• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN KETERLIBATAN KAUM MUDA DALAM

A. Ekaristi dalam Gereja

1. Perkembangan Ekaristi dalam Tradisi Gereja

Gereja hidup dari Ekaristi. Kebenaran ini mengungkapkan bukan hanya pengalaman iman sehari-hari tetapi juga menegaskan hakikat misteri Gereja. Dengan berbagai cara Gereja mengalami dengan sukacita pemenuhan terus menerus dari janji Tuhan, “Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Dalam setiap Perayaan Ekaristi terjadi kembali kurban salib Kristus, yakni sengsara dan wafat-Nya. Bedanya kurban salib di Kalvari terlaksana secara jasmaniah dengan penumpahan darah sedangkan kurban salib dalam Ekaristi terlaksana secara sakramental, artinya dalam dan dengan tanda. Tetapi kedua kurban itu sungguh sama yakni terlaksananya karya penebusan Allah bagi manusia.

Tepatlah penegasan Konsili Vatikan II bahwa kurban Ekaristi “adalah sumber dan puncak kehidupan kristiani” (LG, art. 11). “Sebab dalam Ekaristi Kudus terkandunglah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Roti Paskah yang hidup dan pemberi hidup” (PO, art. 5). Demikianlah Gereja selalu mengarah kepada Tuhan yang hadir dalam Sakramen Ekaristi. Di sanalah Gereja menemukan kepenuhan pernyataan kasih Tuhan yang tak terbatas.

a. Dasar Ekaristi dalam Kitab Suci

Perayaan Ekaristi sudah ada sejak zaman Yesus dan para Rasul-Nya. Kata ”Ekaristi” sendiri berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji-syukur. Kata Eucharistia ini bersama kata Yunani eulogia (= juga puji syukur ) digunakan untuk menterjemahkan kata Ibrani birkat yakni doa berkat dalam perjamuan Yahudi yang merupakan doa puji dan syukur sekaligus doa permohonan akan karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Sejak abad V Perayaan Ekaristi disebut

misa. Kata “misa” berasal dari bahasa Latin ite missa est yang berarti pembubaran atau perutusan. Istilah ini digunakan untuk menterjemahkan aspek perutusan untuk melayani Tuhan dan sesama serta mewartakan kabar baik kepada segala bangsa (Martasudjita, 2003: 269). Istilah Perayaan Ekaristi dan Misa Kudus boleh sama-sama digunakan. Istilah perayaan Ekaristi menunjuk apa yang dirayakan, yaitu syukur Gereja atas misteri penebusan Tuhan sedangkan Misa Kudus menunjuk segi perutusan kita di tengah dunia.

Gereja merayakan Ekaristi bukan karena keinginan Paus, Uskup, atau para imam, tetapi karena memang diperintahkan oleh Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir: ”Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19; 1 Kor 11:24). Ekaristi ditetapkan oleh Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir, sebab secara khusus Perayaan Ekaristi memiliki dasar dan hubungan dengan peristiwa perjamuan malam terakhir yang diadakan Yesus dengan para murid-murid-Nya. Tetapi, perjamuan malam terakhir sendiri bukan Perayaan Ekaristi Gereja yang pertama. Ekaristi merayakan wafat dan kebangkitan Tuhan. Perayaan Ekaristi dibuat atas dasar perintah Yesus Kristus dan bukan merayakan atas perintah Gereja, maka Ekaristi bersumber pada perjamuan yang dibuat oleh-Nya. Menurut E. Martasudjita, (2003: 271-272), ada tiga hal yang dipandang sebagai akar dari Perayaan Ekaristi, yaitu: Perjamuan Makan Yesus dengan Orang-orang Berdosa, Perjamuan Malam Terakhir, dan Perjamuan dengan Yesus yang Bangkit.

1. Perjamuan Makan Yesus dengan Orang-orang Berdosa (Mrk 2:16-17; Mat 9:10-13; Luk 5:29-32)

Peristiwa Yesus makan dengan orang-orang berdosa menunjukkan bahwa Perayaan Ekaristi berakar pada seluruh karya Yesus semasa hidupnya. Semasa

hidupnya Yesus mewartakan Kerajaan Allah, di dalam karyanya Yesus mewartakan kasih Allah yang begitu besar terhadap seluruh umat manusia sehingga Ia mengundang orang-orang berdosa masuk dalam persaudaraan dan persekutuan-Nya. Yesus, rela menanggung sengsara dan wafat di kayu salib karena begitu besar cinta-Nya terhadap manusia yang penuh dengan dosa. Melalui perjamuan yang dilakukan Yesus dengan orang-orang berdosa, Yesus ingin menyatakan bahwa manusia yang penuh dosa sekalipun tetap akan diterima di Kerajaan Allah (Martasudjita, 2003: 271-272).

2.Perjamuan Malam Terakhir (Mrk 14:22-25; Mat 26:26-29; Luk 22:15-20; 1 Kor 11:23-26)

“Tuhan Yesus, pada malam Ia diserahkan” (1 Kor 11: 23) telah menetapkan

Kurban Ekaristi bersumber dari tubuh dan darah-Nya sendiri. Perjamuan malam

terakhir merupakan perjamuan perpisahan Yesus dengan para murid sebelum Ia

menderita sengsara dan wafat di kayu salib. Dalam perjamuan itu Yesus hendak

mengungkapkan kepada para murid-Nya bahwa Ia sangat mencintai seluruh umat

manusia dan akan memberikan keselamatan dengan mengkorbankan nyawa-Nya.

Wafat dan kebangkitan Yesus membawa keselamatan kepada umat manusia.

perjamuan malam terakhir ini yang menjadi saat penetapan bagi Perayaan Ekaristi

selanjutnya, karena melalui Perayaan Ekaristi umat Kristiani mengenangkan seperti

yang diperintahkan oleh Yesus sendiri: ”Perbuatlah ini menjadi peringatan akan

3.Perjamuan dengan Yesus yang bangkit (Luk 24:13-35)

Setelah bangkit, Yesus kembali mengadakan makan bersama para murid-Nya. Dalam perjalanan ke Emaus, Yesus menampakkan diri kepada dua murid-Nya dan mengadakan makan bersama dengan dua murid tersebut (Luk 24:13-35). Dalam perjamuan itu Yesus ingin mengungkapkan bahwa perayaan Ekaristi merupakan ungkapan kebersamaan dengan Yesus yang bangkit. “Ekaristi adalah tempat di mana kita secara leluasa dapat berada bersama Yesus, untuk saling bertemu, untuk secara bersama-sama mengalami rahasia Allah” (Martasudjita, 2003: 271-272; bdk. Grün, 1998: 45).

Dari ketiga perjamuan yang diadakan Yesus tersebut perjamuan malam terakhir merupakan yang paling pokok, karena dalam Perayaan Ekaristi umat mengenang kembali perbuatan dan tindakan Yesus dalam mewartakan Kerajaan Allah. Sebelum sengsara dan wafat Yesus mengadakan perjamuan dengan para murid untuk menyatakan bahwa keselamatan akan datang bagi seluruh umat manusia. Keselamatan itu akan ditandai dengan memecah dan membagikan roti serta mengedarkan anggur. Pemberian roti dan anggur merupakan lambang penyerahan diri Yesus kepada Allah yang menyelamatkan umat manusia. Melalui pengajaran para Bapa Gereja, umat dapat mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Itu sebabnya perjamuan malam terakhir merupakan hal pokok dalam Perayaan Ekaristi.

Dengan demikian, Perayaan Ekaristi tidak hanya untuk mengenang kembali perbuatan dan tindakan Yesus semata, tetapi Perayaan Ekaristi merupakan jaminan keselamatan abadi yang diperoleh seluruh umat manusia melalui Yesus Kristus. Di

dalam Ekaristi seluruh misteri kehidupan bersama dengan Allah dan manusia mengalami kepenuhannya dalam Kristus Yesus, dirayakan dan dihadirkan bagi umat beriman. Itulah sebabnya Perayaan Ekaristi dipandang sebagai puncak seluruh kehidupan umat kristiani (Martasudjita, 2003: 272-276).

b. Dasar Ekaristi dalam Gereja Perdana

Sejak Gereja abad-abad pertama, bentuk dasar Perayaan Ekaristi tersusun atas Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Kepastian bentuk ini dibuktikan pada kesaksian Santo Yustinus Martir pada pertengahan abad ke II. Liturgi sabda adalah untuk menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani melalui sabda yang diwartakan. Bagian ini disebut sebagai pengajaran akan sabda Tuhan. Lewat liturgi Sabda, umat merasakan kehadiran Tuhan, meresapkan dalam keheningan dan nyanyian dan mengimani dalam syahadat serta mengungkapkan pengharapannya dalam doa. Sedangkan liturgi Ekaristi merupakan bagian untuk menghadirkan korban salib dalam Gereja, menyatakan karya penyelamatan, dan penebusan. Pada liturgi Ekaristi umat mengambil bagian dalam korban salib Kristus dengan menyambut tubuh Kristus.

Ajaran Ekaristi yang sangat ditekankan oleh bapa-bapa Gereja adalah masalah tentang realis praesentia yakni pandangan mengenai Sabda Kristus yang menyebabkan suatu perubahan (consecratio, mutatio). Dalam teologi, istilah realis praesentia menunjuk kehadiran Yesus Kristus yang real dan nyata dalam Ekaristi, yakni dalam rupa roti dan anggur. Pada abad pertengahan Ekaristi terus diperdalam dan diperkaya dengan macam-macam pemikiran. Ajaran tentang realis praesentia disempurnakan lagi oleh Thomas Aquinas. Dalam bukunya Summa Theologiae,

Thomas memikirkan tiga segi tentang sakramen Ekaristi: Ekaristi sebagai signum commemorativum yang mengenangkan penderitaan dan wafat Yesus; Ekaristi sebagai signum communionis yang mengungkapkan kesatuan Gereja; dan Ekaristi sebagai signum praefigurativum yang menunjuk makna eskatologis Ekaristi. Thomas juga menegaskan ajaran transsubstantiatio, bahwa sesudah konsekrasi terjadi perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Istilah transsubstantiatio diajarkan secara resmi pertama kali oleh Konsili Lateran IV tahun 1215 (Martasudjita, 2003: 280-287 ).

c. Dasar Ekaristi dalam Konsili Trente

Konsili Trente diadakan untuk menanggapi ajaran reformasi yang berkejolak pada abad XVI, di mana pada masa itu para kaum reformator menekankan sifat simbolis dari kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sifat perjamuan dalam Ekaristi dan menolak sifat korban dari misa kudus. Sidang ke-13 tahun 1551 Konsili Trente mengesahkan dekrit mengenai praesentia (DS 1635-1661), yang berisi tentang ajaran kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh real dan nyata dalam Ekaristi, dan juga ajaran mengenai transsubstantiatio. Sidang ke-21 tahun 1562 mengajarkan tentang komuni dua rupa (DS 1725-1734). Dalam sidang tersebut Konsili Trente menyatakan bahwa penerimaan komuni walaupun hanya dalam satu rupa, sudah merupakan penerimaan seluruh diri Kristus secara tak terbagi dalam sakramen yang benar. Sidang ke-22 tahun 1562 membahas dan mengajarkan secara rinci tentang kurban misa (DS 1738-1759). Konsili Trente menegaskan keyakinan tradisi mengenai misa kudus, bahwa misa kudus di satu pihak merupakan perayaan kurban yang

dilaksanakan oleh Gereja, namun di lain pihak bukan kurban lain di samping kurban salib Kristus (Martasudjita, 2003: 290-291).

d. Dasar Ekaristi dalam Konsili Vatikan II

Ajaran tentang Ekaristi tersebar diberbagai dokumen Konsili Vatikan II, meskipun Konsili Vatikan II tidak memberikan dogma baru mengenai Ekaristi namun berbagi ajaran Konsili Vatikan II tentang Ekaristi disatu pihak menegaskan ajaran tradisional Gereja dan di lain pihak membicarakannya secara baru. Konsili Vatikan II banyak memberikan refleksi baru mengenai Ekaristi, pada hakekatnya Konsili Vatikan II menempatkan ajaran sakramen dan Ekaristi dalam konteks trinitas-kristologi, eskatologi, eklesiologi, dan antropologi.

Dokumen terkait