• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila

PANCASILA DAN AZAS TUNGGAL

SIKAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA TERHADAP PANCASILA

A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila

Pada waktu awal pemberlakuan Pancasila sebagai Ideologi dan azas tunggal pada partai politik selalu dipermasalahkan dan akhir-akhir ini Pancasila dan Islam kembali dipermasalahkan. Masalahnya berhubungan dengan soal azas tunggal bagi organisasi politik.

Perdebatan mengenai Islam dan Pancasila menjadi perdebatan yang sangat hangat dan aktual dalam BPUPKI. Terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi Ideologis anggota-anggota BPUPKI (Islam dan Nasionalis).Yang mencolok diantaranya adalah posisi-posisi mereka yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara dan kelompok yang ingin menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler.

Perbedaan pandangan tentang dasar negara tersebut, pada akhirnya dapat diselesaikan dengan cara kompromi melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan. Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan sebuah pidato yang

kemudian dikenal dengan “Lahirnya Pancasila” yang disebut sebagai weltanschauung atau “dasar filosofis” bagi negara Indonesia.36

Walaupun pidato Soekarno diterima dengan baik oleh para anggota BPUPKI sebagai suatu kompromi yang adil dalam dasar negara, beberapa pemimpin Islam mendesak Soekarno dan pemimpin nasionalis lainnya untuk memberikan pengakuan tegas kepada Islam dan pembukaan Batang Tubuh UUD yang sedang dibuat. Pada tanggal 22 Juni 1945 dicapailah sebuah kompromi baru. Dalam draf pembukaan UUD, Pancasila diterima tetapi urutan-urutan azas diubah sehingga kepercayaan kepada Tuhan menempati urutan pertama.37

Dalam ungkapannya, Natsir pernah mengatakan bahwa awalnya Islam untuk waktu yang agak lama memang pernah menjadi sasaran kecurigaan politis dan Ideologis. Masa-masa itu ditandai dengan wacana politik yang sering mengasosiasikan politik Islam dengan gerakan ekstrim kanan, persepsi yang lain dimunculkan adalah bahwa Islam secara politis dan ideologis merupakan ancaman atas gagasan negara-bangsa dengan Pancasila sebagai dasarnya.38

Tetapi banyak pula suara-suara yang mengemukakan tentang Pancasila itu sendiri, dalam hubungan dengan Islam. Suara-suara ini umumnya berkisar pada dua pendapat. Pertama, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, dan oleh sebab itu haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kecenderungan ini untuk

36

Douglas E. Remage, Percaturan Politik di Indonesia, terj. Hartono Hadikusumo, (Jakarta : Mata Bangsa, 2002), h. 19.

37

Douglas E. Remage, Percaturan Politik di Indonesia, h. 24-25.

38

Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000), h. 235.

melihat pengertian Pancasila secara mutlak seakan nilai lain harus disubordinasikan. Pendapat tersebut dilanjutkan dengan pemikiran bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka cukuplah orang berbicara dengan Pancasila saja. Kedua, bahwa kehidupan masyarakat memerlukan agama, dan oleh sebab itu dalam menegakkan Pancasila tidak berarti kehidupan agama dikesampingkan, bahkan dikemukakan juga bahwa Pancasila akan kosong tanpa agama.39

Problematika Islam dan Pancasila tidak sampai di situ saja. Pada Sidang Dewan Konstituante antara tahun 1956 dan 1959, wacana ini juga diperdebatkan dalam membuat Undang-undang dasar baru bagi Indonesia. Pembahasan tentang dasar negara menjadi masalah yang paling memecah dalam pembahasan tersebut. Sebagian partai dan pemimpin Islam dalam konstituante mencoba membuka kembali naskah Piagam Jakarta. Kekecewaan sebagian politisi Islam atas penghapusannya dari pembukaan UUD masih terasa menyakitkan. Namun menjelang akhir tahun 1950-an Pancasila tidak lagi merupakan suatu kompromi atau titik pertemuan bagi semua Ideologi sebagaimana dimaksudkan semula oleh Soekarno karena Pancasila telah semakin dimanfaatkan sebagai senjata Ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Soekarno sendiri memakai Pancasila sebagai senjata Ideologis dalam suatu pidato yang menimbulkan kecemasan umat Islam dan perasaan anti-Pancasila. Pada tahun 1953 Soekarno dengan terbuka mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara.

Pergulatan Islam dan Pancasila juga tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh Islam di negeri kita tentang Pancasila. Mohammad Natsir, tokoh Islam dari partai Masyumi, pernah mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila. Pertama, ketika ia di tahun 1952 pergi ke Karachi ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan ajaran Qur’an. Dalam pidatonya tersebut ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam. Pada

39

Deliar Noer, Islam Pancasila dan Azas Tunggal, (Jakarta: Yayasan Perkidmatan, 1983), h. 107.

peringatan Nuzulul Qur’an di Jakarta tahun 1954, Natsir juga menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila.

Kedua, ketika sidang konstituante Natsir seakan berbalik. Ia melihat Pancasila bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam. Ia seperti wakil-wakil Islam lainnya (termasuk NU, PSII, Perti), yang menggunakan Islam dan menolak Pancasila. Hal ini di sebabkan. Pertama, konstituate merupakan forum pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain mengemukakan pemikiran mereka tentang dasar negara secara terbuka dan tuntas, Natsir juga bersikap demikian. Kedua, Natsir dan kawan-kawannya dari organisasi Islam ingin mempertanggung jawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi umat untuk diperjuangkan. Ketiga, seperti juga para anggota lain dari konstituante, ia dan kawan-kawannya ingin memperkenalkan keyakinan masing-masing.40

Masalah pokok adalah bahwa dasar negara akan disepakati sebagai produk konstituante, dan dasar negara ini adalah Pancasila. Tetapi Pancasila yang dimaksud bukan dalam tafsiran yang ketat, melainkan akan wahana dan pedoman dan patokan untuk kemakmuran masyarakat dan warga semua. Karena hanya dasar seperti ini yang memungkinkan tiap pihak memberikan sahamnya bagi kebangkitan dan kemakmuran bangsa. Dengan pengetahuan seperti ini maka mudah dipahami mengapa partai-partai Islam dahulu (NU, PSII, Perti) menyebutkan dalam Anggaran

40

Dasar mereka yang berkaitan dengan Islam atau ajaran Islam, tetap mencantumkan juga Pancasila.

Tentang hubungan antara Islam dan Pancasila, Nurcholish juga berpendapat bahwa Kaum Muslimin juga dapat menerima Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya dengan dua pertimbangna. Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama. Lebih lanjut Nurcholish menjelaskan bahwa ide yang paling orisinal dari Pancasila adalah bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga siapa saja dapat memberikan sumbangan tentang arti dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.41

Di pihak lain, proses reideologisasi muncul dalam bentuk sangat kultural, yakni menjadikan Islam sebagai seperangkat nilai yang disusun untuk membentuk ideologi yang lengkap dan utuh. Mungkin ideologinya tidak berbentuk ideologi politik, melainkan ideologi kultural, Islam tidak ditampilkan sebagai sebuah ideologi yang berorientasi politik kekuasaan, melainkan sebagai jiwa dari kehidupan masyarakat dan politik nasional. Kecenderungan ini dibawa oleh NU dan beberapa komunitas muslim lainnya, yang sering juga disebut sebagai kelompok Islam kultural.

PKB sebagai manifestasi kekuatan Islam kultural Indonesia sendiri didirikan tujuannya untuk membangaun bangsa. Dia terikat kepada suatu hal yaitu bahwa Islam tidak menjadi Ideologi, karena itu ideologinya adalah kebangsaan. Sedangkan Islam adalah cara hidup yang ditularkan oleh partai kepada warganya. Tetapi partai

41

memberikan kesempatan kepada orang-orang lain yang tidak beragama Islam untuk turut berkiprah. Inilah konsekuensinya kita hidup sebagai bangsa yang pluralistik.

Kultur Islam telah menjadi basis historis dan ideologis PKB, yang mana nilai-nilai yang dikembangkan dalam kultur ini memiliki paralelitas yang signifikan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Artinya, prinsip nilai-nilai keislaman yang dikembangkan oleh PKB selalu beriringan dan saling melengkapi dengan prinsip nilai-nilai keindonesiaan. Persenyawaan antara kultur NU sebagai basis historis dan ideologis PKB dengan perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia telah sedemikian teruji sejak bangsa ini belum merdeka, kekuatan kultur tersebut selama ini menjadi salah satu kekuatan utama integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, tidak salah kalau PKB menganggap dirinya sebagai partai politik yang beridiologikan Pancasila yang didalam tiap-tiap butir dalam Pancasila bertujuan untuk menjaga kutuhan NKRI.42

Dari uraian diatas, PKB memandang bahwa Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam, karena dalam diri Pancasila terdapat nilai-nilai keislaman dan itu sudah cukup sehingga tidak perlu lagi menjadikan Islam sebagai ideologi.

B. Sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila Sebagai Ideologi

Dokumen terkait