• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Partai kebangkitan bangsa terhadp pancasila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sikap Partai kebangkitan bangsa terhadp pancasila"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

TERHADAP PANCASILA

SKRIPSI

Diajukan kepada Ushuluddin & Filsafat

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Oleh :

Asep Suhanda

202033201139

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SIKAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA TERHADAP

PANCASILA

SKRIPSI

Diajukan kepada Ushuluddin & Filsafat

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Oleh :

Asep Suhanda

202033201139

Di bawah Bimbingan :

Ahmad Bakir Ihsan, M. Si NIP. 150326915

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN

Skripsi yang berjudul Sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila ini telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultasa Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 30 Mei 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 5 Juni 2007

Sidang Minaqasah

Ketua/Merangkap Anggota Sekretaris/Merangkap Anggota

Drs. H. Harus Rasyid, MA Drs. H. Rifqi Muchtar

NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Dra. Haniah Hanafie, M. Si Drs. Marsi Mansoer, M. Ag

(4)

Ahmad Bakir Ihsan, M. Si

NIP. 150 326 915

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan nikmat serta hidayahnya yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabatnya serta para pengikutnya.

Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dalam mencapai gelar sarjana strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak hambatan, tantangan dan godaaan serta lainnya. Namun berkat hidayah dan pertolongan Allah SWT, ketulusan hati dan keikhlasan niat serta motivasi dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan itu bisa diatasi dengan baik, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

(5)

1. Kedua orang tua penulis yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan, pengorbanan, bimbingan, kasih sayang, kesabaran dan keikhlasan serta doa-doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin & Filsafat serta segenap Bapak/Ibu dosen Fakultas Ushuluddin & Filsafat yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani perkuliahan

3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA. Selaku ketua Program Non Reguler dan Bapak Rifqi Muhtar, S.Ag. Selaku Sekretaris Program Non Reguler yang telah memberikan pelayanan akademik serta membina penulis selama melaksanakan pendidikan di Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.

4. Ucapan terima kasih yang mendalam patut dan pantas penulis ucapkan kepada Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si, yang membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ucapan terima kasih kepada kedua adik penulis, ananda Aceng Ghozali dan adinda Halimah Tusaidah Pertiwi yang selalu memberikan doa dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(6)

7. Pimpinan Perpustakaan Umum, Perpustakaan Ushuluddin, Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Pemda Jakarta Selatan, yang telah memberikan pelayanan dengan baik bagi penulis selama menjalani masa perkuliahan sampai penyelesaian Skripsi ini.

8. Kepada DPP Partai Kebangkitan Bangsa, wa bilkhusus kepada Ibu Badriyah Fayumi terima kasih tak terhingga dari penulis karena telah memberikan bahan-bahan referensi dan rujukan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Seluruh staf karyawan UIN pada umumnya dan staf karyawan Ushuluddin pada khususnya yang telah memberikan pelayanannya kepada mahasiswa terutama : Bung Erwin, Bung Yadi, Bung Jaelani, Bung Qinoy, saya ucapkan terima kasih.

10.Teman-teman ku Jurusan PPI, Hariyanto Arbi, S.sos. Jeni, S.sos. Sucy Handayani, S.sos. Yadi Yuliadi, S.sos. Supriadi S.Sos. Yang telah bersama-sama dalam menuntut ilmu.

11.kawan-kawan FKKB. Bang James, Bang Husni, S.Thi. Bang Beben, S.Thi. Bang Gufron, S.Thi. Bang Yasin. Bang Amin Nabirong. Bang CS. Bang Ucup. Bang Pandi. Bang Rusli. Bang Avex. Bang Komeng. Bang Ijudin. Bang Jaka. Bang Arul

(7)

13. kawan-kawan sepermainan, Ihsan Ismail, Gembor, sulton, sanusi. Wabil khusus Dian yang selalu memberi semangat dan setia mendampingiku, kawan-kawan semester bawah Ushuluddin Non reguler, kawan-kawan Alumni SD Jurang Mangu Angkatan 1996, Alumni SMP Miftahul Iman Angkatan 1998, Alumni Pondok Pesantren Alfalah Angkatan 1998, Alumni MAN 4 Angkatan 2002.

Dari semua ini penulis banya mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena tanpa kalian skripsi ini mustahil akan selesai, meskipun masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini biarlah itu menjadi sebuah acuan penulis berpikir lebih maju dan kritis lagi.

(8)

DAFTAR ISI

Hal

PENGESAHAN PEMBIMBING …...………. i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ……… ii

KATAPENGANTAR …...……… iii

DAFTAR ISI ...……… v

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Batasan dan Rumusan Pokok Masalah ……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 6

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ……… 7

E. Sistematika Penulisan ………. 8

Bab II: MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa …………. 10

B. Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa ……… 15

C. Hubungan Historis Kultural PKB dan NU ……….. 21

Bab III: PANCASILA DAN AZAS TUNGGAL

A. Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila ……… 25

B. Pancasila Sebagai Azas Tunggal ………. 31

(9)

Bab IV: SIKAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA TERHADAP PANCASILA

A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap

Pancasila ……… 39 B. Sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila Sebagai

Ideologi Negara dan Partai……….. 45 C. Aktualisasi Pancasila dalam Dinamika Politik

Partai Kebangkitan Bangsa ………. 50

Bab V: PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 54 B. Kritik dan Saran ……….. 57

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak peristiwa yang telah mewarnai perjalan Bangsa Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak dapat dipungkiri dari semua peristiwa yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia mempunyai arti penting bagi dinamika perjalanan sejarah bangsa Indonesia khususnya bagi umat Islam.

Selain itu kita bisa melihat pentingnya kontribusi umat Islam pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terlihat dari peran organisasi-organisasi Islam yang terlibat dalam berbagai kehidupan masyarkat, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Misalnya Sarekat Islam (SI) yang didirikan pada tahun 1912 merupakan organisasi kultural dan ekonomi Islam. Begitu juga gerakan modernis Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 maupun Nahdlatul Ulama yang tradisionalis yang didirikan tahun 1926. Semua organisasi Islam tersebut memberikan kontribusi bagi terciptanya identitas nasional Indonesia.

(11)

Pada masa Orde Lama partai Islam, Masyumi dilarang oleh Soekarno karena dianggap terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1950-an. Begitu juga pada masa pemerintahan Orde Baru partai-partai Islam tidak mendapat tempat yang sesuai dengan sumbangsih umat Islam bagi berdirinya Orde Baru.1

Sebagaimana dimaklumi, umat Islam memainkan peranan besar dan memberikan sumbangan sangat berarti bagi kejatuhan Soekarno. Tetapi akhirnya segera pula kelihatan pemerintah yang dikuasai militer di bawah Soeharto masih trauma dengan pemberontakan Masyumi. Pemerintah Orde Baru yang mengagungkan stabilitas demi program pembangunan melakukan langkah-langkah yang berusaha menjauhkan kalangan Islam dari pentas politik.2 Salah satu bentuknya adalah menggabung partai-partai Islam ke dalam satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Selain itu pemerintah Soeharto menebarkan semangat kecurigaan dan kebencian dengan apa yang disebut “Ekstrem Kanan” dan kemudian memunculkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Upaya-upaya untuk mengeliminir peran umat Islam pun dilakukan dengan sangat sistematik melalui penetapan azas tunggal.3

1

Anders Uhlin,Oposisi Berserak, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 69.

2

Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah,1999), hal. 269.

3

(12)

Himpitan politik yang terus menerus dilakukan oleh penguasa Orde Baru pada akhirnya mencapai titik balik. Diawali dengan krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997, suhu politik nasional kian memanas dan kebencian terhadap sosok Soeharto kian memuncak. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden akibat demonstrasi dan desakan berbagai kalangan agar Soeharto mengundurkan diri. Desakan arus reformasi ini telah membawa perubahan yang cukup besar bagi dunia politik di Indonesia.4

Di tengah arus reformasi dengan dibukanya kran politik untuk seluruh masyarakat, banyak bermunculan partai-partai politik yang lahir dengan berbagai macam ideologi yang berbeda. Salah satu partai yang muncul saat itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Detik-detik deklarasi PKB yang berasaskan Pancasila merupakan momentum sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Momentum itu sekaligus menandakan fase baru bangkitnya peran politik NU yang selama Orde Baru dikunci oleh penguasa yang otoriter.

Tampaknya partai yang baru lahir itu mendapatkan dukungan dan legitimasi dari warga NU yang mendambakan partai politik. Dalam rangka pembentukan partai tersebut, pengurus (PBNU) segera membentuk Tim Lima yang menggodok keinginan dan usulan kaum nadhliyin. Tim Lima ini diketuai oleh K. H. Ma’ruf Amin (Rais

4

(13)

Syuriah PBNU) dan beranggotakan K. H. M. Dawam Anwar, Dr. K. H. Said Agiel Siradj, M.A., H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc, dan H. Ahmad Bagja. Dengan dibantu oleh tim asisten PBNU yang diketuai oleh Arifin Junaedi, Tim Lima menyepakati pendirian parpol baru dan memilih nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari tiga mana andalan lainnya, yaitu Partai Nadlatul Ummat dan Partai kebangkitan Umat.5

Walaupun Partai Kebangkitan Bangsa berbasiskan Islam, namun ia berbeda dengan partai-partai Islam lainnya, seperti PPP, PBB, dan PKS yang memperjuangkan ditegakkannya syariat Islam di tanah Indonesia. PKB menurut Abdurrahman Wahid (Gusdur) bukan partai Islam, melainkan partai yang menginginkan negara sekuler. Negara sekuler memisahkan secara tegas antara agama dan negara dan tidak memberikan tempat bagi masuknya syariat Islam ke dalam undang-undang.6

Sebagaimana telah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Bangsa menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final cita-cita umat Islam Indonesia mengenal Negara. Penerimaan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia berarti pengakuan atas pluralitas bangsa. Oleh karenanya, Partai

5

John L. Esposito, Ensiklopedi Islam, Dunia Islam Modern, (Jakarta: Mizan, 2001), hal. 258.

6

(14)

Kebangkitan Bangsa menolak diskriminasi kelompok apapun sejak dari sikap batin, prilaku strategi sampai pada tujuan-tujuan perjuangannya.7

Begitu juga secara ideologis, PKB menerima dan menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Penerimaan PKB terhadap Pancasila sebagai azas tunggal sangat berlawanan dengan beberapa partai pilitik Islam lainnya yang menolak menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. Bahkan sebagian kalangan menganggap Pancasila sebagai ideologi masa lalu yang mengekang kebebasan dan mendukung status quo sebagaimana dipraktikkan oleh pemerintah Orde Baru. Itulah sebabnya sebagian orang alergi dengan Pancasila dan segala atribut yang terkait dengan Pancasila. Di tengah hujatan dan cemooh sebagian kalangan termasuk partai politik Islam, PKB justru hadir dengan mengusung Pancasila sebagai asasnya. Pilihan PKB terhadap asas Pancasila tentu merupakan langkah berani dan merupakan terobosan yang luar biasa di tengah Pancasila dijadikan sejarah masa lalu dan di tengah masyarakat merayakan kebebasan dari kekangan ideologi. Bagi PKB Pancasila menjadi sangat penting di tengah gejala menguatnya identitas yang menggunakan etnis, agama dan ras sebagai landasan orientasinya. Hal ini menjadi ancaman terhadap kebhinekaan bangsa.8 Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai perekat kebhinnekaan.

Dari uraian di atas, penulis ingin menelaah secara mendalam tentang Pancasila sebagai azas tunggal Partai Kebangkitan Bangsa yang menjadikannya

7

Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB & Pemilu 2004, (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003), hal. 29.

8

(15)

sebagai harga mati dalam partainya di tengan kontroversi partai-partai politik yang memperdebatkan eksistensi Pancasila sebagai azas tunggal dalam partai politik di masa reformasi ini.

Dalam rangka mendeskripsikan lebih dalam tentang sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila penulis akan coba mengupasnya secara mendalam pada skripsi ini dengan judul “Sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar skripsi lebih terarah dan sesuai dengan tujuannya, maka di sini penulis akan memberikan batasan masalah yang menitikberatkan pada sikap PKB terhadap Pancasila. Agar tidak terjadi salah penafsiran penulis akan terlebih dahulu memberikan arti tentang Sikap adalah pendapat atau keyakinan untuk mengambil sebuah keputusan atau kebijakan. Beberapa pertanyaan yang dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan pada skripsi ini adalah: 1. Bagaimana sikap PKB terhadap Pancasila. 2. Mengapa Pancasila dijadikan ideologi PKB. 3. Sejauhmana aktualisasi ideologi Pancasila dalam tubuh PKB.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sebagaimana layaknya karya tulis, tentu saja skripsi ini juga

memiliki tujuan-tujuan yang nyata dalam upaya dan proses

(16)

1.

Untuk mengetahui argumen-argumen PKB dalam

menerima Pancasila sebagai ideologi.

2.

Untuk menggambarkan pandangan PKB tentang Pancasila.

3.

Untuk menganalisis dan mengaktualisasi ideologi Pancasila

dalam kebijakan-kebijakan politik PKB.

C.2. Manfaat Penelitian

1.

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang

politik khususnya tentang Partai Kebangkitan Bangsa.

2.

Sebagai tambahan wacana politik bagi kita dalam turut

serta membangun perpolitikan nasional.

3.

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan

untuk menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat.

D. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan

(17)

Analistis yaitu, mencoba menganalisa konsistensi sikap yang ditunjukkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa sebagai ideologi bangsa dan asas kepartaian yang dianut oleh PKB .

Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis tempuh adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

a. Data Primer penulis dapatkan dari kumpulan tulisan-tulisan tentang Partai Kebangkitan Bangsa, baik yang dibukukan maupun yang tidak dibukukan, atau yang berupa artikel di koran, majalah, leaflet atau internet. Tulisan-tulisan tersebut ditulis oleh aktifis atau kader Partai Kebangkitan Bangsa. b. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKB serta data-data kepartaian lainnya

yang akan coba penulis kumpulkan dari internal kepengurusan PKB itu sendiri.

2. Data Sekunder

Data sekunder, penulis kumpulkan dari berbagai macam buku, majalah, koran, jurnal yang berkaitan dengan Pancasila dan Partai Kebangkitan Bangsa itu sendiri yang ditulis oleh pengamat dan akademisi politik.

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan UIN Jakarta Press, cetakan II, Agustus 2004.

(18)

E. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab berisi sub-sub bab, secara sistematis, bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :

Pada Bab I, merupakan pendahuluan berpaut pada latar belakang masalah, batasan dan rumusan pokok masalah, metode penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang latar belakang lahirnya PKB, Pembentukan dan hubungan historis dan kultural PKB dan NU.

Bab III, berisi tentang sejarah lahirnya Pancasila dan

perkembangannya sebagai ideologi negara. Mulai sebagai asas

tunggal sampai eksistensinya sebagai ideologi terbuka pada masa

reformasi.

Bab IV, memuat tentang Pandangaan PKB terhadap Pancasila serta Sikap PKB terhadap Pancasila baik sebagai ideologi negara maupun ideologi partai politik. Di sini juga dikupas tentang aktualisasi Pancasila dalam dinamika politik PKB.

(19)

BAB II

MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa

Tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya PKB banyak dipengaruhi oleh NU. Secara historis keterlibatan NU di dalam politik adalah ketika NU menggabungkan diri dalam partai politik Masyumi yang saat itu dipimpin K.H.A Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy’ari.

Pada masa awal pemerintahan, NU sangat sulit mendapatkan posisi karena kadernya sedikit dan dukungan dari kaum muslim modernis juga tidak banyak, ketika beberapa muslim modernis radikal pada tahun 1952 mengkritik pengurus departemen yang dikelola oleh Mentri Wahid Hasyim, persatuan umat Islam yang terjalin sejak masa pendudukan Jepang dengan segera menjadi berantakan. Benih-benih pertikaian sebenarnya mulai ditebarkan sejak tahun 1949 ketika Masyumi yang berubah menjadi partai politik pada November 1945.

Ketidakstabilan politik yang menimbulkan banyak masalah antagonisme yang mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial-politik dan sangat rentan terjadinya disintegrasi bangsa dan negara Indonesia.

(20)

politk yang tergabung dalam partai-partai politik terlibat dalam gelombang rivalisme dan benturan arus antagonisme politik yang berkepanjangan.9

Pada masa itu, ketidaksepahaman mengenai pencalonan Menteri Agama yang baru menjadi pemicu putusnya hubungan antara kaum tradisionalis dan kaum pembaru. Muslim tradisonalis menganggap pengangkatan Menteri Agama dari kaum modernis dianggap sebagai penghinaan bagi kaum tradisonalis. Namun, konflik yang kemudian meruncing diantara tokoh ulama NU dengan sayap “Modernis” di jajaran kepemimpinan Masyumi mendorong muktamar NU di Palembang 1952 memutuskan NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dengan asas dan tujuan partai ini menurutnya adalah untuk menegakkan Syari’at Islam, dengan haluan salah satu dari empat mazhab. Pertama, Syafi’i, kedua, Maliki, Ketiga, Hanafi, Keempat, Hambali, serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.

Pada bulan Juli 1953, NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, yang dipimpin PNI dan didukung oleh PKI, disitu NU menambah peran politiknya yang tidak hanya jabatan Menteri Agama saja yang diserahkan kepadanya, juga Menteri Pertanian dan bahkan jabatan Wakil Perdana Menteri.10

Pada pemilu 1955, NU mendapatkan kesuksesan yang luar biasa dengan 8 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan

9

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, (Yogyakarta: LESFIYogya, 2002), h. 42.

10

(21)

meraih (18,4%) suara dan muncul sebagai partai politik ketiga terbesar setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%) dan berada di depan PKI (16,4%). Sedang partai-partai lain hanya mendapat kurang dari 3% suara.11 Selanjutnya pemilu 1971, yang diikuti oleh 10 partai, NU berhasil menempatkan diri di urutan kedua terbesar setelah Golkar dengan mengantongi suara 18,7 persen. Perolehan suara ini terbilang cukup sukses, mengingat saat itu perjuangan politik NU berada di tengah kuatnya intimidasi dari penguasa terhadap warga NU untuk memilih Golkar.

Sadar bahwa jalur politik adalah cara untuk dapat menguasai dan mengendalikan pemerintahan, maka penguasa Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik peserta pemilu. Fusi politik dari peserta pemilu 1971, kecuali Golkar dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lalu terbentuk, sebagai fusi dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Selain PPP, tanggal 10 Januari 1973 juga muncul nama PDI yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Fusi yang lebih tepat sebagai trik Orde Baru untuk menguasai politik, lambat laun meredam aktivitas NU di bidang politik.

Pemilu 1977 diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Dari ketiga kontestan pemilu itu, hanya Golkar yang dapat dikatakan situasinya kondusif. Sementara PPP dan PDI yang politiknya hampir selalu diwarnai perbedaan, hingga seringkali muncul friksi diantara komponen parpol yang masuk dalam fusi.

11

(22)

Keterlibatan NU dalam dunia politik secara tidak langsung telah membawa konflik internal di kalangan tokoh NU yang terlibat dalam partai politik. Menyikapi situasi seperti ini maka Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 di Situbondo Jawa Timur pada 8-12 Desember 1984 menetapkan, secara organisatoris NU tidak terkait dengan organisasi sosial politik manapun dan organisasi kemasyarakatan. Sejak saat itu NU tidak melakukan kegiatan politik praktis. Dengan kata lain, muktamar ingin menegaskan bahwa NU kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU akan terbebas dari politik praktis, kembali ke asal seperti halnya tempo dulu, dan tidak boleh lagi adanya rangkap jabatan fungsional antara NU dan PPP.12

Praktis sepak terjang NU dalam peta perpolitikan republik ini sepertinya tenggelam. Hingga himpitan politik yang terus menerus dilakukan oleh penguasa Orde Baru pada akhirnya tercapai titik balik. Diawali dengan krisis Ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997, suhu politik nasional kian memanas dan kebencian terhadap sosok Soeharto kian memuncak. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur sebagai presiden, akibat demonstrasi dan desakan berbagai kalangan agar Soeharto mengundurkan diri.13

Era reformasi yang diawali dengan pengunduran diri Soeharto tersebut telah membuka harapan baru bagi upaya pembaharuan politik di Indonesia. Selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, aspirasi dan partisipasi politik dihambat, baik

12

Setiawan, Partai-partai Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004), h. 252-253.

13

(23)

melalui pengkerdilan-pengkerdilan kekuatan politik masyarakat maupun melalui pemaksaan ideologi. Restrukturisasi partai politik tahun 1973 tidak hanya menyebabkan lenyapnya partai politik yang melalui kekuatan ideologis, tetapi juga tersumbatnya peluang partisipasi politik rakyat secara lebih luas khususnya karena tidak dimungkinkan munculnya partai politik baru dan karena adanya kebijakan massa mengambang (floating mass) yang membuat partai politik berjarak dengan masyarakat di lapisan bawah.14

Munculnya berbagai macam partai politik, dengan bentuk dan corak yang beragam khususnya partai politik Islam, terjadi setelah pemerintahan transisi Habibie menghapus UU organisasi massa tahun 1985 yang mewajibkan semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideologi. Hal ini juga terjadi akibat dari adanya akumulasi berbagai persoalan ideologi politik bangsa yang selama hampir tiga puluh tahun, diperlakukan secara diskriminatif dalam pembentukan platform politik bangsa ini.15

Tetapi yang menjadi persoalan adalah NU dihadapkan kepada pilihan yang sulit yaitu jika NU menjadikan dirinya sebagai sebuah partai politik maka hal ini berarti berakhirnya paradigma Khittah 1926. Sedangkan membiarkan warga NU yang berjumlah jutaan massa mereka bisa menjadi ajang rebutan partai politik. Bahkan

14

A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h. 168.

15

(24)

warga NU akan terombang ambing dengan keadaan dan kehilangan arah, yang dikhawatirkan justru akan melahirkan sebuah disintegrasi internal.

Gairah euforia politik yang terjadi dalam komunitas NU bahwa mereka juga ingin mendirikan partai, bukanlah sekedar ingin ikut-ikutan atau tanpa dasar. Secara internal, keinginan warga NU tersebut pada umumnya didasari oleh tiga hal. Pertama, bermotif berdakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar yang sangat populer dalam doktrin politik NU. Kedua, potensi sosiologis dan historis dimana solidaritas dan emosionalitas ke-NU-an yang sangat potensial untuk menjadi kekuatan politik, dan ketiga, dalam sejarah peran politiknya, NU selama hampir tiga dasawarsa termarjinalisasi dalam politik dan seolah tidak habis-habisnya mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari negara maupun dari kelompok Islam lainnya.16 Oleh karena itu setelah tumbangnya rezim Orde Baru, para ulama, politisi dan aktivis NU dari berbagai daerah saling melempar gagasan yang intinya mereka menginginkan kembalinya NU untuk maju kepentas percaturan politik nasional.

B. Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa

Lengsernya presiden Soeharto sebagai akibat tuntutan yang kuat baik dalam bentuk unjuk rasa, unjuk keprihatinan, sampai istighosah menandai lahirnya era baru di Indonesia, yang kemudian disebut era reformasi.

Berdirinya PKB merupakan penyikapan terhadap era reformasi yang membuka keran kebebasan termasuk kebebasan mendirikan partai politik. Persoalan

16

(25)

dalam mendirikan partai terjadi karena adanya tarik menarik antara kelompok yang menyatakan perlu mendirikan partai politik dengan kelompok yang menganggapnya tidak perlu.

Sehari setelah hari bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan. Nama terbanyak yang diusulkan adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa.

Ada juga yang mengusulkan lambang parpol. Unsur-unsur yang terbanyak diusulkan untuk lambang parpol adalah gambar bumi, bintang sembilan dan warna hijau. Ada yang mengusulkan bentuk hubungan parpol dengan NU, ada yang mengusulkan visi dan misi parpol, AD/ART parpol, nama-nama untuk menjadi pengurus parpol, ada juga yang mengusulkan semuanya. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Sebelas Rembang yang diketuai K.H.M Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat.

(26)

langsung mengatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Diantara yang sudah mendeklarasikan sebuah parpol adalah partai bintang sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon.

Musyawarah yang dilakukan oleh PBNU dengan para ulama pada tanggal 3 Juni 1998 untuk menyikapi permasalahan yang sedang berkembang pada era reformasi muncul tiga pendapat, yaitu NU perlu membuat partai politik tertentu, NU dijadikan partai politik, dan warga NU yang ada dalam partai tertentu tetap tinggal di partainya masing-masing.

Akhirnya, diputuskan bahwa komunitas NU perlu memiliki partai politik sendiri. Atas inisiatif dari Kyai Cholil Bisri, dikumpulkan para Kyai dan para tokoh politik NU untuk bertemu di Rembang, yang kemudian dikenal dengan sebutan pertemuan Rembang, termasuk didalamnya Matori Abdul Djalil sebagai penggagas awal lahirnya PKB. Matori, KH Cholil Bisri dan beberapa Kyai lain membentuk suatu tim yang akan mempersiapkan lahirnya partai baru ini.

Tim dari Rembang kemudian menyusun rumusan teks deklarasi dan AD/ART untuk dimatangkan kembali di Semarang, Malang, dan Bandung. Di Bandung, selain kelompok Pertemuan Rembang, hadir pula seluruh kelompok yang ada dalam komunitas NU.

(27)

mengalami tarik-menarik pendapat mengenai siapa yang akan mengisi kepengurusan partai.

Dibuatlah sebuah persyaratan bahwa yang menjadi pengurus adalah mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik dan memiliki kemampuan dalam berpolitik. Matori maju sebagai Ketua Umum pertama dalam PKB.

Selanjutnya, PBNU segera membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh K.H Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator harian PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU.

Untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU yang menginginkan partai politik, maka Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asisten yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU). Tim Asisten bertugas membantu Tim Lima dalam menginuventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.

(28)

lima rancangan: Pokok-pokok pikiran NU mengenai reformasi politik, mabda’ siyasiy, hubungan partai politik dengan NU, AD/ART, dan Naskah Deklarasi.17

Kemudian, pada tanggal 4-5 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asisten mengadakan Silaturrahmi Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung guna memperoleh masukan lebih luas dari warga NU. Dalam kesepakatan ini muncul tiga alternatif mengenai nama parpol, yakni Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa.

Berikutnya, setelah melalui diskusi verifikasi pada tanggal 30 Juli 1998, dan konsultasi dengan berbagai pihak, Tim Lima dan Tim Asistensi menyerahkan hasil akhir kepada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 22 Juli 1998. Rapat tersebut telah menerima rancangan yang disiapkan Tim Lima dan Tim Asistensi untuk diserahkan kepada pengurus parpol sebagai dokumen historis dan aturan main parpol.

Alhasil, parpol yang diharapkan dapat menampung aspirasi warga NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa, pada tanggal 23 Juli 1998 dideklarasikan di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan.18 Partai ini berazaskan Pancasila, bersikap demokratis dan terbuka. Di depan sekitar 3.000 warga NU yang memadati rumah Gus Dur, ketua umum PBNU. PKB didirikan dengan beberapa

17

Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB & Pemilu 2004, (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 3-5.

18

(29)

harapan, agar NU tidak berpolitik praktis seperti digariskan pada muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, 1984. PKB diharapkan dapat menampung aspirasi politik kaum nahdliyin, yang diperhitungkan berjumlah 40 juta orang. Oleh karena itu, secara historis PKB memiliki hubungan kultural aspiratif dengan segenap warga nahdliyin.

Dalam Anggaran Dasar Partai, ditegaskan bahwa landasan perjuangan PKB adalah humanisme religius dengan prioritas perjuangan pengembalian kedaulatan rakyat, keadilan, dan persatuan.19

Lambang Partai Kebangkitan Bangsa adalah ‘sembilan bintang melingkari bola peta Indonesia’. Bumi dan peta Indonesia, bermakna tanah air Indonesia yang merupakan basis perjuangan partai dalam usahanya untuk mencapai tujuan sebagaimana termaktub dalam pasal 7 Anggaran Dasar yaitu, mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia yang adil dan makmur sehingga terlaksana tatanan politik yang demokratis, terbuka, dan berakhlakul karimah.20 Sembilan bintang bermakna idealisme partai yang memuat 9 nilai, yaitu kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan.

Tulisan nama partai bermakna identitas diri partai yang berfungsi sebagai sarana perjuangan aspirasi politik rakyat Indonesia yang memiliki kehendak menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang demokratis. Bingkai segi empat dengan

19

Lihat Azas dan Prinsip Perjuangan AD/ART PKB, Pasal 4.

20

(30)

garis ganda yang sejajar bermakna garis perjuangan Partai yang menempatkan orientasi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, lahir dan batin, secara sejajar. Arti warna adalah sebagai berikut: Putih bermakna kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi etos perjuangan partai; Hijau, bermakna kemakmuran lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan perjuangan Partai; Kuning, bermakna Kebangkitan Bangsa yang menjadi nuansa pembaruan dan berpijak kepada kemaslahatan umat manusia.21

C. Hubungan Historis Kultural PKB dan NU

Hubungan historis berarti setiap anggota dan aktifis PKB menyadari bahwa partai ini dirintis dan dilahirkan oleh sejumlah warga NU secara perorangan, sebagai wujud nyata kepedulian mereka terhadap masa depan kehidupan politik bangsa dan tekad melaksanakan cita-cita politik NU mengangkat harkat dan martabat warganya.

Hubungan kultural berarti setiap anggota dan aktifis PKB menyadari, bahwa partai ini lahir dari suatu lingkungan kebudayaan dan keagamaan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh karena itu setiap anggota dan aktifis partai, baik secara perseorangan maupun kolektif harus selalu konsisten memperjuangkan kelestarian lingkungan kebudayaan dan kemungkinan perubahan sebagai sunnatullah.

Catatan sejarah telah menunjukkan, bahwa NU selalu memberikan kontribusi bagi pembangunan kesadaran politik bangsa Indonesia. Namun demikian, selama

21

(31)

lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru yang monolitik dan otoriter, potensi warga NU secara sistematis telah mengalami pengerdilan yang luar biasa. Sejalan dengan semangat reformasi, warga NU berusahan membangun kembali potensi politiknya sebagai bagian dari kesinambungan tradisinya memberi sumbangan bagi pembangunan politik bangsa Indonesia. Kelahiran PKB merupakan respon NU terhadap kehendak penyaluran aspirasi politik kaum Nahdliyin secara bebas dan demokratis.22

Seperti sudah diketahui, PKB lahir dari rahim NU. Berdirinya PKB yang difasilitasi oleh PBNU menyebabkan PKB mempunyai hubungan historis, kultural, dan aspiratif dengan NU. Hubungan yang demikian tidak berarti bahwa apapun yang akan dilakukan oleh PKB akan selalu didukung oleh NU atau sebaliknya. Hubungan seperti itu justru bermakna bahwa PKB harus senantiasa menyelaraskan visi dan program partai dengan kepentingan dan kebutuhan warga NU, termasuk ulama.

Penyelarasan visi program itu bisa ditunjukkan lewat sumbangan dan kerja nyata yang bermanfaat dan maslahah bagi warga NU khususnya (sebagai representasi kaum pedesaan, petani, dan kelas menengah kebawah), dan masyarakat secara luas. Itu semua bisa dilakukan jika PKB selalu melakukan advokasi terhadap berbagai kepentingan warga NU.

PKB dalam rangka menyerap, menampung dan memperjuangkan kepentingan warga NU tidak semata-mata dilihat secara ideologi tetapi secara struktural di mana warga NU merepresentasikan kelompok ekonomi lemah, kelompok politik

22

(32)

terpinggirkan dan kelompok budaya yang semakin tenggelam oleh kultur instan masyarakat masa kini. Karena itu, perlu penanganan yang tidak saja menyeluruh tetapi juga tepat sasaran, di satu sisi tidak saling berlawanan dengan bagian yang lain.23

Sebagai wadah penyalur aspirasi politik kaum nahdliyin, PKB memiliki cita-cita politik yang bersumber dari landasan politik NU. Cita-cita-cita politik yang dimaksud ialah terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil dan makmur, merdeka dan berdaulat, yang terjamin hak-hak asasinya, yaitu hak-hak yang berkaitan dengan keselamatan dari segala bentuk penganiayaan, kebebasan dan pemaksaan agama, perusakan keturunan.

Cita-cita yang demikian itu akan dicapai oleh partai PKB melalui keterlibatan dalam penetapan kebijakan publik, yakni melalui jalur kekuasaan yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang pemberdayaan masyarakat lemah dan terpinggirkan, perlindungan terhadap kelompok masyarakat minoritas, serta penegakan sistem ekonomi, politik dan budaya yang berlandaskan kedaulatan rakyat.

Bagi PKB, kedaulatan pada hakekatnya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan kekuasaan yang dimiliki manusia merupakan titipan-Nya yang dianugrahkan kepada manusia, yang hanya boleh diamanatkan kepada pihak lain

23

(33)

yang berkemampuan dan berkeahlian, serta memiliki kejujuran, keadilan dan kejuangan yang berpihak kepada pemberi amanat.24

24

(34)

BAB III

PANCASILA DAN AZAS TUNGGAL

A. Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila

Perumusan Pancasila sebagai dasar negara tidak terlepas dari adanya janji pemerintah Jepang di Tokyo yang diucapkan oleh Perdana Menteri Koiso di hadapan parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944, untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah dari pemerintahan Jepang yang dilatar belakangi oleh motif dan muatan politik yang sangat kental.

Pemberian janji tersebut tidak terlepas dari perhitungan strategi Jepang yang melihat Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan pada angkatan perang Jepang dalam memenangkan perang dunia II melawan sekutu. Akan tetapi janji tersebut baru dilakukan setelah balatentara Jepang mengalami kekalahan-kekalahan di semua medan pertempuran dan adanya desakan dari para pemimpin pergerakan bangsa Indonesia, yang kemudian memaksa pemerintah Jepang untuk membentuk “Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai” atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

(35)

demikian akhirnya diumumkan juga daftar susunan keanggotaan BPUPKI. Adapun yang menjadi anggota-anggota BPUPKI terdiri atas orang Indonesia dan Jepang.

Pelantikan BPUPKI dilakukan oleh Gunseikan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1945 dengan dr. Radjiman Wediodiningrat sebagai ketua, Bapak Surono sebagai wakil ketua merangkap kepala kantor/Sekretaris dan seorang bangsa Jepang bernama Yoshio Lehibangase, juga menjabat sebagai wakil ketua, serta anggota sebanyak 64 orang. Adapun tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyusun rencana-rencana pembangunan politik pemerintahan Indonesia Merdeka.

Sementara itu dalam sidang BPUPKI yang pertama yang berlangsung antara tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 membahas mengenai persoalan dasar negara Indonesia merdeka.25

Tokoh-tokok kelompok Nasionalis Islam yang hadir dalam sidang-sidang BPUPKI antara lain, K.H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masjkur, K.H.A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Adapun para tokok-tokoh penting golongan Nasionalis Sekuler yang hadir dalam sidang-sidang BPUPKI antara lain ialah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, H. Muhammad Yamin, Radjiman Wediodiningrat, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, dan RP Soeroso.26 Pada kesempatan itu Soekarno menguraikan apa yang ia

25

Yuli Hananto, Bermuka Dua: Kebijakan Soeharto Terhadap Soekarno Beserta Keluarganya, (Yogyakarta: Ombak, 2005), h. 41-42.

26

(36)

namakan “lima sila (dasar)” yang akan menjadi falsafah resmi dari negara yang hendak dibentuk yaitu negara Indonesia Merdeka.

Perdebatan yang panjang mengenai rumusan dasar negara diwarnai dengan adanya konflik kepentingan antara kaum Nasionalis dan Islam. Perdebatan itu seakan tidak menemukan titik temu. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan sebuah pidato dihadapan aggota BPUPKI yang menawarkan sebuah gagasan untuk menjembatani perdebatan pendapat antara dua golongan (Nasinalis dan Islam). Gagasan Soekarno tersebut diterima oleh semua anggota BPUPKI sebagai “win-win solution”. Sehingga pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.

Sebagai prinsip dari sila pertama dasar negara yang hendak dibangun oleh Soekarno adalah “kebangsaan”. Akan tetapi lebih lanjut Soekarno menambahkan bahwa yang dimaksudnya bukanlah kebangsaan dalam arti yang sempit. Sedangkan negara yang hendak didirikan menurut Soekarno adalah negara “kebangsaan untuk semua”. Semua orang berhak atas tanah air Indonesia.

(37)

Lebih jelas Soekarno mengatakan bahwa “Internasionalisme” tidak akan dapat tumbuh subur apabila tidak berakar di dalam alam Nasionalisme. Sebaliknya Nasionalisme tidak akan tumbuh subur pula kalau tidak hidup dalam wadah Internasionalisme. Dengan demikian dua hal tersebut saling berkaitan erat. Artinya prinsip kebangsaan sebagai prinsip yang pertama berkaitan erat dengan prinsip yang kedua yaitu perikemanusiaan atau internasionalisme.

Adapun yang menjadi prinsip asas yang ketiga adalah mufakat. Prinsip ini sering pula disebut sebagai prinsip “demokrasi”. Soekarno berpendapat bahwa hal ini hanya dapat dicapai jika semua pihak diwakili sampai kesuatu tingkat yang memuaskan semua orang. Dengan kata lain negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang , bukan satu golongan, walaupun orang kaya. Tetapi kita mendirikan negara yaitu semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. Hal ini diyakini Soekarno bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia adalah permusyawaratan, perwakilan. Pada intinya gagasan Soekarno tersebut ditujukan kepada golongan Islam supaya tidak bersikeras menuntut pembentukan sebuah Negara Islam yang tidak akan memungkinkan adanya kerja sama yang aktif dari golongan-golongan agama lain.

(38)

bersama-sama masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip, yaitu keadilan politik dan keadilan sosial.

Sedangkan prinsip yang kelima menurut Soekarno adalah menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip itu sering disebut sebagai prinsip “ketuhanan”. Dengan demikian Soekarno menghendaki untuk mengamalkan jalannya agama baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun agama-agama yang lain dengan cara masing-masing.27

Pada 22 Juni 1945, setelah menyampaikan pidatonya yang bersejarah itu, Soekarno segera membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Panitia ini dikenal dengan nama “Panitia Sembilan”. Di bentuknya panitia ini untuk merumuskan dasar negara, yang berusaha mencari jalan keluar antara apa yang disebut golongan bangsawan mengenai agama dan negara yang masalahnya sudah muncul sejak masa persidangan pertama. Panitia ini akhirnya berhasil mencapai jalan keluar dan diberi bentuk suatu “Rancangan Pembentukan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Panitia ini terdiri dari: Soekarno (sebagai ketua), Mohammad Hatta, Mr. Alfred Andie Maramis, Abikoesno Tjoksoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad soebardjo, K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin.28

27

Hananto, Bermuka Dua, h. 46-48. 28

(39)

Di dalam Piagam Jakarta dimuat rumusan dasar negara sebagai hasil kerja kolektif yang dilakukan oleh panitia sembilan yang terdiri dari 5 (lima) yaitu: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Tujuan yang diinginkan dalam pembentukan panitia ini adalah untuk menentukan azas dasar negara, karena pada sidang pertama pembentukan asas itu belum diterima sebagai asas negara Indonesia disebabkan adanya pertentangan. Pertentangan ini terjadi di dua paham. Pertama, menginginkan bahwa Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Kedua, menginginkan bahwa Indonesia didirikan atas persatuan nasional yang memisahkan antara urusan negara dan agama, bukan negara Islam.

Panitia sembilan menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambule yang disusun oleh anggota yang terhormat. Adapun dimaksud dengan isi preambule itu adalah bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang diumumkan pada 17 Agustus 1945, semuaya itu tidak terlepas atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Dalam preambule yang berisikan empat alinea ini disebutkan adanya dorongan yang penuh, supaya bangsa Indonesia merdeka, dengan tujuan bahwa bangsa Indonesia menjadi sebuah pemerintahan yang membentuk dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian

menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Alinea terakhir inilah yang mencakup sebuah landasan

ideologi dasar negara Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila.

(40)

landasan ideologi negara. Nilai-nilai Pancasila yang terdapat di dalam Piagam Jakarta itu sesuai dengan kriteria kehidupan rakyat, dan tidak menentang serta mengabaikan ajaran-ajaran agama apapun yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang diklaim oleh kelompok-kelompok yang menolak Pancasila dijadikan sebagai landasan ideologi negara.29

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dinyatakan kembali kepada UUD 1945 yang berarti perumusan Pancasila dalam UUD 1945 itu yang berlaku secara sah dan resmi hingga lengsernya Orde Baru.

B. Pancasila Sebagai Azas Tunggal

Pada tahun 1966 pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto muncul kepentas politik Nasional menggantikan rezim Orde Lama yang sering dikecam dan dipersalahkan oleh pemerintah Orde Baru karena telah menyeleweng dari UUD 1945 dan Pancasila.30

Sebagaimana diketahui pada tahun 1950-an partai-partai di Indonesia hadir dalam berbagai macam identitas. Umpamanya, Partai Katolik “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada umumnya serta Pancasila pada khususnya dan bertindak menurut azas-azas Katolik”. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) berazaskan faham kekeristenan, NU yang “berazas agama Islam, dan sebagainya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pertentangan politik di kalangan elit dan tidak jarang berujung konflik di tengah masyarakat. Orde Baru menganggap hal tersebut tidak kondusif bagi kelangsungan hidup bernegara. Atas dasar itu, Orde Baru tampil

29

(41)

sebagai antitesa Orde Lama dengan menjadikan stabilitas sebagai landasan bagi terciptanya cita-cita bernegara. Salah satu upaya bagi terciptanya stabilitas adalah penyederhanaan (fusi) partai politik yang ada. Dari beberapa partai politik dengan corak ideologinya masing-masing kemudian difusikan menjadi dua partai, yaitu partai yang berideologikan Islam yang kemudian disatukan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai nasionalis-non Islam yang kemudian disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Penyederhaan partai ini diyakini dapat meminimalisasi hiruk pikuk politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Lama dan dengan demikian pemerintah dapat berkonsentrasi bagi program pembangunan. Dalam perkembangannya tampaknya pemerintah Orde Baru tetap merasa khawatir atas perjalanan partai politik dengan perbedaan asas atau ideologi yang ada. Hal ini terutama karena adanya gerakan politik Islam yang dalam beberapa Pemilu mendapatkan dukungan yang signifikan dan adanya ketegangan politik serta pertarungan fisik, khususnya antara pendukung Golkar dengan PPP. Dalam pengakuan Presiden Soeharto ketika itu bahwa telah terjadi ledakan kekerasan selama pelaksanaan pemilu. Ini terjadi karena tidak semua kontestan pemilu menerima Pancasila sebagai ideologi untuk ditegakkan oleh seluruh kelompok masyarakat sosial politik. Atas dasar itu pemerintah Orde Baru mengambil langkah-langkah taktis untuk meredam perkembangan tersebut yang diyakini dapat mengganggu stabilitas politik.

(42)

partai politik dan ormas-ormas di negara Indonesia, adalah karena secara ideologis Pancasila akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa Indonesia. Ide ini tampaknya diperkuat oleh fakta, bahwa sepanjang menyangkut Islam, PPP masih mempertahankan Islam sebagai azasnya disamping Pancasila. Penggunaan dua azas oleh PPP dinilai oleh pemerintah sebagi bukti, bahwa mereka tidak secara total menerima ideologi nasional Pancasila. Untuk menghilangkan dualisme ini, pemerintah kemudian menerapkan gagasan Pancasila sebagai azas tunggal.

Ketika Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya tentang azas tunggal partai pada pidato kenegaraannya 16 Agustus 1982 dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Berbagai komentar dan pendapat bermunculan, dari yang setuju, berdiam diri tanpa kata, menyambut secara terselubung, dan hati-hati.31

Soeharto menegaskan bahwa pemerintahannya ingin melaksanakan koreksi secara total dan kembali kepada kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas. Hal ini khususnya berlaku bagi partai-partai politik yang ada.

Bertolak dari konsekuensi inilah partai-partai politik dapat lebih disederhanakan jumlahnya dengan menggunakan jalan pikiran Soeharto. Dengan

31

(43)

Pancasila sebagai satu-satunya azas, maka partai-partai tinggal melaksanakan program-program demi tercapainya tujuan yang dikehendaki bagi kehidupan rakyat.32

Oleh sebab itu, PPP yang memang berasal dari partai Islam, agak berdiam diri dengan gagasan Soeharto, dan penerimaan PPP atas azas tunggal ini, dan sebagai konsekuensinya partai tersebut mengganti azas Islam dengan Pancasila dalam kontitusinya serta mengganti lambang Ka’bahnya dengan lambang Bintang.

Tidak hanya partai Islam saja yang bermasalah dengan pidato Soeharto, Parkindo dan Partai Katolik juga bermasalah. Peleburan mereka dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang mengesampingkan azas mereka (Kekeristenan, Katolik) agaknya lebih didorong oleh perimbangan-pertimbangan praktis dan bukan azasi.33

Dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada tahun 1971 Golkar yang relatif berusia muda dan merupakan satu himpunan dari bermacam-macam organisasi profesi dan fungsional keluar sebagai pemenang. Kemenangan Golkar dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merealisasikan tekad perjuangannya yaitu mengajak kembali pemimpin-peminpin partai pilitik untuk setia kepada konsensus semula yaitu menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas dan penyederhanaan kepartaian.

Soeharto menambahkan bahwa sudah lama masalah ini dibicarakan, bahkan sejak tahap-tahap awal pemerintahannya antara dirinya dengan para pemimpin partai dan telah sepakat mengenai penyederhanaan partai, dan Pancasila sebagai satu-satunya azas, namun realisasinya selalu tidak utuh. Dalam pemilu 1971 jumlah partai

32

Hananto, Bermuka Dua, h. 79.

(44)

tetap saja sepuluh, sedangkan dalam tahun 1975, dengan lahirnya Undang-undang kepartaian jumlah partai menjadi dua dari sembilan partai dan satu Golkar.

Dalam Sidang Umum MPR yang diselenggarakan tahun 1983, akhirnya secara bulat ditetapkan azas bagi partai politik dan Golongan karya tidak memakai azas ciri lagi. Ketetapan tersebut kemudian dicantumkan dalam GBHN hasil Sidang Umum MPR tahun 1983, dan berdasarkan ketetapan inilah DPR kemudian membuat Undang-undang yang meninjau Undang-undang kepartaian yang telah ada.

Akhirnya lahir sebuah Undang-undang No. III tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya yang secara tuntas menyelesaikan satu masalah bangsa yang krusial yang sudah bertahun-tahun, bersamaan dengan tahun itupun disusun tentang Undang-undang organisasi sosial kemasyarakatan yang juga menegaskan keharusan Pancasila sebagai azas tunggal yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.34

C. Eksistensi Pancasila di Era Reformasi

Pengunduran diri Soeharto sebagai penguasa Orde Baru pada 21 Mei 1998 menjadi momentum lahirnya reformasi yang digelorakan oleh berbagai elemen masyarakat khususnya mahasiswa. Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih menjadi salah satu kunci bergulirnya reformasi.

(45)

Jatuhnya tampuk kekuasaan orang nomor satu di era Orde Baru tersebut menjadi awal digugatnya Pancasila sebagai asas tunggal. Tidak sedikit kalangan yang mencemooh dan mencibir Pancasila yang dihasilkan oleh para pendiri Republik ini. Ia layaknya kekuatan yang memiliki kepentingan bagi hegemoni kekuasaan. Gugatan terhadap Pancasila muncul karena selama Orde Baru, ia dijadikan sumber kekuasaan yang mengekang kebebasan dan mengancam setiap sikap kritis dan protes yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan berlindung di balik asas tunggal Pancasila, pemerintahan Orde Baru memonopoli seluruh kekuasaan seperti DPR, MPR, MA, dan seluruh peraturan perundangan.

Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenannya tidak terlepas dari adanya ketidakadilan atau ketidaksempurnaan dalam memegang tampuk kekuasaan. Akibatnya krisis ekonomi dan moneter yang melanda bangsa Indonesia begitu mudah menghancurkan fundamental ekonomi dan politik negara. Lahirnya krisis moneter di Indonesia ketika itu, menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh, karena perekonomian Indonesia tidak dibangun pada landasan ekonomi kerakyatan, melainkan lebih ditopang oleh kekuatan ekonomi yang dikendalikan oleh sekelompok orang penguasa yang dikenal dengan sebutan para”konglomerat”.

(46)

kerusuhan-kerusuhan baik di pusat maupun di daerah. Peristiwa inilah yang mendorong lahirnya gerakan reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa dan para kaum cendekiawan kampus.

Gerakan reformasi lahir sebagai reaksi atas penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dalam mekanisme UUD 1945 yang sejati. Selama Orde Baru, Pancasila yang sejatinya terbuka terhadap segala perbedaan (kebhinnekaan) dimonopoli oleh penguasa rezim Orde Baru, sehingga Pancasila menjadi ideologi yang menakutkan dan mengancam.

Semenjak jatuhnya rezim Orde Baru, gelombang “ketidakpercayaan” rakyat terhadap dasar negara Pancasila semakin menguat. Hal ini akibat dari penggunaan Pancasila sebagai salah satu instrumen politik bagi kekuasaan oleh penguasa Orde Baru. Implikasi ini, berlanjut tatkala Pancasila sudah dianggap final untuk dikaji dan ditafsirkan pemaknaannya bagi kepentingan masyarakat. Padahal, dengan menggunakan pendekatan hermeneutis seharusnya Pancasila harus terus dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya. Sebagai sebuah ideologi dan falsafah negara, Pancasila harus mampu dijadikan spirit dan orientasi bangsa.35

Era reformasi, tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi masyarakat (ormas) maupun partai politik (parpol). Itulah sebabnya beberapa ormas dan parpol memilih asas masing-masing sesuai cita-cita ideal yang hendak dicapainya. Namun demikian Pancasila tetap menjadi ideologi negara yang

35

(47)
(48)

BAB IV

SIKAP PARTAI KEBANGKITAN BANGSA TERHADAP PANCASILA

A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila

Pada waktu awal pemberlakuan Pancasila sebagai Ideologi dan azas tunggal pada partai politik selalu dipermasalahkan dan akhir-akhir ini Pancasila dan Islam kembali dipermasalahkan. Masalahnya berhubungan dengan soal azas tunggal bagi organisasi politik.

Perdebatan mengenai Islam dan Pancasila menjadi perdebatan yang sangat hangat dan aktual dalam BPUPKI. Terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi Ideologis anggota-anggota BPUPKI (Islam dan Nasionalis).Yang mencolok diantaranya adalah posisi-posisi mereka yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara dan kelompok yang ingin menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler.

(49)

kemudian dikenal dengan “Lahirnya Pancasila” yang disebut sebagai weltanschauung atau “dasar filosofis” bagi negara Indonesia.36

Walaupun pidato Soekarno diterima dengan baik oleh para anggota BPUPKI sebagai suatu kompromi yang adil dalam dasar negara, beberapa pemimpin Islam mendesak Soekarno dan pemimpin nasionalis lainnya untuk memberikan pengakuan tegas kepada Islam dan pembukaan Batang Tubuh UUD yang sedang dibuat. Pada tanggal 22 Juni 1945 dicapailah sebuah kompromi baru. Dalam draf pembukaan UUD, Pancasila diterima tetapi urutan-urutan azas diubah sehingga kepercayaan kepada Tuhan menempati urutan pertama.37

Dalam ungkapannya, Natsir pernah mengatakan bahwa awalnya Islam untuk waktu yang agak lama memang pernah menjadi sasaran kecurigaan politis dan Ideologis. Masa-masa itu ditandai dengan wacana politik yang sering mengasosiasikan politik Islam dengan gerakan ekstrim kanan, persepsi yang lain dimunculkan adalah bahwa Islam secara politis dan ideologis merupakan ancaman atas gagasan negara-bangsa dengan Pancasila sebagai dasarnya.38

Tetapi banyak pula suara-suara yang mengemukakan tentang Pancasila itu sendiri, dalam hubungan dengan Islam. Suara-suara ini umumnya berkisar pada dua pendapat. Pertama, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, dan oleh sebab itu haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kecenderungan ini untuk

36

Douglas E. Remage, Percaturan Politik di Indonesia, terj. Hartono Hadikusumo, (Jakarta : Mata Bangsa, 2002), h. 19.

37

Douglas E. Remage, Percaturan Politik di Indonesia, h. 24-25.

38

(50)

melihat pengertian Pancasila secara mutlak seakan nilai lain harus disubordinasikan. Pendapat tersebut dilanjutkan dengan pemikiran bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka cukuplah orang berbicara dengan Pancasila saja. Kedua, bahwa kehidupan masyarakat memerlukan agama, dan oleh sebab itu dalam menegakkan Pancasila tidak berarti kehidupan agama dikesampingkan, bahkan dikemukakan juga bahwa Pancasila akan kosong tanpa agama.39

Problematika Islam dan Pancasila tidak sampai di situ saja. Pada Sidang Dewan Konstituante antara tahun 1956 dan 1959, wacana ini juga diperdebatkan dalam membuat Undang-undang dasar baru bagi Indonesia. Pembahasan tentang dasar negara menjadi masalah yang paling memecah dalam pembahasan tersebut. Sebagian partai dan pemimpin Islam dalam konstituante mencoba membuka kembali naskah Piagam Jakarta. Kekecewaan sebagian politisi Islam atas penghapusannya dari pembukaan UUD masih terasa menyakitkan. Namun menjelang akhir tahun 1950-an Pancasila tidak lagi merupakan suatu kompromi atau titik pertemuan bagi semua Ideologi sebagaimana dimaksudkan semula oleh Soekarno karena Pancasila telah semakin dimanfaatkan sebagai senjata Ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Soekarno sendiri memakai Pancasila sebagai senjata Ideologis dalam suatu pidato yang menimbulkan kecemasan umat Islam dan perasaan anti-Pancasila. Pada tahun 1953 Soekarno dengan terbuka mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara.

Pergulatan Islam dan Pancasila juga tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh Islam di negeri kita tentang Pancasila. Mohammad Natsir, tokoh Islam dari partai Masyumi, pernah mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila. Pertama, ketika ia di tahun 1952 pergi ke Karachi ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan ajaran Qur’an. Dalam pidatonya tersebut ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam. Pada

39

(51)

peringatan Nuzulul Qur’an di Jakarta tahun 1954, Natsir juga menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila.

Kedua, ketika sidang konstituante Natsir seakan berbalik. Ia melihat Pancasila bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam. Ia seperti wakil-wakil Islam lainnya (termasuk NU, PSII, Perti), yang menggunakan Islam dan menolak Pancasila. Hal ini di sebabkan. Pertama, konstituate merupakan forum pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain mengemukakan pemikiran mereka tentang dasar negara secara terbuka dan tuntas, Natsir juga bersikap demikian. Kedua, Natsir dan kawan-kawannya dari organisasi Islam ingin mempertanggung jawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi umat untuk diperjuangkan. Ketiga, seperti juga para anggota lain dari konstituante, ia dan kawan-kawannya ingin memperkenalkan keyakinan masing-masing.40

Masalah pokok adalah bahwa dasar negara akan disepakati sebagai produk konstituante, dan dasar negara ini adalah Pancasila. Tetapi Pancasila yang dimaksud bukan dalam tafsiran yang ketat, melainkan akan wahana dan pedoman dan patokan untuk kemakmuran masyarakat dan warga semua. Karena hanya dasar seperti ini yang memungkinkan tiap pihak memberikan sahamnya bagi kebangkitan dan kemakmuran bangsa. Dengan pengetahuan seperti ini maka mudah dipahami mengapa partai-partai Islam dahulu (NU, PSII, Perti) menyebutkan dalam Anggaran

40

(52)

Dasar mereka yang berkaitan dengan Islam atau ajaran Islam, tetap mencantumkan juga Pancasila.

Tentang hubungan antara Islam dan Pancasila, Nurcholish juga berpendapat bahwa Kaum Muslimin juga dapat menerima Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya dengan dua pertimbangna. Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama. Lebih lanjut Nurcholish menjelaskan bahwa ide yang paling orisinal dari Pancasila adalah bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga siapa saja dapat memberikan sumbangan tentang arti dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.41

Di pihak lain, proses reideologisasi muncul dalam bentuk sangat kultural, yakni menjadikan Islam sebagai seperangkat nilai yang disusun untuk membentuk ideologi yang lengkap dan utuh. Mungkin ideologinya tidak berbentuk ideologi politik, melainkan ideologi kultural, Islam tidak ditampilkan sebagai sebuah ideologi yang berorientasi politik kekuasaan, melainkan sebagai jiwa dari kehidupan masyarakat dan politik nasional. Kecenderungan ini dibawa oleh NU dan beberapa komunitas muslim lainnya, yang sering juga disebut sebagai kelompok Islam kultural.

PKB sebagai manifestasi kekuatan Islam kultural Indonesia sendiri didirikan tujuannya untuk membangaun bangsa. Dia terikat kepada suatu hal yaitu bahwa Islam tidak menjadi Ideologi, karena itu ideologinya adalah kebangsaan. Sedangkan Islam adalah cara hidup yang ditularkan oleh partai kepada warganya. Tetapi partai

41

(53)

memberikan kesempatan kepada orang-orang lain yang tidak beragama Islam untuk turut berkiprah. Inilah konsekuensinya kita hidup sebagai bangsa yang pluralistik.

Kultur Islam telah menjadi basis historis dan ideologis PKB, yang mana nilai-nilai yang dikembangkan dalam kultur ini memiliki paralelitas yang signifikan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Artinya, prinsip nilai-nilai keislaman yang dikembangkan oleh PKB selalu beriringan dan saling melengkapi dengan prinsip nilai-nilai keindonesiaan. Persenyawaan antara kultur NU sebagai basis historis dan ideologis PKB dengan perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia telah sedemikian teruji sejak bangsa ini belum merdeka, kekuatan kultur tersebut selama ini menjadi salah satu kekuatan utama integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, tidak salah kalau PKB menganggap dirinya sebagai partai politik yang beridiologikan Pancasila yang didalam tiap-tiap butir dalam Pancasila bertujuan untuk menjaga kutuhan NKRI.42

Dari uraian diatas, PKB memandang bahwa Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam, karena dalam diri Pancasila terdapat nilai-nilai keislaman dan itu sudah cukup sehingga tidak perlu lagi menjadikan Islam sebagai ideologi.

B. Sikap Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Pancasila Sebagai Ideologi

Negara dan Partai

42

(54)

Sepanjang sejarah Republik ini Pancasila disikapi secara beragam. Pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno) Pancasila diberlakukan walaupun terjadi pro-kontra. Pada masa Orde baru Pancasila dijadikan azas tunggal bagi seluruh kekuatan masyarakat.

Di era reformasi yang ditandai jatuhnya kekuasaan rezim

Orde Baru, terbukalah iklim baru bagi kehidupan masyarakat

Indonesia dalam banyak hal. Salah satunya dengan dihapusnya

Pancasila sebagai azas tunggal. Kenyataan ini dilakukan oleh dua

partai berideologi Islam, seperti PPP dan PBB untuk

memperjuangkan masuknya tujuh kata dalam piagam Jakarta yang

berbunyi ”…dan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para

pemeluknya” ke dalam pasal yang mengatur bab agama dalam

proses amandemen UUD 1945.

43

Walaupun sebagai partai yang dilahirkan dari Organisasi

Masyarakat Islam terbesar tanah air, Nahdlatul Ulama ingin PKB

tampil sebagai sebuah partai yang multikulturalis dan pluralis. Hal

ini disebabkan karena kondisi

real

masyarakat Indonesia yang

terdiri dari berbagai macam agama dan kultrur. Semua agama

tersebut terlibat langsung dalam proses perjalanan bangsa mulai

dari pra kemerdekaan sampai sekarang.

PKB menyadari bahwa sebagai suatu bangsa yang terdiri dari

berbagi suku, agama, dan ras, tatanan kehidupan Indonesia harus

senantiasa berpijak pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,

Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia. Penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut haruslah

dijiwai dan dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

44

Melihat kondisi tersebut, PKB ingin menjadi sebuah partai

yang terbuka bagi semua kalangan, baik Islam maupun Non

43

Muhaimin, Gus Dur Yang Saya Kenal, h. 134.

44

(55)

Muslim. Berbeda dengan partai yang dilahirkan oleh

organisasi-organisasi dan tokoh Islam lainnya yang berideologikan Islam

(seperti PPP, PBB, PKS), PKB secara tegas mengatakan dalam

AD/ART-nya bahwa partai ini tetap konsisten pada Pancasila

sebagai ideologi partai dan ideologi Negara. Hal ini dapat dilihat

dalam Asas dan sifat partai yang termaktub di AD/ART:

45

Partai Berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan

Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

Dipimpin oleh Hikmah dan Kebijaksanaan dalam

Permusyawaran/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh

Rakyat Indonesia.

Partai bersifat kebangsaan, demokratis dan terbuka.

Bagi PKB, Pancasila merupakan harga mati dan tidak bisa

ditawar-tawar lagi. Proses lahirnya Pancasila tersebut melibatkan

tokoh-tokoh dari berbagi golongan dan agama, KH. Wahid Hasyim

sebagai tokoh NU yang bergabung dalam Tim Perumus dasar

Negara, telah menyepakatinya. Di sisi lain, kandungan Pancasila

tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Prinsip-prinsip (sila-sila)

dalam Pancasila sudah selaras dengan prinsip-prinsip Islam, seperti

sila pertama tentang Tauhid, asas Musyawarah, Persamaan dan lain

sebagainya.

PKB dan beberapa partai lainnya yang satu

platform

dan satu

garis perjuangan menganggap bahwa Pancasila merupakan sebagai

alat perekat dan pemersatu bangsa sehingga harus tetap

dipertahankan karena masih relevan sebagai ideologi negara.

Dalam Jati Diri Partai disebutkan bahwa PKB menerima

Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk

upaya final cita-cita umat Islam Indonesia mengenai negara.

Penerimaan atas NKRI, berarti pengakuan atas pluralitas bangsa.

Oleh karenanya PKB menolak diskriminasi kelompok apapun sejak

dari sikap batin, perilaku, strategi sampai pada perjuangannya.

46

45

Bambang Setiawan, Partai- Partai Politik di Indonesia: Ideologi dan Program, (Jakarta: Kompas, 2004), h. 260.

46

(56)

Pancasila dan NKRI bagi PKB merupakan hasil

mu’ahadah

wathaniyah

(kesepakatan politik) yang sah dan mengikat. PKB

memandang Pancasila dan NKRI adalah ikhtiyar maksimal bangsa

Indonesia dan tetap harus dijaga demi kelangsungan kehidupan

bangsa.

Dalam Prinsip Dasar Perjuangan PKB ditegaskan bahwa

PKB bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan

dipadukan oleh dan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan,

keterbukaan, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil dan beradab,

keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, non-diskriminasi

serta pengamalan terhadap Pancasila. PKB menjunjung tinggi

Pancasila dan harkat martabat manusia.

47

PKB adalah partai terbuka dalam pengertian lintas agama,

lintas suku, lintas ras dan lintas golongan, yang dimanifestasikan

dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan

kepemimpinan. Partai bersifat independent dalam pengertian

menolak intervensi segala bentuk kekuasaan dari pihak manapun

yang bertentangan dengan tujuan didirikannya partai.

48

Dalam Bai’at (sumpah) pengurus PKB, dinyatakan bahwa

sebagai anggota Dewan Pengurus Pusat PKB, harus siap untuk

berjuang demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang- Dasar 1945.

49

“Sebagai anggota Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan

Bangsa, kami senantiasa siap untuk berjuang demi tegaknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang- Dasar 1945”.

Di sisi lain, sikap Pancasila sebagai dasar Negara dan partai

juga dijelaskan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa alinea keempat dan

kelima yang menyatakan bahwa partai ini didirikan didasari sebagai

wahana perjuangan yang kuat, mampu menyalurkan aspirasi dan

menyatukan seluruh potensi bangsa yang majemuk. PKB bersifat

47

Hakim dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 21.

48

Lihat Mabda’ Siyasy Partai Kebangkitan Bangsa dalam Dokumen AD/ART PKB, h. 20.

49

(57)

kebangsaan, demokratis dan terbuka.

50

Pernyataan ini menegaskan

bahwa Partai ini terbuka bagi semua golongan dan agama.

Pada Pasal 6 Bab IV Anggaran Dasar Partai tentang Sifat dan

Fungsi, dijelaskan bahwa PKB dijadikan sebagai wadah berhimpun

bagi setiap warga negara Indonesia dengan tanpa membedakan

asal-usul, keturunan, suku, golongan, agama dan profesi.

51

Dalam ungkapannya, Muhaimin mengatakan bahwa PKB

tentu saja menolak upaya politik yang mengubah Indonesia menjadi

negara

Referensi

Dokumen terkait

 lambat tahun 2036, dengan menjamin penyerapan produksi  gas dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir,  transportasi dan sektor lainnya. Menyelesaikan

Verifikasi adalah proses membandingkan sebuah sampel biometrik terhadap sebuah referensi dari seorang pengguna untuk memastikan identitas seseorang yang berhubungan dengan akses

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan tokoh masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi kader dalam sosialisasi kelas ibu hamil.. Responden yang memiliki

Indonesia yang ingin memasarkan produknya ke pasar Korea Selatan khususnya untuk komoditas cassava atau singkong serta membantu meningkatkan daya saing produk

Kecepatan tempuh dalam (MKJI, 1997) didefinisikan sebagai kecepatan rata- rata (km/jam) arus lalulintas dari panjang ruas jalan dibagi waktu tempuh rata-rata.. kendaraan yang lewat

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi berjudul “ Sistem Informasi

8 Mien Rukmini, Op. tertuang dalam Pasal 34 dan 34A berisi ketentuan bahwa terpidana kasus korupsi dapat memperoleh sebuah pengurangan pidana penjara dengan ketentuan