IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT
4.2.2. Enkapsulasi starter yoghurt dengan komposisi bahan pengisi enkapsulan berbasis pati
Perlindungan tubuh bakteri dari lingkungan yang ekstrim selama penanganan dan penyimpanannya dapat dilakukan secara alamiah oleh suatu bakteri. Enkapsulasi terjadi secara alami pada bakteri ketika sel bakteri tumbuh dan memproduksi EPS (eksopolisakarida) dengan pembentukan kapsul pelindung, mengurangi permeabilitas material yang melewati kapsul guna mengurangi pengaruh lingkungan terhadap ketahanan bakteri, namun jumlah sistesis eksopolisakarida yang dihasilkan kurang untuk melindungi diri mereka dari lingkungannya (Shah, 2002). Enkapsulasi menggunakan enkapsulan, membantu bakteri terlindung dari lingkungannya sebelum bakteri tersebut release ke lingkungannya (Kailasaphati, 2002).
Enkapsulasi kultur campuran (mixed culture Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) dilakukan dengan metode emulsi hasil penelitian sebelumnya dengan menjaga kondisi gelifikasi pada suhu rendah, dengan cara membungkus gelas piala dengan jel es (ice gel) agar relatif dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Rahman et al. (1991) menyatakan bahwa bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus tidak tumbuh pada suhu 10oC.
34
Struktur yang terbentuk dari proses enkapsulasi, yang berada di luar core ( bakteri yang dilindungi) disebut wall. Sistem dalam wall dibentuk untuk melindungi core dan melepaskan core di bawah kondisi spesifik selama keluar-masuknya molekul yang melewati membran (Franjone dan Vasishtha, 1995 dalam Kaliaspathy, 2002). Bahan enkapsulan yang digunakan adalah alginat dan bahan pengisi berbasis pati. Bahan pengisi yang digunakan yaitu high amylose corn starch dan maltodekstrin, mengandung oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat dan pencernaan tidak mengalami gangguan. Bahan pengisi tersebut berfungsi sebagai substrat bagi bakteri untuk melakukan anabolisme dan tidak sebagai substrat bakteri dalam melakukan katabolisme. Kaplan dan Hutkins (2000) menyatakan bahwa bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus bukan merupakan bakteri pemfermentasi oligosakarida khusunya golongan fruktooligosakarida, oleh karena itu bakteri hanya memanfaatkan bahan pengisi sebagai substrat anabolisme.
Komposisi bahan enkapsulan yang digunakan untuk proses enkapsulasi merupakan bahan enkapsulan beserta bahan pengisi yang terpilih (pada penelitian sebelumnya) yaitu alginat 2%: high amylose corn starch 2%; alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4%. Jumlah bakteri yang berhasil dijerap pada beads basah dan beads kering adalah sebagai berikut pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah bakteri terenkapsulasi dalam beads basah dan beads kering Perlakuan komposisi bahan pengisi
enkapsulan
Kultur awal (cfu/g) (basis kering)
Beads basah Beads kering alginat 2% : high amylose corn starch 2% (5.97±0.54) x106 (1.35±0.9) x105
alginat 3%: maltodekstrin 1% (6.52 ±0.03) x106 (6.35±3) x105 alginat 4% (1.77±0.21) x107 (1.8±2.12) x105 * Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05)
* Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)
Berdasarkan hasil statistik (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan terhadap jumlah bakteri dalam beads basah tidak berbeda nyata (P>0.05). Viabilitas bakteri terenkapsulasi tertinggi ditunjukkan oleh bakteri yang dijerap dalam matrik alginat 4% (tanpa bahan pengisi) dan viabilitas terendah oleh alginat 2% : high amylose corn starch 2%. Hal ini menunjukkan viabilitas bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi alginat yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi alginat, maka viabilitas bakteri yang dijerappun semakin tinggi. Mandal et al. (2005) menyatakan bahwa viabilitas bakteri meningkat seiring peningkatan konsentrasi alginat, jumlah viabilitas bakteri tertinggi ditunjukkan oleh bakteri yang dijerap dengan matrik alginat 4% sebesar 109cfu/g .
Hasil yang diperoleh (Tabel 7) menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengisi high amylose corn starch dapat meningkatkan viabilitas bakteri dibandingkan dengan sel bebas. Penggunaan Hi-Maize dalam enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri dibandingkan tanpa penggunaan Hi-Maize (Sultana et al., 2000; Iyer dan Kailasapathy, 2005;). Sultana et al. (2000) menyatakan penambahan high amylose corn starch hingga 2% dapat meningkatkan viabilitas bakteri Lactobacillus casei hingga 4.5x1011cfu/g. Jownonski et al. (1997) menambahkan bahwa kapsul alginat/starch memiliki kemampuan mengkapsul Lactobacillus acidophilus tanpa menurunkan viabilitas bakteri dan kemampuan memfermentasinya. Viabilitas bakteri yang dijerap dengan alginat 2% : high amylose corn starch 2% sebesar 5.97x106 cfu/g.
35
Hasil ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Sultana et al. (2000) yang mampu menjerap bakterinya hingga 1011 cfu/g. Hal ini kemungkinan terjadi karena ditambahkannya gliserol dalam inokulum sebelum dienkapsulasi. Khalil dan Mansour (1998) dalam Rokka dan Pirjo (2010) menyatakan bahwa penambahan skim milk, gliserol dan adonitol dapat memberikan perlindungan terhadap bakteri. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa penambahan gliserol ke dalam larutan alginat sebelum enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri 100-fold dibandingkan jika bakteri hanya dikapsul dengan alginat atau alginat dan pati saja.
Secara keseluruhan, semua perlakuan yang diberikan memberikan peningkatan viabilitas bakteri dibandingkan dengan sel bebas (sebelum dienkapsulasi) yaitu 4.25x105 cfu/ml. Hasil ini mengindikasikan adanya suatu sinergisme antara high amylose corn starch dan maltodekstrin dengan kalsium – alginat selama pembentukan enkapsulasi yang mengakibatkan adanya sistem perlindungan bakteri mix culture Streptococcus thermophilus dengan Lactobacillus bulgaricus .
Berdasarkan hasil statistik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan terhadap jumlah bakteri dalam beads kering tidak berbeda nyata (P>0.05). Viabilitas bakteri selama pengeringan oven 40oC mengalami penurunan. Pada beads kering alginat 2%: high amylose corn starch 2% jumlah bakteri mengalami penurunan 5.82x106 cfu/g, beads kering alginat 3%: maltodekstrin 1% mengalami penurunan 5.84x106 cfu/g dan 1.75x 107 cfu/g pada perlakuan alginat 4%. Penurunan jumlah bakteri terbesar tampak pada bahan enkapsulan alginat 4%, namun penuruanan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Purwadani et al. (2007) yang mengalami penurunan 1.26x1010cfu/ml setelah mengalami perlakuan panas 50oC selama 15 menit. Penurunan dimungkinkan terjadi akibat kontak antara bakteri yang terenkapsulasi dengan oksigen selama proses pengeringan oven 40oC. Naidu dan Clemens (2000) menjelaskan bahwa pada kondisi aerob, BAL mampu memproduksi hidrogen peroksida melalui transport aktif dengan bantuan enzim flavin. Hidrogen peroksida dapat merusak susunan mambran lipid dan meningkatkan permeabilitas membran, hal ini merupakan efek bakterisidal dengan mengoksidasi sel bakteri dan menyebabkan kerusakan asam nukleat dan protein sel. Condon (1987) dalam Talwalkar dan Kailasapathy (2004) menyatakan bahwa akumulasi hidrogen peroksida (H2O2) dalam pertumbuhan aerob dapat menghambat pertumbuhan beberapa Lactobacilli. Talwalkar dan Kailasapathy (2004) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi oksigen seiring dengan penurunan asam laktat di L.acidophilus saat perbandingan laktat dengan asetat di Bifidobakteria menurun.
Mikrokapsul dapat pula dikeringkan dengan spray drying dan freeze drying. Penambahan bahan protectan dalam pengeringan spray dan freeze drying dapat dilakukan untuk meningkatkan viabilitas bakteri (Anal dan Sigh, 2007). Skim milk merupakan protectan yang umumnya digunakan dalam spray drying , karena skim milk dinilai merupakan wall yang lebih baik dibanding gelatin, pati terlarut, dan gum arabic (Lian et al., 2002 dalam Rokka dan Pirjo, 2010). Proses spray drying dikontrol dengan cara pemasukan produk, aliran gas dan suhu. Pengeringan menggunakan spray drying memiliki kelemahan yaitu rendahnya viabilitas bakteri yang dihasilkan dan rendahnya stabilitas bakteri selama penyimpanan (Ananta et al., 2005 dalam Rikko dan Pirjo, 2010). Kim dan Bhowmik (1995) menyatakan bahwa laju ketahanan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus pada pengeringan freeze drying sama menurun seperti spray drying.
Penelitian Harmayani et al. (2001) melaporkan bahwa pengeringan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan spray drying secara berturut turut mengalami penurunan sebesar 3.7x1010cfu/g dan 2.9x1011cfu/g. Besarnya penurunan viabilitas bakteri diakibatkan oleh adanya dehirasi (penurunan Aw) dan inaktivasi panas (Johnson dan Etzel, 1995). Menurut Texeria et
36
al. (1995) hilangnya viabilitas sel selama spray drying juga berhubungan dengan kerusakan komponen sel, membrane sel, dinding sel dan DNA. Sedangkan pengeringan dengan menggunakan freeze drying dilaporkan menyebabkan penurunan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus secara berturut turut sebesar 1010cfu/g dan 2.2x1011cfu/g. Penurunan viabilitas bakteri diakibatkan pada tahap pendinginan sel dan medium untuk mencapai titik pembekuan, pembentukan es intra dan ekstra seluler, meningkatnya konsentrasi solute, lama penyimpanan dan thawing, selain itu disebabkan oleh pengurangan air dalam proses pengeringan (Johnson dan Etzel, 1995). Secara keseluruhan, enkapsulasi bakteri asam laktat memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan sel bebas yang mengalami pengeringan dengan spray drying dan freeze drying. Hasil ini dikarenakan enkapsulasi mencegah kematian sel dari toksisitas bakteri, bead gel alginat menghambat difusi oksigen melalui gel, menciptakan lingkungan anoxic di dalam bead (Talwalkar dan Kailasapathy, 2003).