• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman sumberdaya hayati yang dimiliki oleh Pantai Bali sangat beragam dan berpotensi baik. Hal ini dapat diihat dengan ditemukannya 10 jenis mangrove yang terdiri dari atas Excoecaria agallocha, Avicennia marina, A. lanata, Bruguiera sexangula, B. cylindrica, Rhizophora mucronata, Aegiceras corniculatum, A. officinalis, R. stylosa, Ceriops tagal. Keadaan ini yang membedakan Pantai Bali berbeda dengan pantai-pantai lainnya yang terdapat di Kabupaten Batu Bara maupun di Sumatera Utara dalam hal potensi dan keanekaragaman mangrovenya. Berdasarkan penelitian Muhaerin (2008) di Jembrana, Bali dijelaskan bahwa hal yang paling mendasari suatu kawasan sesuai untuk dijadikan sebagai obyek wisata mangrove adalah potensi sumberdaya mangrove di daerah itu sendiri. Jembrana, Bali memiliki 6 komposisi jenis mangrove antara lain Rhizophora spp., Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia spp., Sonneratia spp., Ceriops tagal, Nypa Fruticants dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi.

Berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove Nomor 201 Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove di Pantai Bali Desa Mesjid Lama termasuk kriteria baik dan memiliki kepadatan yang tinggi dengan nilai melebihi 1000 pohon/ha. Dari hasil analisis vegetasi, kawasan mangrove Patai Bali Desa Mesjid Lama merupakan zona bakau yang tumbuh di daerah payau pada tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman di dominasi oleh jenis-jenis dari genus Bruguiera.

Kesesuaian Ekologis untuk Kegiatan Ekowisata

Kelayakan pengembangan ekowisata mangrove ditentukan berdasarkan analisis ekologi, sosial-ekonomi, dan faktor penunjang. Menurut Tuwo (2011) Kriteria ekologi mencakup keanekaragaman (kerapatan jenis, keanekaragaman spesies, dan keberadaan fauna), keunikan, biota berbahaya, keaslian, karakteristik kawasan (substrat dan genangan pasang), dan konservasi. Kriteria sosial-ekonomi mencakup penerimaan masyarakat, pendidikan, keamanan, dan tenaga kerja. Sedangkan kriteria faktor penunjang mencakup aksesbilitas dan air bersih. Hal ini sangat berpengaruh penting, melihat kondisi di lapangan yang pada dasarnya Pantai Bali masih perlu diperhatikan dalam penyediaan sarana dan prasarananya terutama dalam penyediaan air bersih, listrik, dan tempat sampah yang pada hasil wawancara masih sangat kurang.

Beberapa parameter yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan indeks kesesuaian wisata seperti ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut, dan obyek biota. Dari kelima parameter tersebut, suatu ekosistem dapat ditentukan indeks kesesuaian ekologisnya apakah masuk kedalam kategori sesuai, sesuai bersyarat, atau tidak sesuai untuk suatu kegiatan wisata. Dari hasil pengamatan di lapangan, Pantai Bali termasuk kawasan wisata yang dapat dijadikan sebagai ekowisata mangrove. Terdapat 2 dari 3 stasiun (stasiun II dan stasiun III) pengamatan yang tergolong dalam kategori Sesuai dijadikan ekowisata mangrove dengan nilai indeks kesesuaian wisata 94,87% dan stasiun I tergolong dalam kategori sesuai bersyarat dengan indeks kesesuain 69,23%. Berdasarkan kategori kesesuaiannya maka dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan kawasan untuk wisata bahari.

Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Batu Bara, perairan Pantai Bali dan sekitarnya termasuk jenis pasang surut Harian Ganda Murni dengan tinggi pasang surut 4,2 meter (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten batu Bara, 2013). Menurut Nugraha (2009) menyatakan bahwa tipe pasang surut harian ganda murni merupakan tipe pasang surut yang dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi kadang-kadang terjadi pasang surut dalam satu hari dengan tinggi dan periode berbeda. Hal ini yang menyebabkan nilai skor pasang surut pada kriteria kesesuain ekowisata mangrove rendah. Dengan adanya tipe pasang surut ini, maka dalam melakukan kegiatan ekowisata nantinya harus memperhatikan waktu terjadinya pasang dan surut. Apabila terjadi pasang maka kegiatan wisata mangrove yang dlakukan menggunakan kapal dan apabila terjadi surut makan kegiatan wisata dilakukan dengan berjalan kaki. Selanjutnya Muhaerin (2008) Selain potensi sumberdaya mangrove, pasang surut dan obyek biota juga merupakan kriteria suatu kawasan dapat dijadikan sebagai kawasan ekowisata. Semakin rendah pasang surut di daerah tersebut maka semakin baik daerah tersebut dijadikan sebagai obyek wisata. Keanekaragaman biota yang terdapat di daerah tersebut juga menjadi daya tarik tersendiri yang dapat menarik perhatian para wisatawan.

Persepsi Masyarakat di Pantai Bali

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat diperoleh karakteristik usia masyarakat yang banyak memanfaatkan Pantai Bali tertinggi pada usia 20-29 tahun yaitu sebanyak 54%. Hal ini berhubungan dengan

tingkat pendidikan masyarakat Pantai Bali yang masih rendah, dimana banyak masyarakat yang sudah bekerja di usia dini dikarenakan tidak bersekolah lagi dan dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan wawancara terhadap keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata mangrove, diperoleh 80% masyarakat yang berkeinginan untuk ikut serta dalam kegiatan ekowisata mangrove. Hal ini didasari pada keinginan masyarakat memperoleh pekerjaan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka serta keinginan masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan Pantai Bali secara berkelanjutan. Menurut Gunawan (2013) menyatakan bahwa dukungan dan keingginan masyarakat sekitar terhadap adanya ekowisata di kawasan CAPS cukup tinggi dengan nilai 83,33%. Menurut mereka adanya

ekowisata akan membuat desa semakin maju dan akan memberi peluang

pekerjaan baru dimasa mendatang. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari keinginan untuk bisa terlibat dalam pengembangan wisata alam dengan menjadi pemandu wisata, jasa penyeberangan perahu dan membuka warung makan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat, diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat Pantai Bali memiliki pemahaman yang rendah tentang ekowisata yaitu sebanyak 68% masyarakat yang tidak mengetahui ekowisata dan sebanyak 32% masyarakat yang sudah mengerti tentang ekowisata. Pemahaman tentang mangrove juga masih dalam kategori yang rendah dimana sebanyak 59% masyarakat belum mengetahui pengertian, fungsi maupun manfaat dari mangrove dan 41% yang sudah mengetahui tentang mangrove dalam lingkungannya. Permukiman yang cukup jauh dan tidak berdekatan dengan pantai yang ditumbuhi mangrove memungkinkan masyarakat

berpengetahuan rendah terhadap mangrove. Kondisi seperti ini sebaiknya diantisipasi oleh pemerintahan setempat. Mengadakan sosialisai mengenai manfaat, fungsi dan peran tumbuhan mangrove harus ditingkatkan, sehingga tidak banyak masyarakat yang melakukan penebangan hutan mangrove guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka melainkan lebih melestarikan sumberdaya alam yang berada disekitarnya. Menurut Utomo (2008), adanya pemahaman terhadap pentingnya kawasan hutan membuat masyarakat berusaha menjaga kelestarian, tidak merusak hutan dan tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak kawasan hutan. Masyarakat sadar bahwa kehidupan mereka sangat bergantung dari keberadaan hutan, mencari nafkah untuk hidup sehari-hari. Masyarakat beranggapan bahwa mereka boleh memanfaatkan hasil hutan selama hal tersebut tidak menganggu kelestarian dari hutan. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata mangrove nantinya dapat dijadikan sebagai cara pengembangan persepsi masyarakat terhadap kelestarian hutan.

Persepsi Pengunjung di Pantai Bali

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dilapangan diperoleh hasil karakteristik usia pengunjung yang paling banyak pada kisaran 20-29 tahun. Hal ini dikarenakan daya tarik berwisata lebih tinggi pada usia tersebut, dimana pengunjung terbanyak didominasi oleh para pelajar yang ada di Kabupaten Batu Bara. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu strategi dalam pengembangan ekowisata mangrove nantinya. Pemuda dan pemudi dapat memiliki tambahan wawasan lingkungan dengan diperkenalkannya ekosistem mangrove tersebut dan dapat menciptakan pemuda-pemudi yang cinta akan kelestarian lingkungannya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa selain berpotensi baik dalam keberadaan mangrovenya, Pantai Bali juga memiliki daya tarik dalam hal keberadaan faunanya, dimana banyak dijumpai jenis burung yang beranekaragam serta keberadaan pasir putih di pinggir pantai juga menjadikan Pantai Bali menjadi salah satu Pantai di Kabupaten Batu Bara yang sangat cocok untuk dikembangkan menjadi ekowisata mangrove. Hal ini sesuai dengan penelitian Gunawan (2013) yang menyatakan bahwa potensi keanekaragaman flora dan fauna merupakan modal dalam pengembangan ekowisata. Semakin banyak potensi daya tarik wisata alam yang ada pada suatu kawasan akan semakin menarik minat wisatawan untuk berkunjung pada kawasan.

Daya Dukung Kawasan untuk Kegiatan Ekowisata

Analisis daya dukung dilakukan pada setiap kegiatan pemanfaatan yang telah dianalisis kesesuaiannya untuk kegiatan ekowisata mangrove. Satu diantara konsep yang tepat untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berada di kawasan wisata yaitu dengan tetap memperhatikan daya dukung kawasan. Yulianda (2009) menyatakan bahwa daya dukung kawasan (carrying capacity) merupakan intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam dan membatasi pembangunan fisik yang dapat mengganggu kesinambungan wisata tanpa merusak alam. Dari hasil penelitian yang dilakukan, daya dukung kawasan untuk stasiun I sebanyak 8 orang/hari dengan jarak track 150 meter, stasiun II sebanyak 37 orang/hari dengan jarak track 445 meter dan stasiun III sebanyak 16 orang/hari dengan jarak track 200 meter.

Kelembagaan Pengelolaan Ekowisata Mangrove

Keberadaan suatu kawasan wisata dalam suatu daerah memiliki peranan sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakatnya. Menurut Sudiarta (2006) ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika. Memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Dalam kegiatan wisata yang dilakukan, masyarakat dan pemerintah sama-sama memperoleh keuntungan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan mengelola obyek wisata dan pemerintah memperoleh pendapatan hasil daerah dari obyek wisata tersebut.

Pantai Bali sangat berpotensi dijadikan sebagai satu diantara wisata di Kabupaten Batu Bara yang memanfaatkan sumberdaya alamnya, terkhususnya mangrove sebagai daya tarik wisatawan. Keterlibatan stakeholder sangat mempengaruhi suatu kawasan wisata banyak dikunjungi wisatawan. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Sudiarta (2006) yang menyatakan bahwa kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu; industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non pemerintah, dan akademisi. Para pelaku ekowisata mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu: (1) industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap

pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam; (2) wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan; (3) masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan; (4) pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan; (5) akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsip yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan ekowisata mangrove di Pantai Bali.

Pola pengelolaan perlu ditetapkan dalam suatu kawasan wisata guna meminimalkan dan mencegah terjadinya konflik antar pemanfaat sumberdaya tersebut. Konflik tersebut seharusnya dapat diatasi dengan pengelolaan yang baik dan memperhatikan keseimbangan ekosistem mangrove. Salam (2000) menyatakan bahwa pendekatan ekowisata merupakan salah satu kegiatan yang relatif kecil memberikan dampak kerusakan, dan jika dikelola dengan baik akan sesuai untuk konservasi biodiversitas dan menghasilkan nilai ekonomi.

Dengan potensi sumberdaya yang baik dan didukung sistem pengelolaan wisata yang tepat, maka suatu kawasan wisata dapat bekembang dengan pesat. Satria (2009) menyatakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan pada empat aspek yaitu : mempertahankan kelestarian lingkungannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, menjamin kepuasan pengunjung dan meningkatkan keterpaduan dan

kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Hal tersebut dapat dilakukan guna menjaga dan merawat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang baik di kawasan tersebut.

Sarana dan Prasarana Pendukung Kawasan

Dari hasil wawancara terhadap masyarakat dan pengunjung serta pengamatan di lapang, penyediaan sarana dan prasarana sangat penting dilengkapi pada kawasan Pantai Bali. Sarana dan prasarana yang dimaksud meliputi : ketersediaan air bersih, yang sangat sulit didapatkan desekitar pantai. Ketersediaan listrik yang sama sekali belum terdapat di kawasan ini. Fasilitas akomodasi dan transportasi yang masih sulit diperoleh ke daerah ini, umumnya pengunjung menggunakan kendaraan pribadi. Penyediaan tempat sampah yang sangat minim di daerah ini menyebabkan banyak tumpukan-tumpukan sampah yang tidak tepat pada tempatnya. Hal ini sangat mempengaruhi dalam pengembangan suatu kawasan wisata, dimana pengelola harus dapat membuat pengunjung merasa nyaman dan aman untuk melakukan kegiatan wisata di suatu kawasan. Soebiyantoro (2009) menyatakan bahwa kepuasan wisatawan merupakan tujuan utama dari setiap pengembangan obyek wisata daerah. Kepuasan wisatawan sangat besar pengaruhnya terhadap jumlah wisatawan dan akan berdampak pada pendapatan daerah secara langsung dan peningkatan kesejahtraan masyarakat sekitar lingkungan obyek wisata secara tak langsung karena perekonomian di daerah obyek wisata akan bergulir sendirinya.

Dokumen terkait