• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan Hasil Penelitian

Dari pengujian hipotesis diperoleh hasil bahwa nilai signifikansi sebesar 0,023 yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Ini berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari pembiasaan refleksi terhadap kemampuan mengelola emosi siswa.

Pada tabel model summary diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,782. Ini

menunjukkan bahwa pengaruh variabel pembiasaan refleksi terhadap variabel kemampuan mengelola emosi sebesar 78,2%, sedangkan 21,8% dipengaruhi variabel lain selain pembiasaan refleksi seperti lingkungan sosial, pendidikan dalam keluarga, latar belakang budaya seseorang dan sebagainya.

Dari hasil penelitian, secara teoritis pembiasaan refleksi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kemampuan mengelola emosi anak bila dibandingkan dengan variabel lainnya yang ditunjukkan dengan nilai sebesar 78,2%. Oleh karena itu, kajian secara ilmiah menunjukkan bahwa penelitian ini

memiliki kekuatan dari segi variabel bebas atau independen yaitu pembiasaan refleksi yang memiliki pengaruh yang cukup besar dan signifikan terhadap

variabel terikat dependen yaitu kemampuan mengelola emosi siswa-siswi.

Dari hasil deskripsi data menunjukkan bahwa pembiasaan refleksi memberi manfaat dalam meningkatkan kemampuan mengelola emosi anak. Semakin baik nilai pembiasaan refleksi yang diukur, maka akan semakin baik pula kemampuan mengelola emosi anak. Hal ini ditunjukkan pula pada tabel

correlations yang menghasilkan persamaan regresi Y= 63,423 + 0,3X yang menunjukkan hubungan yang positif antara pembiasaan refleksi terhadap kemampuan mengelola emosi.

Hal ini karena dalam refleksinya terdapat unsur obyektif yang perlu

diperhatikan yaitu konteks dan pengalaman belajar. Termasuk dalam konteks dan pengalaman belajar itu adalah berbagai situasi di mana siswa mengalami berbagai pengalaman emosional. Emosi memainkan peranan penting ketika dia bergulat dengan pengalaman yang cukup berkesan atau memiliki arti mendalam baginya. Oleh karena itu, salah satu fungsi pembiasaan refleksi yang sangat bermanfaat bagi siswa di sekolah ialah untuk melatih dan mengasah kemampuan mengelola emosi mereka.

Pernyataan ini diperkuat dengan hasil mean dan deskripsi data per sub

variabel pada pemberian informasi mengenai refleksi dengan mean sebesar 16,98.

Dari 66 anak yang menyatakan sangat sering sebanyak 15 orang (22,7%), sering sebanyak 45 orang (68,18%). Sedangkan anak yang menyatakan cukup sering sebanyak 6 orang (9,09%). Hasil ini menunjukkan bahwa pembiasaan refleksi

berlangsung dengan baik karena siswa-siswi diberikan informasi mengenai apa itu refleksi, tujuan refleksi dan manfaat refleksi bagi mereka.

Selain itu guru juga berupaya meningkatkan kemampuan refleksi siswa melalui penyediaan sarana dan media pendukung refleksi. Pada sub variabel

penyediaan sarana dan media pendukung refleksi dengan mean sebesar 30.3030,

dari 66 siswa, yang menyatakan penyediaan sarana dan media pendukung refleksi sangat lengkap sebanyak 34 siswa (52%), menyatakan lengkap 30 siswa (45%), menyatakan cukup lengkap 2 orang (3%).

Hal ini menunjukkan bahwa anak dalam pembiasaan refleksi, guru berusaha untuk menyediakan sarana dan media yang mendukung refleksi seperti buku-buku, alat peraga, cerita, gambar atau simbol-simbol lain yang dapat membantu siswa dalam menuliskan refleksi. Hal ini tentunya sangat baik karena mengingat usia anak SD kelas V yang masih berada pada tahap perkembangan

kognitif operasional konkret. Pada umumnya anak pada tahap ini telah memahami

logika dengan bantuan benda konkret. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif tetapi hanya dalam situasi yang konkret seperti menggunakan media-media pembelajaran dan alat-alat peraga untuk siswa. Oleh karena itu, sangat tepat bila guru membantu menyediakan sarana dan media pendukung yang membantu siswa berefleksi.

Selain pemberian informasi dan penyediaan sarana dan media pendukung refleksi. Guru membantu siswa dalam mengolah bahan refleksi agar lebih mudah dicerna dan direfleksikan lebih lanjut oleh siswa. Pada sub variabel pengolahan

sangat teratur dalam mengolah bahan refleksi sebanyak 5 siswa (8%), yang menyatakan teratur sebanyak 54 siswa (81%). Sedangkan siswa yang menyatakan cukup teratur sebanyak 6 siswa (9%) dan menyatakan kurang teratur sebanyak 1 siswa (2%). Hal ini menunjukkan bahwa guru sangat membantu siswa dalam mengolah bahan refleksi agar mereka dapat merefleksikannya lebih mendalam. Bentuk pengolahan bahan oleh guru tersebut seperti menyampaikan kembali secara garis besar bahan pembelajaran yang telah disampaikan, menuliskan bahan refleksi di papan tulis, menentukan tema khusus untuk refleksi dan membimbing siswa dalam menemukan sendiri bahan yang akan ia refleksikan.

Sub variabel tindakan guru yang ditunjukkan dengan mean sebesar 25,24,

juga sangat berperan dalam pembentukan kebiasaan refleksi siswa. Dari 66 siswa yang menyatakan bahwa guru sangat partisipatif sebanyak 28 siswa (42%), partisipatif sebanyak 32 siswa (48%), cukup partisipatif 5 siswa (8%) dan kurang partisipatif 1 orang (2%). Dari hasil ini menunjukkan bahwa guru berpartisipasi secara aktif dalam pembiasaan refleksi siswa misalnya dengan pemberian bimbingan kepada siswa saat menulis refleksi, memberikan tugas refleksi secara teratur, memberikan masukan atau koreksi atas hasil refleksi siswa, dan sebagainya.

Dari hasil analisis deskriptif terhadap variabel pembiasaan refleksi dapat ditarik kesimpulan bahwa pembiasaan refleksi yang berlangsung di SD Kanisius Kalasan sudah baik. Hal ini diukur dari 4 sub variabel pembiasaan refleksi yaitu pemberian informasi mengenai refleksi, penyediaan sarana dan media pendukung refleksi, pengolahan bahan refleksi dan tindakan guru. Dari keseluruhan sub

variabel yang diukur menunjukkan hasil yang baik seperti yang sudah diuraikan pada pembahasan di atas.

Sementara itu analisis deskriptif mengenai variabel terikat yaitu kemampuan mengelola emosi siswa diukur dari 3 sub variabel yaitu pengendalian emosi, pengungkapan emosi dan tidak terpengaruh situasi emosional orang lain.

Dari sub variabel pengendalian emosi dengan mean sebesar 22.5303, dari 66

siswa terungkap bahwa sebanyak 8 siswa sangat mampu mengendalikan emosi (12%), 44 siswa mampu mengendalikan emosi (67%) dan 14 siswa cukup mampu mengendalikan emosi (21%). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas V SD Kanisius Kalasan mampu mengendalikan emosi dengan baik ketika sedang berada pada situasi emosional misalnya tidak langsung marah ketika mendapat sindiran atau ejekan teman, tidak langsung putus asa jika gagal dalam berusaha.

Sementara itu sub variabel kedua yaitu pengungkapan emosi dengan mean

sebesar 40.13, dari sejumlah 66 siswa terungkap bahwa 23 siswa sangat mampu mengungkapkan emosi dengan tepat (35%), 40 siswa mampu (61%), dan 3 siswa cukup mampu mengungkapkan emosinya dengan tepat (4%). Dari hasil ini dapat di katakan bahwa siswa kelas V SD Kanisius Kalasan mampu mengungkapkan emosinya dengan tepat ketika berada dalam situasi emosional misalnya dengan mencari kesibukan positif ketika sedang marah, tetap tersenyum meskipun mendapat sindiran, dan sebagainya.

Hal ini sangat penting bagi siswa karena kemampuan mengelola emosi bukan berarti bahwa mereka harus meredam atau menahan emosinya dalam hati.

Justru hal ini akan terakumulasi dalam diri anak dan menimbulkan dampak negatif seperti perasaan tertekan, stres, murung diri bahkan bisa mengakibatkan sakit fisik. Oleh karena itu, pengungkapan emosi dengan tepat sangat diperlukan dalam kemampuan mengelola emosi.

Sub variabel ketiga dalam variabel kemampuan mengelola emosi yaitu

tidak terpengaruh situasi emosional orang lain dengan mean sebesar 29,22. Dari

66 siswa terungkap bahwa 26 siswa sangat tidak mudah terpengaruh situasi emosional orang lain (39%), 39 siswa tidak mudah terpengaruh (59%) dan 1 siswa mudah terpengaruh situasi emosional orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas V tidak mudah terpengaruh situasi emosional orang lain, misalnya tidak ikut marah ketika melihat teman yang sedang marah, tidak lekas putus asa ketika melihat temannya gagal dalam berusaha, dan sebagainya.

Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan antara variabel pembiasaan refleksi dengan variabel kemampuan mengelola emosi menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal ini ditunjukkan pula dengan persamaan regresi yang diperoleh yaitu Y= 63,423 + 0,3X. Persamaan ini menunjukkan hubungan yang positif antara pembiasaan refleksi (X) terhadap kemampuan mengelola emosi (Y). Oleh karena itu, semakin teratur dan disiplin pembiasaan refleksi dilaksanakan di sekolah, maka kemampuan mengelola emosi siswa akan semakin meningkat.

Selain mengungkapkan deskripsi data mengenai variabel pembiasaan refleksi dan kemampuan mengelola emosi. Peneliti juga melakukan studi dokumen terhadap hasil refleksi siswa untuk mengungkap kemampuan refleksi

mereka yang diukur melalui 4 aspek yaitu mengungkapkan pengalaman, mengungkapkan perasaan, menemukan nilai dan makna dan merumuskan niat konkret. Hal ini penting karena pada dasarnya pembiasaan refleksi yang dilakukan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan refleksi siswa agar berdampak salah satunya pada kemampuan mengelola emosi mereka.

Pada sub aspek kemampuan mengungkapkan pengalaman dengan mean

sebesar 4, dari sejumlah 66 siswa, 24 siswa sangat detail (36%), 30 siswa detail (46%) dan 12 siswa cukup detail (18%). Dari hasil tersebut diperoleh gambaran bahwa siswa kelas V SD Kanisius Kalasan detail atau rinci dalam mengungkapkan pengalaman. Mengungkapkan pengalaman secara rinci ini penting agar siswa belajar untuk menganalisa pengalaman hidup maupun pengalaman belajar mereka secara runtut. Dengan demikian hal-hal penting atau mengesan dalam pengalaman mereka dapat terungkap dengan baik.

Sementara itu dari sub aspek mengungkapkan perasaan dengan mean

sebesar 3,9697 terungkap bahwa dari 66 siswa 24 anak sangat mampu (36%), 29 anak mampu (44%) dan 13 anak cukup mampu mengungkapkan perasaan (20%) dalam berefleksi. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa siswa-siswi mampu mengungkapkan perasaan mereka ketika berefleksi. Meskipun perasaan yang diungkapkan oleh siswa-siswi dalam buku refleksi harian mereka pada umumnya masih terbatas pada perasaan senang-tidak senang, gembira-sedih, berani dan takut. Namun yang terpenting adalah bahwa mereka sudah berani mengungkapkan perasaan mereka yang muncul atas permenungan pengalaman secara terbuka di buku refleksi.

Sub variabel ketiga yaitu kemampuan menemukan nilai dan makna atas

permenungan pengalaman dengan mean sebesar 2,2424. Dari 66 siswa, terungkap

bahwa 17 anak mampu (26%), 31 anak cukup mampu (47%) dan 18 anak tidak mampu menemukan nilai atau makna dalam refleksi mereka (27%). Hal ini memang cukup memprihatinkan karena sebagian besar siswa belum mampu menemukan nilai atau makna dalam refleksi mereka dengan baik. Bahkan 27% siswa sama sekali tidak pernah menemukan dan menuliskan nilai dan makna yang mereka peroleh dari hasil refleksi mereka ke dalam buku refleksi.

Hal ini memang dapat dimaklumi karena usia siswa yang masih duduk di kelas V sekolah dasar secara kognitif masih berada pada tahap operasional konkret sehingga segala sesuatu harus dilihat secara konkret agar mudah dipahami siswa. Sesuatu yang bersifat abstrak atau berupa konsep, ide, gagasan dan nilai-nilai harus dikonkretisasikan terlebih dahulu agar dapat dipahami oleh siswa. selain itu dari segi perkembangan moralitas, siswa berada pada tahap prakonvensional. Pada tahap ini orientasi perbuatan anak berdasarkan takut pada hukuman dan mendapatkan imbalan atau pujian. Segala pengalaman yang dimiliki akan dinilai baik jika menguntungkan dirinya dan buruk jika merugikan dirinya. Di luar dari baik dan buruk itu, makna atau nilai dari suatu pengalaman sendiri cukup sulit untuk digali oleh siswa-siswi.

Kemudian sub variabel yang terakhir ialah kemampuan merumuskan niat

konkret dengan mean sebesar 2,4394. Dari 66 siswa, 21 anak mampu (32%), 32

anak cukup mampu (48%) dan 13 anak tidak mampu merumuskan niat secara konkret (20%). Hal ini cukup memprihatinkan juga mengingat refleksi pada

prinsipnya harus sampai pada niat konkret atau aksi nyata. Siswa nampaknya kesulitan dalam merumuskan niat secara sederhana, konkret namun sangat relevan dengan refleksi mereka. Dari hasil studi dokumen terungkap bahwa kecenderungan siswa untuk menuliskan niat yang sama secara berulang-ulang yaitu rajin belajar. Memang hal ini sudah merupakan indikator yang baik bagi perkembangan siswa, namun kita ingat bahwa refleksi menuntut suatu aksi yang konkret berdasarkan permenungan pengalaman mengesan, pengolahan perasaan dan makna yang diperoleh. Lebih jauh lagi refleksi juga mengharapkan seseorang agar berkembang dari segi iman.

Berdasarkan hasil deskripsi data mengenai kemampuan refleksi siswa yang diukur berdasarkan 4 sub aspek terungkap bahwa siswa sudah mampu mengungkapkan pengalaman dan perasaan mereka ketika berefleksi dengan baik. Namun siswa belum mampu untuk menemukan nilai dari suatu pengalaman yang mengesan baginya dan berdasarkan hal itu merumuskan niat konkret yang relevan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembiasaan refleksi berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan mengelola emosi siswa. Hal ini terungkap dalam deskripsi data kemampuan refleksi siswa sebagai akibat dari pembiasaan refleksi yang berlangsung. Siswa dalam menuliskan refleksi mereka memiliki kecenderungan untuk menempatkan porsi yang cukup banyak terhadap aspek pengungkapan pengalaman dan perasaan mereka atas suatu pengalaman. Meskipun aspek menemukan nilai dan merumuskan niat belum terolah dengan baik, namun aspek pengungkapan pengalaman dan perasaan inilah yang kiranya mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengelola emosi karena menempatkan

cukup banyak unsure perasaan dalam refleksi mereka. Oleh karena itu diperlukan tindak lanjut berupa pelatihan, pendampingan atau bimbingan sejak dini agar siswa memiliki kebiasaan merefleksikan pengalaman belajarnya secara sistematis, teratur, mendalam dan menyeluruh dalam arti tidak terlalu menempatkan salah satu unsur refleksi seperti pengalaman dan perasaan secara berlebihan.

Dokumen terkait