• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Komisi Pemberantasan Korupsi

B. Eksistensi KPK Sebagai Lembaga Ad Hoc dan Independen

Konsideran Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa urgensi keberadaan KPK didasar pada empat hal. Pertama, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.Kedua, KPK merupakan respon Negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Keempat, lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Berdasarkan konsideran UU KPK tersebut, eksitensi KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi menjadi sangat kuat. Lebih tegas lagi dinyatakan dalam Pasal 43 Undang-Undang

41 ICW, Catatan Indonesia Corruption Watch terhadap Revisi UU (Pelemahan) KPK 2016.Diak-ses dari, http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Regulasi/CATATAN_ICW_ TERHADAP_REVISI_UU_PELEMAHAN_KPK_2016_edit.pdf, diakses pada hari Sabtu, 23 April 2016, pukul 15.00 wib.

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa Negara wajib membentuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kedudukan hukum KPK secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis berdasarkan keterangan di atas sangat kuat. Namun bukan berarti kedu-dukan KPK sepi dari perdebatan. Perdebatan pokok mengenai KPK adalah terkait kedudukan KPK sebagai lembaga Ad Hoc atau permanen, dan juga mengenai independensi KPK yang dalam prakteknya tenaga professional penyelidik, penyidik dan penuntut umum lebih banyak berasal dari lembaga penegak hukum yang selama ini ada, yakni Kepolisian dan Kejaksaan.

Secara eksplisit tidak ditemukan keterangan dalam UU KPK maupun UU Tipikor yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga Ad Hoc. Namun oleh banyak kalangan hal ini dapat dipahami dari latar belakang folosofis kelahiran KPK. KPK muncul ketika lembaga penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan belum mampu menghadirkan praktek pene gakan hukum korupsi secara maksimal. Dengan adanya KPK, diharapkan Kepolisian dan Kejaksaan dapat mulai menata dan melakukan reformasi kelembagaan dalam rangka mewujudkan lembaga penegak hukum yang bersih dan professional, termasuk dalam hal penegakan tindak pidana korupsi. Jika kondisi ini sudah hadir, maka urgensi keberadaan KPK tidak lagi ada. Dari sinilah orang memahami bahwa KPK bersifat sementara atau ad hoc.

Namun, kita harus tepat memahami kata ad hoc. Ad hoc itu berarti bertugas menyelesaikan atau melaksanakan tugas khusus.42 Dalam hal ini, KPK memiliki tugas khusus menangani korupsi. Tugas itu berakhir, atau KPK akan berakhir jika objek kewenangannya sudah tidak ada, atau selesai, alias tidak ada lagi korupsi di Indonesia. Jadi tidak relevan, jika kemudian kondisi eksisting yang selalu dinamis, dibatasi oleh peraturan perundangan yang sangat ketat sebagaimana pembatasan dalam RUU KPK

42 Ad hoc: for this; for this special purpose. An attorney ad hoc, or a guardian or curator ad hoc, is

one appointed for a special purpose, generally to represent the client or infant in the particular action in which the appointment is made. See, Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary With Pronunciations, ST. Paul, Minn, West Publishing Co, 1983. Hlm. 19

yang mematasai umur KPK hanya 12 tahun. Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin, 12 tahun kemudian korupsi akan berhasil ditangani dan lembaga kepolisian dan kejaksaan kembali berdaya dan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat.

Persoalan independensi KPK menjadi sesuatu yang sangat mutlak.Jika dilihat dari latar belakang politik hukum kelahirannya, KPK diharapkan menjadi sebuah lembaga yang mandiri di tengah distrust yang sangat tinggi dalam masyarakat kepada lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan.Tanpa independesi atau kemerdekaan dalam melaksanakan kewenangannya, KPK akan tersandera banyak kepentingan dan tidak akan bisa banyak bergerak. Hal ini karena yang menjadi sasaran kerja KPK adalah pelaku kejahatan korupsi di lingkungan penyelenggara Negara dan merupakan pelaku kelas kakap, yang biasanya memiliki pengaruh dan kewenangan yang tinggi. Sehingga ketika KPK tidak diberikan kemerdekaan yang luas, maka kehadiran KPK hanya akan menjadi perpanjangan tangan lembaga penegak hukum yang pernah ada, dan tidak akan mampu menghadirkan hal baru apapun.

Secara eksplisit, dalam UU KPK disebutkan dalam Pasal 3 bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dijelaskan dalam UU yang sama, bahwa yang dimaksud “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Prinsip independensi menjadi sangat penting mengingat banyak praktek sukses lembaga sejenis KPK di berbagai Negara memulainya dengan independesi.

John ST Quwah, sebagaimana dikutip Rizki, mengemukakan hasil penelitiannya tentang factor-faktor pra kondisi untuk badan antikorupsi yang efektif di beberapa negara:

1. Badan antikorupsi itu tidak korup;

2. Harus independen dari control polisi dan politik; 3. Ada peraturan antikorupsi yang komprehensif; 4. Staf dan pembiayaan yang memadai;

5. Tidak tebang pilih dalam penegakan peraturan antikorupsi; dan 6. Pemerintah memiliki komitmen besar untuk memberantas

korupsi di negaranya.

Heilbrunn juga mengemukakan factor yang menjadikan sebuah lembaga antikorupsi itu sukses:

1. Badan tersebut harus independen;

2. Memiliki hierarki pelaporan yang jelas antara pejabat eksekutif, pihak parlemen dan oversight committtees (komite pengawas); 3. Pemerintah memiliki komitmen melakukan reformasi;dan

4. Luas wilayah yurisdiksi, baik dari segi geografis maupun jumlah penduduknya.43