• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V Sekolah Dasar Kanisius Kalasan, Sleman tahun ajaran 2011/2012 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V Sekolah Dasar Kanisius Kalasan, Sleman tahun ajaran 2011/2012 - USD Repository"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBIASAAN REFLEKSI PADA AKHIR PEMBELAJARAN TERHADAP KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA SISWA

KELAS V SEKOLAH DASAR KANISIUS KALASAN, SLEMAN TAHUN AJARAN 2011/2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Yohanes Hendro Pranyoto NIM: 081124010

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

semua orang yang telah ikut membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada orang tua, keluarga, seluruh dosen IPPAK-USD dan teman-teman yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk berkembang

selama menjalankan tugas perutusan studi di Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

(5)

v MOTTO

Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan dirinya sendiri.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul PENGARUH PEMBIASAAN REFLEKSI PADA AKHIR PEMBELAJARAN TERHADAP KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR KANISIUS KALASAN SLEMAN TAHUN AJARAN 2011/2012. Judul ini dipilih berdasarkan idealisme tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 yaitu untuk membentuk pribadi siswa yang berkarakter dan jugafakta bahwa di SD Kanisius Kalasan telah memiliki kegiatan pembiasaan refleksi untuk membantu siswa mengelola emosi mereka. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh pembiasaan refleksi terhadap kemampuan mengelola emosi siswa.

Refleksi adalah suatu proses mengadakan pertimbangan seksama dengan menggunakan daya ingat, pemahaman, imajinasi dan perasaan untuk menangkap makna dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari. Sementara kemampuan mengelola emosi adalah suatu kekuatan yang dimiliki manusia untuk menguasai diri dari situasi emosional agar tercipta keseimbangan emosi dalam diri dan memanfaatkannya untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Perasaan atau emosi merupakan unsur yang penting untuk direfleksikan. Oleh karena itu, kemampuan mengelola emosi dapat dipengaruhi oleh kegiatan refleksi yang menjadi suatu kegiatan pembiasaan di SD Kanisius Kalasan.

Berdasarkan teori di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu, Ho: tidak ada pengaruh pembiasaan refleksi terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman Tahun Ajaran 2011/2012. Ha: ada pengaruh pembiasaan refleksi terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman Tahun Ajaran 2011/2012.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif berbentuk regresi. Populasi dari penelitian ini adalah siswa-siswi kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 66 responden. Instrumen yang digunakan ialah skala sikap yang dikembangkan dalam 25 pernyataan mengenai pembiasaan refleksi dan 25 pernyataan mengenai kemampuan mengelola emosi. Dari hasil uji validitas pada taraf signifikansi 5%, N 66 orang dengan nilai kritis 0,240 diperoleh sebanyak 46 item valid. Sedangkan dari hasil uji reliabilitas diperoleh koefisien alpha sebesar 0,826, yang berarti reliabilitas instrumen tinggi.

(9)

ix ABSTRACT

This thesis is titled THE INFLUENCE OF REFLECTION CONDITIONING AT THE END OF LEARNING ON THE ABILITY TO MANAGE EMOTIONS AMONG THE FIFTH GRADE STUDENTS OF KANISIUS KALASAN SLEMAN ELEMENTARY SCHOOL ACADEMIC YEAR 2011/2012. The choice of this topic is based on the goals of national education delineated in the Law, which is to form the character of the students personality. Besides, the choice is also prompted by the fact that SD Kanisius Kalasan has had cultivated a reflective habit to help the students manage their emotion. Therefore, this paper aims to measure the cultivation of reflective habit on the students ability to manage their emotion.

Reflection is a process that involves memory, imagination and feeling to grasp the meaning of what is learned. While the ability to manage emotion is a human power to pull oneself from the emotional situation in order to get an emotional balance within oneself and use it to get a better quality of life. Feelings are important elements to reflection. Therefore, the ability to manage emotions can be affected by the habit of reflection.

Based on the above theory can be formulated the research hypothesis, Ho: there is no significant influence on the ability to manage emotions from the habit of reflection in the 5th grade students Kanisius Kalasan Elementary School academic year 2011/2012. Ha: there is influence of reflection on the ability to manage emotions in 5th grade students Kanisius Kalasan Elementary School academic year 2011/2012. This research is a quantitative type in a regression model. The population of this research are 5th grade students Kanisius Kalasan Sleman elementary school academic year 2011/2012, in total 66 respondents. The instrument used is the attitude scale, developed in 25 statements about the reflection and 25 statements regarding the ability to manage emotions. The validity test results on the significance level 5%, N 66 people with the critical value 0.240, obtained as many as 46 items are valid. The reliability test results in alpha coefficient 0.826, which means high reliability of the instrument.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah membimbing, menerangi dan mencerahkan penulis dengan Roh Kudus dan Rahmat-Nya yang berlimpah kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH PEMBIASAAN REFLEKSI

PADA AKHIR PEMBELAJARAN TERHADAP KEMAMPUAN

MENGELOLA EMOSI PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR KANISIUS KALASAN, SLEMAN TAHUN AJARAN 2011/2012.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan masukkan bagi pihak sekolah mengenai pentingnya pembiasaan refleksi bagi anak didiknya, salah satunya yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi. Di samping itu skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat keterlibatan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung yang dengan setia mendampingi, memberi motivasi, membimbing dan memberi kritikan yang membangun. Maka dari itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:

(11)

xi

dan memberi semangat dengan penuh kesabaran dan sepenuh hati membimbing dalam seluruh proses penulisan skripsi ini sampai selesai.

2. Drs. L. Bambang H.Y. M.Hum, selaku dosen penguji II yang memberi semangat kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

3. Y.H. Bintang Nusantara, SFK. M.Hum., selaku dosen penguji III yang memberi semangat kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi. 4. Kaprodi IPPAK-USD, Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ., yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk menyusun skripsi dan melakukan penelitian dari awal hingga akhir proses penyusunan skripsi ini.

5. Segenap staf dosen prodi IPPAK-USD, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang mendidik dan mendampingi penulis selama belajar sampai selesainya skripsi ini.

6. Segenap staf karyawan IPPAK-USD khususnya bagian sekretariat yang telah memberikan arahan bagi penulis selama melakukan penyusunan skripsi. 7. Ibu P. Agustin Ria Dewi., selaku kepala sekolah SD Kanisius Kalasan

Sleman yang telah memberi kesempatan dan menolong dengan sepenuh hati kepada penulis untuk mengadakan penelitian di SD Kanisius Kalasan dan juga kepada guru-guru wali kelas V A dan B yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membantu penulis selama proses penelitian.

(12)
(13)

xiii KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...vii

ABSTRAK ...viii

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS ...13

A. Pembiasaan Refleksi ...13

1. Pembiasaan ...13

a. Pengertian Pembiasaan ...13

b. Bentuk-bentuk Pembiasaan ...14

(14)

xiv

2. Refleksi...20

a. Pengertian dan Tujuan Refleksi...20

b. Unsur-unsur Refleksi...23

c. Perasaan Religius dan Pengalaman Religius dalam Refleksi ...29

d. Tahapan dalam Refleksi ...32

e. Bentuk-bentuk Pengungkapan Hasil Refleksi ...36

f. Fungsi Refleksi ...40

3. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar ...42

a. Perkembangan Kognitif ...42

b. Perkembangan Iman ...44

c. Perkembangan Moral...45

d. Perkembangan Emosi ...46

4. Perlunya Pembiasaan Refleksi dalam Proses Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar Ditinjau Menurut Teori Perkembangan Anak ...49

B. Kemampuan Mengelola Emosi ...53

d. Pengertian Kemampuan Mengelola Emosi ...63

e. Kompetensi dalam Mengelola Emosi ...65

f. Cara Mengelola Emosi ...66

g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengelola Emosi ...68

h. Persoalan dalam Mengelola Emosi ...71

3. Pentingnya Kemampuan Mengelola Emosi ...72

C. Penelitian yang Relevan ...74

D. Kerangka Pikir ...75

(15)

xv

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...78

A. Jenis Penelitian ...78

B. Desain Penelitian...78

C. Tempat dan Waktu Penelitian ...79

1. Tempat Penelitian ...79

2. Waktu Penelitian ...79

D. Populasi ...80

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ...81

1. Variabel Penelitian ...81

2. Definisi Konseptual Variabel ...81

3. Definisi Operasional Variabel ...81

a. Pembiasaan Refleksi ...81

b. Kemampuan Mengelola Emosi ...82

4. Teknik Pengumpulan Data ...82

a. Variabel Pembiasaan Refleksi ...90

b. Variabel Kemampuan Mengelola Emosi ...91

F. Uji Persyaratan Analisis ...91

1. Uji Normalitas Data ...92

2. Uji Linieritas Regresi ...92

3. Uji Homokedastisitas ...93

G. Uji Hipotesis ...94

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...95

A. Hasil Penelitian ...95

(16)

xvi

3. Menemukan Nilai dan Makna ...118

4. Merumuskan Niat Kongkrit ...120

D. Pembahasan Hasil Penelitian ...122

E. Keterbatasan Penelitian ...131

F. Usulan Pengembangan Pembiasaan Refleksi Pada Akhir Pembelajaran ...132

1. Latar Belakang Usulan ...132

2. Tema dan Tujuan ...135

3. Usulan Pengembangan Pembiasaan Refleksi Siswa ...137

a. Format Buku Refleksi ...137

b. Usulan Pengelompokan Bahan-bahan Refleksi ...144

c. Usulan Bentuk-bentuk Pengungkapan Hasil Refleksi ...146

d. Usulan Peningkatan Peranan Pendidikan Agama Katolik dalam Pengembangan Pembiasaan Refleksi ...151

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ...165

A. Simpulan ...165

B. Saran...166

DAFTAR PUSTAKA ...169

LAMPIRAN ...172

Lampiran 1 : Koesioner Penelitian ...(1)

(17)

xvii

Lampiran 3 : Analisis Validitas Variabel Kemampuan Mengelola

Emosi ...(7)

Lampiran 4 : Tabel Total Variabel X dan Y ...(8)

Lampiran 5 : Tabel Total Studi Dokumen ...(9)

Lampiran 6 : Tabel Descriptive Statistics ...(10)

Lampiran 7 : Surat Permohonan Penelitian ...(11)

Lampiran 8 : Tabel Nilai Distribusi F...(12)

Lampiran 9 : Descriptive Statistics ...(14)

Lampiran 10 : Correlations ...(15)

Lampiran 11 : Model Summary ...(16)

Lampiran 12 : ANOVA ...(17)

Lampiran 13 : Coefficients ...(18)

Lampiran 14 : Residuals Statistics ...(19)

Lampiran 15 : ANOVA Table ...(20)

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Populasi ...80

Tabel 2 Skor Alternatif Jawaban Variabel X dan Y ...84

Tabel 3 Kisi-kisi Instrumen Pembiasaan Refleksi ...84

Tabel 4 Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Mengelola Emosi ...85

Tabel 5 Kisi-kisi Panduan Studi Dokumen ...86

Tabel 6 Reliability Statistics ...89

Tabel 7 Kriteria Kategori Variabel X...90

Tabel 8 Kriteria Kategori Variabel Y...91

Tabel 9 Descriptive Statistics ...97

Tabel 10 Anova ...97

Tacel 11 Rangkuman Statistik Deskriptif Pembiasaan Refleksi ...99

Tabel 12 Deskripsi Pemberian Informasi Mengenai Refleksi ...100

Tabel 13 Deskripsi Penyediaan Sarana dan Media Pendukung Refleksi ...101

Tabel 14 Deskripsi Pengolahan Bahan Refleksi ...102

Tabel 15 Deskripsi Tindakan Guru ...103

Tabel 16 Rangkuman Statistik Deskriptif Kemampuan Mengelola Emosi ...104

Tabel 17 Deskripsi Pengendalian Emosi...105

Tabel 18 Deskripsi Pengungkapan Emosi dengan Tepat ...107

Tabel 19 Deskripsi Tidak Terpengaruh Emosi Orang Lain ...108

Tabel 20 Descriptive Statistics ...109

Tabel 21 Model Summary ...110

Tabel 22 Anova ...111

Tabel 23 Coefficients...112

Tabel 24 Correlations ...113

Tabel 25 Rangkuman Statistik Deskriptif Kemampuan Refleksi ...115

Tabel 26 Statistik Kemampuan Mengungkapkan Pengalaman ...116

Tabel 27 Deskripsi Kemampuan Mengungkapkan Pengalaman ...116

Tabel 28 Statistik Kemampuan Mengungkapkan Perasaan ...117

(19)

xix

Tabel 30 Statistik Kemampuan Menemukan Nilai dan Makna ...118

Tabel 31 Deskripsi Kemampuan Menemukan Nilai dan Makna ...119

Tabel 32 Statistik Kemampuan Merumuskan Niat ...120

Tabel 33 Deskripsi Kemampuan Merumuskan Niat ...120

Tabel 34 Panduan Refleksi ...140

Tabel 35 Usulan Format Buku Refleksi ...143

(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan dalam Penelitian

ANOVA : Analisys of Variance

Ho : Hipotesis nol

Ha : Hipotesis alternatif

SPSS : Statistical Product and Service Solutions

Std : Standard

Dev : Deviasi

Sig : Signifikansi

B. Singkatan Dokumen Gereja

LG : Lumen Gentium

GS : Gaudium et Spes

C. Singkatan lain

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia IQ : Intellectual Quotient

EQ : Emotional Quotient

SQ : Spiritual Quotient AQ : Adversity Quotient

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

sengaja, teratur dan terencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan

perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana

dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang tercantum

dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

yaitu:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Dari rumusan tersebut ada hal yang sangat penting untuk kita cermati

bersama, pertama bahwa proses pendidikan itu pada dasarnya diarahkan dan

dikondisikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, hal ini

berarti proses pendidikan di sekolah tidak boleh mengesampingkan proses

pembelajarannya. Pendidikan bukanlah semata untuk mencapai hasil atau prestasi

belajar namun proses belajarnya sendiri harus diperhatikan agar seimbang dengan

hasil belajarnya. Siswa justru akan lebih banyak belajar dari proses yang ia lalui

daripada dari materi yang disampaikan kepadanya.

Kedua, akhir dari proses pendidikan adalah siswa memiliki kekuatan

(22)

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Tujuan pendidikan bukan semata-mata prestasi akademik saja, namun dengan

pendidikan diharapkan siswa juga memiliki kepribadian yang baik, kecerdasan

spiritual dan akhlak mulia, keterampilan dan juga pengendalian diri.

Dari gagasan di atas kita telah melihat bahwa pendidikan haruslah

memperhatikan prosesnya dan tidak hanya menekankan hasilnya saja (output).

Melalui prosesnyalah siswa dapat belajar banyak hal-hal praktis, penerapan

konsep dan teori, nilai-nilai dan norma yang secara langsung dialami siswa dan

diaplikasikan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Manfaat pembelajaran

yang diperoleh siswa secara tidak langsung dari proses pembelajaran yang terjadi

itu sering disebut dengan istilah the hidden curriculum. Oleh karena itu, penting

sekali bagi guru untuk mengevaluasi dan merefleksikan bersama siswa

keseluruhan dari proses pembelajaran yang telah dilalui.

Istilah mengajar saat ini bergeser menjadi istilah pembelajaran. Menurut

Sanjaya (2008: 102), pembelajaran dapat diartikan sebagai, “Proses pengaturan

lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang positif

dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.” Jadi,

sudah sangat jelas bahwa orientasi dari tujuan pembelajaran bukanlah

semata-mata prestasi akademik, namun lebih luas dari itu adalah pembentukan

kepribadian siswa ke arah positif sesuai dengan bakat dan latar belakang

masing-masing siswa.

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan pribadi manusia utuh secara

(23)

sekolah sebagai lembaga pendidikan formal digunakan sebagai jalan untuk

mencapai tujuan praktis dan kesuksesan finansial. Maksudnya adalah sekolah

hanya semata-mata dijadikan sarana untuk mencetak siswa atau pelajar yang laku

jual” di dunia kerja. Hal ini memang tidak dapat kita salahkan sepenuhnya karena

memang salah satu tujuan seseorang mengenyam pendidikan adalah memperoleh

pekerjaan. Seperti pendapat Heryanto dalam Sindhunata (2006: 39) yang

menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang bersifat nilai, budaya dan

etika namun sekaligus bersifat materi, kelembagaan, kebendaan serta duniawi.

Masalahnya adalah seringkali penempatan kedua unsur ini tidak berjalan

seimbang.

Ketidakseimbangan tersebut disebabkan karena pada umumnya

sekolah-sekolah saat ini memang lebih didikte oleh pasar kerja. Maka tentu saja proses

pendidikan lebih berkiblat pada tuntutan dunia kerja sekarang. Apakah hal ini

merupakan jawaban dari tantangan dunia pendidikan yaitu untuk mencetak pribadi

yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara?

Jika tujuan pendidikan bagi anak didik saat ini adalah untuk meraih

prestasi akademik saja, maka seseorang dituntut harus memiliki nilai akademik

yang tinggi. Hasil belajar itu diukur dengan berbagai ujian skala sekolah hingga

tingkat nasional. Hasil akumulasi skornya sangat menentukan tidak hanya

(24)

Banyak orang menilai bahwa kesuksesan seseorang dapat diukur melalui

tingkat IQ-nya. Namun penelitian terkini dalam dunia psikologi menyebutkan

bahwa taraf kecerdasan intelektual bukan merupakan satu-satunya faktor yang

menentukan keberhasilan seseorang. Dalam kenyataannya di sekolah maupun di

masyarakat seringkali kita jumpai orang yang memiliki kecerdasan intelektual

tinggi namun kurang berhasil dalam usahanya malahan seringkali gagal ketika

mencoba merintis suatu usaha. Namun sebaliknya seseorang yang tidak memiliki

IQ tinggi seringkali menjadi pengusaha atau wiraswasta sukses dan memiliki

banyak kolega karena ia memiliki kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2000:

44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya mampu menyumbang 20% bagi

kesuksesan seseorang, sedangkan 80% adalah sumbangan dari lain, diantaranya

adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ).

Martin (2008: 42) menuliskan hasil risetnya mengenai hubungan IQ dan

EQ. Penelitiannya terhadap siswa-siswi yang memiliki IQ tinggi di beberapa

SLTP di Yogyakarta dikaitkan dengan pembelajaran matematika di sekolah

menunjukkan hasil bahwa sebagian besar dari mereka gagal dalam ujian bukan

karena kecerdasan mereka kurang namun karena faktor-faktor perasaan seperti

rasa cemas menghadapi ujian, rasa tidak senang terhadap guru bidang studi, dan

sebagainya.

Implikasinya dalam proses belajar siswa, IQ tidak dapat berfungsi dengan

baik tanpa partisipasi pengelolaan emosi diri. Oleh karena itu, keseimbangan

antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah

(25)

cenderung memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa

gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan

dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara

tepat. Bila seseorang memiliki IQ tinggi namun kecerdasan emosionalnya rendah

maka sulit untuk berkembang. Kondisi sebaliknya dialami oleh orang yang

memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Salah satu aspek dalam kecerdasan emosional (EQ) yang menarik untuk

diteliti adalah kemampuan mengelola emosi diri. Kemampuan mengelola emosi

seperti diungkapkan dalam uraian sebelumnya, ikut menentukan kesuksesan

seseorang dalam suatu pekerjaan. Pengelolaan emosi yang baik merupakan kunci

menuju kesejahteraan emosi (Goleman, 2000: 77). Selain itu alasan saya mengapa

memilih pengelolaan emosi dalam proses pembelajaran itu penting juga didasari

oleh pendapat Lanur dalam Sindhunata (2006: 187) yang mengatakan:

“Sebagai makhluk jasmani, manusia tidak terlepas dari do

rongan-dorongan naluri dan nafsu-nafsu. Namun, manusia juga makhluk rohani. Karena itu dorongan-dorongan tersebut seharusnya dapat diatur dan dikuasai oleh daya jiwanya. Karena itu, adalah penting untuk menanamkan disiplin dalam pendidikan.”

Maka dalam dunia pendidikan pun harus diselaraskan antara kebutuhan

jasmani dan rohani anak didik melalui suatu proses pendisiplinan. Salah satu

caranya ialah dengan suatu cara yang saya sebut di sini dengan istilah pembiasaan.

Kemampuan anak didik dalam mengelola emosi mereka, dibentuk oleh sekolah

melalui suatu usaha pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran. Melalui

pembiasaan refleksi ini, diharapkan anak didik dapat mengelola emosinya secara

(26)

Yayasan Kanisius sebagai sebuah yayasan yang berkarya dalam dunia

pendidikan di Indonesia yang bernaung dalam bimbingan Serikat Yesus (SJ) telah

berusaha merintis paradigma pedagogi reflektif dalam dunia pendidikan mereka.

Refleksi sebagai salah satu cara untuk menilai atau mengevaluasi diri maupun

proses pembelajaran, sangat bermanfaat sebagai sarana pembelajaran nilai-nilai

yang akhirnya berpengaruh terhadap kemampuan penguasaan dan aplikasi materi

serta penyadaran diri baik guru maupun siswa sendiri.

Paradigma pedagogi reflektif ini diaplikasikan dalam pembelajaran di

sekolah melalui kegiatan refleksi pada akhir pembelajaran. Melalui pembiasaan

refleksi ini diharapkan proses pembelajaran mampu memberikan kontribusi yang

efektif bagi perkembangan pribadi dan kecerdasan siswa utuh secara integral tidak

hanya dari aspek intelektual namun juga emosional.

Pengalaman penulis di SD Kanisius Kalasan Sleman sewaktu PPL pada

semester V tahun ajaran 2010/ 2011, melihat bahwa SD Kanisius Kalasan Sleman

telah menerapkan pedagogi reflektif ini. Paradigma pedagogi reflektif ini

diaplikasikan dalam proses pembelajaran salah satunya ialah dengan cara

memberikan waktu khusus bagi siswa di akhir pembelajaran untuk menuliskan

refleksi mereka mengenai proses belajar yang telah berlangsung selama di sekolah

dan juga hal-hal lain di luar proses belajar yang terjadi di buku refleksi mereka

masing-masing. Oleh karena itu, pada penulisan ini, penulis merasa tertarik untuk

meneliti lebih lanjut mengenai, “Pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir

pembelajaran terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V SD

(27)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan

masalah penulisan sebagai berikut:

1. Kecenderungan pendidikan saat ini berorientasi pada prestasi akademik

sehingga usaha pencapaian tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi yang

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan tidak berjalan seimbang.

2. Evaluasi atas hasil belajar siswa kebanyakan mengambil dari materi yang

disampaikan dan kurang memperhatikan evaluasi atas proses pembelajaran

yang sebenarnya sangat berpengaruh bagi siswa.

3. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih banyak digunakan sebagai jalan

untuk mencapai tujuan praktis dan kesuksesan finansial, yaitu sebagai sarana

untuk mencetak outputyang “laku jual” di dunia kerja.

4. Ada faktor selain kecerdasan intelektual (IQ) yang ikut menentukan

kesuksesan yaitu kecerdasan emosional (EQ). Hal inilah yang kurang disadari

oleh sebagian besar institusi pendidikan.

5. Salah satu faktor dalam EQ yang penting namun kurang mendapat perhatian di

sekolah yaitu kemampuan mengelola emosi. Pada umumnya siswa tidak

mendapatkan pemahaman dan keterampilan dalam mengelola emosinya di

sekolah tempat ia menuntut ilmu.

6. Paradigma pedagogi reflektif melalui pembiasaan refleksi pada akhir

pembelajaran sebagai suatu usaha mengolah emosi siswa secara positif belum

(28)

C. Pembatasan Masalah

Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas,

penulis memilih dua aspek yang akan dikaji yaitu mengenai proses pembelajaran

di sekolah dan kecerdasan emosional siswa. Mengingat luasnya aspek yang dikaji

dalam proses pembelajaran di sekolah dan juga dimensi kecerdasan emosional

yang cukup luas. Maka penulis membatasi penulisannya pada pembiasaan refleksi

pada akhir pembelajaran dan kemampuan siswa dalam mengelola emosi dengan

tujuan agar penulisan dapat lebih terfokus dan mendalam.

Oleh karena itu, judul penulisan ini dibatasi pada, “Pengaruh pembiasaan

refleksi pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan mengelola emosi pada

siswa kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman Tahun Ajaran 2011/2012.” Penulisan

ini akan lebih melihat pengaruh yang ditimbulkan dari kegiatan menuliskan

refleksi pribadi siswa pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan mereka

mengelola emosi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah disampaikan di atas, maka

rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembiasaan refleksi siswa kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman?

2. Bagaimana kemampuan mengelola emosi siswa kelas V SD Kanisius Kalasan

(29)

3. Seberapa besar pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran

terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V SD Kanisius

Kalasan Sleman?

E. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Mendeskripsikan pembiasaan refleksi siswa-siswi kelas V SD Kanisius

Kalasan Sleman.

2. Mendeskripsikan kemampuan mengelola emosi siswa-siswi SD Kanisius

Kalasan Sleman.

3. Mengetahui seberapa besar pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir

pembelajaran terhadap kemampuan mengelola emosi pada siswa kelas V SD

Kanisius Kalasan Sleman.

F. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan mengenai pengaruh

pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan mengelola

emosi pada siswa ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi kepala sekolah dan para guru di SD Kanisius Kalasan

Mendorong kepala sekolah untuk terus melestarikan dan membudayakan

pembiasaan refleksi tidak hanya untuk siswa-siswi saja namun juga untuk

guru-guru khususnya untuk proses pembelajaran yang telah mereka lakukan bersama

(30)

terus mengupayakan pembinaan atau pengarahan pada anak didiknya dalam

menuliskan refleksi mereka atas proses pembelajaran yang telah berlangsung.

2. Bagi siswa-siswi kelas V SD Kanisius Kalasan

Memberikan masukan bahwa pembiasaan refleksi yang mereka lakukan di

setiap akhir pembelajaran sangat penting dan mendukung perkembangan

kemampuan mengelola emosi mereka. Dengan demikian penulisan ini diharapkan

mampu mendorong siswa untuk lebih serius, objektif dan kritis dalam menuliskan

refleksi demi perkembangan kemampuan mengelola emosi mereka.

3. Bagi penulis

Menambah pemahaman akan pentingnya refleksi tidak hanya atas proses

pembelajaran saja namun juga refleksi atas berbagai pengalaman atau peristiwa

dalam hidup ini. Melalui refleksi atas peristiwa dan kejadian tersebut mampu

semakin memperkembangkan dan mendewasakan diri terlebih dari aspek

emosional.

Dari aspek pedagogis, melalui pengalaman meneliti dan mendalami

pengaruh pembiasaan refleksi pada akhir pembelajaran terhadap kemampuan

mengelola emosi siswa ini, penulis juga semakin dimampukan untuk

mempersiapkan penulisan, mencari data-data penulisan yang relevan, mengolah

data penulisan dan menyajikan hasil penulisan dengan lebih baik.

4. Bagi institusi pendidikan lainnya

Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

lembaga pendidikan agar lebih memperhatikan dan memberikan waktu kepada

(31)

kebiasaan menuliskan refleksi pada akhir pembelajaran. Masih banyak

sekolah-sekolah kurang memperhatikan kegiatan refleksi pada akhir pembelajaran bagi

siswa-siswinya.

G. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis berdasarkan

penulisan. Data yang dibutuhkan dikumpulkan menggunakan angket berskala

yang jawabannya bersifat tertutup. Selain itu penulis juga mengembangkan

refleksi pribadi dengan bantuan buku-buku pendukung.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis

akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan.

BAB I berisi pendahuluan, yang meliputi latar belakang, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II berisi tinjauan teoritis dan hipotesis yang meliputi pembiasaan

refleksi dan kemampuan mengelola emosi, penelitian yang relevan, kerangka pikir

dan hipotesis. Pembiasaan refleksi terdiri dari pengertian pembiasaan, pengertian

refleksi, teori perkembangan anak usia sekolah dasar dan perlunya pembiasaan

refleksi dalam proses pembelajaran siswa. Kemampuan mengelola emosi terdiri

dari pengertian kemampuan, pengertian emosi, pengertian kemampuan mengelola

(32)

yang mempengaruhi kemampuan mengelola emosi, persoalan dalam mengelola

emosi dan perlunya kemampuan mengelola emosi.

BAB III menjelaskan metodologi penelitian yang meliputi jenis

penelitian, desain penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi, teknik dan

instrumen pengumpulan data, uji persyaratan analisis dan hipotesis.

BAB IV menguraikan tentang hasil penelitian yang terdiri dari uji

persyaratan analisis, deskripsi data hasil penelitian, uji hipotesis, pembahasan

hasil penelitian, keterbatasan penelitian, usulan program dan contoh pelaksanaan

program rencana pembelajaran Pendidikan Agama Katolik.

BAB V penulis menyampaikan tentang kesimpulan penulisan yang terdiri

(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pembiasaan Refleksi

Variabel pembiasaan refleksi ini terdiri dari dua aspek yaitu pembiasaan

dan refleksi yang masing-masing memiliki pengertiannya tersendiri. Maka dari itu

pada bagian ini akan diulas secara tersendiri mengenai apa itu pembiasaan dan

refleksi sebelum kita memahami secara keseluruhan apa itu pembiasaan refleksi.

1. Pembiasaan

a. Pengertian Pembiasaan

Menurut Syah (2006: 45), pembiasaan dalam proses pembelajaran adalah

suatu proses yang berlangsung dengan jalan membiasakan anak didik untuk

bertingkah laku, berbicara, berpikir dan melakukan aktivitas tertentu menurut

kebiasaan yang baik. Kebiasaan yang baik tentu saja menurut norma, nilai dan

peraturan yang dianggap baik oleh masyarakat. Dari pengertian Syah tersebut kita

tahu bahwa pembiasaan adalah suatu proses untuk membuat anak didik menjadi

terbiasa dalam berpikir dan berbuat sesuatu, dengan kata lain sikap, perbuatan dan

pola pikir yang baik itu mampu menjadi kebiasaan bagi anak didik tersebut.

Makmun dalam Syah (2006: 69) mendefinisikan pembiasaan sebagai

kegiatan yang dikondisikan untuk selalu ditampilkan, pembiasaan adalah proses

pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap melalui pengalaman yang

(34)

yang relatif menetap itu disebut sebagai kebiasaan. Gagasan Makmun ini senada

dengan yang diungkapkan oleh Syah, bahwa pembiasaan merupakan suatu proses

untuk membentuk suatu sikap dan perilaku agar menjadi kebiasaan.

Menurut Kartono (1996: 101-105), ciri-ciri sikap atau tingkah laku yang

sudah menjadi kebiasaan adalah:

1) Relatif tetap atau tidak berubah.

2) Tidak memerlukan fungsi berfikir yang cukup tinggi.

3) Bukan merupakan proses kematangan individu, tetapi sebagai hasil dari

pengalaman atau proses belajar.

4) Tampil secara berulang-ulang sebagai respon terhadap stimulus yang sama.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai pembiasaan tersebut, dapat

ditarik sebuah kesimpulan bahwa pembiasaan adalah suatu proses yang

membutuhkan waktu lama untuk mengondisikan siswa agar mampu berperilaku,

bertindak dan berpikir dengan cara-cara yang relatif tetap dan konsisten.

Pembiasaan merupakan suatu cara untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baru

atau perbaikan dari kebiasaan-kebiasaan yang telah ada.

b. Bentuk-bentuk Pembiasaan

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2005: 3)

menerangkan dalam proses pembiasaan di sekolah sebagaimana yang telah

diperkenalkan dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) terdiri dari empat

(35)

1) Kegiatan Rutin

Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan secara reguler, baik di

sekolah maupun luar sekolah. Kegiatan rutin bertujuan untuk membiasakan anak

mengerjakan sesuatu dengan baik. Adapun contoh kegiatan rutin sebagai bagian

dari kegiatan belajar pembiasaan adalah upacara bendera, senam, pemeriksaan

kerapian, doa pagi, menuliskan refleksi, renungan Jumat pertama dan lain-lain.

2) Kegiatan Spontan

Kegiatan spontan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memberikan

pendidikan yang bersifat langsung terutama dalam disiplin dan sopan santun serta

kebiasaan baik lainnya. Meskipun kegiatan bersifat spontan namun diharapkan

agar anak didik melakukan kegiatan tersebut. Adapun contoh kegiatan spontan

sebagai bagian dari kegiatan belajar pembiasaan adalah memberi salam pada guru

sebelum dan sesudah pulang sekolah, membuang sampah pada tempatnya,

mencuci tangan sesudah beraktivitas, mengembalikan peralatan atau media belajar

pada tempatnya dan lain-lain.

3) Kegiatan Teladan

Kegiatan teladan adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam

memberikan contoh sikap dan perbuatan yang baik dan benar kepada anak

didiknya. Kegiatan teladan bertujuan memberikan contoh tentang kebiasaan yang

baik kepada siswa. Adapun contoh kegiatan teladan sebagai bagian dari kegiatan

belajar pembiasaan adalah berpakaian rapi, memuji hasil kerja yang baik, datang

(36)

4) Kegiatan Terprogram

Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang telah diprogramkan dan

direncanakan secara matang di tingkat kelas atau sekolah. Kegiatan ini dapat

bertujuan untuk memberikan wawasan tambahan pada siswa dan juga pendidikan

kerohanian bagi mereka. Adapun contoh kegiatan terprogram sebagai bagian dari

kegiatan belajar pembiasaan adalah rekoleksi dan retret bagi siswa-siswi tiap

kelas, ziarah, kunjungan ke panti asuhan, bakti sosial, seminar mengenai bahaya

narkoba atau seksualitas, lomba-lomba, dan lain-lain.

Keempat bentuk pembiasaan di atas dilaksanakan di sekolah sebagai

bagian dari usaha pembentukan kebiasaan yang baik bagi siswa-siswi.

Pelaksanaan kegiatan pembiasaan ini diharapkan dapat dilaksanakan mulai

jenjang pendidikan dasar seperti sekolah dasar, taman kanak-kanak dan playgroup

atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal ini sangat penting karena pembiasaan

yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan menjadi

kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah.

c. Teori-teori Pembiasaan Menurut Para Ahli

1) Teori Pembiasaan Klasik

Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang

berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936).

Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan

antara conditioned stimulus, unconditioned stimulus, conditioned response,

(37)

mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari

itu sendiri disebut conditioned response. Adapun unconditioned stimulus adalah

rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, hal itu disebut

unconditioned response (Syah, 2006: 90-96).

Percobaan Pavlov ini menggunakan seekor anjing. Anjing percobaan itu

diikat dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan untuk

mengukur volume air liur yang dikeluarkan. Kemudian Pavlov menekan tombol

bel dan keluarlah semangkuk makanan di hadapan anjing percobaan sementara

anjing itu tidak dapat meraih makanan tersebut. Pavlov kemudian mengukur

volume air liur yang dihasilkan anjing tersebut.

Kemudian dalam percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan bel

(conditioned stimulus) setiap kali ia hendak mengeluarkan makanan

(unconditioned stimulus). Dengan demikian anjing akan mendengar bel dahulu

sebelum ia melihat makanan muncul di depannya. Percobaan ini dilakukan

berkali-kali dan selama itu volume keluarnya air liur pada anjing percobaan

(conditioned response) terus diamati.

Pada awalnya anjing tersebut mengeluarkan air liur hanya setelah melihat

makanan keluar, namun lama-kelamaan air liurnya sudah keluar meskipun anjing

itu hanya mendengar bunyi bel. Pavlov mengamati bahwa latihan ini berdampak

signifikan pada anjing, yaitu air liur anjing akan tetap keluar pada saat mendengar

bel, meskipun tidak ada lagi makanan setelah bunyi bel itu.

Dari hasil percobaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, suatu

(38)

sering diulangi (dibiasakan), maka akan menjadi terbiasa dan mampu dilakukan.

Di sinilah pentingnya menerapkan pembiasaan bagi anak didik dalam proses

belajar, sebab sesuatu pengetahuan atau tingkah laku yang diperoleh dengan

pembiasaan, maka apa yang diperoleh itu akan sangat sulit untuk diubah atau

dihilangkan, sehingga cara ini sangat berguna dan efektif dalam mendidik anak

(Syah, 2006: 96).

Model pembelajaran menurut teori Pavlov ini lebih berorientasi pada hasil

yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan yang dilakukan anak didik selama

proses pembelajaran harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan

supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi suatu kebiasaan. Hasil yang

diharapkan dari penerapan teori belajar Pavlov ini adalah terbentuknya suatu

perilaku yang diinginkan.

2) Teori Pembiasaan Instrumental

Syah (2006: 97-98) menyampaikan teori pembiasaan instrumental menurut

Skinner. Teori pembiasaan operan disebut juga dengan pembiasaan instrumental

(instrumental conditioning) yang diperkenalkan oleh Skinner (1968), seorang ahli

psikologi dari Amerika. Teori tentang pembiasaan operan ini diperoleh Skinner

melalui percobaan terhadap seekor tikus.

Percobaan itu dilakukan Skinner dengan sebuah media kotak, yang

sekarang dikenal dengan istilah kotak Skinner. Di dalam kotak, Skinner

menempatkan tikus dan kaleng tempat makanan. Di luar kotak terdapat semacam

alat untuk menjatuhkan biji-biji makanan ke dalam kaleng. Biji-biji makanan akan

(39)

dipijak oleh tikus secara tidak sengaja. Setiap biji makanan yang jatuh akan

terdengar bunyi "ting” berarti ada makanan yang jatuh ke dalam kaleng tersebut.

Awalnya tikus tersebut menginjak batang besi yang dapat menjatuhkan

makanannya secara tidak sengaja. Namun setelah sekian lama percobaan itu

berlangsung, Skinner mengamati bahwa setiap tikus itu merasa lapar, ia akan

menginjak batang besi yang akan menjatuhkan biji makanan ke dalam kaleng.

Melalui percobaan tersebut, Skinner mengidentifikasi biji makanan itu sebagai

penguat (reinforcer), peristiwa penekanan batang besi disebut peristiwa penguatan

(reinforcement) munculnya makanan disebut rangsangan penguat (reinforcing

stimulus) dan perilaku tikus disebut prilaku yang dibiasakan (conditioned

response).

Dari percobaan tersebut Skinner dapat menarik suatu kesimpulan bahwa

penguatan selalu menambah kemungkinan berkurangnya suatu perilaku yang

tidak diharapkan. Tingkah laku bukanlah sekedar suatu respon yang diberikan

terhadap stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan sengaja yang dapat

dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Maka dari itu untuk memperoleh

hasil yang maksimal, penguatan harus cepat diberikan sebelum tingkah laku lain

yang tidak diharapkan terbentuk.

Aplikasi teori Skinner dalam proses pembelajaran yaitu anak didiklah yang

sebenarnya harus aktif sendiri dan berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap

tantangan dalam belajarnya. Dalam proses pembelajaran itulah peran guru untuk

menuntun dan memperhatikan apa yang diperbuat anak didiknya. Apabila muncul

(40)

sesuai dengan tujuan, supaya pada lain kesempatan perbuatan yang sama akan

ditunjukkan lagi. Perbuatan inilah yang diusahakan menjadi suatu kebiasaan baik

yang akan dilakukan oleh siswa melalui pemberian penguatan oleh guru (Winkel,

1991: 384).

2. Refleksi

a. Pengertian dan Tujuan Refleksi

Pengertian mengenai refleksi disampaikan oleh Trianto (2007: 113) yang

mengatakan bahwa:

“Refleksi adalah cara berpikir tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Melalui refleksi, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.”

Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami refleksi sebagai suatu cara

untuk mengonstruksi pengalaman dan pengetahuan di masa lalu atau yang baru

saja diterima menjadi suatu bentuk pengetahuan yang baru yang mampu

memperkaya struktur pengetahuan yang sudah dimiliki. Dengan demikian,

refleksi juga menjadi suatu kegiatan penting bagi siswa agar mereka lebih mampu

memahami materi pembelajaran dan proses pembelajaran dengan lebih baik.

Menurut James (2009: 20) refleksi adalah suatu proses yang membentuk

dan memperkembangkan orang. Dalam konteks pembelajaran, refleksi ini

membentuk keyakinan, nilai, sikap dan pola pikir anak didik yang mengantar

mereka ke arah komitmen mewujudkan suatu tindakan konkret. Pada saat refleksi,

(41)

arti dan nilai hakiki dari apa yang sedang dipelajari, juga untuk menemukan

hubungannya dengan segi-segi lain dari pengetahuan dan pengalaman dalam

proses mencari kebenaran.

Sementara itu Sanjaya (2008: 268) menjelaskan pengertian refleksi

sebagai, “Suatu proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang

dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa

pembelajaran yang telah dilalui.” Pengertian yang disampaikan tersebut memiliki

makna yang hampir sama dengan pengertian dari Trianto di atas yaitu refleksi

sebagai suatu proses pengendapan pengalaman. Namun yang menarik di sini

bahwa proses refleksi tersebut hendaknya dilakukan melalui suatu tahapan yang

berurutan atau sistematis.

Sanjaya juga menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran yang

kontekstual, guru sebaiknya memberikan waktu bagi siswa di akhir pelajaran

untuk merenungkan atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Melalui

proses refleksi ini, pengalaman belajar siswa akan dimasukkan dalam struktur

kognitifnya yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang

dimilikinya. Gagasannya tersebut semakin menguatkan fungsi refleksi sebagai

suatu cara untuk membantu siswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri melalui

pengalaman dan pengetahuan belajar yang ia miliki.

Berkaitan dengan pengertian dan tujuan refleksi, tim P3MP & LPM

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam buku “Pedoman Model

Pembelajaran Berbasis Pedagogi Ignasian” (2008: 11) yang memaknai refleksi

(42)

“Suatu proses mengadakan pertimbangan seksama dengan menggunakan daya ingat, pemahaman, imajinasi dan perasaan menyangkut bidang ilmu, pengalaman, ide, tujuan yang diinginkan atau reaksi spontan untuk

menangkap makna dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari.”

Dengan demikian tujuan refleksi tidak lain ialah agar siswa semakin

mampu meyakini makna nilai yang terkandung dalam pengalamannya yang

otentik. Mampu meyakini berarti bahwa siswa dapat menggali sendiri dan

mengambil suatu pertimbangan dan keputusan pribadi untuk “yakin sendiri” dan

bukan karena berdasarkan patuh pada tradisi, mengikuti himbauan dan ajaran dari

guru atau taat pada aturan yang ada. Dengan demikian mereka mampu

membentuk pribadi mereka sesuai dengan nilai yang terkandung dalam

pengalamannya tersebut (Subagya, 2008: 43).

Sementara itu Drost (1999: 42-43), menyebutkan bahwa refleksi

merupakan sebuah permenungan atas pengalaman yang telah terjadi. Dalam

permenungan itu orang menimbang-nimbang secara bijak perbuatan atau

peristiwa yang telah ia alami. Hanya dengan merenungkan pengalaman secara

mendalam dan arti atau konsekuensi yang dipelajari, orang dapat maju dengan

bebas dan penuh keyakinan mampu memilih tindakan yang cocok untuk

menunjang pengembangan dirinya sebagai manusia.

Drost menjelaskan bahwa kedudukan refleksi sangat penting dalam pola

pembelajaran Ignasian. Ciri khas dari pola Ignasian bukan hanya uraian mengenai

pengetahuan dan kegiatan yang harus ada dalam proses pembelajaran tetapi

adanya refleksi atas proses dan penggambaran dari hubungan antara pengajar dan

pelajar yang diwujudkan dalam aksi. Drost (1999: 44) menegaskan bahwa dalam

(43)

hidup beriman serta menyadari campur tangan dan penyertaan Tuhan dalam hidup

dan peristiwa sehari-harinya.

Dari berbagai pernyataan atau uraian mengenai pengertian dan tujuan

refleksi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa refleksi pada hakikatnya adalah

suatu proses di mana seseorang berusaha mengingat atau merenungkan, mengolah

dan menimbang-nimbang kembali suatu pengalaman tertentu dengan tujuan untuk

menemukan nilai atau makna yang hakiki dibalik suatu peristiwa yang telah

terjadi. Kesadaran akan nilai hakiki tersebut tidak cukup berhenti pada aspek

kognitif ataupun afektif dalam diri siswa, namun lebih jauh dari itu, tujuan dari

refleksi ialah untuk pengembangan diri manusia yang utuh secara integral.

Integral berarti mengantar seseorang pada kedalaman hidup beriman yaitu

relasinya dengan Tuhan (aspek vertikal) dan juga relasinya dengan manusia

(aspek horizontal).

b. Unsur-unsur Refleksi

1) Unsur-unsur Subyektif

Bertolak dari uraian yang sudah disampaikan sebelumnya, berikut penulis

menyampaikan lima unsur subyektif refleksi menurut James (2009: 20-25) yang

kedudukannya sangat penting agar refleksi dapat berjalan sebagaimana mestinya.

a) Manusia

Manusia menjadi unsur pertama dan utama dalam refleksi. Sebab

unsur-unsur yang lain merupakan hakikat dari manusia itu sendiri. Manusia adalah

(44)

hanya dapat dilakukan oleh manusia dan dari manusia itu sendiri. Seperti kita tahu

bahwa hanya manusia sajalah makhluk yang dianugerahi oleh Tuhan kemampuan

untuk berefleksi karena manusia memiliki kodratnya sendiri sebagai makhluk

yang berakal budi.

b) Akal budi

Unsur yang kedua dalam kegiatan refleksi adalah akal budi. Unsur ini

merupakan dimensi konstitutif (harus ada) selain unsur pertama. Secara normal

atau alamiah, semua manusia dapat melakukan refleksi karena ia secara kodrat

adalah makhluk yang berakal budi, kecuali bagi sebagian kecil orang yang

mengalami gangguan kejiwaan tentu akan kesulitan untuk melakukan refleksi.

Dengan akal (daya pikir) yang ia miliki, manusia dapat berpikir dengan

baik, menganalisis suatu persoalan, mengidentifikasi sesuatu dan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kritis atas suatu permasalahan. Jose dalam Syah (2006: 46)

menjelaskan mengenai akal sebagai kemampuan untuk memahami sesuatu,

dengan akal manusia dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya

dengan lingkungan, juga dapat mengembangkan konsepsi mengenai watak dan

keadaan diri sendiri, serta melakukan tindakan yang bersifat antisipatif.

Sedangkan peranan budi atau yang biasa disebut dengan hati nurani (suara

hati), juga sangat esensial dalam refleksi. Suara hati ialah kemampuan manusia

untuk menyadari tugas moral dan untuk mengambil keputusan moral (KWI, 1996:

13). Melalui suara hatinya, manusia dapat melakukan suatu penilaian moral dan

(45)

hati merupakan pedoman dan daya pendorong dan penggerak bagi manusia untuk

melakukan suatu tindakan.

Agustian (2001: x1v) mengatakan bahwa hati nurani akan menjadi

pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat.

Hati nurani ini mampu mengaktifkan nilai-nilai dan konsep-konsep diri kita yang

paling dalam dan mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang

dapat kita jalani. Oleh karena itu, penting sekali dalam berefleksi untuk

melibatkan suara hati. Di dalam berefleksi dituntut untuk sampai pada suatu aksi

atau tindakan berdasarkan proses refleksi. Maka agar tindakan tersebut dapat

dipertanggungjawabkan secara moral diperlukan suara hati.

c) Pengalaman

Pengalaman tidak semata menjadi unsur obyektif dalam refleksi meskipun

pada dasarnya pengalaman merupakan suatu realitas konkret yang tidak

terelakkan dalam kehidupan manusia. Namun di dalam konteks kebudayaan,

pengalaman dapat menjadi unsur subyektif. Pengalaman inilah yang membentuk

setiap manusia memiliki suatu kekhasan atau keunikan dibandingkan dengan

manusia yang lainnya (memberi identitas terhadap dirinya).

Dalam konteks kebudayaan, pengalaman akan memberikan suatu kerangka

atau bingkai bagi seseorang dalam berefleksi karena pengalaman akan membentuk

perspektif atau cara pandang seseorang mengenai suatu persoalan. Seseorang yang

tinggal dan hidup di suatu tempat dengan kebudayaan tertentu, secara tidak

langsung pola pikir dan paradigma berpikirnya akan dibentuk oleh

(46)

Melalui internalisasi ini, pengalaman-pengalaman tersebut akan melekat dalam

diri manusia hingga ia dewasa dan menjadi bagian dari dirinya yang membentuk

identitas dirinya. Maka dari itu pengalaman menjadi unsur subyektif dalam

refleksi karena ikut membentuk pribadi manusia sebagai unsur konstitutif dalam

refleksi.

d) Perasaan

Unsur perasaan atau emosi juga sangat penting ketika melakukan refleksi.

Merefleksikan pengalaman tanpa disertai pengolahan emosi maka refleksi akan

menjadi kering dan kurang bermakna atau berkesan. Suatu refleksi menjadi lebih

bermakna atau berkesan bagi seorang reflektor, ketika ia mampu menuangkan dan

mengolah emosinya pada saat berefleksi.

e) Kehendak

Unsur kehendak juga berpengaruh dalam melakukan refleksi. Sebab

bagaimanapun manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan refleksi,

namun kalau tidak didukung dengan keinginan yang kuat maka refleksi tidak akan

pernah terjadi atau berjalan dengan baik.

2) Unsur-unsur Obyektif

Secara obyektif, yaitu obyek yang perlu direfleksikan dalam konteks

pembelajaran di sekolah, Drost (1999: 46-52) menyebutkan terdapat dua unsur

yang penting diperhatikan ketika siswa berefleksi, yaitu konteks belajar dan

pengalaman belajar. Konteks belajar siswa di sekolah mencakup 4 hal pokok,

(47)

a) Konteks nyata dari kehidupan siswa

Konteks yang nyata dari kehidupan siswa ini mencakup hal-hal seperti

keluarga, kelompok sebaya, keadaan sosial, media pembelajaran, dan kenyataan

lainnya. Ini semua perlu diperhatikan apakah menguntungkan atau merugikan

siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini penting agar siswa dilatih untuk

berefleksi atas faktor-faktor kontekstual yang mereka alami dan bagaimana hal itu

mempengaruhi sikap, tanggapan, penilaian dan pilihan mereka.

b) Konteks sosio-ekonomis, politis dan kebudayaan

Konteks ini merupakan lingkungan hidup pelajar dan dapat mempengaruhi

perkembangan pelajar sebagai “orang untuk orang lain.” Maka dari itu konteks

sosio-ekonomis, politis dan kebudayaan perlu untuk diperhatikan dalam berefleksi

agar sisi humanisme siswa dapat lebih terbangun.

c) Lingkungan sekolah

Lingkungan sekolah tersusun atas jaringan-jaringan kompleks dari

norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, harapan-harapan yang tertuang dalam visi dan

misi, hubungan-hubungan dan struktur kelembagaan atau organisatoris yang

menciptakan suasana dan iklim kehidupan di sekolah. Dalam hal ini termasuk

kurikulum pembelajaran yang berlaku, iklim sekolah dan mutu akademis suatu

sekolah. Lingkungan sekolah ini perlu untuk direfleksikan selain dari proses

pembelajaran agar siswa mampu lebih mengenal lingkungan akademis tempat ia

menuntut ilmu. Selain itu juga membantu siswa untuk mengintegrasikan diri

(48)

d) Keadaan awal siswa

Keadaan awal siswa adalah segala pengalaman, pengetahuan dan potensi

yang dibawa siswa sejak awal sebelum mereka masuk ke dalam lingkungan

sekolah seperti pengertian atau pengetahuan, pendapat, perasaan, pemahaman,

sikap dan nilai-nilai. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses

pembelajaran yang sedang dan akan berlangsung. Guru dan siswa perlu menyadari

hal ini agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lebih baik sesuai dengan

keadaan dan potensi masing-masing siswa. Selain guru siswa juga perlu

menyadari keadaan dirinya sendiri agar ia dapat berkembang secara utuh.

Selain konteks belajar, obyek yang perlu direfleksikan siswa dalam proses

pembelajarannya di sekolah adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar siswa

diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung dan dicirikan dengan adanya

pemahaman kognitif dan juga afektif. Hal itu dapat berupa ide-ide, fakta,

pandangan atau opini, teori-teori, sikap dan tanggapan pribadi siswa atas proses

pembelajaran yang sudah berlangsung. Pengalaman belajar siswa ini terdiri dari

dua bentuk, yaitu pengalaman langsung dan tak langsung. Pengalaman langsung

diperoleh siswa dengan cara pengamatan, observasi, uji coba, praktik,

demonstrasi, eksperimen, unjuk karya, proyek, diskusi, penelitian, dan lain-lain.

Pengalaman tidak langsung misalnya dengan membaca, mendengarkan, melihat

film, memaknai peristiwa, menganalisis cerita atau persoalan, melihat berita, dan

lain-lain.

Baik pengalaman langsung maupun tidak langsung sangat penting bagi

(49)

disebut dengan the hidden curriculum, dan justru terkadang inilah yang paling

berkesan atau mengena dalam diri siswa namun terkadang kurang begitu disadari

baik oleh guru maupun siswa sendiri. Oleh karena itu, melalui kesempatan refleksi

inilah siswa diajak untuk memaknai dan menggali pengalaman-pengalaman apa

saja yang telah ia peroleh namun selama ini belum mereka sadari.

Dari uraian mengenai unsur-unsur refleksi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa refleksi merupakan suatu hasil kombinasi antara berbagai unsur yang

mencakup unsur internal yaitu dari dalam diri manusia sendiri seperti kehendak,

emosi, akal budi dan juga unsur eksternal atau dari luar diri manusia tersebut

seperti konteks dan pengalaman belajar. Untuk mencapai hasil refleksi yang baik

maka diperlukan kerjasama yang sinergis antara unsur-unsur tersebut.

c. Perasaan Religius dan Pengalaman Religius dalam Refleksi

Menurut Crapps (1994: 69-80), refleksi merupakan suatu upaya untuk

menghadirkan kembali pengalaman masa lampau dalam situasi saat ini.

Menurutnya refleksi mampu membawa seseorang pada ingatan kepercayaan,

pemahaman dan pengalaman religiusnya yang baru. Untuk itulah perlu adanya

suatu perasaan religius dalam berefleksi. Perasaan religius inilah unsur lain yang

amat diperlukan dalam refleksi, khususnya dalam pola pembelajaran yang

menganut paradigma pedagogi reflektif.

Menurut Crapps, perasaan religius dan pengalaman religius ini tidak akan

pernah bisa dipisahkan. Orang membutuhkan perasaan religius agar muncul suatu

(50)

perasaan religius itu pada prinsipnya memiliki ciri-ciri pemahaman dan

pengendalian diri. Bahkan perasaan yang pada umumnya disebut emosi destruktif

seperti marah pun dapat disebut sebagai perasaan religius. Asalkan marah yang

dimaksud ialah marah yang terkendali dan dilampiaskan secara positif. Secara

teologis, Edwards menyebut perasaan religius adalah perasaan suci,

bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam roh yang mendorong orang untuk

mempraktekkan keutamaan-keutamaan religius. Keutamaan religius ini adalah

nilai-nilai ajaran religius dari suatu agama yang diyakini dan dipandang amat

baik. Dengan kata lain, perasaan religius mendorong seseorang untuk melakukan

suatu perbuatan-perbuatan berdasarkan ajaran agama yang menjadi suatu

pengalaman religius baginya.

Menurut James (2009: 76), suatu perasaan religius bisa dibedakan dari

perasaan lainnya, perasaan religius melambungkan diri orang yang merasakannya,

hal itu disebabkan karena perasaan religius memberikan suatu kelegaan dan

kepuasan karena mereka merasa bahwa mereka hidup sesuai dengan iman

kepercayaan mereka. Hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukan suatu

tindakan atas dasar iman. James berkesimpulan, bahwa suatu pengalaman iman

atau religius yang muncul sebagai dampak dari perasaan religius mampu

mengubah kehidupan secara total, meski yang diimaninya itu tidak bisa dilihat

dengan mata. Di sinilah letak kekuatan dari perasaan religius dalam refleksi. Oleh

Oleh karena itu, memang sangat diharapkan bahwa refleksi tidak cukup berhenti

(51)

Menurut James pula, ilmu pengetahuan hanya bisa berbicara secara teoritis

yang bersifat universal dan ilmu pengetahuan tidak mampu menjelaskan hal-hal di

luar rasio manusia, tetapi pengalaman religius menjadi kekuatan justru karena

sifatnya yang subyektif. Pendapat James ini semakin menguatkan gagasan bahwa

refleksi harus membantu seseorang untuk menemukan pengalaman religius yang

mampu mengantarnya pada kedalaman hidup beriman.

Pendapat James ini juga senada dengan Konferensi Waligereja Indonesia

(1996: 123-124) mengenai gagasan pentingnya refleksi mengenai pengalaman

religius agar lebih beriman. Iman dan pengalaman religius sama-sama

menyangkut hubungan dengan Allah namun arahnya berbeda. Iman bertolak dari

sabda dan pewahyuan Allah, sedangkan pengalaman religius berpangkal dari

manusia.

Karena itu agar dapat semakin beriman diperlukan suatu refleksi. Orang

tidak dapat mengetahui Allah hanya dengan hati, pengetahuan atau dari

pengalaman hidup saja. Pengetahuan dan pengalaman hidup tersebut perlu untuk

direfleksikan agar menjadi suatu pengalaman religius. Untuk sampai pada

pengalaman religius maka dalam berefleksi diperlukan perasaan religius. Jika

demikian, maka pemahaman mengenai perasaan religius ini sangat sejalan dengan

pengertian refleksi menurut Drost (1999: 44) yang menegaskan bahwa dalam arti

teologis, tujuan refleksi ialah untuk mengantar seseorang menuju kedalaman

hidup beriman serta menyadari campur tangan dan penyertaan Tuhan dalam hidup

(52)

Pendapat Drost ini sejalan dengan paradigma pedagogi reflektif yang

dianut oleh sekolah-sekolah Kanisius. Paradigma pedagogi reflektif atau yang

sering disingkat dengan PPR ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan pribadi

siswa menjadi pribadi Kristiani. Pribadi Kristiani berarti pribadi yang beriman

mendalam dan berani mengupayakan aksi konkret dalam mengupayakan tata

kehidupan bersama yang ditandai dengan ditegakkannya kebenaran, keadilan,

cinta kasih dan menghadirkan damai sejahtera bagi manusia dan alam ciptaan.

Karena itu refleksi pada prinsipnya tidak cukup berhenti pada pemahaman

konsep mengenai suatu materi atau mampu menemukan nilai dari suatu

pengalaman. Namun lebih jauh dari itu, dengan adanya perasaan religius, dapat

membantu seseorang untuk menemukan pengalaman religiusnya. Sehingga bukan

hanya pengetahuan saja yang berkembang, tetapi juga iman seseorang.

d. Tahapan dalam Refleksi

Di dalam proses pembelajaran di sekolah, Trianto (2007: 113-114) dan

Gibbs dalam Finlay (2008: 8-12) menjelaskan tahapan proses refleksi sebagai

berikut:

a) Tahap pertama: mendeskripsikan suatu fakta obyektif (pengalaman)

Pada tahap awal ini, siswa diajak untuk mendeskripsikan pengalaman

belajar yang ia peroleh selama satu hari. Hal ini akan sangat membantu dalam

proses refleksi khususnya bagi siswa sekolah dasar karena mereka akan dibantu

untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai pengalaman yang

(53)

memetakan masalah-masalah yang mereka peroleh selama belajar dan juga

pengalaman-pengalaman mereka yang mengesan.

Pada tahap ini guru dapat membantu siswa dengan pertanyaan-pertanyaan

seperti: Apa yang kamu alami tadi pagi? Apa yang temanmu lakukan ketika kamu

sedang belajar? Apa materi pertemuan kita hari ini? Pada saat bermain tadi kamu

menjadi siapa? Apa yang terjadi ketika air dicampurkan dengan minyak tadi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bersifat membantu siswa untuk mengingat

kembali peristiwa yang mereka alami.

b) Tahap kedua: menyadari dan menanggapi kenyataan yang dihadapi

Pada tahap ini kenyataan atau fakta obyektif mulai didalami dengan suatu

proses berpikir yang kritis untuk mengeksplorasi kesan yang diperoleh selama

pengalaman tadi berlangsung. Lebih jauh dari itu, tahap ini juga berusaha untuk

menggali perasaan dan pendapat yang muncul dalam diri. Misalnya dalam proses

pembelajaran guru memandu siswa-siswinya dengan pertanyaan: Bagaimana

perasaanmu ketika mempelajari materi tadi? Apa yang kamu pikirkan saat

mempraktekkan hal tadi? Apa pendapatmu mengenai uji coba tadi?

Dengan demikian siswa dibantu untuk mengungkapkan perasaan, kesan

dan pendapat mereka selama proses yang mereka alami sebelumnya. Ketika siswa

melibatkan unsur perasaan atau emosi ini, maka siswa akan lebih termotivasi

untuk lebih berperan aktif dan melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Di

dalam refleksi, tidak melulu ditekankan aspek kognitif siswa seperti pengetahuan

belajarnya tetapi yang tidak kalah penting juga ialah aspek emosi atau afeksi

(54)

c) Tahap ketiga: penilaian dan pemaknaan pengalaman

Pada tahap ini siswa mulai menilai suatu pengalaman belajar yang ia

peroleh dari sudut pandang moral, intelektual dan spiritual. Dari sudut pandang

moral, siswa menilai baik dan buruk pengalaman belajar yang telah ia dapatkan.

Dari sudut pandang intelektual, siswa menilai pengalaman belajarnya apakah

bermanfaat atau tidak untuk proses belajarnya atau keberhasilan studinya.

Sedangkan dari sudut pandang spiritual, siswa diajak untuk menyelami

pengalaman belajarnya agar ia dapat lebih beriman.

Tahap ketiga ini merupakan tahap yang paling penting dalam proses

refleksi karena menyangkut beberapa sudut pandang untuk menilai suatu

pengalaman. Refleksi atas proses pembelajaran menuntut siswa untuk tidak hanya

paham betul mengenai materi pembelajaran yang sudah ia peroleh atau sekedar

mampu menemukan nilai moral dari pengalaman belajar yang ia dapatkan. Lebih

jauh dari itu, refleksi menuntut agar siswa dapat menilai pengalaman belajar

mereka dari sudut pandang iman. Untuk itulah pada tahap ini diperlukan adanya

perasaan religius yang mampu mengantar siswa pada suatu pengalaman religius

agar ia dapat lebih beriman.

Seperti diungkapkan oleh Dister (1982: 55-58) bahwa pada prinsipnya

setiap pengalaman itu memiliki unsur religius atau transendental. Namun untuk

dapat melihat dimensi religius tersebut tidaklah setiap orang memiliki kemampuan

yang sama, karena diperlukan kepekaan dalam diri manusia yang disebut dengan

perasaan religius. Sedangkan kadar perasaan religius dalam diri setiap orang ini

Gambar

Tabel 36 Pengelompokkan Bahan Refleksi ........................................................145
Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Variabel Pembiasaan Refleksi
Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Variabel Kemampuan Mengelola Emosi
Tabel 5. Kisi-kisi Panduan Studi Dokumen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan peneliti yang diharapkan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan menggunakan media realia dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV SD