• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Kondisi Umum Kawasan Konservasi Perairan Daerah 1. Geografis

2.2.3. Ekosistem di KKPD a. Mangrove

Vegetasi mangrove di 2 kecamatan lokasi KKPD Selat Bunga Laut, tumbuh pada berbagai tipe morfologi pesisir seperti teluk, pantai berpasir, pulau kecil dan tanjung. Ketebalan sabuk mangrove bervariasi antara 100 sampai 300 meter. Di pulau-pulau kecil, ketebalan sabuk mangrove umumnya kurang

dari 100 meter, sementara dalam teluk yang tenang ketebalan dapat mencapai 300 meter. Zonasi umumnya pada bagian luar dihuni oleh R.

Mucronata, bagian tengah oleh C.tagal dan bagian dalam dihuni oleh Bruguiera spp. pada daerah yang lebih kering, serta R. Apiculata pada daerah

yang berawa.

Vegetasi Mangrove di Kecamatan Sipora Utara

Vegetasi atau hutan mangrove di Pulau Sipora, secara umum tumbuh di seluruh bagian pulau pada tempat-tempat dimana hempasan gelombangnya kecil, seperti di dalam teluk, muara-muara sungai dan tempat-tempat yang terhalang oleh keberadaan formasi pulau pada bagian depannya. Bagian ke arah utara banyak terdapat pulau-pulau kecil (terutama desa Tua pejat) dan teluk-teluk, sementara bagian arah selatan agak terbuka dan cenderung mempunyai gelombang yang besar. Akibat dari hal ini tampak nyata bahwa hutan mangrove lebih luas pada pesisir pantai utara (mulai dari Sioban sampai Tua pejat) dibanding di pesisir selatan. Daerah bagian selatan, terutama desa Katiek dan Sagitsi pantainya mengalami pengikisan (abrasi) sehingga hutan mangrovenya mengalami penyusutan yang parah, dan jika tidak ada penanganan secara cepat dikhawatirkan hutan mangrove akan hilang dan abrasi akan lebih parah lagi karena hutan mangrove sebagai penghalang terakhir tidak ada lagi.

Pengukuran biofisik mangrove dilakukan pada 3 lokasi (stasiun), yaitu di Pulau Hawera/Patotogat (Stasiun 1) dengan koordinat S: 02°00’48.7” dan E: 099°34’23.0”, dan di Teluk Metu (2 titik), dengan masing-masing koordinat (Stasiun 2) S: 01°59’37.4” dan E: 099°34’11.1”, serta (Stasiun 3) S: 01°59’48.2” E: 099°34’19.7”. Adapun hasil pengukuran sebagaiman disajikan dalam Tabel 2.18., berikut.

Tabel 2.18. Hasil pengukuran biofisik mangrove di Pulau Hawera dan Teluk

Metu (Kecamatan Sipora Utara)

Stasiun 1

Jenis Jumlah (ind/ha)K KR F FR BA D DR NP (%)

R.m 146 2433,33 94,19 1,00 46,15 5589,42 9,32 59,32 199,67 R.a 3 50,00 1,94 0,33 15,38 1780,69 2,97 18,90 36,22 B.g 3 50,00 1,94 0,50 23,08 1912,76 3,19 20,30 45,31 C.t 3 50,00 1,94 0,33 15,38 139,35 0,23 1,48 18,80 Jumlah 155 2583,33 100,00 2,17 100,00 9422,22 15,70 100,00 300,00 Stasiun 2

R.m 37 616,67 34,91 0,83 41,67 5703,98 9,51 38,10 114,67 R.a 55 916,67 51,89 0,67 33,33 5917,91 9,86 39,53 124,75 B.g 2 33,33 1,89 0,17 8,33 619,35 1,03 4,14 14,36 C.t 12 200,00 11,32 0,33 16,67 2730,42 4,55 18,24 46,22 Jumlah 106 1766,67 100,00 2,00 100,00 14971,7 24,95 100,00 300,00 Stasiun 3

Jenis Jumlah (ind/ha)K KR F FR BA D DR NP (%)

R.m 58 966,67 55,24 1,00 40,00 7444,09 12,41 60,42 155,66 R.a 23 383,33 21,90 0,67 26,67 1,10 0,00 0,01 48,58 B.g 22 366,67 20,95 0,67 26,67 4430,13 7,38 35,96 83,58 C.t 2 33,33 1,90 0,17 6,67 444,41 0,74 3,61 12,18 Jumlah 105 1750,00 100,00 2,50 100,00 12319,7 20,53 100,00 300,00 Sumber: Survey ( 2014) Keterangan:

- K (Kerapatan), KR (Kerapatan Relatif), F (Frekuensi), FR (Frekuensi Relatif), BA (Basal Area), D (Dominansi), DR (Dominansi Relatif), INP (indeks Nilai Penting)

- Rm (Rhizophora mucronata), Ra (Rhizophora apiculata), Bg (Bruguiera gymnorrhiza), Ct (Ceriops tagal)

Data pada Tabel 2.18. di atas menunjukan bahwa hanya terdapat 3 jenis

mangrove yang terdata, yaitu dari jenis Rhizophora (R muconata dan R

apiculata), jenis Bruguira gymnorrhiza dan Ceriops Tagal. Indeks nilai penting

(INP) atau important value index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Pada semua stasiun pengamatan, jenis R mucronata merupakan jenis yang paling tinggi tingkat kepentingannya, kemudian diikuti oleh R apiculata. Kemantapan komunitas vegetasi mangrove di 3 lokasi pengamatan inipun tergolong dalam komunitas yang kurang stabil dengan nilai keanekaragaman (H’) kurang dari 2.

Adapun pengukuran biofisik mangrove pada lokasi lainnya di Pulau Sipora, Penelitian BPSPL (2011), memberikan hasil bahwa terdapat 4 jenis mangrove yaitu R apiculata, C tagal, B gymnorrhiza, dan X granatum. Berdasarkan nilai INP, terlihat bahwa jenis R apiculata merupakan jenis yang paling tinggi tingkat kepentingannya di lingkungan ekosistemnya, diikuti kemudian oleh B

gymnorrhiza dan C tagal.

Tabel 2.19. Hasil pengukuran biofisik mangrove di Tua Pejat (Sipora Utara)

Jenis K KR D Dr F FR NP Pohon R. apiculata 0.03 55.03 0.41 51.46 0.73 45.67 152.16 C. tagal 0.01 6.14 0.56 7.41 0.21 15.87 29.42 B. gymnorrhiza 0.02 37.68 0.34 37.87 0.52 33.32 108.87 R. apiculata 0.01 0.64 0.01 0.43 0.03 2.15 3.22

Xylocarpus granatum 0.03 0.65 0.01 2.84 0.03 2.15 5.64 Anakan R. apiculata 0.03 44.48 0.28 49.18 0.39 41.96 135.62 C. tagal 0.01 5.55 0.04 5.59 0.09 10.68 21.82 B. gymnorrhiza 0.03 50.07 0.26 45.39 0.45 47.4 142.86 Semai R. apiculata 0.03 12.13 - - 0.02 15.34 27.47 C. tagal 0.18 64.68 - - 0.12 58.14 125.82 B. gymnorrhiza 0.59 23.24 - - 0.05 26.57 52.81 Sumber: BPSPL Padang ( 2011)

Vegetasi Mangrove di Kecamatan Siberut Barat Daya

Vegetasi atau hutan mangrove di pesisir selatan Pulau Siberut tumbuh pada tiga lokasi utama yaitu: pada pulau-pulau kecil, pada perairan teluk, dan pada pesisir sebelah timur yang mengarah ke Pulau Sumatera. Secara umum kondisi hutan mangrove di pesisir selatan Pulau Siberut ini masih sangat baik. Penebangan atau pengambilan kayu bakau untuk komersial tidak dilakukan, masyarakat hanya mengambil untuk kayu kontruksi sesuai kebutuhan, seperti untuk keperluan rumah, kelengkapan perahu, pembangunan dermaga dan untuk kayu bakar.

Adapun jenis mangrove yang terdapat di lokasi ini, adalah sebanyak 12 jenis yang terdiri dari Rhizopora mucronata, R. Stylosa, R. Apiculata, Bruguiera

gymnorrhiza, B. Parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Lumnitzera littorea, Sonneratia alba, serta Acrosticum aereum dan Barringtonia sp. Sebagai tumbuhan bawah. Kondisi mangrove di Teluk Katurai, yang

merupakan kawasan teluk yang sangat dalam menjorok ke darat, sehingga perairan dalam teluk tersebut sangat tenang. Kondisi ini sangat memungkinkan umtuk tumbuh dan berkembangnya mangrove. Tebal sabuk mangrove dari arah perairan ke dalam hutan mencapai 300 meter dan bahkan pada beberapa tempat ketebalannya melebihi 400 meter.

Pengukuran biofisik mangrove dilakukan pada 3 lokasi (stasiun), yaitu di Pulau Karamajat (Stasiun 4) dengan koordinat S: 01°54’25.0” dan E: 099°18’07.4”, kemudian di Pulau Nyangnyang (Stasiun 5) dengan koordinat S: 01°48’34.0” dan E: 099°17’13.3”, serta di Pulau Kubbao (Stasiun 6) pada koordinat S: 01°44’42.1” dan E: 099°16’12.1”, dengan hasil pengukuran sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.20. berikut.

Tabel 2.20. Hasil pengukuran biofisik mangrove di Pulau Karamajat, Pulau

Nyangnyang dan Pulau Kubbao (Kecamatan Siberut Barat Daya)

Stasiun 4

Jenis Jumlah (ind/ha)K KR F FR BA D DR NP (%)

R.m 26 433,33 11,66 0,50 18,75 3158,59 5,26 24,45 54,86 R.s 64 1066,67 28,70 0,67 25,00 3236,03 5,39 25,05 78,74 R.a 12 200,00 5,38 0,33 12,50 546,99 0,91 4,23 22,11 B.g 20 333,33 8,97 0,33 12,50 456,67 0,76 3,53 25,00 C.t 101 1683,33 45,29 0,83 31,25 5522,43 9,20 42,74 119,28 Jumlah 223 3716,67 100,00 2,67 100,00 12920,7 21,53 100,00 300,00 Stasiun 5

Jenis Jumlah (ind/ha)K KR F FR BA D DR NP (%)

R.m 54 900,00 52,43 0,83 21,74 9622,35 16,04 58,81 132,97 R.s 4 66,67 3,88 0,50 13,04 201,32 0,34 1,23 18,16 R.a 11 183,33 10,68 0,67 17,39 1256,53 2,09 7,68 35,75 B.g 13 216,67 12,62 0,67 17,39 2290,69 3,82 14,00 44,01 X.g 5 83,33 4,85 0,17 4,35 234,35 0,39 1,43 10,63 L.l 2 33,33 1,94 0,17 4,35 2178,27 3,63 13,31 19,60 C.t 14 233,33 13,59 0,83 21,74 578,91 0,96 3,54 38,87 Jumlah 103 1716,67 100,00 3,83 100,00 16362,4 27,27 100,00 300,00 Stasiun 6

Jenis Jumlah (ind/ha)K KR F FR BA D DR NP (%)

R.m 59 983,33 63,44 1,00 33,33 6850,73 11,42 56,13 152,90 R.s 9 150,00 9,68 0,50 16,67 2601,92 4,34 21,32 47,66 R.a 11 183,33 11,83 0,67 22,22 1862,22 3,10 15,26 49,31 B.g 7 116,67 7,53 0,33 11,11 680,94 1,13 5,58 24,22 C.t 7 116,67 7,53 0,50 16,67 209,71 0,35 1,72 25,91 Jumlah 93 1550,00 100,00 3,00 100,00 12205,5 20,34 100,00 300,00 Sumber: Survey ( 2014) Keterangan:

- K (Kerapatan), KR (Kerapatan Relatif), F (Frekuensi), FR (Frekuensi Relatif), BA (Basal Area), D (Dominansi), DR (Dominansi Relatif), INP (indeks Nilai Penting)

- Rm (Rhizophora mucronata), Ra (Rhizophora apiculata), Rs (Rhizophora stylosa), Bg (Bruguiera gymnorrhiza), Ct (Ceriops tagal), Xl (Xylocarpus granatum), LI (Lumnitzera litorea)

Data pada Tabel 2.20. di atas menunjukan bahwa terdapat 7 jenis mangrove

yang terdata, yaitu dari jenis Rhizophora (R muconata, R stylosa dan R

apiculata), jenis Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, Lumnitzera littorea dan Ceriops Tagal. Indeks nilai penting (INP) atau important value index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya

peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Pada semua stasiun pengamatan, jenis R mucronata (Stasiun 5 dan 6) dan C Tagal (Stasiun 4) merupakan jenis yang paling tinggi tingkat kepentingannya.

b. Lamun

Lamun yang di teliti di Pulau Patotogat dan Dusun Jati (P. Sipora) dan Pulau Nyangnyang (P.Siberut) terdapat dua jenis Enhalus acorodies dan Thalassia

hemprichii. Kondisi Lamun sesuai baku mutu berdasarkan Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2014, menunjukan bahwa kondisi lamun di Patotogat adalah dalam kategori miskin, di Dusun Jati dan Pulau Nyangnyang tergolong kurang kaya (Tabel 2.21.). Secara umum lamun

mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya dapat hidup di laut (Hartog, 1977) yaitu (1) hidup di media air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan normal dan terbenam, (3) mempunyai sifat perakaran yang berkembang baik dan (4) mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam.

Menurut Hartog (1977) Enhalus acoroides dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermathophyta Kelas : monocotyledonae Ordo : Helobiae

Family : hydrocharitaceae Genus : Enhalus - Thalassia

Species : Enhalus acoroides - Thalassia hemprichii

Enhalus acoroides mempunyai akar rimpang berdiameter 13,15 - 17,20 mm

yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras. Akar berbentuk seperti tali berjumlah banyak dan tidak bercabang, panjang antara 18,50 - 157,65 mm dan diameternya antara 3,00 - 5 mm. Bentuk dau seperti sabuk, rata-rata daun ujung tumpul, panajang anatara 65,0 -160,0 cm dan lebar antara 1,2-2,0 cm (Hartog, 1970).

Thalassia hemprichii mempunyai akar rimpang berbuku-buku yang pendek,

panjang antara buku 3,95 - 7,70 mm, diameter 3,30 - 4,65 mm sebatang akar muncul dari setiap buku, panjang antara 11,10 - 76,20 mm daun muncul dari tunas yang tumbuh dari rimpang pda interval 5 - 33 buku. Berbentuk pita dan panjang antara 3,6 - 25,0 cm lebar antara 0,17 - 1,70 cm, tepi rata dan ujungnya tumpul. Buah di jumpai pada bulan Oktober (Hartog, 1970).

Tabel 2.21. Sebaran dan Kondisi Lamun

No. Pulau Jenis tutupan rata-Persentase

rata

Kondisi Lamun

1 Patotogat Thalassia hemprichii 21,20% miskin 2 Dusun Jati Enhalus acoroidesThalassia hemprichi 10,12%30,22% Kurang Kaya 3 P. Nyangnyang Enhalus acoroides 21,35 Kurang Kaya

Thalassia hemprichi 50,34%

Sumber: Hasil analisis(2014)

c. Terumbu Karang dan Ikan Karang

Secara umum tipe terumbu karang pada lokasi penelitian berupa berupa terumbu karang tepi (fringing reef). Hampir 30% terumbu karang di dunia mempunyai tipe terumbu karang tepi dan biasanya tersebar pada pulau-pulau kecil dan sedang (Romimohtarto dan Juwana,1999). Sebaran vertikal terumbu karang pada lokasi penelitian umumnya tidak terlalu dalam. Lebih dari kedalaman 15 meter keberadaan terumbu karang sudah mulai berkurang. Substrat tempat hidup karang pada kedalaman 15 meter lebih terdiri dari patahan-patahan dan pecahan- pecahan karang yang telah di tumbuhi alga dan macro alaga serta pasir. Terbatasnya sebaran terumbu karang vertikal ini sangat di pengaruhi oleh tipe substrat dasar, pada kedalam lebih dari 15 meter hampir semua pulau tidak ditermukan lagi substrat yang keras bagi pertumbuhan karang.

Relief terumbu karang menunjukan pola perkembangan dengan rata-rata panjang rataan terumbu (flate) yang sempit yaitu berkisar antara 75-150 meter dari pantai. Lereng terumbu tidak begitu curam dan sangat sempit berkisar 5-7 meter. Pada kedalaman lebih 15 meter pada semua lokasi hampir tidak lagi pertumbuhan karang. Persentase tutuan karang hidup pada pulau-pulau lokasi penelitian rata-rata dalam kriteria buruk sampai

sangat baik. Berdasarkan pengamatan di lapangan hal ini diperkirakan

disebabkan antara lain masih berlangsungnya proses pemulihan karang (recovering) setelah kejadian pemulihan (bleaching) pada tahun 1998. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya ditemukannya bekas- karang mati yang rangkanya masih utuh maupun banyaknya patahan-patahan atau pecahan-pecahan karang yang sudah di tumbuhi oleh alga.

Substrat penyusun pertumbuhan terumbu karang di lokasi penelitian didominasi oleh alga, sedangkan pertumbuhan karang didominasi oleh

karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporridae, Pocilloporidae,

Poritidae dan Faviidae, Mushroom cora, karena memang secara ekologi

keempat famili ini merupakan famili penyusun utama terumbu karang.

Gambar 2.4. Persentase Penutupan Karang Hidup Di Perairan Tua Pejat

Pulau Sipora Kepulauan Mentawai (Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Tabel 2.22. Kondisi Karang Di Perairan Tua Pejat Pulau Sipora Kepulauan

Mentawai

Lokasi % 4 meter 9 meter

Penutupan Keterangan Penutupan Keterangan%

Pulau Pitojat

Besar 93,87 Sangat Baik 62,90 Baik

Pulau Pitojat

Kecil 58,02 Baik 50,27 Baik

Pulau Setan 0,00 Buruk 8,01 Buruk

Bulak Sipora 70,77 Baik 42,23 Sedang

Lokasi % 4 meter 9 meter

Penutupan Keterangan Penutupan Keterangan%

Pulau Hawera 57,90 Baik 25,16 Buruk

Pulau Siteut 55,47 Baik 53,77 Baik

Pulau Siburu 44,50 Sedang 31,17 Sedang

Rata-rata tutupan karang hidup di perairan Tua Pejat Kepulauan Mentawai pada tujuh titik pengambilan data dengan dua kedalaman (4 meter dan 9 meter) yaitu titik Pulau Pitojat Besar (S 02°08’01,11” E 099°32’09,5”), Pulau Pitojat Kecil (S: 02°07’38,9” E: 099°31’05,5”), Pulau Setan (S: 01°57’58,4” E: 099°34’14,9”), Bulak Sipora (S: 02°06’07,8” E: 099°32’48,4”), Pulau Hawera (S: 02°01'34.6” E: 099°34'17.0”), Siteut (S: 02°01'06.3.6” E: 099°36'52.0”) dan Pulau Siburu (S: 02°00'04.2” E: 099°35'54.0”).

Pada titik pengamatan di Pulau Pitojat besar (S: 02°08’01,11” E: 099°32’09,5”), rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 93,87% masuk kedalam kategori sangat baik dan pada kedalaman 9 meter sebesar 62,91% masuk dalam kategori baik, yang didominasi oleh karang Non-Acropora dengan bentuk hidup Submasive, pada titik ini juga ditemukan megabentos Kima dan Bulu babi. Pada Pulau Pitojat kecil (S: 02°07’38,9” E: 099°31’05,5”), rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 58,02% masuk dalam kategori baik dan pada kedalaman 9 meter tutupan karang hidup sebesar 50,27% yang juga termasuk kedalam kategori baik. Pada transek ini banyak ditemukan karang dengan bentuk hidup Acropora dan pada titik ini juga ditemukan megabentos kima dan bulu babi.

Pada titik Pulau Setan (S: 01°57’58,4” E: 099°34’14,9’), pada kedalaman 4 meter tidak ditemukan satu pun biota pada titik ini hanya ada pasir, sedangkan pada kedalaman 9 meter ada tutupan karang hidup sebesar 8,01% yang masuk dalam kategori sangat buruk. Pada titik Bulak Sipora (S: 02°06’07,8” E: 099°32’48,4”) rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 70,77% masuk dalam kategori baik, sedangkan pada kedalaman 9 meter tutupan karang hidup sebesar 42,33% yang masuk dalam kategori buruk, selain itu pada titik ini ditemukan juga megabentos seperti kima, bulu babi, dan lola.

Pada titik pengamatan di Pulau Hawera (S: 02°01'34.6” E: 099°34'17.0”), rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 57,09% masuk dalam kategori baik dan pada kedalaman 9 meter tutupan karang hidup sebesar 25,16% yang juga termasuk kedalam kategori buruk. Pada transek ini banyak ditemukan karang hidup Non Acropora. Siteut (S: 02°01'06.3.6” E: 099°36'52.0”) rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 50,47% masuk dalam kategori baik, sedangkan pada kedalaman 9 meter tutupan karang hidup sebesar 53,77% yang juga

masuk kategori baik, selain itu pada titik ini ditemukan juga megabentos seperti kima, bulu babi. Selanjutnya pada titik Pulau Siberut (S: 02°00'04.2” E: 099°35'54.0”) rata-rata tutupan karang hidup pada kedalaman 4 meter sebesar 62,5% masuk dalam kategori baik, sedangkan pada kedalaman 9 meter tutupan karang hidup sebesar 31,17% yang masuk dalam kategori buruk, selain itu pada titik ini tidak ditemukan megabentos seperti kima, bulu babi, dan lola.

Gambar 2.5. Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan Tua Pejat

Pulau Sipora Kepulauan Mentawai pada kedalaman 4 meter (Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Kondisi terumbu karang dapat dikatakan baik atau buruk mengacu pada ktiteria tingkat kerusakan terumbu karang berdasarkan KepMenLH Nomor 4 Tahun 2001. Persentase tutupan karang hidup merupakan bagian dari data untuk melihat kondisi karang, yang menitik beratkan pengamatan pada “benthic life form”. Bentic life form yang diamati adalah Hard Coral (Acropora dan non-Acropora), Dead Scleractinia, Dead Coral Alga, Other Fauna dan Abiotik. Untuk persentase tutupan karang hidup yang digunakan adalah Hard Coral.

Gambar 2.6. Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan Tua Pejat

Pulau Sipora Kepulauan Mentawai pada kedalaman 9 meter (Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Kondisi karang hidup di Perairan Tua Pejat Kepulauan Mentawai masih sangat baik, hal ini disebabkan karena perairan ini masih sangat baik untuk tempat karang tumbuh dan berkembang. Namun, ada beberapa titik yang kondisinya sangat buruk. Hal ini diduga disebabkan karena aktifitas masunia yang kurang ramah terhadap lingkungan, seperti aktifitas nelayan yang menggunakan bahan peledak dan potasium sianida untuk menanggkap ikan. Selain itu faktor alami juga berdampak terhadap kondisi terumbu karang di perairan kepulauan Mentawai ini seperti gempa bumi dan tsunami. Perbandingan kategori substrat dasar dari semua stasiun penelitian memperlihatkan tingginya persentase karang hidup Acropora dan non-acropora pada kedalaman 4 meter kecuali pada titik Pulau Setan (S 01°57’58,4” E 099°34’14,9’) Yang hanya ditutupi ole pasir (Abiotik) (Gambar 2.5.). Pada kedalaman 9 meter titik Pulau Pitojat besar (S 02°08’01,11” E

099°32’09,5”), dapat dilihat tutupan karang hidup tinngi sedangkan pada titik lain banyak ditemukan Karang mati (Dead Scleractinia) (Gambar 2.6.).

Gambar 2.7. Persentase Penutupan Karang Hidup Di Perairan Siberut

(Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Tabel 2.23. Kondisi Karang Di Perairan Siberut Kepulauan Mentawai Lokasi 4 meter 9 meter % Penutupan Keterangan % Penutupan Keterangan Pulau

Karamajat 67.27% Baik 49.90% Sedang

Pulau Botik 56.80% Baik 22.93% Buruk

Pulau Mainuk 70.40% Baik 11.90% Buruk

Pulau

Nyang-Nyang 65.13% Baik 21.37% Buruk

Silaionak 85.63% Sangat Baik 42.10% Sedang

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Dapat dilihat dari Gambar 2.7. dan Tabel 2.23., kondisi karang pada lokasi

penelitian di perairan Siberut pada kedalaman 4 meter menunjukan kondisi karang yang sangat baik hingga baik, kondisi yang sangat baik terdapat pada lokasi Silaionak dengan tutupan karang sebesar 85,63% dan kondisi yang baik terdapat pada lokasi Pulau Karamajat 67,27%, Pulau Botiek 56,80, Pulau Mainuk 70,40% dan Pulau Nyang-nyang sebesar 65,13%. Kondisi tutupan karang yang baik menunjukan bahwa lokasi penelitian ini memiliki perairan yang masih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan karang, dan membentuk ekosistem karang yang baik dan sehat.

Namun berbeda halnya dengan kedalaman 9 meter, pada kedalaman 9 meter kondisi karang berada dalam kondisi yang buruk dan sedang, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya penetrasi cahaya sampai kekedalaman ini, yang menyebabkan kematian pada karang, karena karang sangat membutuhkan cahaya matahari untuk proses fotosintesis hewan simbion karang (Zooxanthella).

Gambar 2.8. Persentase Penutupan Substrat Di Perairan Siberut Pada

Kedalaman 4 Meter (Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Dapat dilihat dari Gambar 2.8. persentase tutupan subsatrat pada

kedalaman 4 meter. Pada kedalaman ini didominasi oleh karang hidup Non-Acropora yang menujukkan kondisi yang baik. Tingginya tutupan karang hidup pada kedalaman ini diduga karena masih banyaknya karang mati yang dapat menjadi substrat alami bagi juvenile karang untuk menempel dan berkembang dengan baik.

Persentase tutupan substrat pada kedalaman 9 meter dapat dilihat pada

Gambar 2.9., pada kedalaman 9 meter didominasi karang mati yang ditutupi

oleh algae, yang menyebabkan juvenile karang tidak dapat menempel, sehingga kondisi tutupan karang hidup pada kedalaman 9 meter ini sangat buruk selain itu pada kedalaman 9 meter juga di dominasi oleh Abiotik (Pasir dan patahan karang), pasir merupakan substrat yang tidak dapat ditumbuhi karang dan begitu juga dengan patahan karang, patahan karang dapat ditempeli oleh juvenile karang namun patahan karang merupakan substrat yang labil, sehingga tidak dapat ditumbuhi juvenile karang karena juvenile karang membutuhkan substrat yang stabil untuk menempel, hal inilah yang

diduga menyebabkan kondisi tutupan karang sangat buruk pada kedalaman 9 meter.

Gambar 2.9. Persentase Penutupan Substrat di Perairan Siberut pada

Kedalaman 9 meter (Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Jumlah dan keragama ikan karang di kawasan perairan Tua Pejat dan Siberut Barat Daya yang diperoleh relatif bervariasi, baik dari tingkat keberadaan jenisnya maupun jumlah populasi. Dari 12 lokasi yang diamati di temukan 12 jenis ikan indikator dengan total individu 124 ekor dan 58 jenis ikan target dengan total individu 581 jenis untuk ikan target dengan total individu 581 ekor. Keberadaan ikan indikator pada setiap lokasi yang di temukan relatif beragam. Chaetodoon trifasciatus menjadi indikator penting terhadap kondisi terumbu karang. Semakin tinggi keberadaan ikan jenis ini mengindikasikan terumbu karang di lokasi tersebut cukup bagus, sedangkan untuk ikan target didominasi oleh kelompok Achanturiadae.

Kehadiran ikan kape-kape tidak terlepas dari keberadaan terumbu karang, karena semakin beragam spesies indikator dari ikan kape-kape menunjukan tingkat kesuburan terumbu karang semaki tinggi. Sedangkan untuk kelompok ikan target kehadiran spesies sangtlah didukung oleh habitat terumbu karang, yang terdiri dari beberapa komponen yang antara lain, karang batu, alga, karang lunak, spong, pasir, lumpur, karang mati, dan sebagainya.

Dokumen terkait