• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN KETERLIBATAN KAUM MUDA DALAM

B. Perkembangan Kaum Muda dalam Gereja

3. Problematika dalam Perkembangan Kaum Muda

Untuk menuju suatu kematangan dalam diri, kaum muda sering menghadapi berbagai macam persoalan, entah itu datang dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Namun terkadang mereka merasa sulit dan bahkan tidak mampu untuk keluar dari berbagai macam persoalan yang dialaminya.

Dalam kehidupan sehari-hari masalah yang sering dihadapi oleh kaum muda yakni seputar iman yang dihayatinya kurang mendalam dan pribadi yang belum mantap. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh kaum muda pada jaman sekarang, di mana zaman modern yang selalu menggerus nilai-nilai religius kaum muda bila tidak dibentengi dengan agama yang kuat. Permasalahan ini sungguh menjadi keprihatinan oleh banyak pihak, terutama oleh kaum muda sendiri yang sangat membutuhkan bantuan, bimbingan dan pendampingan khusus dalam memecahkan persoalan-persoalan yang bagi mereka sulit untuk mencari dan menemukan jalan keluarnya. Hal ini perlu dimaklumi karena dalam situasi perkembangan dalam menentukan jati diri, perlu menuntut setiap pribadi untuk bertindak dan diharapkan mampu menanggapi permasalahan tersebut sebagai bentuk perkembangan dirinya.

a. Problematika dalam Keluarga

Perbedaan pandangan tentang nilai dan norma sering terjadi antara anak dan orang tua, tak jarang hal mengakibatkan kesenjangan di dalam keluarga. Orang tua sering memakai ukuran atau patokan tempo dulu (past oriented), sementara sang anak lebih cenderung mengikuti perkembangan zaman dan melihat ke depan (futur oriented).

Konflik antara anak dan orang tua tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi di kota-kota kecil dan di pedesaanpun sering terjadi. Di kota-kota konfik antara anak dan orang tua terjadi karena orang tua lebih sibuk untuk bekerja, untuk mengejar prestise dan status sosial yang lebih tinggi. Waktu dan tenaga, dan bahkan anak sekalipun sering mereka korbankan. Hal ini membuat kurangnya komunikasi dan kasih sayang di antara orang tua dan anak. Selain itu perkembangan anakpun kurang mendapat perhatian dari orang tua. Sedangkan di daerah pedesaan konflik terjadi karena perbedaan tingkat pendidikan antara orang tua dan anak yang mengakibatkan kesulitan dalam berdialog di antara mereka.

Konflik-konflik antara orang tua dan anak khususnya anak yang sudah dewasa sering terjadi dikarenakan orang tua merasa dirinya yang paling benar dari segi pengalaman hidup, di mana hal ini membuat orang tua menjadi gagal dalam membantu anak-anaknya untuk menyimak dan menyadari nilai-nilai yang terkandung dalam pengalaman yang cenderung normatif dan disampaikan dalam nada yang imperatif. Kesenjangan ini akan menjadi masalah, manakala berkembang menjadi konflik (Tangdilintin, 1984: 26).

b. Problematika dalam Masyarakat

Kaum muda sering mendapat predikat sebagai pendobrak dan pembaharu, kaum muda ingin mendobrak kelambanan transisi, membrantas berbagai praktek yang tidak sehat, serta ingin merombak berbagai sistem tertentu yang melambangkan ketidak adilan dalam masyarakat. Walaupun tak jarang kaum muda tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Dan tidak jarang pula kaum muda di pojokkan hanya karena untuk kepentingan-kepentingan organisasi atau golongan tertentu yang mengatasnamakan kaum muda.

Dalam bermasyarakat, kaum muda sering mendapat perlakuan yang bersifat menyamaratakan, misalnya: karena sebagian kaum muda melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, maka semua kaum muda mendapat predikat yang tidak baik pula dari masyarakat. Dalam masa transisi di dalam masyarakat, tata nilai dan norma lama menjadi standart dalam bertingkah laku mengalami gocangan dan terjadi pergeseran. Nilai-nilai lama diragukan dan cenderung ditinggalkan, sedangkan nilai-nilai baru belum dipegang sepenuhnya. Proses transisi sering terjadi secara mendadak, sehingga menimbulkan kejutan, ketegangan dan kebingungan pada diri kaum muda (Tangdilintin, 1984: 29).

Sementara itu lapangan pekerjaan yang tersedia masih belum mampu mengatasi angka pengangguran yang semakin membengkak, karena banyak kaum muda yang mencari pekerjaan, namun banyak yang tidak mempunyai ketrampilan atau keahlian yang memadai. Daya tarik kota-kota besar, mengakibatkan kaum muda pedesaan melakukan urbanisasi yang hanya akan membawa masalah-masalah sosial di kota.

c. Problematika dalam Gereja

Kaum muda merupakan pilar atau penyangga kelangsungan tumbuh dan berdirinya Gereja. Gereja tidak hanya digerakkan oleh para religius, melainkan di dalamnya melibatkan umat, dan khususnya para kaum muda. Sering para orang tua kurang menyadari bahwa kaum muda juga merupakan bagian dari Gereja, mereka juga mempunyai hak dan tanggung jawab dalam ikut menentukan perkembangan Gereja selanjutnya.

Berbicara tentang kaum muda dalam Gereja maka kaum muda adalah salah satu komponen dari Gereja yang tidak boleh dinomor duakan tetapi harus diperhatikan sama seperti komponen pelayanan lainnya. Gereja sering kali tidak terlalu perduli terhadap pelayanan kaum muda karena ada banyak program yang lebih difokuskan pada orang-orang dewasa sehingga akhirnya pelayanan kaum muda dianggap sebagai pelayanan kelas dua. Pendampingan kaum muda Katolik dewasa ini yang terjadi biasanya bersifat parsial (sebagian) dan kurang di dalam pengelolaannya secara berkelanjutan. Pendampingan hanya memikirkan aspek moment, atau aspek gebyar, maka seakan terkesan seperti sebuah panggung pertunjukan yang hanya memikirkan prosesnya secara sesaat. Kaum muda yang hidup antara transisi atau masa peralihan dengan segala akibatnya, seringkali belum bahkan tidak diperhitungkan dalam Gereja, hal ini mengakibatkan tidak jarang kaum muda mengambil jarak dan bahkan acuh tak acuh. Bahkan ada anggapan, Gereja sebagai ”urusan orang tua” dan kurang memberi perhatian kepada kaum muda bahkan menjadikan kaum muda sebagai partner dalam perkembangan Gereja (Bons-Storm, 2003: 1)

Ada anggapan dari para orang tua bahwa kaum muda masih dalam proses persiapan, iman mereka belum mantap untuk menjadi anggota Gereja sepenuhnya. Kaum muda dapat dianggap sepenuhnya anggota Gereja jika mereka sudah benar-benar dewasa. Hal ini mengakibatkan tidak adanya tempat bagi kaum muda, maka dalam perkembangan Gereja selanjutnya, kaum muda lebih suka memilih sikap pasif, masa bodoh dan enggan untuk terlibat dalam Gereja. Permasalahan ini disadari atau tidak, dapat menciptakan iklim yang tidak sehat bagi kaum muda, di mana kaum muda merasa tidak diterima, asing, tersingkir, dan bahkan merasa tidak dihargai dalam Gereja. Tak jarang, banyak kaum muda yang tidak krasan menjadi anggota Gereja.

Tangdilintin (1984: 34) menuliskan: Timbul keluhan beberapa anak muda; mengapa orang tua sekarang ini selalu mendominir, memonopoli dan memperbudak kaum muda? Kaum muda dimohon kerjasama dengan kaum tua, itu memang baik. Tetapi mengapa kaum muda hanya seakan-akan sebagai alat dalam kerjasama tersebut, sedangkan orang tualah yang selalu menjadi penentunya.

d. Problematika dalam Diri Kaum Muda Sendiri

Dinamika kehidupan kaum muda sulit untuk dimengerti dan dipahami, pendirian dan kondisi emosionalnya cepat berubah dan belum stabil. Kemampuan yang ada dalam dirinya bisa menjadi potensi sekaligus problematika bagi kaum muda sendiri.

Dari segi fisik maupun psikis, masalah perkembangan kaum muda ditandai oleh dua dorongan, yakni dorongan kelamin (nafsu sex) dan dorongan ”aku” (nafsu ego) yang dapat mempengaruhi seluruh kehidupan kaum muda. Pengetahuan tentang

sex masih sering dianggap tabu oleh para orang tua, hal ini dapat mengakibatkan kaum muda berusaha mencari tahu sendiri tentang semua itu. Sehingga tidak jarang menimbulkan kegelisahan dan keingin tahuan yang disalurkan melalui berbagai cara atau bahkan melalui eksperimen yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan baru (Tangdilintin, 1984: 47).

”Dorongan aku” menggejala dalam berbagai prilaku, dengan harapan mendapat perhatian, dihargai, dan diterima seperti apa adanya. Permasalahan timbul apabila orang lain tidak menerima dan menghargai apa adanya seseorang. Sikap egois dapat diartikan kebebasan, tidak terikat oleh apa dan siapapun dalam memilih dan menentukan tindakan. Kaum muda tidak suka didikte orang tua maupun otoritas lain. Hal ini mengakibatkan orang tua menjadi otoriter dan suka mengatur, dan hal ini dapat menimbulkan konflik.

Kaum muda memiliki jiwa yang tidak stabil dan mudah goyah terhadap berbagai situasi yang dialaminya sehingga menyebabkan mereka mencari pelarian-pelarian yang sifatnya negatif. Kaum muda memiliki rasa kesetiakawanan atau solidaritas yang tinggi sehingga dalam lingkungan pergaulan dengan sesama komunitasnya, ia cenderung melakukan apa yang dilakukan oleh komunitasnya demi sebuah solidaritas sekalipun hal tersebut bersifat negatif. Kaum muda mengalami kesepian dan kekosongan karena peralihan dari masa anak-anak yang bergantung kepada orang tua kepada sebuah tuntutan kemandirian sehingga kaum muda mencari figur, tokoh, teman, dan pacar yang dapat diajak untuk berbagi rasa. Kesepian yang dialami oleh kaum muda juga menyebabkan kaum muda mencari hiburan-hiburan yang dapat menghibur dirinya seperti mengunjungi beragam konser musik yang di selenggarakan di berbagai tempat (stasiun televisi, mall, lapangan terbuka, dll) serta

memadati bioskop-bioskop (nonton film), diskotik-diskotik dan kafe-kafe (Tangdilintin, 1984: 48).

Selain itu kaum muda juga pernah atau sering merasakan perasaan minder. Perasaan minder merupakan faktor penghambat utama bagi perkembangan seseorang, karena dapat menyulitkan seseorang untuk berkenalan, bergaul, bersosialisasi dengan orang lain, dan bahkan tak jarang lebih suka memilih untuk menutup diri. Adanya rasa kurang yakin pada diri sendiri dan orang lain, dapat membatasi ruang gerak untuk berinisiatif dan berkreasi. Perasaan-perasaan seperti ini sering dialami para kaum muda, maka tak jarang ada yang enggan untuk bergaul atau malah memilih untuk menutup diri dari pergaulan. Kurang percaya diri juga sering menjadi masalah utama bagi kaum muda, terlebih ketika mereka tidak dapat tampil seperti yang diharapkan kelompok. Misalnya, jika mereka tidak bisa mengikuti mode, memiliki keterbatasan fisik, atau kurang yakin pada kemampuan yang mereka miliki, kaum muda yang seperti ini hanya cenderung mengejar popularitas daripada berani tampil apa adanya.

Dokumen terkait