• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN KETERLIBATAN KAUM MUDA DALAM

A. Ekaristi dalam Gereja

2. Ekaristi Berdasarkan Dimensi Kristologis

Dalam ajaran Konsili Vatikan II dimensi kristologi menggambarkan tentang Perayaan Ekaristi yang erat hubungannya dengan Yesus Kristus. Menurut E. Martasudjita (2003: 293), ”Ekaristi ditetapkan Yesus sebagai kenangan akan diri-Nya, yakni Dia dan karya penyelamatan-Nya yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya”. Pada Perayaan Ekaristi, Gereja secara bersama-sama mengadakan suatu pesta atau perayaan yang intinya untuk mengenang kembali karya penyelamatan Tuhan kita Yesus Kristus dalam aspek kurban, kenangan, sakramen, dan perjamuan.

a. Ekaristi sebagai Kurban

Kata kurban mengandung arti harus ada ”sembelihan”, namun dalam Konsili Vatikan II menjelaskan bahwa: ”Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia

diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya” (SC, art. 47). Dalam LG, art. 3 menegaskan pula bahwa: Setiap kali di altar dirayakan kurban salib, tempat Anak Domba Paska kita, yakni Kristus telah dikurbankan (1 Kor 5:7), dilaksanakanlah karya penebusan kita. Dengan roti dan anggur dalam Perayaan Ekaristi sekaligus dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman, yang merupakan satu tubuh dalam Kristus (1 Kor 10: 17).

Namun Yesus menggantikan ”sembelihan” itu dengan diri-Nya sendiri. Di kayu salib Yesus mempersembahkan diri kepada Bapa. Dengan kurban-Nya itu Yesus memulihkan kehancuran manusia karena dosa (Wibowo Ardhi, 1993: 20-23). Menurut konsili Trente konsekrasi dibedakan dari kurban, maka timbul kesan bahwa kurban ini adalah pengurbanan oleh iman atau Gereja. Kurban rupanya pertama-tama mengenai realita manusiawi: korban. Konsili Trente menyatakan Kristus ”mempersembahkan” (kurban) yang sungguh-sungguh dalam arti yang sebenarnya. Ia meninggalkan (sesuai dengan kodrat manusia) kurban yang melambangkan (repraesentare) kurban berdarah yang hanya satu kali akan dijalankan disalaib (DS 1740). Dalam hal ini Trente menekankan kehadiran real kurban Kristus dalam Ekaristi (Martasudjita, 2003: 293-294; bdk. Wibowo Ardhi, 1993: 20-23).

b. Ekaristi sebagai Perayaan Kenangan

Dalam Perayaan Ekaristi umat mengenangkan karya keselamatan Allah. Karya penyelamatan sudah sampai kepenuhanya pada Yesus Kristus yang menyerahkan diri di kayu salib. Karya penyelamatan itu berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya yang selalu dikenang oleh umat pada masa Paskah. Pada perjamuan malam terakhir setelah mengucap berkat atas roti dan anggur kemudian membagi-bagikannya kepada para murid, Yesus berpesan: ”Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku” (Luk

22:19-20; 1 Kor 11:23-25). Konsili Vatikan II menjelaskan lebih lanjut, sebagai berikut:

Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan yang akan datang (SC, art. 47).

Dalam Sakramen Ekaristi yang Mahakudus secara sungguh-sungguh, real dan substansialada tubuh dan darah Yesus Kristus, bersama jiwa dan keallahan-Nya menjadi seutuhnya Kristus (DS 1651). Hal itu selanjutnya ditegaskan secara lebih khusus yakni bahwa: Kehadiran Kristus dalam Ekaristi disebabkan oleh perubahan seluruh substansi roti menjadi tubuh dan seluruh substansi anggur menjadi darah, sehingga yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur. Perubahan ini oleh Gereja Katolik disebut transsubstantiatio (DS 1652). Kata ”transsubstansiasi” adalah suatu kesimpulan dari realis proesentia (Banawiratma, 1989:115). Dalam teologi, istilah realis praesentia menunjuk kehadiran real Tuhan Yesus Kristus dalam Ekaristi, dalam rupa roti dan anggur. Perubahan hakiki roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus disebut transsubstantiatio. Maksudnya adalah bahwa Perayaan Ekaristi dirayakan supaya manusia belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan umat dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon.

Oleh karena itu ”kenangan” diungkapkan karya penyelamatan Allah yang berarti keselamatan bagi manusia. Menurut Tom Jacobs (1996: 87), ”Dengan mengenang wafat dan kebangkitan Kristus, umat mengambil bagian dalam

penyerahan Kristus kepada Bapa dan mengharapkan kebangkitan dan hidup abadi seperti Kristus”.

c. Ekaristi sebagai Sakramen

Berkat pembaruan liturgi dan teologi Gereja sejak awal abad XX, kini kata “sakramen” tidak lagi disempitkan hanya berarti 7 (tujuh) buah. Kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Latin yakni dari kata sacramentum. Kata sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berati: kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Kata Latin sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus. Dalam masyarakat Romawi kuno, sacramentum menunjuk sumpah prajurit, dan menunjuk pada uang jaminan atau denda yang ditaruh dalam suatu kuil dewa oleh orang-orang atau pihak-pihak yang berperkara dalam pengadilan (Martasudjita, 2003: 59-62).

Pada saat ini istilah “sakramen” tidak lagi langsung dipakai sebagai ritus atau upacara dari ketujuh sakramen, tetapi pertama-tama istilah sakramen menunjuk Yesus Kristus sendiri. Kristus adalah sakramen induk atau pokok, sebab Allah Sang Penyelamat yang tidak tampak, hadir dan kelihatan dalam diri Yesus Kristus. Pada tempat kedua istilah sakramen menunjuk Gereja sendiri. Gereja disebut sakramen dasar sejauh ada hubungannya dengan Kristus, Sang Sakramen Induk dan Pokok. Gereja sebagai sakramen berarti apa yang tampak dalam Gereja menjadi simbol real, yaitu simbol yang yang efektif dan menghadirkan keselamatan Allah yang terlaksana dalam Kristus bagi dunia, sedangkan ketujuh sakramen sebagai konkretisasi Gereja

sebagai sakramen dasar dalam kehidupan konkret manusia (Martasudjita, 2003: 67-69).

Ekaristi disebut sebagai sakramen paling utama artinya bahwa isi perayaannya adalah misteri sengsara dan kebangkitan Yesus Kristus. Misteri Paskah yang berarti misteri pembebasan kita dari belenggu dosa, misteri penyelamatan atau penebusan. Misteri pengudusan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia secara langsung dirayakan dalam Ekaristi. Misteri Paskah yang menjadi inti Perayaan Ekaristi sekaligus mendasari semua perayaan sakramen lainnya dalam segala bentuk peribadatan Gereja.

Ekaristi selalu menghadirkan Kristus maka di manapun umat berkumpul untuk mengenangkan misteri iman, Kristus selalu hadir di tengah-tengah umat beriman. Kehadiran Kristus tidak langsung dalam bentuk raga, tetapi dalam bentuk tanda dan sarana yang digunakan dalam Ekaristi. Hal ini ditegaskan pula dalam KHK, kan. 899 sebagai berikut:

Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri dan Gereja; di dalam Kristus Tuhan, melalui pelayanan iman mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa dengan kehadiran-Nya secara substansial dalam rupa roti dan anggur, serta memberikan diri-Nya sebagai santapan rohani kepada umat beriman yang menggabungkan diri dalam persembahan-Nya.

d. Ekaristi sebagai Perjamuan

Dalam tradisi Yahudi dikenal adanya Perayaan Perjamuan. Perjamuan itu diadakan untuk merayakan Paskah bagi bangsa Yahudi. Menurut Wibowo Ardhi, (1993: 12) bentuk perjamuan Yahudi pada waktu itu adalah doa sebelum makan (”pemecahan roti”), makan, dan doa sesudah makan (”pemberkatan piala”).

Perayaan Ekaristi disebut sebagai perjamuan, karena dalam perjamuan terakhir bersama para murid-Nya, Yesus memberikan diri-Nya untuk dimakan dan diminum. Perjamuan dalam Perayaan Ekaristi yang dibuat oleh Yesus berpangkal dari bentuk perjamuan Yahudi (Luk 22:15-20). Menurut Konsili Vatikan II, ”Ekaristi adalah perjamuan Paskah. Ekaristi merupakan perayaan kenangan dan karya keselamatan Allah yang memuncak dalam misteri Paskah Kristus dalam bentuk perjamuan” (SC, art. 47). Ekaristi dalam Gereja yang terjadi bukan hanya wujud dari kesatuan antara umat beriman, namun yang lebih penting adalah kesatuan antara Allah melalui Putra-Nya Yesus Kristus dengan manusia. Dengan demikian, menyantap roti dan anggur dalam perjamuan Ekaristi berarti umat mengungkapkan dan menghayati kesatuan hidup dengan Kristus dan sesama (Yoh 6:56).

Dokumen terkait