• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pembiasaan Refleksi

3. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar

a. Perkembangan Kognitif

Piaget dalam Hurlock (1990: 37-45) membagi tahap perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan, yaitu:

1) Tahap sensorimotorik (usia 0-2 tahun)

Dalam tahap ini anak belum mempunyai konsepsi tentang obyek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya. Bayi lahir dengan refleks bawaan kemudian seiring dengan pertumbuhan mereka,

skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Tahap sensorimotorik ini terbagi atas beberapa sub-tahapan yaitu: a) Fase skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan

berhubungan terutama dengan refleks.

b) Fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan c) Fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia 4-9 bulan dan berhubungan

terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.

d) Fase koordinasi reaksi sirkular sekunder (usia 9-12 bulan). Kemampuan melihat obyek sebagai sesuatu yang permanen mulai berkembang.

e) Fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia 12-18 bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

f) Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.

2) Tahap praoperasional (usia 2-7 tahun)

Tahap ini merupakan tahap pemikiran yang lebih simbolis tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional dan lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis. Tahap ini dibagi atas dua sub-tahapan yaitu:

a) Fase fungsi simbolis yang terjadi kira-kira antara usia 2-4 tahun. Dalam tahap ini anak belajar menggunakan dan merepresentasikan obyek yang tak hadir dengan gambaran dan kata-kata tetapi pemikirannya masih bersifat egosentris dan animisme. Egosentris adalah keadaan dimana anak kesulitan untuk

melihat dari sudut pandang orang lain sedangkan animisme adalah kepercayaan bahwa obyek tak bernyawa adalah hidup dan bisa bergerak. b) Fase pemikiran intuitif yang terjadi antara usia 4-7 tahun. Piaget menyebut

tahap ini sebagai tahap yang intuitif karena anak-anak merasa yakin tentang pemahaman mereka mengenai suatu hal tetapi tanpa menggunakan pemikiran rasional. Pada tahap ini anak juga mulai banyak mengajukan pertanyaan dan ingin tahu semua jawaban dari pertanyaan tersebut.

3) Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)

Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda konkret. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif tetapi hanya dalam situasi yang konkret seperti menggunakan media-media pembelajaran dan alat-alat peraga untuk anak.

b. Perkembangan Iman

Teori perkembangan iman atau kepercayaan ini dikembangkan oleh James Fowler. Menurut Fowler dalam Haditono (1982: 241-252), beragama adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah seorang

meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna yang

mampu memberi makna pada iman (faith), dan kepercayaan (belief). Tahapan perkembangan iman menurut Fowler sebagai berikut:

1) Tahap 0: Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith)

Terjadi pada usia 0-3 tahun, pada tahapan ini benih iman terbentuk oleh rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya dan oleh rasa aman

yang dialami di tengah lingkungannya. Seluruh interaksi timbal-balik antara si anak dan orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. 2) Tahap 1: Kepercayaan Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective Faith)

Terjadi pada usia 3-7 tahun, tahapan ini disebut tahapan intuitif proyektif. Dunia pengalaman sudah mulai disusun oleh pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat, namun diangkat ke dalam imajinasi. Anak menjadi aktif bertanya, mereka kesulitan membedakan antara kenyataan dan fantasi. Pada tahap ini anak memahami Tuhan sebagai tokoh yang dikaguminya.

3) Tahap 2: Kepercayaan Mistis-Harafiah (Mythic-Literal Faith)

Terjadi pada usia 7-12 tahun, tahapan ini disebut juga dengan “tahapan

mistis literal.” Yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok sekolah Minggu atau kelompok bermain yang berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan seperti cerita.

c. Perkembangan Moral

Kohlberg dalam Hurlock (1990: 80-81) menguraikan mengenai tahapan perkembangan moral anak, yaitu:

1) Tahap Moralitas Prakonvensional (1-8 tahun)

Pada tahap ini perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Anak berbuat baik dengan motivasi menghindari

hukuman. Pada fase kedua dalam tahap ini, anak berusaha menyesuaikan terhadap harapan untuk mendapatkan penghargaan seperti pujian dan hadiah.

2) Tahap Moralitas Konvensional (9-13 tahun)

Dalam tahap ini, anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka. Pada fase kedua dalam tahap ini, anak yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial.

d. Perkembangan Emosi

Elizabeth B. Hurlock (1978:79) menggolongkan perkembangan emosi manusia menjadi beberapa tahapan seperti berikut:

1) Usia balita (0-5 tahun)

Hurlock menjelaskan pada tahap ini, reaksi yang menyenangkan pada bayi dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi tubuh secara tiba-tiba, membuat suara keras atau membiarkan bayi menggunakan popok yang basah. Rangsangan ini menimbulkan reaksi emosional berupa tangisan dan aktivitas yang kuat. Sebaliknya reaksi yang menyenangkan dapat tampak jelas tatkala bayi menyusui pada ibunya.

Pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya.

Anak kecil memiliki perilaku yang sangat memaksa. Mereka hanya mempunyai sedikit kendali dari dorongan hati mereka dan mudah merasa putus asa.

Pada usia dua sampai empat tahun, karakteristik emosi anak muncul pada ledakan amarahnya atau temper tantrums (Elizabeth B. Hurlock, 1978). Anak yang berusia tiga dan empat tahun menyenangi kejutan-kejutan dan juga peristiwa roman. Mereka memerlukan keamanan dengan mengetahui bahwa ada suatu struktur dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang berusia tiga dan empat tahun juga sudah mulai menunjukkan selera humor. Pada usia lima sampai enam tahun anak mulai matang dan mulai menyadari akibat-akibat dari emosinya. Ekspresi emosi anak dapat berubah secara drastis dan cepat, contohnya baru saja anak menangis tetapi setelah beberapa menit kemudian anak bisa gembira lagi karena mendapatkan hiburan dari orang yang mengendalikan emosinya.

Pada saat anak mencapai usia tiga tahun mereka sudah menumbuhkan beberapa sikap toleransi untuk mengatasi hal tersebut. Mereka juga sudah dapat mengembangkan beberapa sikap pengendalian diri; mereka tidak bereaksi terhadap setiap dorongan hati. Perkembangan emosi berkaitan dengan pengendalian diri, apa yang disukai dan yang tidak disukai.

2) Usia anak-anak (6-12 tahun)

Anak-anak yang berusia tujuh dan delapan tahun mulai mencoba kembali untuk memperoleh kendali yang lebih baik lagi dari tanggapan emosional mereka. Mereka mulai menyadari kondisi di dunia dan lebih menaruh perhatian terhadap cerita-cerita baru yang mereka lihat di televisi atau yang mereka dengar dari bahan diskusi orang-orang dewasa.

Anak yang berusia tujuh dan delapan tahun mulai menunjukkan ketekunan di dalam usaha yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka. Ini sering menyebabkan orang tua mereka menjadi kesal dimana ketika anak meminta orang tua untuk melakukan suatu hal secara berulang kali. Pada usia ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih memperkenalkan diri kepada orang lain dan juga merasa bersalah ketika mereka melukai orang lain, baik secara fisik ataupun emosional. Mereka mencoba untuk menimbulkan rasa nyaman terhadap keluarga atau teman tanpa diminta untuk melakukannya.

3) Usia remaja

Hurlock membagi ciri-ciri emosional remaja dalam dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun. Adapun ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun adalah sebagai berikut:

a) Cenderung bersikap pemurung

Sebagian disebabkan karena perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagiannya lagi karena kebingungannya dalam menghadapi orang dewasa. Hal ini dapat memicu terjadinya suasana hati yang depresi yang lebih banyak dialami oleh perempuan.

b) Ada kalanya bersikap kasar dalam menutupi kekurangannya dalam hal percaya diri

c) Ledakan-ledakan kemarahan sering terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis dan kelelahan karena bekerja yang terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat ataupun tidur yang kurang cukup.

d) Cenderung berperilaku tidak toleran terhadap orang lain dengan membenarkan pendapatnya sendiri

e) Mengamati orang tua dan guru secara lebih objektif dan mungkin marah apabila tertipu dengan gaya guru yang bersifat sok tahu.

Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun adalah sebagai berikut:

a) Sering memberontak sebagai ekspresi dari perubahan dari masa kanak-kanak ke dewasa

b) Dengan bertambahnya kebebasan, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tuanya. Mereka mengharapkan perhatian, simpati dan nasihat orang tua.

c) Sering melamun untuk memikirkan masa depannya.

Banyak remaja yang tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya mereka rentan mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah seperti kesulitan akademis.

Dokumen terkait