• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pembiasaan Refleksi

4. Perlunya Pembiasaan Refleksi dalam Proses Pembelajaran Siswa

Sekolah Dasar Ditinjau Menurut Teori Perkembangan Anak

Pembiasaan refleksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu upaya untuk menciptakan suatu kebiasaan refleksi bagi siswa. Membiasakan refleksi bagi siswa atas proses pembelajaran memang sangat penting. Menurut penelitian Ertmer dan Newby dalam Hatton (1995: 33), keberhasilan belajar siswa tidak hanya didukung oleh kemampuan kognitifnya saja, namun lebih ditentukan oleh

kemampuannya dalam merefleksikan proses pembelajaran yang didorong oleh kemampuan metakognisinya. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa siswa yang lebih memperhatikan dan mengolah proses pembelajaran, akan jauh lebih berhasil dalam belajar daripada siswa yang selalu berorientasi pada hal-hal teknis, teori-teori dan hasil yang ingin dicapai segera dalam belajar.

Selain itu, penelitian Ertmer dan Newby tersebut juga menunjukkan bahwa refleksi atas proses pembelajaran berdampak sangat positif bagi anak didik karena

akan mengembangkan “kepemilikan” mereka atas materi pembelajaran sehingga akan lebih meningkatkan pemahaman mereka. Maksudnya ialah melalui refleksi, siswa mampu mengonstruksi pengetahuannya sendiri atas materi pembelajaran berdasarkan pengalaman belajar yang ia peroleh. Dengan demikian mereka akan memiliki pemahaman dalam dirinya sendiri mengenai materi pembelajaran.

Karena itu memang sebaiknya hubungan antara refleksi dan pembelajaran tidak dipisahkan. Memang saat ini tidak banyak sekolah-sekolah atau institusi pendidikan yang sedang atau telah mengupayakan pembiasaan refleksi bagi siswa-siswinya sebagai bagian dalam proses pembelajaran. Salah satu sekolah yang telah mengupayakan pembiasaan refleksi dalam proses pembelajaran siswa-siswinya adalah SD Kanisius Kalasan Sleman. SD Kanisius Kalasan Sleman sebagai sebuah institusi pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Kanisius telah menerapkan Paradigma Pedagogi Reflektif (PRR) dalam kurikulumnya. Sehingga dalam proses pembelajarannya mengikuti pola PRR yaitu pengalaman, refleksi dan aksi yang dikawal dengan evaluasi (Subagya, 2008: 51).

Penulis dalam hal ini akan lebih melihat proses pembiasaan refleksi yang dilakukan oleh tenaga pengajar kepada para anak didiknya di SD Kanisius Kalasan Sleman khususnya siswa kelas V. Salah satu upaya guru untuk melaksanakan kegiatan refleksi bagi siswa dalam proses pembelajaran tidak hanya melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif, namun guru juga berupaya untuk membiasakan menuliskan refleksi bagi siswa di akhir pembelajaran.

Pada umumnya siswa disediakan waktu sekitar 10 menit pada akhir pembelajaran (sebelum pulang sekolah) untuk menuliskan refleksi mereka pada buku refleksi pribadi yang sudah disediakan oleh sekolah. Refleksi yang dituliskan oleh siswa tersebut berisi tidak hanya mengenai proses pembelajaran yang sudah diikuti selama di sekolah saja, namun juga mencakup seluruh aktivitas yang dialami siswa mulai dari bangun tidur hingga saat ia menuliskan refleksi.

Siswa diminta dalam refleksinya tersebut tidak hanya menuliskan aktivitasnya saja namun juga diajari untuk memetik nilai baik moral, sosial dan spiritual dari pengalaman-pengalaman yang ia alami itu. Akhir dari refleksi itu ialah suatu rumusan aksi sebagai tindak lanjut yang akan ia lakukan (aksi nyata) berdasarkan hasil refleksinya. Buku refleksi tersebut pada setiap akhir pekan, yaitu hari Sabtu dikumpulkan kepada guru kelas untuk diperiksa dan diberi tanggapan, kemudian akan dikembalikan lagi kepada siswa-siswi.

Bentuk refleksi siswa melalui menuliskan refleksi pada buku refleksi pribadi pada siswa kelas V SD Kanisius Kalasan Sleman tersebut merupakan suatu upaya pembiasaan refleksi dalam pembelajaran. Harapannya ialah agar siswa dapat memiliki kebiasaan berefleksi mengenai pengalaman hidupnya, tidak

hanya pengalaman belajar dan memetik makna atau nilai dari pengalamannya tersebut sehingga pribadi siswa berkembang secara positif (Subagya, 2008: 43).

Jika melihat kajian pustaka yang telah disampaikan sebelumnya, kita akan menyadari pentingnya diupayakan pembiasaan refleksi sejak dini. Hal ini berdasarkan beberapa teori mengenai perlunya refleksi untuk membentuk konstruksi pengetahuan individu (Trianto, 2007: 113), untuk mengantar anak didik untuk mencapai kedalaman hidup beriman (Drost, 1999: 44), dan untuk melatih kemampuan mengelola atau mengendalikan diri (Ekman, 2008: 64-66).

Gagasan mengenai refleksi yang sudah diuraikan di atas jika ditinjau menurut teori perkembangan, anak usia sekolah dasar pada umumnya secara kognitif sudah mampu berpikir logis dalam situasi yang konkret, secara moral orientasi tindakan mereka masih takut pada hukuman dan mencari penghargaan, sedangkan dari segi iman, mereka masih terbatas untuk menerangkan dan menangkap simbol-simbol, cerita dan konsep mengenai Tuhan secara harafiah.

Karena itulah refleksi perlu dibiasakan sejak dini karena akan membantu siswa untuk berpikir secara konkret mengenai pengalaman-pengalamannya dalam belajar yang akan membantunya membentuk struktur kognitifnya sendiri. Siswa tentunya akan lebih mampu untuk memahami materi pembelajaran jika direlevansikan dengan pengalaman hidupnya yang nyata daripada mendengarkan teori yang disampaikan. Oleh karena itu, pengalaman sangat penting menjadi obyek untuk direfleksikan.

Selain itu dari segi moral, siswa dilatih untuk merefleksikan segala pengalaman, entah pengalaman yang baik atau buruk. Seandainya pun siswa

pernah mendapatkan hukuman atau dimarahi guru atau orang tua. Melalui refleksi mereka diajari untuk menyadari kesalahan mereka sendiri dan nilai dibalik hukuman yang ia terima sehingga siswa dari segi moral dapat lebih berkembang ke arah moral konvensional.

Dari segi iman, melalui perasaan religius yang ia miliki dan gunakan selama refleksi. Siswa belajar untuk mengalami penyertaan dan kebaikan Tuhan dalam pengalaman-pengalaman hidupnya. Sehingga mereka lebih mampu menyelami hidup beriman mereka agar lebih beriman. Dari segi perkembangan emosi, siswa kelas V pada usia ini mulai mengembangkan sikap empati kepada orang lain dan juga merasa bersalah ketika mereka melukai orang lain, baik secara fisik ataupun emosional. Oleh karena itu, melalui pembiasaan refleksi, siswa diajak untuk mengolah kembali pengalaman-pengalaman emosional mereka agar dapat mengambil makna dari suatu peristiwa yang mereka alami.

B. Kemampuan Mengelola Emosi

Pada bagian ini, sebelum memahami kemampuan mengelola emosi secara utuh, penulis akan mengulas variabel mengenai kemampuan mengelola emosi dalam dua bagian terlebih dahulu, yang pertama yaitu mengenai kemampuan dan kedua mengenai mengelola emosi.

Dokumen terkait