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis seperti sikap, watak atau kebiasaan si klien, sehinggga pesan tersebut dapat diterima.

(68)

Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) mengatakan bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dicapai, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘pembentukan’ berarti hal atau cara membentuk. Pembentukan konsep diri berarti hal atau cara membentuk konsep diri. Konsep diri dibentuk oleh adanya suatu interaksi dan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang dilaksanakan dapat berupa komunikasi verbal (lisan) maupun non verbal (perilaku non verbal/bahasa tubuh).

Komunikasi layanan konseling individual merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif dalam upaya membentuk konsep diri klien, hal ini disebabkan komunikasi konseling lebih memperhatikan kedekatan/ketelibatan/hubungan yang bermakna antara konselor dan klien. Dalam kedekatan tersebut, konselor banyak memanfaatkan penggunaan latar belakang psikologis dan sosiologis si kli

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 5
+3

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi antarpribadi yang efektif telah memunculkan terbentuknya konsep diri siswa/siswi tunarungu seperti terbuka pada pengalaman, tidak bersikap defensif, kesadaran yang

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu khususnya berkaitan dengan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan

Peneliti menggunakan dua orang siswa sebagai subjek dalam mengimplementasikan layanan konseling individual dengan teknik client centered , karena tidak sedikit siswa

Hal tersebut menunjukkan perubahan perasaan siswa setelah mengikuti layanan konseling individual yang masuk pada kriteria baik, karena perolehan skor lebih dari

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bimbingan kelompok dengan teknik diskusi efektif untuk mengubah sikap terhadap layanan konseling individual pada peserta didik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengerahui hubungan persepsi siswa terhadap konselor dan sarana prasarana BK dengan minat layanan bimbingan konseling pada

“ Mengatasi Pesimisme Berwirausaha Melalui Layanan Konseling Individual Dengan Pendekatan Trait And Factor Pada Siswa Kelas XI Permesinan SMK Wisudha Karya Kudus

Judul Skripsi yang telah saya susun adalah: HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TENTANG KEMAMPUAN EMPATI KONSELOR DENGAN SIKAP SISWA TERHADAP LAYANAN KONSELING PADA