• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Yes, Dewan Pengawas Not Yet

PROBLEM TERKAIT DEWAN PENGAWAS

Saya berpendapat, sebenarnya secara teori, pengawasan semi internal seperti Dewan Pengawas bukanlah masalah. Namun, formula siapa anggota Dewan Pengawas, bagaimana model pengawasannya, kapan pengawasan dilakukan menjadi hal detail yang harus diperhatikan, dan jika keliru perumusannya, dapat menyebabkan konsep Dewan Pengawas yang pada dasarnya tidak masalah, akan berbalik menjadi bermasalah bagi kelembagaan dan tugas serta wewenang KPK.

Terkait formula perumusan, dan khususnya terkait dengan kapan (timing), itu pula yang saya pikirkan ketika menolak kewenangan penyadapan diatur dengan izin dari hakim. Secara teori umum, semua kewenangan penegakan hukum yang sifatnya memaksa semacam penggeledahan, penyitaan—dan tidak terkecuali penyadapan—jamak diatur, dilaksanakan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin dari hakim. Jadi secara teori hukum, model pengawasan izin hakim adalah suatu hal yang tidak keliru. Namun, pemberian kewenangan strategis demikian kepada hakim dilakukan dengan prakondisi hakim sendiri sudah bukan merupakan bagian dari masalah (part of the problem), dan lebih merupakan solusi (part of the solution) dalam sistem peradilan kita. Jadi, kalau hakim masih merupakan bagian dari masalah, maka kewenangan perizinan kepada hakim, utamanya untuk kewenangan KPK untuk menyadap—yang sangat penting dalam perkara OTT (operasi tangkap tangan)—sebaiknya belum diberikan. Jika, dan hanya jika, hakim di tanah air sudah tidak menjadi bagian ataupun sudah relatif bersih dari praktik mafia peradilan, barulah izin penyadapan bisa diberikan kepada jajaran kehakiman.

Argumentasi ini tentu bukan bermaksud mengeneralisir bahwa semua hakim korup. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik koruptif perdagangan kasus hukum di tanah air masih mewabah di kalangan profesi penegak hukum kita, tidak terkecuali di kalangan oknum hakim, jaksa, polisi, advokat dan bahkan panitera pengadilan—termasuk pula di antara para pihak yang berperkara. Jangan lupa para oknum akademisi yang ikut menjadi bagian dari mafia peradilan, yaitu ketika menjadi ahli dalam suatu

perkara, dengan pertimbangan argumentasinya semata-mata berdasarkan nilai kompensasi bayaran yang diterimanya. Oknum akademisi demikian sangat sah untuk dikatakan ikut memperdagangkan ilmu hukum yang digelutinya, dan karenanya adalah bagian dari Mafioso peradilan.

Dengan dasar pemahaman yang sama, maka kapan dan bagaimana model pengawasan diberlakukan kepada KPK menjadi sangat penting. Sebagaimana diuraikan di atas, model pengawasan eksternal KPK melalui pengawasan politik oleh DPR, model pengawasan keuangan oleh BPK, model pengawasan kewenangan penyadan oleh Kemenkominfo, model pengawasan kasus hukum konkrit oleh pengadilan, selama ini sudah berjalan baik atas kinerja KPK. Yang jadi soal adalah apakah model pengawasan internal KPK sekarang perlu diubah menjadi model pengawasan semi internal dengan membentuk Dewan Pengawas?

Pertanyaannya: Apakah Komite Etik yang saat ini menjadi lembaga ad hoc pengawasan internal KPK sudah tidak lagi efektif? Perlu evaluasi yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam beberapa kasus, penilaian terhadap Komite Etik atas pimpinan KPK memang beragam. Terlepas dengan keberagaman penilaian atas kinerja Komite Etik, saya berpendapat, bagi lembaga negara independen, kecuali sistem pengawasan internal telah terbukti tidak bekerja secara efektif, maka model pengawasan semi internal tidak perlu untuk dibentuk. Jadi selama belum ada bukti kuat bahwa pengawasan internal telah mandul, maka model pengawasan semi internal ala Dewan Pengawas belum saatnya untuk dihadirkan. Apalagi jika model Dewan Pengawas itu cenderung akan menjadi lembaga intervensi, ketimbang supervisi kepada kelembagaan dan kinerja KPK.

Salah satu problem dengan konsep Dewan Pengawas dalam RUU Perubahan UU KPK adalah model rekrutmen anggota Dewan Pengawas. Rumusan Pasal 37D ayat (1) mengatur, “Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A dipilih dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia”. Rumusan demikian menyebabkan konsep KPK sebagai lembaga negara independen (independent agencies) berubah menjadi lembaga eksekutif (executive agencies) yang berada di bawah kekuasaan presiden. Apalagi dalam Pasal 37B ayat (2) dan (3) diatur lebih lanjut bahwa Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun yang disampaikan kepada Presiden, di samping DPR.

Dengan monopoli rekrutmen anggota Dewan Pengawas oleh Presiden, padahal kewenangan dewan tersebut sangat strategis, termasuk melakukan sidang etika kepada pimpinan KPK atas dugaan pelanggaran, yang dapat berujung pada pemberhentian komisioner, maka potensi intervensi kewenangan eksternal terhadap kerja-kerja KPK menjadi terbuka lebar. Terlebih lagi, menurut rumusan Pasal 37F, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Pengawas diatur dengan Peraturan Presiden. Pengaturan dengan Perpres demikian, meski memang dimungkinkan secara teori ketatanegaraan, semakin membuka ruang intervensi kepada independensi KPK melalui modus perumusan aturan perundangan, dalam hal ini Peraturan Presiden. Apalagi bentuk Perpres adalah model aturan yang proses pembuatannya menjadi monopoli presiden, sehingga cenderung tidak terbuka dan partisipatif, sehingga rentan disalahgunakan untuk merumuskan model rekrutmen Dewan Pengawas yang membahayakan independensi KPK.

Masih terkait bahaya bagi independensi, perlu dikritisi pula kewenangan Dewan Pengawas untuk memberikan izin tertulis sebelum penyadapan dilakukan KPK (Pasal 12B ayat (1) a RUU Perubahan UU KPK). Tambahan kewenangan Dewan Pengawas ini menggeser fungsi pengawasan dewan dari soal etika komisioner atau pegawai KPK, menjadi kontrol pula kepada pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Pemberian izin kepada Dewan Pengawas, yang anggotanya semua dipilih Presiden, cenderung melanggar prinsip independensi KPK yang dalam pasal 3 UU KPK dirumuskan, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Nah, kewenangan penyadapan KPK yang harus seizin Dewan Pengawas, berpontensi melanggar tugas dan wewenang KPK “yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun”.

Berangkat dengan analisa dan kajian di atas, serta dengan membaca rumusan draf RUU Perubahan UU KPK, saya berpendapat keberadaan Dewan Pengawas tidak diperlukan—paling tidak saat ini, apalagi dengan perumusan yang cenderung bersifat interventif tersebut.