• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3)30

ANALISIS TERHADAP SUBSTANSI RANCANGAN REVISI UU KPK

E. KEWENANGAN MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3)30

Salah satu keistimewaan KPK yang masih terjaga hingga kini adalah rekor 100% conviction rate atau 100% kemenangan di persidangan. Rekor ini pula yang membuat publik menaruh kepercayaan besar kepada KPK dalam menangani perkara korupsi dan pencucian uang.

Salah satu hal yang mendukung pencapaian rekor tersebut adalah karena KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini diakomodasi dengan baik dalam UU KPK yang kini berlaku, karena salah satu pertimbangan untuk tidak memberikan KPK kewenangan mengeluarkan SP3 adalah, potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pengeluaran SP3.

Sebagaimana disebutkan dalam hasil kajian Satuan Tugas Anti Mafia Hukum (Satgas Anti Mafia Hukum) yang dikeluarkan pada 2010, kewenangan mengeluarkan SP3 oleh aparat penegak hukum rawan diperdagangkan.31 Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa KPK tidak diberikan kewenangan mengeluarkan SP3, sehingga tidak mungkin KPK menghentikan proses hukum atas perkara korupsi yang sudah jelas tersangkanya.

Hal ini lah yang tidak diakomodasi dalam Rancangan Revisi UU KPK Naskah 2 Februari 2016. Rancangan Revisi UU KPK justru memberikan kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3, dan hal tersebut dimaktubkan dalam Pasal 40 Rancangan Revisi UU KPK yang berbunyi demikian, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”

Kewenangan mengeluarkan SP3 oleh KPK yang diakomodasi dalam Rancangan Revisi UU KPK ini bertentangan dengan prinsip tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang perlu

30 Bagian ini disarikan dari tulisan Bambang Widjojanto, “Melacak Dasar Kepentingan Pengha-pusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam Revisi UU KPK”, Tulisan untuk Public Review Revisi UU KPK, Jakarta, Mei 2016

31 Satgas Anti Mafia Hukum, sebagaimana dikutip dalam Policy Brief ICW tentang Kewenangan KPK Mengeluarkan SP3, Jakarta, Februari 2016

penanganan luar biasa. Kemunduran tersebut juga dapat dilihat dari Pasal 38 Rancangan Revisi UU KPK yang penangananannya juga dibuat menjadi serupa dengan Kepolisian dan Kejaksaan.32

Betul, norma serupa ada pula dalam Pasal 62 UU KPK,33 namun pasal ini masih membuka kemungkinan atau peluang untuk KPK memiliki pengaturan teknis terkait penanganan perkara korupsi. Hal ini dapat mempengaruhi rekor 100% conviction rate yang dimiliki KPK, karena kewenangan KPK dalam menangani korupsi kian menyerupai penegak hukum lainnya, dalam hal ini Kepolisian. Jika KPK memiliki kewenangan mengeluarkan SP3, bukan saja rekor 100% conviction rate yang akan dipertaruhkan, tapi juga kemungkinan munculnya praktik mafia hukum yang kian luas dalam proses pengeluaran SP3 oleh KPK ini.

Alasan lain mengapa KPK tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 adalah karena penetapan tersangka, umumnya telah terjadi sejak akhir proses penyelidikan, sehingga pada proses penyidikan KPKsudah lebih dahulu memiliki minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup. Standar ini lah yang berbeda dengan standar penanganan perkara pada lembaga penegak hukum lainnya, di mana proses penyidikan dimaksudkan untuk memenuhi standar 2 (dua) alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka.

Ada hal menarik lainnya terkait dengan proses penyidikan perkara korupsi yaitu kaitan antara proses penyidikan dengan penuntutan. Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa, “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan peristiwa yang merupakan tindak pidana, pinyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,” di mana proses tersebut diwujudkan dalam pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Namun demikian, temuan di lapangan tidak menunjukkan kepatuhan penyidik dalam mengirimkan SPDP kepada Penuntut Umum.

32 Pasal 38 Rancangan Revisi UU KPK berbunyi demikian, “Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidikn, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.”

33 Pasal 62 Rancangan Revisi UU KPK berbunyi demikian, “Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diu-bah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perudiu-bahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Piadna Korupsi”

Berikut adalah tabel yang menunjukkan fenomena tersebut:34

Tabel 3.4

Rekapitulasi Surat Pemberitahuan Dimualinya Penyidikan (SPDP)

No Uraian Jumlah SPDP

1 Sisa Periode Tahun 2013 23.617 SPDP

2 Masuk Periode Januari s/d Desember 2014 143.187 SPDP

Jumlah 166.057 SPDP

3 Diselesaikan

Dihentikan oleh Penyidik 1.081 SPDP

Menjadi Berkas Tahap II 134.057 SPDP

Jumlah 135.138 SPDP

Tabel 3.5

Rekapitulasi Penerimaan Berkas Perkara Tahap I (PERTAMA)

No Uraian Jumlah Berkas

1 Sisa Periode Tahun 2013 24.299 Berkas

2 Masuk Periode Januari s/d Desember 2014 134.057 Berkas

Jumlah 1.356 Berkas

Diselesaikan

3 Lengkap 120.011 Berkas

4 Dikembalikan Kepada Penyidik (P.18/ P.19) 8.604 Berkas Dapat Dilengkapi

Tidak Dapat Dilengkapi 7.833 Berkas

Tidak Dikembalikan ke Penuntut Umum 4.302 Berkas

Jumlah 140.750 Berkas

Tabel di atas menjelaskan beberapa hal yaitu: kesatu, ada ribuan kasus yang SPDP nya menjadi tunggakan perkara pada tahun sebelumnya, dan tunggakan tersebut bersifat berkelanjutan pada tahun berikutnya, dan terakumulasi menjadi jumlah yang kian banyak; kedua, ada jumlah tunggakan SPDP di atas 20.000 kasus, begitu pula dengan jymlah rekapitulasi SPDP yang tidak tertangani, dihentikan, penyidik, hingga tidak jelas penanganannya; ketiga, ada ribuan perkara yang tidak pernah dilengkapi penyidik atau karena sebab lain, yang berkasnya tidak pernah dikembalikan ke Penuntut Umum.

34 Choky R. Ramadhan, “Gugatan Konstitusional Pra Penuntutan Perkara Pidum”, Pemaparan pada Seminar Nasional Universitas Brawijaya, 10 Desember 2015

Besaran jumlah pada tabel-tabel di atas tidak bisa hanya dipandang sebagai kuntatias belaka. Lebih dari itu, fenomena ini menggambarkan besarnya kerugian yang dialami para pencari keadilan akibat ketidakjelasan proses penegakan hukum. Hal ini menunjukkan betapa upaya mencari dan mencapai keadilan serta kepastian hukum, masih jauh dari maksimal.

Persoalan SPDP di atas memiliki kaitan erat dengan persoalan penghentian penyidikan. Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyebutkan, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut, tersangka, atau keluarganya.”

SPDP juga merupakan salah satu parameter untuk menilai akuntabilitas kinerja penyidik yang sangat mempengaruhi para pihak berperkara seperti tersangka, pelapor, ataupun keluarganya. Berdasarkan uraian di atas, pengalaman sebagai penegak hukum, dan hasil diskusi dengan kolega lainnya maka di dalam pelaksanaan proses penyidikan dalam kaitannya dengan fungsi prapenuntutan, ada beberapa tantangan yang biasa terjadi, yaitu antara lain:

1. Ada pemeriksaan yang sudah dilakukan tetapi tidak jelas tahapannya, penyelidikan atau penyidikan.

2. Ada pemeriksaan untuk penyidikan tetapi tidak pernah dikirimkan SPDP nya atau terlambat dikirimkan SPDP nya.

3. Ada pemeriksaan untuk penyidikan dan pemberitahuan SPDPnya dikirimkan tetapi tidak pernah jelas sejauhmana proses pemeriksaan telah dilakukan;

4. Ada penyidikan yang sudah selesai dan kemudian dibuatkan Berkas Perkara dan berkas dimaksud sudah dikirimkan.Ada Berkas Perkara yang kemudian dikembalikan lagi dengan disertai petunjuk tetapi tidak jelas penyelesaian petunjuknya.

5. Ada yang petunjuknya sudah direspon tetapi dianggap tidak lengkap sehingga dikembalikan lagi untuk dilengkapi tetapi tidak ada kepastian limit waktunya sehingga merugikan kepentingan pihak yang diperiksa dan ditersangkakan.

Melihat permasalahan-permasalahan di atas, apakah KPK masih me-merlukan kewenangan penghentian penyidikan? Apalagi jika perumusan

Rancangan Revisi UU KPK ini, tidak didasari pada kajian yang mendalam yang melihat secara teliti proses penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK, yang memiliki standar profesionalitas dan kualitas pelayanan yang berbeda.

Pada praktik penegakan hukum di KPK, sejak dalam proses penyelidikan ada keterlibatan yang intensif antara penyelidik, penyidik dan penuntut di dalam proses penanganan suatu kasus. Pada tahapan ini, penerapan salah satu asas penting di dalam KUHAP, yaitu “sederhana, cepat dan biaya ringan” dilakukan secara konsisten, sekaligus mengintegrasikan sistem peradilan di dalam tahapan penyelidikan, penyidikan dan prapenuntutan.

Pada proses pemeriksaan, –disimulasikan dalam penanganan kasus Tri Risma–tidak akan ada persoalan “berbantah-bantahan” diantara penegak hukum. Tidak akan ada persoalan penyidik tidak melaporkan dimulainya penyidikan atau SPDP yang sudah disampaikan tetapi diingkari, dan tidak ada berkas perkara yang “bolak-balik” antara penyidik dan penuntut umum yang menyebabkan penanganan perkara menjadi berlarut-larut atau perkara menjadi tidak jelas.

Forum dan proses ekspose dari setiap tahapan juga menjadi bagian mekanisme yang dilakukan di KPK. Dari tahapan pengaduan masyarakat ke tahapan lainnya, ada proses eksposenya, begitupun dari tahapan penyelidikan ke tahapan penyidikan. Setiap proses tersebut melibatkan tidak hanya penyelidik dan penyidik saja, tapi juga pihak lain seperti, penuntut umum, pejabat struktural, dan komisioner KPK.

Ada 3 (tiga) alasan yang dijadikan dasar untuk melakukan penghentian penyidikan sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: tidak terdapat cukup bukti, peristiwa bukan merupakan tindak pidana dan dihentikan demi hukum. Bilamana kasus Tri Risma disimulasi menggunakan mekanisme yang ada di KPK maka semua proses itu dimulai kajiannya di tahapan pra penyelidikan (pengaduan masyarakat) dan penyelidikan untuk dikualifikasi, apakah unsur delik yang dijadikan dasar tuduhan serta apakah sudah memiliki dua alat bukti yang kuat sebelum dinyatakan ada tidaknyaseseorang ditetapkan sebagaitersangka.

Pada keseluruhan proses ditahap penyelidikan itu, pihak penyidik dan penuntut umum sudah terlibat pada proses ekspose, sehingga pejabat struktural dan Pimpinan KPK juga terlibat secara intensif. Penyelidik sudah

dapat mendatangkan ahli untuk dimintakan pendapat dan keterangan sesuai dengan pengetahuan dan keahliannya dalam tahapan penyelidikan dan ekspose perkara ini.

Pada keseluruhan proses di atas, maka telah terjadi dua hal yaitu, 1. proses pemberian petunjuk dan penyempurnaan penyelidikan

sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 huruf b KUHAP; 2. dilakukannya efisiensi fungsi koordinasi dan konsolidasi diantara

penyelidik, penyidik dan penuntut umum terhadap suatu kasus tertentu, sekaligus memenuhi Pasal 109 ayat (1) KUHAP;

3. adanya uji kesahihan secara terbatas melalui forum ekspose yang melibatkan pihak yang lebih luas lagi. Inilah salah satu penerapan prinsip prudential atau kehati-hatian;

4. adanya penerapan asas KUHAP, khususnya menyangkut asas cepat, sederhana dan biaya ringan karena semua penegak hukum sudah terlibat sedar awal sehingga mengefisienkan waktu pemeriksaan, membuat prosesnya menjadi sederhana dan menekan biaya;

5. dilakukan prinsip due process of law sebagai dasar criminal policy sesuai KUHAP, di mana akuntabilitas kewewenangan dikendalikan, agar proses pemeriksaan dan pengendalian penanganan perkara menjadi lebih terkontrol dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan proses seperti di atas, maka bukan hanya tidak ada pihak-pihak penegak hukum yang mengingkari dan menegasikan proses pemeriksaan yang sedang berlangsung, tapi juga tidak akan ada pihak yang sudah dinyatakan sebagai tersangka tanpa 2 (dua) alat bukti yang membuktikan kesalahannya.

Proses ini juga menjawab permasalahan potensi berkas perkara yang bolak balik tanpa batas waktu sebagai penerapan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP yang dapat terjadi tanpa batas waktu. Proses ini juga menjamin pemenuhan hak dan kepastian hukum para justiabel atau warga Negara pencari keadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat dikemukakan suatu kesimpulansebagai berikut: kesatu, rumusan Pasal 40 Revisi UU KPK

diajukan tanpa diawali dengan kajian yang menjadikan rumusan pasal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkandan sarat kepentingan; kedua, tidak ada Naskah Akademik yang dapat dijadikan rujukan untuk mempertanggungjawabkan rumusan pasal dimaksud; ketiga, rumusan Pasal 40 ayat (2) yang mengatur diperlukannya alasan dan bukti yang cukup untuk menghentikan penyidikan tanpa disertai penjelasannya, berpotensi menimbulkan problem dalam penerapan pasal dimaksud; keempat, melibatkan unsur lain selain penegak hukum dalam menjalankan suatu tindakan hukum telah melanggar prinsip independensi menjadi syarat mutlak dalam proses law enforcement; kelima, rumusan Pasal 40 ayat (4) potensial menimbulkan masalah karena tidak ada penjelasan, apa yang dimaksudkan dengan “ditemukannya hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan”.

Pada prinsipnya, KPK tidak memerlukan kewenangan untuk menghentikan penyidikan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, karena tidak ada faktor dan argumentasi yang jelas, yang dapat menjadi alasan diperlukannya kewenangan itu. Lebih jauh dari itu, KPK secara internal sudah mengatur sendiri penghentian penyelidikan bilamana dalam proses penyelidikan untuk menentukan seorang tersangka memang tidak ditemukan cukup bukti, peristiwa dimaksud bukan tindak pidana dan subyek hukumnya tidak termasuk dalam lingkup kewenangan KPK sesuai Pasal 11 UU KPK.

B A G I A N K E E M PA T