• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekowisata

Pengertian Pariwisata dan Ekowisata

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kawasan wisata adalah kawasan yang secara teknis digunakan untuk kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan dengan batasan-batasan tertentu. Di dalam kawasan wisata dibangun objek dan daya tarik wisata serta prasarana dan sarana pariwisata. Kawasan serupa itu harus tetap merupakan kawasan yang sifatnya terbuka, yang tujuannya adalah mengembangkan suatu kawasan sebagai tujuan wisata. Kawasan wisata ini dapat berupa kawasan wisata alam, buatan maupun kawasan wisata minat khusus.

Menurut Marpaung (2002) pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari rutinitas pekerjaan dan keluar dari tempat kediamannya. Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan yang terjadi pada tiga aspek yaitu ekonomi, fisik dan sosial. Namun sulit untuk memberikan batasan yang jelas mengenai pengelompokan dampak ini, karena masing-masing memiliki keterkaitan sebab akibat yang kuat. Misalnya, kegiatan promosi pariwisata dilakukan untuk mendatangkan wisatawan. Peningkatan wisatawan kemudian akan meningkatkan pendapatan karena berkembangnya industri kecil pendukung kegiatan wisata dan kualitas serta kuantitas fasilitas meningkat. Namun di sisi lain terjadi penurunan nilai-nilai tradisional dan moral masyarakat oleh masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan norma setempat (Marpaung, 2002).

Beberapa terminologi yang berkaitan dengan kepariwisataan tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, diantaranya:

a. Wisata ialah segala kegiatan perjalanan yang dilakukan dengan maksud menikmati atraksi alam dan budaya

b. Wisatawan ialah setiap orang yang melakukan kegiatan wisata

c. Pariwisata ialah usaha yang dilakukan agar wisatawan dapat menikmati karya cipta Tuhan dan memahaminya serta mensyukurinya sebagai bagian dari karunia Tuhan

d. Kepariwisataan ialah kegiatan bersukacita yang dilakukan untuk menikmati karunia dan rahmat Tuhan

e. Usaha bisnis pariwisata ialah segala usaha yang dilakukan melayani kebutuhan wisatawan dengan dan untuk memperoleh untung

f. Penyelenggara pariwisata ialah setiap lembaga, baik pemerintah dan masyarakat yang terlibat baik secara langsung dan tidak dalam memenuhi kebutuhan maupun kepentingan wisatawan

Menurut Yulianda (2007), wisata dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pemanfaatan sumberdaya alam atau daya tarik panoramanya.

2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

3. Ecotourism, green tourism atau alternative tourism, merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan lingkungan alam menjadi obyeknya. Menurut Sammeng (1995) bahwa kunci utama dari pemahaman tentang ekowisata dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Perjalanan yang bertanggungjawab, yang diartikan sebagai upaya dari seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata untuk melakukan perlindungan alam atau setidaknya meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan alam dan budaya di lokasi obyek ekowisata.

b. Lokasi ekowisata, merupakan wilayah yang alami atau wilayah yang dikelola dengan mengacu kepada kaidah alam, seperti kawasan konservasi hutan (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan rakyat, cagar alam) dan kawasan non konservasi (hutan adat) serta wilayah yang dikelola dengan kaidah alam (hutan wanagama, hutan produksi, taman hutan raya dan cagar budaya).

c. Tujuan melakukan perjalanan ke obyek ekowisata adalah untuk menikmati pesona alam, mendapatkan pengetahuan dan meningkatkatkan pemahaman berbagai fenomena alam dan budaya.

d. Mendukung konservasi alam dan budaya dengan tindakan nyata baik secara moral maupun materil. Melalui kegiatan ekowisata akan diperoleh dana yang dapat digunakan untuk kelestarian alam, memberikan penghasilan kepada pelaku ekowisata serta dapat memdukung pertumbuhan kegiatan dan usaha bagi masyarakat sekitarnya.

e. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar lokasi Ekowisata, melalui peningkatan peran masyarakat dalam penetapan perencanaan, pembangunan dan pengoperasiannya. Masyarakat berperan menjadi subjek yang akan merubah

paradigmanya terhadap alam dan kegiatan usaha yang berpeluang berkaitan dengan kegiatan ekowisata.

Pengembangan Kawasan Ekowisata

Menurut Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu suatu tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan. Pada umumnya pengembangan wilayah dapat dikelompokkan menjadi usaha-usaha mencapai tujuan bagi kepentingan-kepentingan di dalam kerangka azas:

1. Sosial

Usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga dan seluruh masyarakat di dalam wilayah itu diantaranya dengan mengurangi pengangguran dan penyediaan lapangan kerja. Sarana dan prasarana kehidupan yang baik seperti permukiman, fasilitas transportasi, kesehatan juga merupakan usaha yang dapat dilakukan.

2. Ekonomi

Usaha-usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan dan memungkinkan menjadikan pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik.

3. Wawasan Lingkungan

Pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas manusia yang mengambil sesuatu dari, atau memanfaatkan potensi

alam, sedikit banyak akan mempengaruhi kesetimbangan. Kegiatan ini apabila tidak diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya akibat dampak yang dapat bersifat tak terubah lagi (irreversible changes). Untuk mencegah hal-hal ini maka di dalam melakukan pengembangan wilayah, program-programnya harus berwawasan lingkungan dengan tujuan mencegah kerusakan, menjaga kesetimbangan dan mempertahankan kelestarian alam.

Dalam mewujudkan suatu kegiatan pengelolaan wisata yang berkelanjutan diperlukan pengetahuan tentang daya dukung dan strategi pengelolaan yang baik terhadap kawasan tersebut. Menurut Hadi (2005) diacu oleh Jaya (2007) menyebutkan bahwa ada empat prinsip dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi yang meliputi :

1. Pemenuhan kebutuhan manusia 2. Memelihara integritas ekologi 3. Keadilan sosial, dan

4. Kesempatan menentukan nasib sendiri.

Upaya untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan perlindungan spesies dan habitat akan ditentukan oleh inisiatif terkait yang dimunculkan oleh berbagai unsur, baik masyarakat yang peduli, berbagai organisasi, maupun pemerintah. Hasil berbagai inisiatif tersebut seringkali berupa produk hukum dan peraturan lingkungan. Upaya tersebut dapat beragam, namun biasanya dimulai dari kemauan serta keputusan perorangan ataupun kelompok yang merasa berkepentingan untuk mencegah perusakan habitat dan spesies, demi melestarikan sesuatu yang berguna secara ekonomi, budaya, biologi, keilmuan maupun rekreasi. Satu dari pembangunan

yang nyata adalah keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang banyak menggerakkan masyarakat untuk melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Indrawan, dkk. 2007).

Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan/atau aktivitas dan fasilitas yang mampu menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah tertentu. Daya tarik yang tidak atau belum dikembangkan semata-mata hanya merupakan sumberdaya potensial dan belum dapat disebut sebagai daya tarik wisata. Oleh karena itu, suatu potensi daya tarik dapat dikembangkan agar obyek wisata dapat diwujudkan (Marpaung, 2002).

Bagian utama dari rencana pengelolaan adalah mengembangkan dan menerapkan kebijakan penggunaan kawasan. Masyarakat setempat maupun pengunjung dari luar perlu dilibatkan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan ini. Masyarakat setempat telah terbiasa menggunakan produk dari dalam kawasan. Pembatasan akses yang berlebih terhadap masyarakat setempat akan mempersulit masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat dimaklumi bahwa larangan yang berlebihan dapat menyebabkan kemarahan, rasa frustasi, dan bahkan menghilangkan rasa dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi (Indrawan, dkk. 2007).

Kunci keberhasilan beragam proyek adalah dibukanya kesempatan bagi para ahli dan praktisi untuk bekerjasama dengan masyarakat setempat. Kerjasama tersebut memiliki struktur yang stabil, fleksibel, dan memiliki kepemimpinan yang efektif, serta didukung badan pemerintahan yang kompeten. Bagaimanapun, seringkali masyarakat setempat memiliki konflik internal dan kepemimpinan yang kurang baik, sehingga menghambat kelancaran program. Kearifan tradisional dapat berubah, bahkan menghilang. Tekanan ekonomi dapat menguat dan salah pengelolaan dapat terjadi.

Kerjasama dengan masyarakat setempat memang seringkali diperlukan (dan diinginkan) namun tidak selalu dapat dilakukan. Beberapa ilmuan berpendapat bahwa untuk melindungi keanekaragaman hayati yang efektif adalah dengan melindungi daerah inti dengan batas yang jelas dan didukung patroli di sepanjang perbatasan (Indrawan, dkk. 2007).

Menurut Soemarwoto (2004) ekologi pariwisata adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara aktivitas pariwisata dan lingkungan hidup. Perencanaan pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan daya dukung lingkungan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan/satuan luas/satuan waktu. Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata, tujuan wisatawan dan sikap wisatawan. Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yaitu (Soemarwoto, 2004):

1. Terpeliharanya proses ekologi yang esensial 2. Tersedianya sumberdaya yang cukup

3. Lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.

Faktor biofisik yang mempengaruhi daya dukung lingkungan bukan hanya faktor alamiah melainkan juga faktor buatan manusia. Faktor tersebut antara lain hotel, rumah makan, perkampungan dan sarana prasarana lain seperti jalan dan tempat peristirahatan. Daya dukung lingkungan akan semakin besar apabila tujuan dan sikap wisatawan yang berkunjung tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Daya dukung badan air yang digunakan untuk pariwisata pada umumnya dipengaruhi oleh luas, volume badan air dan gerak air. Perairan yang luas, dalam, percampuran air yang baik dan pergantian air yang cepat mempunyai daya dukung yang lebih besar daripada

perairan yang sempit, dangkal, airnya tenang dan mengalami pergantian air yang lambat (Yulianda,2007).

Prinsip Dasar Ekowisata

Menurut Yulianda (2007), prinsip dasar ekowisata dapat dibagi menjadi :

a. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

b. Pendidikan konservasi lingkungan. c. Pendapatan langsung untuk kawasan. d. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. e. Penghasilan masyarakat.

f. Menjaga keharmonisan dengan alam. g. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan. h. Kontribusi pendapatan bagi negara.

Ekowisata Mangrove

Ekowisata saat ini menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata. Potensi yang ada adalah suatu konsep pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam. Mangrove sangat potensil bagi pengembangan ekowisata. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove yang sangat unik serta model wilayah yang dapat di kembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisme yang hidup kawasan mangrove. Suatu kawasan akan

suatu yang khas dan unik untuk dilihat dan di rasakan. Hak ini yang menjadi kunci dari suatu pengembangan kawasan wisata (Kasim,2006).

Menurut Subadra diacu oleh Karlina,dkk (2013) menyatakan bahwa, ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya lokal serta mempelajari tentang pentingnya beranekaragam mahluk hidup yang ada di dalamnya. Selain itu,kegiatan ekowisata juga dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam serta menghasilkan keuntungan ekonomibagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Pilihan jenis wisata yang dapat dikembangkan pada areal hutan mangrove adalah melalui ekowisata. Ekowisata dewasa ini menjadi satu dari pilihan dalam mengkonservasi lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu areal kunjungan wisata. Ekowisata secara konsep adalah model pariwisata yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga sekaligus berbasiskan budaya serta memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat. Model pariwisata ini menjadi ideal karena berfungsi ganda. Selain sebagai obyek wisata yang berbasiskan alam serta budaya setempat, ekowisata juga berfungsi untuk konservasi, observasi, serta pendidikan. Ekowisata sekaligus meminimalisir bahkan menolkan kerusakan lingkungan (Iqbal, 2012).

Beberapa parameter lingkungan yang dijadikan sebagai potensi pengembangan ekowisata mangrove adalah kerapatan jenis mangrove, ketebalan mangrove, spesies mangrove, pasang surut dan obyek biota yang ada di dalam ekosistem mangrove. Menurut Sukarsa diacu oleh Nasrullah (2006), menjelaskan bahwa sarana pokok kepariwisataan adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung kepada arus kedatangan orang yang melakukan perjalanan wisata, meliputi:

a. Akomodasi (accomodation), sarana akomodasi dibutuhkan apabila wisata diselenggarakan dalam waktu lebih dari 24 jam dan direncanakan untuk menggunakan sarana akomodasi tertentu sebagai tempat menginap.

b. Transportasi (tourist transportation), sarana transportasi berkaitan erat dengan mobilisasi wisatawan. Dalam perkembangan pariwisata alat transportasi tidak hanya dipakai sebagai sarana untuk membawa wisatawan dari suatu tempat ketempat lain saja, namun juga digunakan sebagai atraksi wisata yang menarik. c. Penyediaan makanan (catering trades), dilihat dari lokasinya ada makanan yang

disediakan di hotel dan menjadi bagian atau fasilitas hotel. Adapula yang berdiri sendiri secara independen. Dimanapun restoran itu berada, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: jenis atau kelas, menu, fasilitas, harga, lokasi, dan lain-lain.

d. Obyek dan atraksi wisata (tourist objects & tourist attraction), obyek dan atraksi wisata dapat dibedakan atas dasar asal usulnya yang menjad karakteristik obyek atau atraksi tersebut, yaitu obyek atau atraksi wisata yang bersifat alami, buatan manusia serta perpaduan antara buatan manusia dengan keadaan alami.

Taman Nasional kepulauan Togean berdasarkan penelitian Damar dan kawan-kawan (2010) merupakan daerah yang sesuai dijadikan sebagai ekowisata mangrove. Kondisi mangrove yang baik serta beranekaragamnya jenis biota di daerah ini yang menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Selain potensi-potensi sumberdaya alamnya, peran serta masyarakat sangat mempengaruhi kegiatan wisata yang terdapat di suatu daerah. Kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap peeliharaan dan kelestarian hutan mangrove sangat diperlukan dan perlu dikembangkan.

Mangrove

Pengertian Ekosistem Mangrove

Istilah „mangrove‟ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Istilah tersebut

kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis

menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai „mangue‟ dan istilah Inggris

grove‟, bila disatukan akan menjadi „mangrove‟ atau „mangrave‟. Ada kemungkinan

pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan „

mangi-mangi‟ atau „mangin‟. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).

Hutan mangrove jika ditinjau dari tata bahasa terdiri dari dua kata yaitu “hutan”

dan “mangrove”. Menurut Undang-Undang No 41/1999 dan Undang-Undang No

19/2004 yang mengatur tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh arus pasang surut air laut. Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang berpasir tipis atau pada pantai berlumpur.

Menurut Bengen (2004), ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut:

a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung dan berpasir.

b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. e. Air bersalinitas payau (2-22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil).

Hutan bakau atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik. Didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan yang asin. Hutan mangrove adalah hutan yang berkembang baik di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya selalu dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai. Definisi lain hutan mangrove adalah suatu kelompok tumbuhan terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda. Namun memiliki daya adaptasi morfologi dan fisiologis yang sama terhadap habitat yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut (Nybakken, 1992).

Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pantai atau goba-goba yang menyesuaikan diri pada keadaan asin. Kadang-kadang kata mangrove juga berarti suatu komunitas (mangrove). Sering kita jumpai kata mangal untuk komunitas mangrove dan untuk mangrove sebagai jenis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana, 2009).

Santoso (2006) diacu oleh Muhaerin (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:

1. Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas dihabitat mangrove (exclusive mangrove).

2. Spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).

3. Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove.

4. Proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada didaerah bervegetasi maupun di luarnya.

5. Daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

6. Masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove. Daerah hutan bakau merupakan suatu daerah yang dinamis. Tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi daerah semi teresterial atau semi daratan (Hutabarat dan Evans, 1986).

Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2004), karakteristik habitat hutan mangrove yaitu umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung dan berpasir. Daerahnya tergenang air secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari

gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (38 permil).

Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara yang besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Ghufran dan Kordi, 2012).

Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia seperti ditujukkan pada Gambar 2, yaitu daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur yang dalam yang cukup kaya dengan bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp, di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberpa spesies palem lainnya (Bengen, 2004).

Gambar 2. Salah satu tipe zonasi hutan mangrovediIndonesia (Bengen, 2004) Gambar 2. Tipe Zonasi Hutan Mangrove di Indonesia (Bengen, 2004)

Ada lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu : (1) gelombang, yang menentukan frekuensi tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembesan air tawar; (5) keterbukaan terhadap gelombang yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan (Ghufran dan Kordi, 2012).

Kartawinata dan Waluyo (1987) diacu oleh Erwin (2005) menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi pada hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah, faktor salinitas, frekuensi serta tingkat penggenangan dan ketahanan suatu jenis terhadap ombak dan arus. Variasi zonasi ini memanjang dari daratan sampai kepantai. Pola umum zonasi yang sering ditemui dari arah laut kedarat, pertama adalah jalur Avicennia spp yang sering berkolompok dengan Sonneratia sp, kemudian jalur Rhizophora spp, Bruguiera sp dan terakhir Nypa sp.

Lebih lanjut oleh Kartawinata dan Waluyo (1987) diacu oleh Erwin(2005) menyatakan bahwa asosiasi di hutan mangrove di Indonesia yaitu antara Bruguiera sp. dan Rhizophora spp. yang sering ditemukan, terutama di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi (peralihan antara hutan mangrove dan hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda suatu tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dari beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dari garis pantai.

Fungsi dan Manfaat Vegetasi Mangrove

Mangrove memiliki fungsi dan manfaat penting bagi darat dan laut. Berikut fungsi dan manfaat tersebut dibagi menjadi 3 kategori yaitu, Fungsi Fisik, Biologis dan Ekonomi.

a. Fungsi Fisik

Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen (Bengen, 2004). Kerapatan pohon mampu meredam atau menetralisir peningkatan salinitas. Perakaran yang rapat akan menyerap unsur-unsur yang mengakibatkan meningkatnya salinitas. Bentuk-bentuk perakaran yang telah beradaptasi terhadap kondisi salinitas tinggi menyebabkan tingkat salinitas di daerah sekitar tegakan menurun (Arief, 2003).

Lebih lanjut oleh Arief (2003) menyatakan bahwa selain akar-akar mangrove dapat pula menahan adanya pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai di sekitarnya, sehingga lahan mangrove dapat semakin luas tumbuh keluar. Dengan

Dokumen terkait