• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologis Arrayyan Firdaus 1)

1)Politeknik Negeri Malang 1)[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendekonstruksi definisi dan teknik-teknik akuntansi kreatif menggunakan paradigma posmodernisme dalam bingkai Pancasila. Adapun definisi akuntansi kreatif dalam bingkai Pancasila adalah usaha seseorang untuk menciptakan ide baru didalam akuntansi dimana nilai-nilai filosofis, konsep, teori, dan praktiknya bertujuan untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan, mempererat tali persaudaraan antar sesama, dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar sehingga terjadinya proses transparansi dan transformasi informasi keuangan yang humanis.Kemudian, bentuk teknik-teknik dari akuntansi kreatif dalam bingkai Pancasilayang dimaksud adalah responsible to The God, Humans, and the Enviroment, materialistic and egoistic minimization, income distribution maximization, justice smoothing, dan non-financial perspective recognition.

Kata Kunci: Definisi, Teknik-Teknik, Akuntansi Kreatif, Posmodernisme, Pancasila.

Pendahuluan

“Wahai rakyatku, jangan pernah se- kali-kali engkau melupakan sejarah nege- ri ini,” teriak Bung Karno. Namun, sangat disayangkan, dewasa ini ungkapan tadi mulai kehilangan bunyinya sebagai akibat bangsa ini mulai tidak memanisfestasikan Pancasila ke dalam proses berkehidupan dan bernegara. Sederhananya, pernyataan ini dapat terpotret dari ungkapan Mula- warman (2012) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan akuntansi di Indonesia mulai kehilangan ruh Pancasila di seluruh tataran filosofis, konsep, teori, dan prak- tiknya. Padahal, semestinya Pancasila ha- rus menjadi dasar rekonstruksi ilmu dan praktik akuntansi di Perguruan Tinggi (Ludigdo dan Kamayanti, 2012).

Hilangnya ruh Pancasila ketika ber- bicara akuntansi salah satunya diakibat- kan adanya proses pengadopsian oleh IAI dalam menyusun kode etik akuntan dan sistem akuntansi keuangan Indonesia dari negara barat (Lihat Ludigdo dan Kama-

yanti, 2012; Afriansyah, 2014; dan Agoes dan Ardana, 2014). Proses pengadopsian tadi, membuat nilai-nilai budaya Pancasi- la semakin termaginalkan dan membawa resiko dikarenakan budaya barat mengan- dung nilai-nilai kapitalistik yang memili- ki ruh-ruh jahat seperti egoistik, mate- rialistik, private, kuantitatif, dan masku- lin (Lihat Syafe'ie, 2000; Achsin, 2006; dan Triyuwono, 2012) yang tentunya ber- beda dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila. Nilai-nilai kapitalistik ini disinyalir memang sengaja dirancang dan dikembangkan untuk mencapai tu- juan tertentu (Ghozali dan Chariri, 2007) sehingga proses pengadopsian ini me- ngantarkan sistem akuntansi dan kode etik akuntan Indonesia bersandar pada ni- lai-nilai sekularisasi dengan konsekuensi ciri utama yang self-interest, menekankan

bottom line laba dan hanya mengakui rea- litas yang tercandra (Mulawarman, 2006).

Lebih detail, Harahap (2013) serta Juniarti dan Corolina (2005) menambah-

kan bahwa akuntansi modern (akuntansi yang terbentuk dari proses pengadopsian) menuntut adanya pengungkapan informa- si laba untuk menilai kinerja manajemen, estimasi laba dalam jangka panjang, dan penaksiran risiko. Begitu pentingnya in- formasi laba, seolah menjadi batu lonca- tan manajemen untuk melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional be- havior) melalui manajemen laba (Sugiar- to, 2003). Asal muasal manajemen laba ini dikarenakan adanya perbedaan kepen- tingan dan perbedaan sumber informasi dikalangan principal dan agent sehingga terjadi asimetri informasi (Lihat Brigham et al, 2001; Wahidawati, 2002; dan Sulis- tiawan, 2003 dan 2006) yang menjadi pe- micu terjadinya moral hazard.

Kadangkala, manajemen laba juga dilakukan akibat rakusnya pihak-pihak dalam mencari keuntungan sehingga muncul tindakan tidak etis yang dipe- ngaruhi oleh self-interest (Lihat Assih dan Gudono, 2000; Prasetio et al, 2002; Triyuwono, 2006; Latif, 2012; dan Arif et al, 2014) yakni melakukan manipulasi da- ta laporan keuangan yang mengakibatkan penurunan kualitasnya. Pada akuntansi, tindakan ini kemudian disebut dengan akuntansi kreatif (kemudian disingkat CA). CA sendiri bukan hal yang baru da- lam dunia akuntansi, karena banyak peru- sahaan yang telah mempratekkannya. Be- berapa contoh kasus CA di Indonesia ter- jadi pada kasus Bank Lippo, PT Citra Marga Nusapala, Bank Duta, PT Kimia Farma Tbk, PT Telkom, PT Merck, PT Ades Alfindo, dan PT Perusahaan Gas Negara (Lihat Arrozi, 2009; dan Sulistia- wan et al, 2011).

CA yang merupakan salah satu pro- duk logosentrisme akuntansi modern akan membentuk realitas kehidupan ma- nusia menjadi mekanistik yang tidak ber- beda dengan mekanisme kerja sebuah mesin (Triyuwono, 1997) sehingga pen- disiplinan Prinsip Akuntansi Berterima Umum hanyalah sebuah wacana. Alhasil,

CA tidak akan mendukung perjalanan spiritual manusia (Triyuwono, 2006) se- bagai suatu proses pencerahan diri (an- nafs) untuk dapat menjadi diri yang te- nang (al-nafs mutmainnah) guna menca- pai tindakan berkesadaran Tuhan. Pada- hal proses pencapaian kesadaran akan Tuhan memerlukan proses latihan spritual yang panjang dan berkelanjutan.

Berkaca pada hal tersebut, perlu ada wawasan atau paradigma baru dalam me- lakukan rekonstruksi bahkan dekons- truksi terhadap ilmu akuntansi agar terja- di harmonisasi dan humanisasi dalam penciptaan kondisi kesadaran ketuhanan. Salah satunya adalah dengan memanifes- tasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam ra- him CA. Melalui upaya ini, praktik CA diharapkan tidak akan membuat penggu- nanya lupa pada tujuan hidup yang hakiki dan terjebak dalam narasi-narasi moder- nisme yang hanya mengejar kepentingan materi semata, dikarenakan Pancasila me- miliki jiwa yang berazaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk men- dekonstruksi CA agar lebih bernuansa holistik-ekologis dengan paradigm Pan- casila. Paradigma ini dimaksudkan untuk merumuskan konsep dan sistem penguku- ran kinerja yang tidak hanya didasarkan pada logika dan prinsip-prinsip ekonomi semata, melainkan juga memiliki kandu- ngan yang mengarahkan pada kepedulian dan kepatuhan pada aturan, logika, dan prinsip-prinsip ekologis, dan keterkaitan- nya dengan konteks sosial guna mencip- takan konsep kinerja yang kondusif dan pada akhirnya menuntun individu untuk bertanggung jawab kepada Tuhan, sesa- ma manusia, dan lingkungan (makhluk ciptaan Tuhan lainnya). Harapannya, me- lalui hal ini, sistem akuntansi yang me- ngadopsi dari negara barat namun tidak bersesuaian dengan Pancasila dapat ter- distorsi secara perlahan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan paradigma posmodernisme sebagai metodologi pe- nelitian. Umumnya, alasan para peneliti menggunakan paradigma ini adalah ada- nya keinginan peneliti untuk tidak hanya melakukan kritik terhadap suatu makna, namun juga memasukkan nilai-nilai baru dalam makna tersebut (Sitorus, 2015). Paradigma ini kerap kali dikaitkan de- ngan istilah dekonstruksi. Istilah dekons- truksi sendiri awalnya diperkenalkan oleh ahli filsafat bernama Jacques Derrida (Pa- rikesit, 2012), dimana waktu itu beliau berusaha melakukan kritik atas moder- nitas melalui metode dekonstruksi dan uraian tentang “difference” (Lihat O’Do- nnel, 2009 : 56-57; dan Sitorus 2015).

Dengan meminjam pendapat Sitorus (2015) dapat disimpulkan bahwa dekons- truksi adalah upaya menyeimbangkan sis- tem lama dengan nilai-nilai baru melalui proses internalisasi namun tidak bermak- sud untuk menghilangkannya. Inilah yang kemudian disebut dengan usaha peneliti untuk mencari alternatif baru sebagai per- wujudan dari kritik yang ingin diberikan (Lihat Triyuwono, 2012: 139-140; dan Riduwan et al, 2010:38-60).

Pada penelitian ini, peneliti menggu- nakan Pancasila dalam mendekonstruksi CA (posmodernisme Pancasila). Hal ini dapat dilakukan mengingat Pancasila bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan kare- na telah memenuhi syarat postulat ontolo- gi, epistemologi, hingga aksiologi dan te- lah memiliki empat tiang penyangga ilmu yaitu objek, metode, sistematika dan ar- gumentasi (Lihat Ardi, 2012; dan Mardi- ana, 2016). Dengan posmodernisme Pan- casila lahirlah posmodernisme baru yang beraqidah kearifan lokal dan berkepriba- dian masyarakat Indonesia (Sitorus, 2015).

Pendekonstruksian CA pada peneli- tian ini dimulai dengan melakukan pe- ngumpulan data-data sekunder yang pe-

neliti peroleh dari berbagai sumber, ba- han seminar, media masa, media elektro- nik, dan lain-lain yang kemudian didu- kung dengan kajian pustaka. Setelah di- pelajari, dipahami, dan ditelaah langkah selanjutnya ialah melakukan reduksi data dengan membuat abstraksi yang diikuti dengan melakukan kategorisasi data. Ba- rulah kemudian dilakukan penafsiran dan analisis dengan falsafah Pancasila sebagai alatnya sehingga terbentuklah konsep CA yang berbasis Pancasila.

Pembahasan

Paradigma Pancasila: Konsep Filosofis Akuntansi Ke-Indonesia-an Berwawa- san Holistik-Ekologis

Konstruksi ilmu akuntansi perlu di- lakukan dengan menggunakan pendeka- tan holistik. Pendekatan holistik dalam ranah akuntansi telah dilakukan oleh be- berapa peneliti, salah satunya adalah Dar- wis (2007). Saat itu, Darwis (2007) me- ngusulkan pendeketan holistik yang ber- dimensi Spritual, Ekologi, Ekonomi, dan Sosial (SPEC-ECOSI). Beliau menjelas- kan bahwa di dalam akuntansi sebenar- nya terjadi proses saling ketergantungan di masing-masing dimensi tersebut. Lebih jauh, pandangan ini juga ingin mensiner- gikan antara dimensi, orientasi, kepenti- ngan ekologi, sosial, dan ekonomi yang dijiwai oleh nilai-nilai serta orientasi spi- ritual dalam pengelolaan sumber daya. Menurut Capra (2002) (Lihat juga Soe- marwoto, 2004; dan Zohar dan Marshall, 2005) pandangan holistik adalah panda- ngan yang melihat suatu objek sebagai suatu keseluruhan fungsional yang saling bergantung secara keseluruhan.

Pendekatan holistik juga akan meli- hat kehidupan non manusia (Darwis, 2007), sehingga penelitian ini akan beru- saha meneropong sisi ekologis. Panda- ngan ekologis disini mencakup panda- ngan holistik, tetapi menambahkan per- sepsi tentang bagaimana suatu objek ter- sebut berada dalam lingkungan alamiah

dan sosialnya. Dengan demikian panda- ngan holistik-ekologis disini adalah suatu cara pandang yang mengakui adanya nilai yang melekat pada kehidupan non manu- sia. Lebih jauh, dengan meminjam penda- pat Capra (2002) mengenai tiga dalil deep ecology-nya kita dapat memahami lebih jauh mengenai konsep ekologis ini. Perta- ma, deep ecology tidak memisahkan ma- nusia atau apapun dari lingkungan ala- miah. Kedua, deep ecology mengakui ni- lai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan. Ke- tiga, kesadaran deep ecology adalah kesa- daran akan nilai spiritual atau religius.

Berkaca pada hal tersebut, sebenar- nya Pancasila juga mengandung nilai-ni- lai holistik dan ekologis sebagaimana yang ditegaskan oleh Mardiana (2016). Keholistikan Pancasila menurutnya ter- identifikasi melalui sila-silanya yaitu : 1) sila pertama didahulukan causa prima

yang harus ada serta tak akan pernah ber- akhir yaitu Tuhan; 2) sila kedua yang menandakan manusia mempunyai keter- ikatan dengan Tuhan, dirinya sendiri, dan orang lain sebagai mahluk sosial seutuh- nya; 3) sila ketiga memiliki makna manu- sia berada dalam kesatuannya dengan orang lain; 4) sila keempat berarti manu- sia memililki hak untuk diakui sebagai warga dalam kehidupan bersama; dan 5) sila kelima mempunyai arti manusia me- miliki hubungan dengan benda atau de- ngan orang lain yang terkait hak-haknya yang bersifat kebendaan. Hal ini juga kembali dipertegas oleh Mulawarman (2013 : 161) bahwa hembusan nafas Pan- casila lewat sila-silanya terdiri atas unsur- unsur seperti sains, agama, kesatuan yang nyata antara kepentingan obyektifitas dan subyektivitas, materialitas diri, sosial dan masyarakat sekaligus batiniah spirituali- tas diri sosial dan masyarakat yang memi- liki nilai Ketuhanan. Lebih detail, melalui penelitian Ekasari (2012) dapat disimpul- kan bahwa secara murni Pancasila dan

akuntansi sebenarnya memiliki kesamaan pada nilai-nilai universal-holistik yaitu antara lain nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, hak dan kewajiban, hati nurani, tepa slira, empati, dan menghormati orang lain.

Desain Akuntansi Ke-Indonesian Ber- wawasan Holistik-Ekologis : Mempan- casilakan Konsep CA

Melihat kenyataan penerapan CA yang pada umumnya jauh dari nilai-nilai Pancasila, adalah motivasi peneliti untuk mendekonstruksikan makna dari CA. Pendekontruksian CA nantinya akan menggunakan telaah fungsi Pancasila se- bagai dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup, jiwa dan kepribadian bangsa, hingga perjan- jian luhur bangsa Indonesia.

Sebagai dasar negara bearti Pancasila dianggap sebagai norma dasar sehingga menempati norma hukum tertinggi bagi bangsa Indonesia. Sumber dari segala sumber hukum, mengilustrasikan Panca- sila adalah landasan ideal tempat berpi- jaknya pemerintah dalam menyusun se- mua aturan (termasuk akuntansi) di Indo- nesia. Kemudian, sebagai pandangan hi- dup sederhananya Pancasila adalah cita- cita, serta pegangan dalam membangun bangsa termasuk dalam upaya memecah- kan berbagai masalah yang ada. Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila memiliki nilai-nilai yang men- cerminkan kepribadian bangsa sebab nilai dasarnya berasal dari kearifan budaya lo- kal bangsa Indonesia. Terakhir, sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, men- jelaskan bahwa Pancasila lahir dari hasil musyawarah para pendiri bangsa.

Kelima fungsi tersebut akan berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang terpancang pada Pembukaan UUD

1945 yaitu “melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah In- donesia dan untuk memajukan kesejah- teraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perda- maian abadi dan keadilan sosial”. Nanti- nya, agar dalam proses perwujudan cita- cita tersebut selalu bernuansa dan berke- pribadian bangsa, diperlukan adanya eti- ka-etika yang pastinya bersumber dari Pancasila itu sendiri antara lain etika bertuhan, memanusiakan manusia, persa- tuan, bermusyawarah dan bermufakat, dan keadilan. Kelima etika inilah yang kemudian akan menyokong Pancasila se- bagai sebuah paradigma di bidang pem- bangunan, IPTEK, politik, sosial dan bu- daya, pertahanan dan kemanan, pengem- bangan kehidupan beragama, hingga eko- nomi. Pada bidang ekonomi, bisa diang- gap sebagai awal dari pemikiran peneliti untuk mendekonstruksi CA.

Gambar 1. Alur Proses Pendekonstruksian Akuntansi Kreatif

Jika melihat gambar satu (1), ada ha- rapan dari peneliti bahwa seluruh aspek kehidupan manusia harus selalu bernafas- kan nilai-nilai Pancasila, termasuk dalam hal mempraktikkan CA. Dengan mem- pancasilakan CA, diyakini hal-hal yang berkaitan dengan kasus dilemma etis da- lam pembuatan laporan keuangan sema- kin berkurang. Hal inilah tujuan dari keli- ma etika Pancasila tadi. Dengan etika berTuhan misalnya, akan membuat para

akuntan menerapkan prinsipCA sesuai dengan perintah Tuhannya karena ada ra- sa takut atas dosa yang akan didapatkan- nya kelak jika ia melanggarnya. Disam- ping itu, para akuntan juga akan merasa diawasi oleh Tuhan dalam melakukan pe- kerjaannya, sehingga ia akan selalu me- ngutamakan kejujuran dan merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di dunia yang bertanggung jawab atas perbuatan- nya. Alhasil, laporan keuangan yang disa- jikan pun sesuai dengan kenyataan tanpa ditambahkan dan dikurangkan.

Selanjutnya, apabila penerapan CA telah senada dengan nilai-nilai Pancasila, peneliti meyakini penerapan CA juga akan sesuai dengan prinsip-prinsip sya- riah yang tidak hanya memandang kehi- dupan di dunia, namun juga akhirat. Maka daripada itu, bagi peneliti sendiri, apabila seorang akuntan telah menerap- kan CA sesuai dengan nilai-nilai Panca- sila, selanjutnya ia bisa dikatakan telah menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Konsep ibadah inilah yang menjadi kul- minasi pemaknaan CA dalam bingkai Pancasila. Harapan peneliti dengan kon- sep ibadah tadi juga akan membawa akuntansi untuk menjadi jembatan manu- sia dalam memperbaiki hubungannya de- ngan Tuhan sebagai superioritas.

Tidak hanya itu, dengan menganggap CA sebagai ibadah, memungkinkan para akuntan berlomba-lomba mencari ide ba- ru (prinsip creative) didalam menerapkan CA dengan tujuan memperoleh pahala atau amal baik sebanyak-banyaknya. Pen- carian ide ini mungkin saja didapatkan dari pengalaman diri-sendiri ataupun orang lain sehingga terjadi proses silahtu- rahmi antar sesama akuntan yang tentu- nya akan menguatkan tali persaudaraan. Bahkan, memungkinkan para akuntan mencoba melakukan hal-hal diluar du- gaan seperti berdiam diri didalam sebuah goa sebagai wujud interaksi dengan alam untuk mencari ide tadi. Terlepas darima- na ide tersebut muncul, hal yang paling

penting adalah ide ini kemudian akan me- reka aksikan (act) melalui proses kalku- lasi dalam bentuk angka (count) saat me- nerapkan CA, kemudian melakukan pro- ses pengambilan keputusan, hingga mela- kukan perbaikan dengan proses berpikir (think) (konsep accounting versi penulis). Terlebih lagi, didalam ajaran agama Is- lam misalnya, jika dalam proses act, count, dan think tadi benar-benar dilanda- si dengan niat untuk beribadah, maka da- lam setiap langkah diyakini akan selalu mendapatkan bimbingan langsung dari Tuhan.

Dengan mengkombinasikan konsep pencarian ide baru (creative) dan proses

act, count, serta think (accounting) de- ngan nilai-nilai Pancasila, maka akan ter- bentuklah sebuah definisibaru dalam me- mahami CA. CA dalam bingkai Pancasila dapat dilhami sebagai “usaha seseorang untuk menciptakan ide baru didalam akuntansi dimana nilai-nilai filosofis, konsep, teori, dan praktiknya bertujuan untuk lebih mendekatkan dirinya ke- pada Tuhan, mempererat tali persau- daraan antar sesama, dan meningkat- kan kepedulian terhadap lingkungan sekitar sehingga terjadinya proses trans- paransi dan transformasi informasi ke-

uangan yang humanis.”

Makna kata humanis disini dimak- sudkan agar pemilihan perlakuan akutansi dalam penerapan CA tidak sarat akan ni- lai materialistik, private, kuantitatif, dan maskulin yang akan memarginalkan nilai- nilai spritualis, public, kualitatif, dan fe- minim. Akhirnya, ketika berbicara CA baik dari segi teoritis hingga praktiknya, kita juga akan berbicara tentang nilai-ni- lai trasendental dengan ciri utama men- cari keridhoan Tuhan dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi, prinsip mema- nusiakan manusia dengan merealisasikan pendistribusian laba, dan perspektif non keuangan sebagai indikator mengukur ke- berhasilan suatu pencapaian.

Disamping itu, jika makna dari CA telah berubah seiring dengan proses pen- dekonstruksian, maka tujuannya pun akan berubah pula. CA yang diinternalisasikan dengan nilai-nilai Pancasila, setidaknya memiliki lima tujuan. Tujuan pertama di- lakukannya CA haruslah berefleksi dan berorientasi pada agama sebagai wujud dari sila pertama, sehingga para pengguna dapat bertanggung jawab kepada Tuhan dan Makhluk-Nya. Tujuan kedua berele- vansi dengan sila kedua yaitu konsep CA tidak boleh mangandung nilai-nilai yang menimbulkan kegiatan yang sifatnya me- maksa kehendak orang lain seperti peme- rasan. Selanjutnya, penerapan CA dilaku- kan untuk meningkatkan rasa kekeluarga- an, bahkan sebagai bentuk nyata konsep gotong royong (representasi sila ketiga). Sila keempat yang dimanifestasikan ke CA memberikan makna bahwa tujuan da- ri penerapannya haruslah mengutamakan hajat hidup orang banyak sehingga tidak sarat akan nilai egoistik. Dan yang ter- akhir, tujuan dari CA yang kelima yang terinterpretasi dari sila kelima haruslah menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Selain itu, CA yang dibingkai dengan nilai-nilai Pancasila memiliki teknik-tek- nik yang berbeda dengan CA pada umumnya dalam proes penerapannya. Ji- ka CA pada umumnya memiliki teknik- teknik sepeti taking bath, income minimi- zation, income maximization, income smoothing, dan timing revenue and ex- pense recognition (Lihat Watts dan Zim- merman, 1986), maka pada CA dalam bingkai Pancasila memiliki teknik-teknik seperti responsible to The God, Humans, and the Enviroment, materialistic and egoistic minimization, income distribu-

tion maximization, justice smoothing,

dan non-financial perspective recogni-

tion.

Teknik pertama yaituresponsible to The God, Humans, and the Enviroment

nik-teknik lainnya. Utamanya, teknik ini bersifat ingin mengembalikan citra akun- tansi yang mengandung nilai trasendental dengan mencantumkan tulisan “in the na-

me of godpada laporan keuangan seperti yang dilakukan Luca Pacioli (Kamayanti, 2012) dan Triyuwono (2012) pada “lapo- ran amanah Allah, laporan komitmen tau- hid, dan laporan rahmat Allah” menurut versinya sebagai bentuk taat kepada Tu- han.

Teknik selanjutnya ialah materialis- tic and egoistic minimization. Teknik ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggu- naan CA yang sarat akan nilai egoistik. Hal ini terpotret pada perilaku manajer yang hanya menerapkan CA guna mem- peroleh bonus ataupun adanya perintah dari para stockholder yang menghendaki laporan keuangan “dipercantik” agar nilai perusahaannya meningkat. Adapun, wu- jud dari teknik ini penulis mengusulkan bahwa hasil laporan keuangan harus di- pertanggungjawabkan kepada stakeholder

versi Triyuwono (2012) yaitu Tuhan, ma- nusia, dan alam melalui proses transpa- ransi di dalam pengungkapannya.

Income distribution maximization

adalah teknik yang penulis adopsi dari konsep zakat (Islam) dan persepuluhan (Kristen). Bentuk realisasi dari teknik ini adalah hadirnya akun baru pada laporan keuangan yaitu “Pendisribusian Laba”. Penerapan pendistribusian laba ini dapat disamakan dengan konsep dalam berza- kat. Misalnya, seperti dalam hal melaku- kan penilaian bagian-bagian yang dizaka- ti haruslah diukur secara pasar, dibayar- kan kepada delapan asnaf sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Qur'an atau disa- lurkan melalui Lembaga Zakat seperti ko- perasi dan Baitul Mal (Prasetyo, 2013). Kemudian, teknik ini tidak memperla- kukan pendistribusian laba sebagai biaya tetapi sebagai bentuk ibadah dalam men- capai kesejahteraan sosial.

Keempat ialah teknik justice smoot- hing. Teknik ini bertujuan untuk mengak-

tualisasikan nilai Pancasila khususnya si- la kedua dan kelima. Teknik ini dapat di- interpretasikan dalam bentuk konsep ke- pemilikan yang lebih humanis, dimana