• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP SUBSTANSI RANCANGAN REVISI UU KPK

C. KEWENANGAN PENYADAPAN KPK 16

1. Evidence – Sadap Sebagai Upaya Paksa Pra Ajudikasi

Pembahasan mengenai pembuktian memberi wajah baru, khususnya perubahan terhadap alat bukti. Topik Rancangan KUHAP mengenai “Sciencetific Evidence” tidaklah akan menghasilkan suatu pemahaman yang ekstensif, karena pemaknaan evidence ini tidaklah selalu berkaitan dengan Penerapan Hukum Acara dan Sistem Pembuktian, tetapi juga berkaitan dengan asas-asas Hukum Pidana Materiel pada KUHP maupun produk khusus seperti halnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

Berkaitan dengan Scientific Evidence, yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP, dan revisi pembuktian yang diatur pada UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal penegakan hukum, tujuan pembuktian adalah menemukan pola dan mekanisme yang sedemikan rupa, sehingga pembuktian dapat menjadi sarana pemicu solutif yang beralasan.

Pembuktian sebagai sarana pemicu solutif tersebut, dapat dilakukan antara lain dengan cara: (1) memperluas definisi alat bukti “Surat” untuk mengganti alat bukti “Petunjuk”sehingga dapat diakomodasi dalam Pasal 26A UU Tipikor; (2) memperluas kewenangan penyidikan sehingga upaya penyadapan (wiretapping) sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 26 UU Tipikor; ataupun (3) Melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van het Bewijslast).

Memang, asas umum mengenai pembuktian mengatur alat bukti pada Pasal 184 KUHAP yaitu: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan Ahli, c) surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa. Namun demikian, kontradiksi terhadap substansi pembuktian ini tercantum sesuai dengan Pasal 26A UU Tipikor yang mengatur alat bukti Petunjuk pada Pasal 188 ayat 2 KUHAP, khususnya untuk Tindak Pidana Korupsi diperluas, yang juga dapat diperoleh dari:

• Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

16 Beberapa bagian dalam pembahasan ini disarikan dari tulisan Indriyanto Seno Adji, “KUHAP Ke Depan dan Penyadapan”, Tulisan untuk Public Review Revisi UU KPK, Jakarta, April 2016

• Dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Dalam Penjelasan atas ketentuan ini, yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, compact disk read only memory (CD-ROM) atau write once read many (WORM).

Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks dan faksimili.

Perluasan alat bukti berupa “scientific evidence” secara terbatas ke dalam bentuk alat bukti “Petunjuk”, terjadi karena perumusan pembahasan masih terdapat perdebatan di antara para perumus. Perdebatan tersebut berkisar antara sulitnya pembuktian dan besarnya potensi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, sehingga perluasan definisi alat bukti ini akan menimbulkan polemik, terutama terkait teknis pembuktian alat bukti yang berupa teknologi informasi.

Rancangan KUHAP menempatkan alat bukti Surat dan Bukti Elektronik dengan memberikan perluasan maknanya sama seperti yang dinyatakan pada Pasal 26A UU Tipikor mengenai Petunjuk. Surat adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Pada Pasal 399 Ned. Sv dan Rancangan KUHAP versi Prof. Oemar Seno Adji maupun Pasal 175 Rancangan KUHAP Nasional 2008 “Pengamatan Hakim” atau “eigen waarneming van de rechter” dimasukan sebagai salah satu alat bukti sah yang mengikuti sistem pembuktian dalam Hukum Pidana (Formil). Menurut Prof. Dr. (Iur) Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, alat bukti Pengamatan Hakim ini sangat

esensial karena Hakim lah yang menguasai dan menjaga keberlangsungan proses persidangan.

Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu Petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan cermat, seksama, dan berdasarkan hati nuraninya. Pasal tersebut mencerminkan bahwa pada akhirnya, penilaian atas kekuatan pembuktian dari sebuah petunjuk, diserahkan kepada Hakim.

Implikasiny adalah, kekuatan alat bukti yang berupa Petunjuk, menjadi sama dengan “Pengamatan hakim” sebagai alat bukti. Sepatutnya, “Pengamatan Hakim” ini cukup dilakukan selama sidang, sehingga apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya, tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau pembuktian atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.

Nantinya alat bukti dalam Pasal 175 Rancangan KUHAP Nasional akan sedikit berbeda dengan KUHAP Belanda. Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 175 Rancangan KUHAP Nasional terdiri dari: a) Barang bukti, b) Surat-surat, c) bukti elektronik, d) Keterangan Seorang Ahli, e) Keterangan Seorang Saksi, f) Keterangan Terdakwa dan g) Pengamatan Hakim.

Alat-alat bukti sebagaimana disebut dalam Pasal 175 Rancangan KUHAP merupakan mixed evidence system, di mana terdapat alat bukti berupa a) Real Evidence (bukti sesungguhnya); b) Documentary Evidence (bukti dokumenter); c) Testimonial Evidence (Bukti Kesaksian); dan d) Judicial Notice (Pengamatan Hakim. Percampuran ini dipengaruhi oleh alat bukti dalam sistem hukum Anglo-Saxon, khususnya Amerika Serikat. Hingga saat ini, masih terjadi pembahasan mengenai perlu tidaknya dimasukan “barang bukti” sebagai salah satu alat bukti dalam KUHAP nantinya.

Sistem pembuktian di Indonesia dan Belanda tidak mengenal alat bukti yang berupa Real Evidence.Prof. Dr. Iur. Stephen C. Thaman –Guru Besar dari St. Louis University dan Berkeley University yang sudah memberikan sumbang saran terhadap Rancangan KUHAP– mempertanyakan konsep Real Evidence dalam sistem hukum di Indonesia.

Konsep real Evidence adalah, obyek materil yang terdiri dari, namun tidak terbatas pada, obyek penggunaan tindak pidana dan dianggap sebagai alat bukti yang esensial dibandingkan alat bukti yang lainnya.

Karenanya, alat bukti ini disebut sebagai “Res Ipsa Liquitor” atau “speaks for itself”, karena alat bukti Real Evidence ini yang akan berbicara mengenai adanya dugaan tindak pidana tersebut, artinya sebagai alat bukti yang sangat dominan menentukan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang .

Dalam sistem hukum anglo-saxon, Real Evidence dianggap sebagai “alat bukti”, sedangkan pada sistem Eropa Kontinental (Belanda dan Indonesia) –yang menganut sistem pembuktian negatief wettelijk, yang didasari pada minimal 2 (dua) alat bukti yang sah– real evidence hanyalah “barang bukti” yang masih perlu diidentifikasikan oleh saksi ataupun tersangka/ terdakwa, agar barang bukti itu memiliki nilai sebagai alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Dengan demikian, Real Evidence tidak dapat diterapkan dalam sistim pembuktian di Indonesia.