• Tidak ada hasil yang ditemukan

a Struktur Organisasi Perusahaan

B. EMISI GAS RUMAH KACA PG SUBANG

PG Subang merupakan salah satu industri gula di Indonesia yang ikut serta dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca dari proses produksinya. Emisi GRK yang dikeluarkan PG Subang berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, penggunaan solar mekanisasi, solar pabrikasi, penggunaan LPG, dan pengolahan limbah padat. Perhitungan emisi GRK dapat dilakukan dengan menghitung konsumsi dari setiap penggunaan energi dan pengolahan limbah yang dilakukan.

1.

Emisi GRK dari Penggunaan Energi

Kebutuhan energi di pabrik gula dapat dipenuhi oleh sebagian bagas dari gilingan akhir. Sebagai bahan bakar boiler jumlah bagas dari stasiun gilingan adalah sekitar 33 % berat tebu giling dengan kadar air sekitar 50 %. Energi yang digunakan PG Subang adalah energi uap yang berasal dari pemanasan air dengan pembakaran bagas pada ruang bakar boiler sebagai pemanasnya. Gambar 21 menunjukkan perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar boiler yang berupa bagas dan Industrial Diesel Oil (IDO). Perhitungan Emisi untuk penggunaan bahan bakar boiler dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 21. Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar boiler DMG 2011

PG Subang memanfaatkan hasil samping bagas untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Bagas yang dibakar akan menghasilkan sejumlah energi untuk

memanaskan air sehingga menghasilkan sejumlah uap. Uap ini kemudian didistribusikan untuk menggerakkan turbin alternator yang merupakan pembangkit listrik PG Subang. Dalam musim giling 2011 kebutuhan energi untuk menghasilkan uap sebesar 202.548 ton adalah 181,62 x 109 kkal namun dari hasil pembakaran bagas hanya 180 x 109 kkal yang terpenuhi, maka PG subang menggunakan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi sebesar 1,62 x 109 kkal. Total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar boiler pada tahun 2011 adalah sebesar 101.927,57 tCO2. Jumlah emisi yang besar disebabkan oleh besarnya konsumsi bahan bakar yang

dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah uap yang digunakan sebagai pembangkit listrik maupun proses produksi gula.

Sebagai perbandingan jika perhitungan emisi CO2 dianalisis dengan menggunakan rumus

kimia pembakaran karbon maka terlebih dahulu perlu diketahui komponen kimia dari bagas untuk menentukan rumus empiris bagas. Komponen kimia bagas dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Komponen kimia bagas

Komponen Jumlah (%) Jumlah (gr) Basis : 100 gr Bobot molekul Mol Perbandingan Karbon (C) 47,9 47,9 12 3,99 7 Hidrogen (H) 6,7 6,7 1 6,70 12 Oksigen (O) 45,4 45,4 16 2,84 5 Sumber : Hugot (1986)

Dari perhitungan pada Tabel 14 maka diperoleh hasil rumus empiris untuk bagas adalah C7H1205. Rumus empiris bagas akan menentukan persamaan reaksi yang terjadi apabila bagas dibakar

dengan penambahan oksigen yang menghasilkan CO2 dan H2O sebagai produk. Persamaan reaksi

yang terjadi :

C7H12O5 + 7,5 O2 7CO2 + 6H2O

Persamaan reaksi pembakaran bagas (C7H1205) membentuk enam persamaan kimia ekuivalen yang

dapat digunakan sebagai faktor konversi dalam perhitungan. Persamaan ekuivalen dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Persamaan ekuivalen dari reaksi pembakaran bagas (C7H12O5)

1 mol C7H1205 = 7,5 mol O2 1 mol C7H1205 = 7 mol CO2 1 mol C7H1205 = 6 mol H2O 7,5 mol O2 = 7 mol CO2 7,5 mol O2 = 6 mol H2O 7 mol CO2 = 6 mol H2O

Jumlah bagas (C7H12O5) yang dibakar pada proses produksi gula dalam musim giling 2011

sebesar 101.273,90 ton dengan bobot molekul bagas sebesar 176 maka diperoleh ton mol bagas sebesar 575,42 ton. Dari persamaan ekuivalen diperoleh hasil bahwa 1 mol C7H12O5 setara dengan 7

mol CO2. Maka diperoleh 4.027,94 ton mol CO2 dari pembakaran bagas. Jika dikonversi menjadi ton

CO2 yang dihasilkan maka jumlah ton mol CO2 dikalikan dengan bobot molekul CO2 sebesar 44.

tersebut tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan perhitungan emisi dengan menggunakan faktor emisi bagas sebesar 0,485 ton CO2/MWh. Nilai yang lebih besar dari perhitungan reaksi pembakaran

dapat diakibatkan karena semua karbon yang terkandung diasumsikan terkonversi menjadi gas yang terbuang ke udara, namun pada kenyataannya terdapat abu dari pembakarang yang masih mengandung sejumlah karbon yang tidak terbuang langsung ke udara. Dari asumsi tersebut, maka jumlah emisi yang digunakan dalam perhitungan jumlah emisi pabrik keseluruhan menggunakan jumlah emisi yang berasal dari perkalian faktor emisi.

Gambar 22 Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar DMG 2011

Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 22 adalah grafik perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar PG Subang dalam musim giling 2011. Emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG adalah sebesar 2,51 tCO2. Emisi ini terhitung kecil

karena LPG hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk pengelasan dan pemotongan alat bila terdapat alat yang harus diperbaiki. Pada proses produksi gula tidak digunakan bahan bakar gas LPG karena energi yang digunakan berasal dari uap dan listrik. Selain LPG, bahan bakar yang berpotensi mengeluarkan emisi GRK pada PG Subang adalah penggunaan bahan bakar solar. Solar digunakan oleh dua bagian pada PG Subang, yaitu bagian mekanisasi dan bagian pabrikasi. Penggunaan bahan bakar solar mekanisasi menghasilkan emisi GRK sebesar 2.612,06 tCO2 selama musim giling 2011.

Penggunaan bahan bakar solar pabrikasi menghasilkan emisi GRK yang lebih kecil yaitu 243,39 tCO2.

Penggunaan bahan bakar solar yang tinggi disebabkan oleh konsumsi solar yang banyak pada bagian- bagian tertentu. Penggunaan solar yang tinggi berasal dari sektor transportasi angkut tebu, transportasi pemeliharaan tanaman dan bahan bakar untuk pompa kebun. Maka diketahui penggunaan bahan bakar lain selain bagas dan IDO yang menghasilkan emisi tertinggi adalah solar mekanisasi. Dari keseluruhan penggunaan solar dan emisi yang dihasilkan maka diperoleh emisi sebesar 2,87 tCO2/1000 liter solar. Perhitungan Emisi untuk LPG dan solar dapat dilihat pada Lampiran 6a dan 6b.

Emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan energi berupa bagas dan IDO (bahan bakar boiler), LPG, solar mekanisasi dan solar pabrikasi akan dijumlahkan untuk mengetahui jumlah emisi setara dengan CO2 yang dihasilkan oleh PG Subang dalam musim giling 2011. Gambar 23

menunjukkan jumlah keseluruhan emisi GRK yang digunakan dari penggunaan bahan bakar. Perhitungan total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Lampiran 7. Besarnya total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dari sektor penggunaan energi dipengaruhi oleh besarnya emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar pada boiler yaitu sebesar 16.987,93 tCO2 per bulan. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai faktor emisi untuk bahan

bakar ampas yaitu sebesar 0,485 tCO2/MWh sehingga pembakaran menghasilkan emisi yang besar.

Total emisi GRK yang berasal dari penggunaan energi sebesar 104.785,52 tCO2 setara. Selain itu,

kebutuhan bahan bakar pabrik gula dengan kapasitas giling 3.000 ton tebu per hari untuk menghasilkan sejumlah uap yang dipakai pada proses produksi gula pun terhitung besar sehingga emisi yang dihasilkan sebanding dengan besarnya energi yang digunakan.

Gambar 23. Total emisi GRK PG Subang DMG 2011 dari penggunaan energi

2.

Emisi GRK dari Pengolahan Limbah Padat

Sumber emisi GRK yang dihasilkan dari PG Subang tidak hanya berasal dari konsumsi energi, emisi dapat berasal dari pengolahan limbah padat. Emisi yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat berupa gas dinitrogen oksida (N2O). Gas dinitrogen oksida memiliki nilai panas 293 kali

gas karbon dioksida. Perhitungan emisi GRK yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat dapat dilihat pada Lampiran 8a.

Emisi gas dinitrogen oksida (N2O) yang dihasilkan oleh PG Subang berasal dari pengolahan

limbah padat berupa blotong yang tidak terkendali. Blotong merupakan padatan atau kotoran yang terlarut pada nira. Blotong dihasilkan dari proses pemurnian nira dimana nira yang mengandung sejumlah padatan terlarut akan diberikan koagulan untuk memudahkan proses pengendapan. Kotoran yang mengendap tersebut di proses di Rotary Vacum Filter (RVF) kemudian dibuang sebagai hasil samping yang dinamakan blotong. Blotong merupakan limbah padat organik yang masih mengandung sejumlah gula dan bahan lainnya termasuk nitrogen.

Limbah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang mempunyai volume yang cukup besar tiap harinya sekitar 3 % tebu giling. Selama ini pabrik membuang limbah blotong dengan cara penumpukan pada lahan tanah terbuka (open dumping). Penumpukan tersebut berpotensi menjadikan kandungan yang terdapat dalam blotong akan terurai secara aerob maupun anaerob. Emisi N2O dari

tanah merupakan hasil dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang melibatkan bakteri Nitrosomonas

dan Nitrobacter. Nitrifikasi terjadi dalam kondisi aerob sedangkan denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Oleh karena itu, N2O dapat terbentuk pada kondisi aerob maupun anaerob. Menurut

Mosier et al. (2004) kandungan nitrogen yang terdapat pada blotong berpengaruh pada timbulnya emisi N2O yang dihasilkan. Dalam proses nitrifikasi, ammonium (NH4+) akan dioksidasi menjadi nitrit

oleh Nitrosomonas, kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Melalui denitrifikasi, nitrit kemudian direduksi menjadi N2. Baik dalam proses nitrifikasi maupun denitrifikasi,

Penumpukan ini yang menyebabkan dihasilkannya emisi N2O. Perhitungan emisi N2O

menggunakan jumlah blotong yang dihasilkan selama musim giling 2011 dikalikan dengan faktor emisi 0,01 kg N2O-N/Kg N yang telah ditetapkan oleh IPCC (2006) sebagai faktor emisi untuk limbah

padat organik pada lahan. Jumlah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan kandungan nitrogen sebesar 0,76 %. Emisi N2O yang dihasilkan dari

pengolahan limbah padat sebesar 1.378 kg N2O dengan rata-rata emisi N2O sebesar 229,67 per bulan.

Total emisi N2O yang dihasilkan setara dengan 403,62 ton CO2 setara. Jika dilihat dari jumlah blotong

yang dihasilkan maka diperoleh hasil emisi sebesar 0,12 kg N2O/ton blotong. Dimana dalam 1 ton

blotong menghasilkan emisi N2O sebanyak 0,12 kg.

Gambar 24. Perbandingan emisi N2O dan CO2 setara dari pengolahan limbah padat