• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pembiasaan Refleksi

2. Emosi

a. Pengertian Emosi

Menurut Goleman (2002: 411) emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Martin (2008: 24-25) memiliki pendapat mengenai emosi demikian:

“Emosi pada prinsipnya berguna untuk menggambarkan perasaan manusia dalam menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat dapat melenyapkan setres pekerjaan. Semakin tepat kita mengomunikasikan perasaan, semakin nyaman

Dari gagasan Martin tersebut, ingin disampaikan bahwa emosi merupakan suatu bentuk ekspresi dan komunikasi perasaan manusia. Emosi adalah faktor penting dan fundamental dalam usaha peningkatan kualitas hidup manusia karena akan memberikan kesejahteraan batiniah bagi diri manusia.

Sedangkan menurut Davidoff (1991: 48), emosi adalah suatu keadaan di dalam diri seseorang yang tidak kentara yang memperlihatkan ciri-ciri kognisi tertentu, penginderaan, reaksi fisiologis dan pelampiasan dalam perilaku. Emosi menurut pengertian tersebut bersifat insidental atau mendadak dan juga sulit untuk dikendalikan

Ekman (2008: 49), mengartikan emosi sebagai suatu perasaan yang timbul sebagai reaksi terhadap permasalahan yang dihadapi. Menurut Ekman, emosi seringkali berlangsung dengan cepat yang prosesnya seringkali tidak kita sadari. Martin (2008: 66) memiliki suatu gagasan yang menarik mengenai emosi:

“Emosi merupakan unsur penting yang membangkitkan, mempertahankan

dan mengarahkan perilaku seseorang. Karena itu emosi juga berperan untuk menunjang IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosional),

AQ (kecerdasan menghadapi tantangan) dan SQ (kecerdasan spiritual)”

Martin mengungkapkan mengenai peran penting emosi untuk menunjang beberapa dimensi kecerdasan dalam diri manusia, ilustrasinya sebagai berikut:

EMOSI

EQ

IQ

AQ

SQ

Dari beberapa pengertian mengenai emosi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengertian emosi yaitu sebagai suatu respon batiniah atas keadaan yang sedang dihadapi yang mampu mendorong untuk melakukan suatu tindakan. Oleh karena itu, emosi memiliki aspek batiniah dan juga fisiologis. Emosi juga ikut berperan dalam beberapa dimensi kecerdasan manusia seperti kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan menghadapi tantangan (AQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

b. Komponen-komponen Emosi

Davidoff (1991: 48) mengidentifikasi komponen-komponen emosi dalam 3 hal, yaitu:

1) Komponen Fisiologis

Cannon dalam Davidoff (1991: 50) menyatakan bahwa respon fisiologis yang berhubungan dengan emosi dapat memberikan kekuatan pada individu ketika menghadapi keadaan darurat. Dari pernyataannya tersebut dapat dikatakan bahwa bangkitnya emosi seseorang dapat memberikan suatu tambahan kekuatan fisik kepada orang tersebut dalam menghadapi suatu keadaan, misalnya saja orang yang sedang marah akan menjadi lebih agresif dan kuat secara fisiologis daripada orang dengan emosi normal.

Emosi yang timbul dalam diri manusia secara fisiologis dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

a) Sistem saraf pusat

Tugas sirkuit-sirkuit dalam sistem pusat bertugas untuk membangkitkan, mengatur dan mengintegrasikan respon yang terjadi selama emosi. Sirkuit yang saling terhubung dan bekerja dalam sistem saraf pusat yang memiliki pengaruh fisiologis atas munculnya emosi dalam diri manusia ialah cortex cerebral (bagian dari otak besar), formasi retikularis (sebuah jaringan sel saraf di pangkal otak),

dan sistem limbik (terdiri atas sistem limbik antara lain amygdala dan septum).

b) Sistem saraf otonom

Ketika timbul emosi dalam diri manusia, biasanya akan diikuti dengan timbulnya reaksi fisiologis lain seperti detak jantung yang semakin cepat, otot menjadi tegang, badan gemetar, keringat keluar dan sebagainya. Hal inilah yang disebut dengan reaksi otonomik karena dikendalikan oleh sistem saraf otonom manusia. Sistem saraf otonom manusia berpangkal di otak dan sumsum tulang belakang yang dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu sistem

parasimpatetik dan sistem simpatetik.

Sistem parasimpatetik lebih berpengaruh ketika individu dalam keadaan tenang, misalnya ketika tidur, mencerna makanan dan berada dalam masa proses pemulihan dari sakit. Sedangkan sistem simpatetik lebih dominan ketika seorang individu berada dalam kondisi labil seperti saat emosi sedang meninggi, sehingga sistem ini akan mengerahkan tenaga tubuh untuk mengadakan suatu reaksi fisik seperti mempercepat denyut jantung, menegangkan otot, mempercepat pernafasan, mengeluarkan keringat, dan sebagainya.

c) Kelenjar-kelenjar adrenalin

Kelenjar-kelenjar adrenalin ini terletak di bagian atas ginjal. Ketika seseorang mengalami emosi, cara kerjanya ialah dengan melepaskan hormon

adrenalin dan nonadrenalin. Kedua hormon ini memiliki peranan sebagai

pembawa pesan dan merangsang saraf-saraf pusat sehingga sistem saraf

simpatetik dapat diaktifkan.

2) Komponen Subyektif

Komponen subyektif emosi mengajarkan bahwa interpretasi seseorang terhadap situasi yang dihadapinya saat itu akan menentukan pemberian label terhadap emosi yang dihadapinya. Selain itu penilaian seseorang terhadap situasi yang sedang ia hadapi juga akan sangat mempengaruhi keadaan emosinya selanjutnya. Teori mengenai hal ini dapat disebut pula dengan teori emosi kognitif.

Teori emosi kognitif mengajarkan bahwa penilaian atau penalaran seseorang terhadap situasi yang sedang ia hadapi akan berdampak pada emosi yang akan ia rasakan. Davidoff (1991: 55) menyampaikan bahwa daya pengertian seseorang memainkan peranan yang sangat besar dalam mempertahankan atau memoderisasi emosi-emosinya.

Misalnya dalam suatu kasus ketika kita pada suatu kali mendapatkan makian dari teman, maka sebenarnya kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu pilihan untuk marah atau mencoba untuk mengendalikannya. Di sinilah peranan daya kognitif kita untuk menilai dan membaca situasi yang sedang kita hadapi. Jika kita mampu memahami situasi dan mengendalikan diri dengan mengatakan,

“Mungkin teman saya sedang memiliki masalah dengan keluarganya,” kita akan lebih mampu mengendalikan diri untuk tidak marah.

3) Komponen Perilaku

Manusia dalam merespon emosinya pada umumnya diikuti dengan suatu perilaku yang khas seperti ekspresi wajah, gerak-gerik, mimik dan tindakan lainnya. Perilaku-perilaku tersebutlah yang dapat menjadi suatu indikasi bagi orang lain untuk menilai situasi emosi yang sedang dialami oleh seseorang.

Diantara beberapa komponen perilaku, ekspresi wajahlah yang dinilai paling kuat untuk menggambarkan emosi seseorang. Misalnya ketika seseorang sedang marah maka wajahnya menjadi cemberut, ketika orang gembira maka senyumnya akan mengembang lebar, ketika orang sedih wajahnya akan nampak murung, dan sebagainya. Lanzetta dalam Davidoff (1991: 56) mengatakan bahwa ekspresi-ekspresi wajah yang demikian sudah secara otomatis muncul dalam diri seseorang ketika mengalami suatu keadaan emosional karena sudah diprogramkan pada diri orang oleh gen masing-masing.

Dari berbagai komponen emosi yang sudah diungkapkan di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa ternyata emosi yang timbul dalam diri seseorang itu merupakan hasil dari kinerja berbagai komponen yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu respon emosi yang sesuai terhadap suatu keadaan yang dialami. Meskipun demikian, seseorang tetap memiliki kemampuan untuk menilai suatu situasi yang dapat menimbulkan emosi dan ia tetap mampu untuk mengendalikan emosinya dengan daya akal budinya sehingga ia tidak akan terlarut dalam emosinya tersebut.

c. Pengelompokan Emosi

Goleman (2002: 411-412) mengemukakan suatu model untuk pengelompokan emosi yang mencakup 8 emosi primer, yaitu:

1) Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, tersinggung, kebencian, berang dan perasaan terganggu.

2) Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, putus asa, kesepian, depresi berat.

3) Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, fobia dan panik.

4) Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga, takjub, terpesona, kenikmatan indrawi dan mania.

5) Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran dan kasih.

6) Terkejut : terkesiap, terkejut, kaget, heran, takjub dan terpana. 7) Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.

8) Malu : rasa bersalah, malu hati, kesal, sesal, aib dan sebagainya. Menurut Goleman (2000: 76), salah satu persoalan yang paling sering muncul dalam pengelompokan emosi ialah mengenai perasaan yang campur aduk seperti iri hati yang mengandung percampuran antara variasi marah, sedih dan takut, atau persoalan mengenai emosi yang belum bisa dimasukkan dalam pengelompokan di atas seperti pengharapan, kepercayaan hati dan kepastian.

Sedangkan Ekman (2008: 143-297) mengungkapkan gagasannya mengenai pengelompokan emosi menjadi 5 emosi primer yaitu:

1) Kesedihan dan penderitaan mendalam 2) Kemarahan

3) Rasa terkejut dan takut 4) Rasa jijik dan muak

5) Emosi-emosi yang menyenangkan

Ekman menyatakan bahwa klasifikasi emosi seperti di atas sebenarnya masih kurang tepat karena istilah-istilah yang dipakai kurang begitu spesifik. Seperti ungkapan jijik dan menyenangkan hanyalah sebuah keadaan pikiran dan perasaan yang bersifat majemuk (universal) yang sama fungsinya dengan istilah negatif dan positif yang juga tidak menunjukkan secara jelas atau spesifik apa yang dimaksudkan.

Dari beberapa uraian mengenai pengelompokan emosi di atas, kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya sangat sulit untuk mengelompokkan emosi manusia. Klasifikasi yang demikian hanya mungkin dilakukan untuk emosi yang dominan dalam diri manusia. Namun sebenarnya manusia itu sendiri memiliki komplektisitas emosi yang sangat beragam. Selain itu emosi yang muncul pada diri manusia pada saat tertentu juga tidak selalu merupakan emosi tunggal melainkan merupakan perpaduan dari berbagai emosi lainnya.

d. Pengertian Kemampuan Mengelola Emosi

Kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam bahasa Yunani disebut sophrosyne yang dapat berarti hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali. Sedangkan

orang-orang Romawi kuno menyebutnya dengan istilah temperatia yang berarti kendali diri atau pengendalian tindakan yang berlebihan (Goleman, 2002: 77). Goleman mengartikan kemampuan mengelola emosi sebagai suatu kemampuan untuk menangani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Sedangkan menurut Wijokongko (1997: 12), kemampuan mengelola emosi adalah suatu kekuatan yang dimiliki manusia untuk menguasai diri dan memanfaatkannya untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Menurut Wijokongko, kemampuan tersebut bersifat tersembunyi dan dimiliki oleh setiap orang. Kemampuan tersebut perlu untuk terus digali dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai kualitas hidup. Kualitas hidup yang dimaksud di sini adalah keseimbangan emosi dan kesejahteraan diri.

Doux dalam Sindhunata (2006: 25) menyebut kemampuan untuk mengelola emosi ini dengan istilah metamood. Metamood adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari cengkeraman emosional. Metamood ini harus dikembangkan dengan cara belajar untuk mengenali emosi dalam diri sendiri yang akan menimbulkan tindakan-tindakan emosional.

Dari beberapa pengertian tersebut kita mengetahui bahwa kemampuan mengelola emosi identik dengan pengendalian diri untuk menciptakan keseimbangan emosi. Keseimbangan emosi ini sangat penting untuk mencapai apa yang disebut dengan kesejahteraan emosi. Kesejahteraan emosi inilah yang menjadi salah satu indikator kualitas hidup manusia.

e. Kompetensi dalam Mengelola Emosi

Menurut Dann (2002: 60-63), seseorang yang mampu mengendalikan emosi setidaknya memiliki beberapa kompetensi diri sebagai berikut:

1) Mampu menahan diri untuk tidak menuruti hal-hal yang menghasilkan perilaku-perilaku yang tidak terpuji dan tidak produktif.

2) Bersikap tenang, berfikir positif dan tidak mudah bingung, bahkan pada keadaan yang sulit sekalipun.

3) Mampu mengelola emosi yang berlebihan dan mengurangi kecemasan pada saat mengalami emosi tersebut.

4) Mampu menjaga perilaku diri tetap stabil dan berpikir tenang, misalnya tetap terfokus meskipun berada dibawah tekanan sekalipun.

Sementara itu Goleman (2000: 130) mengidentifikasi bahwa seseorang yang mampu mengelola emosi memiliki kompetensi sebagai berikut:

1) Mampu mengelola dengan baik perasaan-perasaan negatif dan emosi-emosi yang menekan mereka.

2) Memiliki keteguhan hati, tidak goyah dan tetap berpikir positif bahkan dalam situasi yang berat.

3) Mampu berpikir jernih dan tetap terfokus meski dalam tekanan.

Berdasarkan gagasan Dann tersebut kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa orang yang mampu mengelola emosi memiliki kompetensi antara lain mampu menahan diri dari tindakan-tindakan impulsif, mampu berpikir secara positif dan secara emosional tidak mudah terpengaruh dengan situasi yang ia sedang ia alami sekalipun situasi yang sangat menekan.

f. Cara Mengelola Emosi

Beck dalam Albin (1986: 82-83) menyampaikan suatu gagasan mengenai

cara mengelola emosi diri melalui suatu pendekatan yang disebut “pendekatan kognitif” (cognitive approach). Menurut Beck, pikiran manusialah yang dapat menimbulkan dan menentukan emosi, dan seseorang dapat mempergunakan emosinya dengan baik kalau ia belajar untuk berpikir lebih baik. Maksudnya ialah kita dapat mempergunakan pikiran kita untuk menolong kita mengatasi emosi yang dirasakan mengganggu. Gagasannya ini mirip dengan teori emosi kognitif Davidoff (1991: 55) yang mengajarkan bahwa penilaian atau penalaran seseorang terhadap situasi yang sedang ia hadapi akan berdampak pada emosi yang akan ia rasakan. Hal ini berarti daya pengertian seseorang memainkan peranan yang sangat besar dalam mengelola emosi-emosinya.

Beck memberikan contoh cara mengelola emosi dengan pendekatan kognitif ini. Ketika seorang guru mengalami depresi, kemungkinan besar ia mengalami depresi karena melakukan kesalahan interpretasi mengenai tugas dan tanggung jawabnya yang ia anggap harus mengerti segala-galanya dan harus bisa menjawab setiap pertanyaan siswa. Perasaan seperti ini dapat diatasi dengan apa yang disebut dengan pemurnian interpretasi. Melalui pendekatan kognitif kita sendiri atau orang lain perlu menjelaskan bahwa tidak benar kalau tugas guru demikian, adalah hal yang wajar jika seorang guru tidak mengetahui suatu hal.

Cara lain yang dapat dilakukan melalui pendekatan kognitif ialah dengan berpikir positif (positive thinking) dan optimisme. Melalui berpikir positif dan optimis, kita akan lebih mampu meredam emosi negatif yang muncul ketika

menghadapi suatu persoalan yang dapat menimbulkan emosi. Sementara itu, Wijokongko (1997: 35-37) menguraikan cara-cara atau strategi yang dapat dilakukan yang menurutnya sangat efektif untuk mengelola emosi, yaitu:

1) Mengenali apa yang dirasakan

Bagi sebagian besar orang, mereka seringkali mengalami suatu situasi saat mereka merasa bingung dan cemas namun tidak tahu sebenarnya apa yang sedang mereka alami. Hal yang demikian disebabkan karena ketidakmampuan dalam mengidentifikasikan perasaan. Kalau kita berhasil mengidentifikasikan apa yang kita rasakan dan mulai merasakan emosi itu, kita juga bisa merendahkan intensitas dan kemudian menguasainya.

2) Menyadari dan menghargai emosi

Satu hal yang perlu kita ingat adalah kita tidak boleh mengatakan bahwa emosi kita itu salah. Ini sama artinya dengan membohongi diri sendiri. Kita perlu menyadari bahwa emosi yang timbul dalam diri kita merupakan suatu bentuk respon fisiologis dan psikologis atas situasi yang sedang kita hadapi. Belajar untuk menghargai emosi yang timbul dalam diri, meskipun disadari bahwa emosi itu tidak pada tempatnya akan membuat kita belajar untuk tidak melawan kata hati. Dengan demikian kita akan berusaha menemukan jawaban atas masalah yang sedang kita hadapi dan bergerak untuk memecahkannya.

3) Memahami pesan yang diberikan oleh emosi

Belajar untuk memahami dan memanfaatkan pesan dari emosi yang timbul dalam diri berguna bagi diri kita untuk mengambil keputusan yang efektif. Jadi, kita belajar mengambil langkah yang tepat karena mendapatkan informasi yang

diberikan oleh emosi. Kalau kita memiliki rasa ingin tahu tentang emosi itu, kita akan belajar tentang perbedaan pentingnya antara emosi yang terkendalikan dengan emosi yang tidak terkendalikan. Kita juga akan mempelajari manfaat emosi sebagai pelajaran berharga, baik untuk masa sekarang atau akan datang. 4) Belajar dari pengalaman serupa

Satu hal yang perlu kita pahami adalah bahwa kita dapat menguasai emosi dengan segera. Cara yang paling tepat, sederhana namun kuat adalah dengan mengingat saat kita merasakan emosi yang serupa yang pernah dalami, bagaimana cara kita mengatasinya dan apa dampak yang dihasilkannya bagi diri dan orang lain. Ketika mampu mengingatnya dengan baik, maka kita sudah memiliki strategi atau cara untuk mengatasi emosi yang saat ini timbul dalam diri.

5) Mengambil keputusan dengan bijak

Saat yang tepat dalam menghadapi emosi adalah saat pertama kali atau pada fase awal kita merasakannya. Tindakan yang tepat perlu segera kita ambil sebagai jawaban atas emosi yang timbul. Prinsip utamanya adalah menguasai emosi ini segera setelah kita merasakannya. Keputusan yang tepat dan penuh semangat dalam melaksanakannya adalah kunci agar kita mampu mengelola emosi yang timbul dalam diri kita.

g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengelola Emosi

Sejumlah penelitian tentang emosi menunjukkan bahwa pengelolaan emosi sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan belajar. Belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha pada pihak individu. Belajar

dalam kaitannya dengan kemampuan mengelola emosi individu dapat dilakukan dengan belajar cara mengekspresikan emosi, dan belajar memahami peristiwa yang menimbulkan emosi (Hurlock, 1990: 6).

Belajar yang dilakukan individu dapat mengubah cara individu mengekspresikan emosinya. Cara individu untuk mengekspresikan emosinya dapat pula dipelajari dari kebudayaan dan kebiasaan tempat tinggal individu. Belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan emosi yang dialami oleh individu adalah

dengan pembiasaan (conditioning). Enung Fatimah dalam Mustamsikin (2011:

22-24) menguraikan metode belajar yang dapat menunjang perkembangan pengelolaan emosi, antara lain sebagai berikut:

1) Belajar dengan coba-coba

Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini cenderung lebih umum digunakan pada masa remaja awal. Remaja biasanya lebih sering coba-coba dalam hal pengungkapan emosi mereka karena biasanya emosi mereka masih labil. Sehingga mereka pun dalam mengelola emosi masih bersifat coba-coba dengan melihat efek yang ditimbulkannya apakah nantinya memuaskan hatinya atau tidak.

2) Belajar dengan meniru (imitasi)

Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Misalnya anak yang meniru para artis di layar kaca dan

merasa terkenal dikalangan teman-temannya di kelas biasanya akan marah bila mendapatkan teguran gurunya.

3) Belajar dengan cara menyamakan diri (internalisasi)

Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat

dengannya. Berbeda dengan “belajar dengan meniru” di atas, pada bagian ini anak

sudah mulai menginternalisasi pengalaman dan pengetahuan yang ia miliki dari orang lain dalam hal mengelola emosi menjadi miliknya sendiri dan menjadi paradigm dan perspektif bagi mereka dalam mengelola emosi.

4) Belajar melalui pembiasaan

Melalui pembiasaan, anak dilatih dan dibimbing secara rutin dan kontinyu untuk mengelola situasi yang menimbulkan reaksi emosional. Metode pembiasaan terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil secara psikologis masih mudah untuk dibentuk dan diarahkan. Termasuk dalam metode belajar pembiasaan ini adalah pembiasaan refleksi bagi siswa-siswi atas proses pembelajaran mereka.

5) Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan

Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi

terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang yang biasanya

membangkitkan emosi yang menyenangkan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika

beranjak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosi yang bersifat individual dan memperhalus perasaan yang dialami, merupakan petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dari latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional.

h. Persoalan dalam Mengelola Emosi

Menurut Albin (1986: 16-17), manusia tidak akan pernah dapat menguasai emosinya sepenuhnya, karena manusia sanggup mengalami begitu banyak emosi dan tidak jarang mereka pun sulit untuk mengidentifikasikan emosi apa yang sedang mereka alami. Oleh karena itu, bagi kebanyakan orang, hal yang sukar dalam mengelola emosi adalah membedakan berbagai emosi dan memberi arti kepadanya.

Seseorang seringkali merasa bingung dengan perasaan yang sedang mereka alami sebagai bentuk respon atas situasi yang sedang dialami. Ketidakmampuan seseorang dalam mengidentifikasi perasaan yang timbul dalam diri mereka inilah yang menurut Albin menjadi penghambat utama seseorang dalam upaya untuk mengelola emosi. Oleh karena itu, Albin menyebut upaya untuk mengelola emosi ini merupakan suatu proses belajar yang full time karena bagi sebagian besar orang akan lebih sulit mengidentifikasi perasaan-perasaan mereka.

Persoalan lain dalam mengelola emosi diri adalah ketika seseorang mencoba untuk meniadakan atau meredam suatu emosi secara psikologis, badan kita sering mengambil alih ungkapan emosi tersebut. Misalnya ketika seseorang

menahan diri untuk tidak marah ketika sedang dimarahi oleh atasannya, ia mungkin terlihat tegar ketika menghadapinya, namun di waktu lain orang tersebut bisa saja menderita sakit kepala akibat ia menahan amarahnya tersebut.

Hal ini dapat dimaklumi karena seperti yang kita tahu, fisik dan mental kita merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah satu sama lain, tetapi saling bekerjasama untuk menghasilkan emosi kita. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita dalam mengendalikan emosi untuk tidak cukup dengan meredam

Dokumen terkait