• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumahtangga nelayan menghadapi persoalan kompleks dalam hubungannya dengan produksi, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja. Hal ini menyebabkan analisis yang hanya melihat dari satu sisi untuk melihat tingkah laku ekonomi mereka sangatlah lemah. Sawit dan O'Brein (1995) mencoba menggabungkan hal tersebut, atas landasan teori ekonomi rumahtangga kemudian diturunkan berbagai fungsi respons yaitu suplai tenaga kerja, suplai output, dan konsumsi rumahtangga. Variabel harga input atau output diperlakukan sebagai

exogeneous yang mempengaruhi pendapatan, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja rumahtangga.

Model ekonomi rumahtangga memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Ada dua proses perilaku rumahtangga yaitu: (1) proses produksi rumahtangga, dan (2) proses konsumsi rumahtangga yang merupakan pemilihan terhadap barang-barang yang dikonsumsi (Becker, 1981).

Barnum dan Squire (1979) menggunakan model ekonometrika dalam mengkaitkan perilaku produk usahatani, konsumsi, dan suplai tenaga kerja pada situasi pasar tenaga kerja bersaing dengan menggunakan data cross section di Malaysia. Temuan penting dalam penelitian ini adalah adanya saling keterkaitan yang erat antara produksi dan keputusan konsumsi dalam rumahtangga petani.

Wilayah laut yang luas menyebabkan banyak kegiatan ekonomi penduduk khususnya mereka yang bermukim di wilayah pantai yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sumberdaya laut dalam memenuhi kehidupannya.

Kegiatan perekonomian di desa-desa pantai pada umumnya bersifat usaha kecil dan sangat terbatas, kemungkinan untuk bisa mengambil dan menciptakan manfaat ekonomi seperti yang dilakukan atau dinikmati oleh usaha yang berskala besar tidak mungkin. Ciri-ciri lain dari kegiatan usaha atau perekonomian di desa- desa pantai adalah kenyataan mengenai pengaruh musim yang kuat. Sifat usaha musiman dan skala usaha yang kecil menyebabkan nelayan tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol baik produksi maupun harga dari produksi yang dihasilkan (Simanullang, 2006).

Nelayan tradisional merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, pemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah, dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara nelayan tradisional dengan nelayan modern (Muhammad, 2002). Hasil penelitian Boer (1984) menyimpulkan bahwa nelayan tradisional merupakan lapisan sosial paling bawah di desa nelayan.

Indraningsih et. al, (1995) mengadakan studi mengenai identifikasi kemiskinan di Jawa Timur dengan menggunakan model rumahtangga nelayan di agroekosistem pantai mengatakan bahwa indikator kemiskinan rumahtangga yang digunakan: (1) penguasaan aset produksi nelayan, yakni berdasarkan pemilikan alat tangkap. Hasil tangkapan ikan dipengaruhi oleh cuaca dan teknologi peralatan tangkap yang digunakan, (2) pola pengeluaran rumahtangga, dimana pendapatan suatu rumahtangga dapat diproksi dari tingkat pengeluaran rumahtangga baik

pangan maupun non pangan. Pangsa pengeluaran penduduk miskin pada agroekosistem pantai untuk pangan relatif lebih besar dibanding non pangan yakni sebesar 66 persen dari pengeluarannya, (3) sumber pendapatan, dimana perolehan sumber pendapatan rumahtangga nelayan pada agro ekosistem pantai adalah dari hasil tangkapan ikan atau usaha di dalam perikanan (sekitar 60 persen) dan usaha non perikanan (sekitar 23 persen). Gambaran ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan sebagai sumber pendapatan rumahtangga tampaknya belum disubstitusi secara berarti oleh sumber pendapatan lain termasuk usaha non perikanan, dan (4) aktivitas perikanan dan non perikanan, dimana nelayan di agroekosistem pantai masih sangat bergantung pada aktivitas sektor perikanan karena tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan yang sangat terbatas serta tidak adanya penguasaan modal menyebabkan diversifikasi usaha sulit dilakukan rumahtangga nelayan.

Kemampuan nelayan untuk memperluas jaringan interaksi sosial juga sangat terbatas karena sebagian besar waktu tersita untuk melaut. Untuk agroekosistem pantai, kegiatan anggota rumahtangga terutama istri nelayan dapat dikonsentrasikan pada kegiatan industri rumahtangga namun tetap dengan memanfaatkan bahan baku dari produk perikanan setempat.

Mangkuprawira (1985) menggunakan model ekonomi rumahtangga dalam disertasinya, yakni mengkaji alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di Kabupaten Sukabumi yang melihat perilaku pembagian kerja antara anggota rumahtangga beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan melihat perilaku rumahtangga dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan

bahwa faktor yang mempengaruhi alokasi waktu suami dan istri bekerja yaitu imbalan kerja, pendapatan rumahtangga serta jumlah anggota rumahtangga (usia kerja dan bukan usia kerja). Sedangkan respon penawaran tenaga kerja suami dan istri terhadap imbalan kerja bertanda positif. Ada kecenderungan semakin rendah lapisan ekonomi rumahtangga maka semakin tinggi respon suami dan istri dalam mencari nafkah.

Aryani (1994) meneliti tentang analisis curahan kerja dan kontribusi penerimaan keluarga nelayan dalam kegiatan ekonomi di Desa Pasir Baru, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang menyatakan bahwa semakin baik kondisi ekonomi rumahtangga maka semakin besar sumbangan dari hasil kegiatan melaut terhadap total penerimaan rumahtangga, sebaliknya sumbangan dari kegiatan non melaut semakin besar pada rumahtangga yang tidak memiliki aset. Curahan tenaga kerja rumahtangga terlihat dari tingkat partisipasi dan waktu kerja. Berdasarkan kondisi ekonomi rumahtangga, semakin baik kondisi ekonomi rumahtangga, maka semakin tinggi partisipasi kerja istri dan anggota rumahtangga sedangkan partisipasi kerja suami menurun.

Berdasarkan studi model ekonomi rumahtangga nelayan terdahulu, maka yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah perbedaan dalam unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu rumahtangga nelayan pemilik perahu dayung sebagai nelayan tradisional yang dianggap merupakan lapisan masyarakat yang paling miskin, karena nelayan pemilik perahu dayung adalah lapisan bawah dalam kelompok nelayan yang memiliki alat tangkap dan perahu. Penelitian ini menganalisis peluang kerja suami dan istri dalam rumahtangga nelayan tradisional, ekonomi rumahtangga nelayan

seperti alokasi waktu, pendapatan, pengeluaran rumahtangga, dan peluang kemiskinan rumahtangga nelayan tradisional.

Dokumen terkait