• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila Sebagai Azas Tunggal

PANCASILA DAN AZAS TUNGGAL

B. Pancasila Sebagai Azas Tunggal

Pada tahun 1966 pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto muncul kepentas politik Nasional menggantikan rezim Orde Lama yang sering dikecam dan dipersalahkan oleh pemerintah Orde Baru karena telah menyeleweng dari UUD 1945 dan Pancasila.30

Sebagaimana diketahui pada tahun 1950-an partai-partai di Indonesia hadir dalam berbagai macam identitas. Umpamanya, Partai Katolik “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada umumnya serta Pancasila pada khususnya dan bertindak menurut azas-azas Katolik”. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) berazaskan faham kekeristenan, NU yang “berazas agama Islam, dan sebagainya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pertentangan politik di kalangan elit dan tidak jarang berujung konflik di tengah masyarakat. Orde Baru menganggap hal tersebut tidak kondusif bagi kelangsungan hidup bernegara. Atas dasar itu, Orde Baru tampil

29

Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 31-32. 30 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, h. 50.

sebagai antitesa Orde Lama dengan menjadikan stabilitas sebagai landasan bagi terciptanya cita-cita bernegara. Salah satu upaya bagi terciptanya stabilitas adalah penyederhanaan (fusi) partai politik yang ada. Dari beberapa partai politik dengan corak ideologinya masing-masing kemudian difusikan menjadi dua partai, yaitu partai yang berideologikan Islam yang kemudian disatukan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai nasionalis-non Islam yang kemudian disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Penyederhaan partai ini diyakini dapat meminimalisasi hiruk pikuk politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Lama dan dengan demikian pemerintah dapat berkonsentrasi bagi program pembangunan. Dalam perkembangannya tampaknya pemerintah Orde Baru tetap merasa khawatir atas perjalanan partai politik dengan perbedaan asas atau ideologi yang ada. Hal ini terutama karena adanya gerakan politik Islam yang dalam beberapa Pemilu mendapatkan dukungan yang signifikan dan adanya ketegangan politik serta pertarungan fisik, khususnya antara pendukung Golkar dengan PPP. Dalam pengakuan Presiden Soeharto ketika itu bahwa telah terjadi ledakan kekerasan selama pelaksanaan pemilu. Ini terjadi karena tidak semua kontestan pemilu menerima Pancasila sebagai ideologi untuk ditegakkan oleh seluruh kelompok masyarakat sosial politik. Atas dasar itu pemerintah Orde Baru mengambil langkah-langkah taktis untuk meredam perkembangan tersebut yang diyakini dapat mengganggu stabilitas politik.

Inilah yang mendorong pemerintah Orde Baru menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai azas tunggal atau ideologi negara, tetapi juga azas tunggal bagi semua

partai politik dan ormas-ormas di negara Indonesia, adalah karena secara ideologis Pancasila akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa Indonesia. Ide ini tampaknya diperkuat oleh fakta, bahwa sepanjang menyangkut Islam, PPP masih mempertahankan Islam sebagai azasnya disamping Pancasila. Penggunaan dua azas oleh PPP dinilai oleh pemerintah sebagi bukti, bahwa mereka tidak secara total menerima ideologi nasional Pancasila. Untuk menghilangkan dualisme ini, pemerintah kemudian menerapkan gagasan Pancasila sebagai azas tunggal.

Ketika Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya tentang azas tunggal partai pada pidato kenegaraannya 16 Agustus 1982 dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Berbagai komentar dan pendapat bermunculan, dari yang setuju, berdiam diri tanpa kata, menyambut secara terselubung, dan hati-hati.31

Soeharto menegaskan bahwa pemerintahannya ingin melaksanakan koreksi secara total dan kembali kepada kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas. Hal ini khususnya berlaku bagi partai-partai politik yang ada.

Bertolak dari konsekuensi inilah partai-partai politik dapat lebih disederhanakan jumlahnya dengan menggunakan jalan pikiran Soeharto. Dengan

31

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 199.

Pancasila sebagai satu-satunya azas, maka partai-partai tinggal melaksanakan program-program demi tercapainya tujuan yang dikehendaki bagi kehidupan rakyat.32

Oleh sebab itu, PPP yang memang berasal dari partai Islam, agak berdiam diri dengan gagasan Soeharto, dan penerimaan PPP atas azas tunggal ini, dan sebagai konsekuensinya partai tersebut mengganti azas Islam dengan Pancasila dalam kontitusinya serta mengganti lambang Ka’bahnya dengan lambang Bintang.

Tidak hanya partai Islam saja yang bermasalah dengan pidato Soeharto, Parkindo dan Partai Katolik juga bermasalah. Peleburan mereka dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang mengesampingkan azas mereka (Kekeristenan, Katolik) agaknya lebih didorong oleh perimbangan-pertimbangan praktis dan bukan azasi.33

Dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada tahun 1971 Golkar yang relatif berusia muda dan merupakan satu himpunan dari bermacam-macam organisasi profesi dan fungsional keluar sebagai pemenang. Kemenangan Golkar dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merealisasikan tekad perjuangannya yaitu mengajak kembali pemimpin-peminpin partai pilitik untuk setia kepada konsensus semula yaitu menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas dan penyederhanaan kepartaian.

Soeharto menambahkan bahwa sudah lama masalah ini dibicarakan, bahkan sejak tahap-tahap awal pemerintahannya antara dirinya dengan para pemimpin partai dan telah sepakat mengenai penyederhanaan partai, dan Pancasila sebagai satu-satunya azas, namun realisasinya selalu tidak utuh. Dalam pemilu 1971 jumlah partai

32

Hananto, Bermuka Dua, h. 79.

tetap saja sepuluh, sedangkan dalam tahun 1975, dengan lahirnya Undang-undang kepartaian jumlah partai menjadi dua dari sembilan partai dan satu Golkar.

Dalam Sidang Umum MPR yang diselenggarakan tahun 1983, akhirnya secara bulat ditetapkan azas bagi partai politik dan Golongan karya tidak memakai azas ciri lagi. Ketetapan tersebut kemudian dicantumkan dalam GBHN hasil Sidang Umum MPR tahun 1983, dan berdasarkan ketetapan inilah DPR kemudian membuat Undang-undang yang meninjau Undang-undang kepartaian yang telah ada.

Akhirnya lahir sebuah Undang-undang No. III tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya yang secara tuntas menyelesaikan satu masalah bangsa yang krusial yang sudah bertahun-tahun, bersamaan dengan tahun itupun disusun tentang Undang-undang organisasi sosial kemasyarakatan yang juga menegaskan keharusan Pancasila sebagai azas tunggal yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.34

Dokumen terkait