• Tidak ada hasil yang ditemukan

Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

ENKAPSULASI STARTER YOGHURT (Streptococcus thermophilus

dan Lactobacillus bulgaricus) MENGGUNAKAN BAHAN PENGISI

BERBASIS PATI

SKRIPSI

NORMA ARISANTI KINASIH

F34063301

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ENKAPSULASI STARTER YOGHURT (Streptococcus thermophilus

dan Lactobacillus bulgaricus) MENGGUNAKAN BAHAN PENGISI

BERBASIS PATI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

NORMA ARISANTI KINASIH

F34063301

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi :Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati

Nama : Norma Arisanti Kinasih NIM : F34063301

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si.)

(Prof. Ir. Abubakar,MS)

NIP 19640810 198803 2 002 NIP 19550728 198202 1

001

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP 19621009 198903 2 001

(4)

ENCAPSULATION OF YOGHURT STARTER (Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus) USING STARCH BASED MATERIAL MEMBRAN-COATED

Mulyorini Rahayuningsih, Abubakar and Norma Arisanti Kinasih

Department of Agroindustrial Engineering, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone 62 81332299136, email: norak_kerenz@yahoo.com

ABSTRACT

The viability of lactic acid bacteria (Streptococcus thermophilus and Lactobacillus bulgaricus) in yoghurt is declined during storage. To prevent this condition we need giving protection by encapsulating the bacteria. Encapsulating had been doing by emulsion method. Emulsion method held by emulsify encapsulating material (maize resistant starch and maltodextrin) with vegetable oil (canola oil containing 0,5% tween 80%), with the equivalent of them 1:2:2. 0.1% (cultivated from beginning of log phage) an amount inoculums was added. Emulsion method which used in this research has been modified. The process of adding CaCl2 solution using syringe 23 G (0. 573mm) and

(5)

Norma Arisanti Kinasih. F34063301. Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati. Di bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Abubakar, 2010

RINGKASAN

Yoghurt merupakan salah satu jenis pangan hasil fermentasi Bakteri Asam Laktat (BAL) (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus). BAL merupakan bakteri yang memberi keuntungan bagi manusia, terutama bagi kesehatan saluran pencernaan. Jumlah bakteri asam laktat yang terkandung pada produk minimal adalah 106-108 cfu/ml. Namun, jumlah viabilitas sel bakteri asam laktat pada produk mengalami penurunan selama proses penyimpanan, sehingga khasiat dan rasa produk menurun saat dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk mencegah penurunan viabilitas sel bakteri asam laktat selama penyimpanan. Salah satu caranya yaitu dengan mengenkapsulasi bakteri asam laktat dengan bahan enkapsulan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bahan enkapsulan terbaik yang dapat melindungi BAL serta mengetahui karakteristik yoghurt yang dihasilkan dari bahan enkapsulan terpilih. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor pada bulan April sampai Oktober 2010.

Enkapsulasi BAL dilakukan dengan metode emulsi yaitu dengan mengemulsikan larutan pengkapsul (high amylose corn starch dan maltodekstrin) dalam minyak nabati (canola oil) yang mengandung emulsifier (0,5% tween 80%) dengan perbandingan 1:2:2. Jumlah inokulum yang ditambahkan sebesar 0,1% (dipanen pada awal fase eksponensial). Metode emulsi yang digunakan merupakan hasil modifikasi. Modifikasi metode dilakukan dalam beberapa hal antara lain, cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan menggunakan syringe 23 G dan jarak tetes 10 cm, pemisahan minyak dilakukan dengan bantuan shaker selama 24 jam (waktu gelifikasi). Bahan pengisi enkapsulan berbasis pati berfungsi sebagai substrat bakteri untuk proses anabolisme. Komposisi bahan enkapsulan dan bahan pengisi yang digunakan adalah alginat 2%: high amylose corn starch 2%, alginat 3%: maltodekstrin 1% dan alginat 4%. Pengeringan beads basah yang dihasilkan dikeringkan dengan oven 40oC selama dua jam. Bahan enkapsulan dan pengisi terpilih kemudian diuji lebih lanjut secara kualitatif dan kuantitatif pada pembuatan yoghurt. Pengujian kuantitatif dilakukan dengan membandingkan bahan enkapsulan terpilih dengan starter komersil (yogourmet) dan sel bebas. Pengujian kualitatif dilakukan dengan uji hedonik.

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Enkapsulasi

Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati “ adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan

(7)

BIODATA PENULIS

(8)

© Hak cipta milik Norma Arisanti Kinasih, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut

Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

(9)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Enkapsulasi Starter Yoghurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus) Menggunakan Bahan Pengisi Berbasis Pati dibiayai Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor dan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor sejak bulan April sampai Oktober 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1.Orang tua tercinta (Ayah dan Ibu), saudara kembarku, adikku serta keluarga besar tercinta, atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang sangat berharga bagi penulis.

2.Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. selaku dosen pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

3.Prof. Ir. Abubakar, M.Si. selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan dan masukannya selama ini kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

4.Sri Usmiati, SPT,Msi dan Drs. Hadi Setiyanto atas saran dan bimbingannya.

5.Bapak Marman Wahyudi, Bapak Ato, Ibu Tisna, Ibu Chairani,SSi beserta seluruh staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian lainnya yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

6.Teman terdekat ku, Budi Setiawan yang telah memberikan semangat,dukungan dan doa selama penelitian ini.

7.Agustina Dewi Lestari dan Ari Adrianto (Dadih Under Cover 2010), Eka Marliana (Master Talas) atas segala bantuan dan kekompakkannya selama penelitian ini.

8.Sahabat-sahabat terhebatku Resa Desnasta Syarif, Sanchnaz Desta Oktarina, Dina Nur Fitriyanti dan Nurul Fitriyanti atas semangat dan kegembiraannya.

9.Warga Besar HIMASURYA, IKALUM, IAAS terimakasih atas kebersamaannya di IPB.

10. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang bioindustri.

(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1.YOGHURT ... 3

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT ... 6

2.3. ENKAPSULASI ... 8

III. METODE PENELITIAN ... 16

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 16

3.2. ALAT DAN BAHAN ... 16

3.3. METODE PENELITIAN ... 16

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. PEMILIHAN METODE ENKAPSULASI ... 25

4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT ... 31

4.2.1. Persiapan mikroba ... 31

4.2.2. Enkapsulasi starter yoghurt dengan komposisi bahan pengisi enkapsulan berbasis pati .32 4.3. Aplikasi Bakteri Terenkapsulasi ... 35

4.3.1. Pembuatan Kultur Kerja Yoghurt ... 35

(11)

v

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1. KESIMPULAN ... 41

5.2. SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt ... 4

Tabel 2. Syarat mutu susu segar... 5

Tabel 3. Spesifikasi maltodekstrin ... 11

Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan metode ekstrusi dan emulsi ... 14

Tabel 5. Parameter kuantitatif dan kualitatif perlakuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat ... 28

Tabel 6. Karakteristik beads kering ketiga pengkapsul dan pengisi enkapsulan ... 30

Tabel 7. Jumlah bakteri terenkapsulasi dalam beads basah dan beads kering ... 33

Tabel 8. Hasil pengujian kultur kerja ... 35

(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus ... 7

Gambar 2. Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus ... 7

Gambar 3. Penampakan pati resisten jagung ... 8

Gambar 4. Struktur amilosa dan amilopektin... 10

Gambar 5. Penampakan maltodekstrin ... 11

Gambar 6. Monomer alginat dan ikatan monomer pada alginate ... 12

Gambar 7. Ikatan CaCl2 dengan alginat ... 13

Gambar 8. Diagram alir kegiatan penelitian ... 17

Gambar 9. Modifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003) .. 19

Gambar 10. Prosedur pengujian viabilitas bakteri terenkapsulasi ... 21

Gambar 11. Proses produksi kultur kerja dan yoghurt ... 22

Gambar 12. Rendemen beads alginat 4% yang dihasilkan oleh diameter syringe 20 G, 22G, 23G, 26G, dan 27 G pada jarak tetes 1cm dan 10cm dari larutan emulsi alginat-minyak ... 24

Gambar 13. Emulsifikasi setelah 20 menit pengadukan menggunakan mixer 400rpm, stabilitas emulsi sesaat setelah ditambahkan CaCl2, stabilitas emulsi setelah waktu gelifikasi 30 menit ... 26

Gambar 14. Pemisahan beads basah yang dihasilkan dengan waktu gelifikasi 30 menit dan waktu gelifikasi 24 jam... 26

Gambar 15. Bentuk beads basah alginat 2%: high amylose corn starch 2% ... 28

Gambar 16. Bentuk beads basah yang dihasilkan dari alginat 3%: maltodekstrin 1% dan alginat 4% ... 29

Gambar 17. Presentase penurunan berat beads basah selama pengeringan oven 40oC... 30

Gambar 18. Karakteristik beads kering dari komposisi alginat 2%: pati resisten jagung 2%, alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4% setelah pengeringan dua jam dengan oven 40oC ... 31

(14)

viii

Gambar 20. Penampakan fisik kultur kerja dari perlakuan: alginat 2%: pati resisten jagung

2%, alginat 3%: maltodekstrin 1%, dan alginat 4%... 37 Gambar 21. Penampakan fisik yoghurt dari perlakuan: alginat 3%: maltodekstrin 1%, sel

(15)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pengujian ... 50

Lampiran 2. Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari interaksi jarak tetes dan ukuran syringe ... 51

Lampiran 3. Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan jarak tetes dan ukuran diameter syringe ... 52

Lampiran 4. Rendemen dan ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan komposisi alginat 2%: pati resisten jagung ... 53

Lampiran 5. Uji ragam rendemen beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin ... 54

Lampiran 6. Uji ragam ukuran beads yang dihasilkan dari perlakuan perbedaan komposisi alginat dan maltodekstrin ... 55

Lampiran 7. Presentase penurunan berat beads basah pada pengeringan oven 40oC ... 56

Lampiran 8. Analisis ragam total bakteri pada beads basah ... 57

Lampiran 9. Analisis ragam total bakteri pada beads kering ... 58

Lampiran 10. Analisis ragam waktu koagulasi kultur kerja ... 59

Lampiran 11. Analisis ragam pH pembentukan kultur kerja... 60

Lampiran 12. Analisis ragam total asam pembentukan kultur kerja ... 61

Lampiran 13. Analisis ragam total bakteripembentukan kultur kerja ... 62

Lampiran 14. Analisis ragam waktu koagilasi sempurna yoghurt ... 63

Lampiran 15. Analisis ragam pHpembentukan yoghurt ... 64

Lampiran 16. Analisis ragam total asam pembentukan yoghurt... 65

Lampiran 17. Analisis ragam viskositas pembentukan yoghurt ... 66

Lampiran 18. Analisis ragam total bakteri pembentukan yoghurt ... 67

(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang banyak terlibat dalam proses fermentasi pangan seperti yoghurt dan pangan fermentasi lainnya. Yoghurt merupakan olahan susu yang difermentasi menggunakan bakteri asam laktat kombinasi Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Tingginya minat konsumen mengkonsumsi yoghurt antara lain memiliki efek kesehatan dan umumnya dinilai memiliki rasa yang segar dan enak serta harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat luas.

Viabilitas bakteri asam laktat mengalami penurunan selama proses penanganan starter susu fermentasi, hal ini berakibat terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Enkapsulasi merupakan suatu upaya perlindungan bakteri asam laktat dalam penanganannya relatif mempertahankan viabilitas bakteri tersebut. Selain untuk alasan kesehatan, enkapsulasi juga dilakukan untuk menjaga mutu produk (utamanya makanan terfermentasi seperti yoghurt) sehingga tetap terjaga hingga ketangan konsumen. Teknik enkapsulasi bakteri asam laktat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini relatif dapat meningkatkan ketahanan bakteri selama penyimpanan dan penanganannya.

Selama enkapsulasi kehadiran chelating agents seperti fosfat, laktat, dan sitrat dapat menyebabkan ketidakstabilan beads (manik) sehingga harus dihindarkan. Salah satu upaya untuk meningkatkan stabilitas beads diantaranya dengan penambahan cryoprotectants seperti gliserol, ikatan silang dengan polimer kation (seperti polyethyleneimine dan glutaraldehide), penyalutan dengan khitosan, serta pencampuran dengan pati dan melakukan pengkapsulan atau penyalutan beads. Pada penyalutan beads diperlukan pemilihan enkapsulan yang tepat. Enkapsulan yang digunakan harus memiliki sifat berdifusi yang baik untuk transfer substrat dan produk, sehingga proses fermentasi berjalan dengan baik. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa. Diantara jenis bahan pengisi enkapsulan tersebut, pati merupakan jenis bahan pengisi enkapsulan yang jumlahnya melimpah di Indonesia. Salah satu sumber pati yang melimpah jumlahnya yaitu singkong dan jagung.

Maltodekstrin dan high amylose corn starch merupakan produk turunan singkong dan jagung cocok digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan dalam enkapsulasi bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus karena kedua jenis produk turunan ini dapat berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri. Enkapsulasi diharapkan dapat meningkatkan kestabilan beads bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dan mempertahankan viabilitas kedua bakteri ini dalam starter yoghurt.

1.2. TUJUAN

Tujuan penelitian ini antara lain;

1.Menentukan komposisi pati sebagai bahan pengisi penyalut terbaik yang dapat melindungi dan mempertahankan viabilitas bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. 2.Mengetahui karakteristik yoghurt yang dihasilkan dari starter terenkapsulasi kering (dengan

(17)

2

(18)

3

2.1. YOGHURT

Pengertian yoghurt menurut SNI 2981:2009 adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987) dalam Ambawathy (2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat keasaman yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu yoghurt menurut SNI 2981:2009 disajikan pada Tabel 1. Oberman (1985) dalam Ambawathy (2007) menyatakan bahwa komposisi produk fermentasi bergantung pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme.

Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. Penggunaan starter yogurt sebanyak 2–5% dari bahan yang digunakan. Penggunaan inokulasi starter (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus) memungkinkan terjadinya perubahan laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi dan terbentuknya gumpalan yogurt (Robinson, 1990). Kadar asam yang dihasilkan oleh gabungan kedua jenis kultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur secara individual. Bahan yang diproduksi selama proses fermentasi tidak hanya membantu proses pertumbuhan kultur starter, tetapi juga mempengaruhi karakteristik sensori yogurt yaitu aroma, rasa dan tekstur (Capela , 2006 dalam Zain, 2010).

Bahan baku utama pembuatan yoghurt adalah susu segar. Menurut SNI 01-3141-1998 tentang susu segar menyebutkan bahwa susu murni adalah cairan yang berasal dari puting sapi yang sehat dan bersih diperoleh dengan cara yang benar yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan susu segar adalah susu murni dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniaannya. Syarat mutu susu segar disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt (SNI 2981:2009)

No

.

Kriteria uji Satua

n

Yog-hurt

Yog-hurt

rendah

Yog-hurt

tanpa

Yog-hurt

Yog-hurt

rendah

Yog-hurt

(19)

4

lemak lemak lemak lemak

1 Keadaan

1.

1

Penampakan

- Cairan kental-padat Cairan kental-padat

1.

2

Bau

- Normal/khas Normal/khas

1.

3

Rasa

- Asam/khas Asam/khas

1.

4

Konsistensi

- Homogen Homogen

2 Kadar lemak (b/b) % Min

3.0 0.6 – 2.9

Maks

0.5

Min

3.0 0.6 – 2.9

Maks

0.5

3 Total padatan susu

bukan lemak % Min 8.2 Min 8.2

4 Protein (N x 6,38)

(b/b) % Min 2.7 Min 2.7

5 Kadar abu % Maks 1.0 Maks 1.0

6

Keasaman (dihitung

sebagai asam laktat

(b/b)

% 0.5 – 2.0 0.5 – 2.0

7 Cemaran logam

7.

1

Timbal (Pb)

mg/kg Maks 0.3 Maks 0.3

7.

2

Tembaga (Cu)

mg/kg Maks 20.0 Maks 20.0

7.

3

Timah (Sn)

mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0

7.

4

Raksa (Hg)

mg/kg Maks 0.03 Maks 0.03

(20)

5

9 Cemaran mikroba

9.

1

Bakteri coliform APM/

g atau

koloni

/g

Maks 1.0 Maks 10

9.

2

Salmonella

- Negatif/25 g Negatif/25 g

9.

3

Listeria

monocytogenes

- Negatif/25 g Negatif/25 g

10 Jumlah bakteri starter Koloni

/g Min 10

7

-

Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2009

Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar (SNI 01-3141-1998)

Karakteristik Syarat

Berat jenis (pada suhu 27,5oC) minimum 10.280

Kadar lemak minimum 3%

Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8%

Kadar protein minimum 2.7%

Warna, bau,rasa dan kekentalan tidak ada perubahan

Derajat asam 6-7oSH

Uji alkohol 70% Negatif

Uji katalase maksimum 3(cc)

Angka refraksi 36-38

Angka reduktase 2-5 jam

Cemaran mikroba maksimum

Total kuman 1,000,000 cfu/ml

Salmonella Negatif

E.coli (patogen) Negatif

Coliform 20/ml

Streptococcus Group B Negatif

Staphylococcus aureus 100/ml

(21)

6

Cemaran logam berbahaya maksimum:

Timbal (Pb) 0,3 ppm

Seng(Zn) 0,5 ppm

Merkuri (Hg) 0,5 ppm

Arsen (As) 0,5 ppm

Residu: sesuai dengan peraturan keputusan

Antibiotika bersama Mentri Kesehatan dan

Petisida/insektisida Menteri Pertanian berlaku

Kotoran dan benda asing Negatif

Uji pemalsuan Negatif

Titik beku -0,520 oC s/d -0,560oC

Uji peroxidase Positif

Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1999

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT

Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif, katalase positif, tidak membentuk spora, anaerobik hingga mikrofilik. Kemampuan biosintesanya sangat terbatas sehingga non motil dan perolehan energinya semata-mata hanya bergantung pada metabolisme secara fermentatif. Bakteri asam laktat dikelompokkan menjadi heterofermentatif apabila produk akhirnya terutama adalah asam laktat dan heterofermentatif apabila asam laktat yang dihasilkannya bersama-sama dengan asam asetat, karbondioksida dan senyawa diasetil (Tamime dan Robinson, 1999).

Pemanfaatan BAL pada produksi pangan semakin mengalami peningkatan terutama untuk memfermentasi. Menurut Misgiyarta dan Widowati (2000) BAL yang digunakan dalam fermentasi perlu diseleksi untuk memperoleh isolat yang memiliki kemampuan unggul, sehingga memiliki kelebihan-kelebihan:

1. Memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi.

2. Ketersediaan mikroba terjamin, sebab bersumber dari lingkungan alam Indonesia yang dapat diisolasi dari banyak sumber.

3. Memungkinkan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah untuk industri besar, maupun industri kecil, karena ketersediaan yang cukup serta biaya relatif murah.

(22)

7

terhadap laktosa, serta bile salt hydrolase dapat menurunkan kolesterol serta aktivitas antikarsinogenik dan stimulasi sistem imunitas (Nagao et al., 2000; Schrezenmeir dan de Vrese, 2001).

Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam empedu, mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dapat bertahan pada penyimpanannnya serta memiliki kemampuan memberi efek kesehatan yang sudah terbukti (Shortt, 1999). Syarat minimum jumlah kandungan probiotik pada produk terfermentasi pada negara-negara di Eropa dan Jepang adalah 106-108 CFU/ml, sedangkan jumlah viabilitas sel dalam produk yoghurt minimum sebesar 105-106 CFU/ml (Robinson, 1987; Kurmann dan Rasic, 1991).

2.2.1.

Streptococcus thermophilus

Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan suhu pertumbuhannya yang dapat tumbuh pada suhu 45 oC dan mati pada suhu 10oC (Helferich dan Westhoff, 1980). Tamime dan Robinson (1999) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus adalah 37 – 45 oC. Bakteri ini berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm dan kadang-kadang berbentuk rantai. Streptococcus thermophilus termasuk kelompok bakteri gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana netral dengan pH optimal 6.5 (Helferich dan Westhoff, 1980).

Gambar 1. Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus (www2.unibas.it)

Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus bersifat homofermentatif yang memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa, fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Streptococcus thermophilus memiliki keterbatasan dalam pemanfaatan glukosa, dan fungsi utamanya pada industri susu fermentasi adalah mengkonversi laktosa menjadi asam laktat. Tidak seperti kebanyakan bakteri gram positif lainnya, Streptococcus thermophilus lebih menyukai laktosa sebagai sumber karbon dan penghasil energi dibanding glukosa. Peran utama Streptococcus thermophilus dalam industri susu fermentasi adalah memiliki laju pengasaman yang lebih tinggi dibanding BAL lainnya (Iyer et al., 2009).

Kelemahan dari Streptococcus thermophilus adalah sensitif terhadap lingkungan asam lambung, sehingga tidak dapat tumbuh di usus manusia (Iyer et al., 2009). Oleh karena itu Streptococcus thermophilus tidak dapat digolongkan sebagai bakteri probiotik.

2.2.2.

Lactobacillus bulgaricus

(23)

8

asam laktat ini bersifat anaerob, berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya bersifat homofermentatif.

Gambar 2. Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus (www.novinite.com)

Selama proses fermentasi susu, Lactobacillus bulgaricus memecah laktosa menjadi asam laktat serta menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada susu fermentasi. Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah protein sehingga mudah dicerna dan diserap saluran pencernaan (Chaitow dan Tranev, 1990).

Tamime dan Deeth (1980) menyatakan bahwa Lactobacillus bulgaricus mempunyai aktivitas proteolitik yang cukup tinggi. Aktifitas proteolitiknya yang penting di dalam susu adalah memecah kasein dengan bantuan enzim protease. Enzim ini optimum pada pH 5.2-5.8 dan temperatur 45-50oC, pada pH yang lebih rendah yaitu 4.5 protease tidak dihasilkan.

Dalam proses fermentasi yoghurt Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Streptococcus thermophilus akan menurunkan pH medium yang akan memacu pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Selanjutnya Lactobacillus bulgaricus akan melepaskan asetal dehid, asam asetat, diasetil, valin, glisin, leusin, isoleusin, dan histidin ke dalam medium yang membentuk flavor khas susu fermentasi (Tamime dan Robinson, 1999).

Lactobacillus bulgaricus memiliki kemampuan menghasilkan senyawa yang bersifat bakteriostatik serta mampu menghasilkan senyawa flavor yang khas. Akan tetapi, Lactobacillus bulgaricus tidak tidak dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga tidak termasuk probiotik (Yuguchi et al., 1992).

2.3. ENKAPSULASI

Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core (Young et al.,1995; Frazier dan Westhoff, 1998; Victor dan Heldman, 2001). Enkapsulasi adalah pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dari kondisi lingkungan yang ekstrim (Victor dan Heldman, 2001).

(24)

9

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi pengemasan material padat, cair ataupun gas dalam miniatur pengkapsulan yang dapat melepaskan bahan terkapsul pada laju terkontrol dibawah pengaruh kodisi spesifik (Anal, et al., 2007). Mikroenkapsulasi pada beberapa bakteri probiotik dilakukan untuk meningkatkan viabilitas sel dalam lingkungan asam lambung yang dapat mencapai pH 2. Chandramouli et al. (2003) menyatakan enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa (Vidhyalakshmi et al., 2009). Beberapa penelitian dilaporkan bahwa mikroenkapsulasi menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten (Godward dan Kailasapathy, 2003; Sultana et al., 2000), polimer kappakaragenan (Adhikari et al., 2000) dan polimer protein whey (Picot dan Lacroix, 2004) dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik pada yoghurt selama penyimpanan. Dave et al. (1997) dalam Adhikari (2000) menyatakan bahwa penambahan suplemen seperti cystein, bubuk whey, konsentrat protein whey dan hidrolis asam kasein dapat meningkatkan ketahanan bifidobacteria, namun hanya dalam jumlah yang kecil. Sedangkan Sultana et al. (2000) mengenkapsulasi L. acidophilus and Bifidobacterium spp. menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten menunjukkan penurunan 0.5 log CFU/ml dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu masa penyimpanan yoghurt. Crittenden et al. (2001) menyatakan penambahan bahan pendorong pertumbuhan atau prebiotik seperti pati dan oligosakarida dapat meningkatkan ketahanan bakteri. Beberapa jenis pati yang dapat digunakan sebagai prebiotik antara lain pati resisten dan maltodekstrin.

2.3.1.

High Amylose Corn Starch

Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006) pati dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan respon pati tersebut saat diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly Digestible Starch (RDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah Slowly Digestible Starch (SDS). Seperti juga RDS, Slowly Digestible Starch (SDS) dapat sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan waktu lebih lama.Jenis pati ketiga adalah Resistant Starch (RS) atau pati resiten yaitu fraksi kecil dari pati yang resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara in vitro. Pati resisten atau RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang pati resisten didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006).

(25)

10

Menurut Asp NG (1992) high amylose corn starch (Hi-Maize) termasuk dalam jenis pati resisten tipe II (RS tipe II). Pati resisten ini memiliki kandungan amilosa yang tinggi dan memiliki karekteristik suhu gelatinisasi yang tinggi yaitu di atas 120oC. Pati kentang mentah juga termasuk dalam golongan pati resiten tipe II (RS II), tetapi pati ini memiliki suhu gelatinisasi yang rendah yaitu sekitar 60oC. Beberapa penelitian in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan pati resisten yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan untuk melekat bagi prebiotik (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al. (1998) menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup dan pati resisten beramilosa tinggi mengekskresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih banyak daripada tikus yang tidak diberi pati resisten.

Gambar 3. Penampakan high amylose corn starch (www.kingarturecompany.com)

2.3.2. Maltodekstrin

Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1.4)-glukosidik, sedangkan amilopektin merupakan struktur bercabang terdiri atas ikatan α-(1.4)-glukosidik dengan titik percabangan α-(1.6)-glukosidik (Wilbrahan dan Matta, 1992).

Gambar 4. Struktur amilosa dan amilopektin (www.fmcbiopolymer.com)

(26)

11

sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah. Hidrolisis pati dengan enzim dapat dilakukan dengan α-amilase. Hidrolisis amilosa dengan α-amilase terjadi dengan dua tahap. Tahap pertama degadrasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosan sebagai hasil akhir dan tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat, sedangkan pada molekul amilopektin sebagai produk akhir dan tidak acak. Sedangkan pada molekul amilopektin kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri α-limit dekstrin, serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan α (1.6) glikosidik. Selama proses hidrolisis, terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas dan meningkatnya gula pereduksi.

Produk komersil dari hidrolisis pati diklasifikasikan berdasarkan dekstrosa equivalen (DE). Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum malodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O] (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin DE 5-10 dibuat menurut metode pati singkong dihidrolisis dengan α-amilase (Termamyl 120L) yang mempunyai aktivitas 6147.66 unit/ml pada suhu 85° C selama 65 menit. Untuk menghentikan aktivitas enzim ditambahkan HCl 0.1N sampai pH 3.7 – 3.9. Campuran yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45° C, kemudian dihaluskan, dan terakhir diayak dengan ayakan mesh 100 (Anwar, 2002). Walaupun α-amilase bekerja dengan memotong ikatan pati, namun diduga pati tidak terhidrolisis seluruhnya. Sebagian kecil pati dapat berupa resistant starch yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan yang disebabkan strukturnya berupa kristal tidak larut air.

Gambar 5. Penampakan maltodekstrin (www.wordpress.com)

Menurut Blancard dan Katz (1995) maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis). Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau enzim. Kebanyakan produk ini ada dalam bentuk kering dan hampir tidak berasa. Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri atas campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 – 20.

Blancard dan Katz (1995), menerangkan lebih lanjut sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya larut yang tinggi maupun membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, mampu menghambar kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat. Spesifikasi maltodekstrin disajikan pada Tabel 3.

(27)

12

Kriteria Spesifikasi

Kenampakan Bubuk putih agak kekuningan

Bau Bau seperti malt- dekstrin

Rasa Kurang manis, hambar

Kadar air 6%

DE (Dextrose Euquivalent) 10-20%

pH 4.5 – 6.5

Sulfated ash 0.6% (maksimum)

Total Plate Count (TPC) 1500 cfu/g Sumber: Blancard dan Katz (1995)

Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya antara lain sebagai bahan pengental sekaligus emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah larut pada air dingin. Aplikasi penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi, minuman prebiotik dan produk pangan. Aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada produk makanan beku sbagai pengikat air (water holding capacity) dan berat molekul rendah sehingga dapat mempertahankan produk beku, makanan rendah kalori, produk rerotian, misalnya cake, muffin, dan biskuit, digunakan sebagai pengganti gula atau lemak.

Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan, meningkatkan viskositas, tekstur, dan kekentalan. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam prebiotik (makanan bakteri Probiotik), sangat baik bagi tubuh. secara nyata dapat memperlancar saluran pencernaan dengan membantu berkembangnya bakteri probiotik. Menurut Gibson (2005) maltodekstrin, oligosakarida, inulin, galakto-oligosakarida, polidekstrosa merupakan beberapa komponen prebiotik. Maltodekstrin digolongkan prebiotik dikarenakan maltodekstron mengandung oligoskarida. Maltodekstrin memiliki efek prebiotik dengan ditunjukkannya pada peningkatan konsentrasi bakteri menguntungkan dalam fekal termasuk bifidobacteria pada anjing. Kajian secara invitro pada tikus dan mencit menunjukkan asam lemak rantai pendek dihasilkan dengan adanya maltodekstrin dan juga dapat mencegah infeksi saluran pencernaan.

2.3.3. Alginat

Alginat merupakan bahan dasar yang umumnya digunakan untuk enkapsulasi. Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk gel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk gel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Ferreira et al., 2007). Oleh karena itu, jel alginat dapat digunakan sebagai penyalut.

(28)

13

Gambar 6. (A) monomer alginat (B) ikatan monomer pada alginate (www.fmcbiopolymer.com)

Kailasapathy (1996) menyatakan alginat adalah polisakarida alami yang diekstrak dari alga coklat dan berfungsi meningkatkan viskositas dan daya ikat pada yoghurt. Kation divalent seperti ikatan kalsium dengan alginat dapat meningkatkan viskositas atau bentuk gel tergantung pada konsentrasinya.

Enkapsulasi sel menggunakan sodium alginat telah banyak dilakukan seperti pengikatan kation dengan kalsium pada yoghurt (Kailasapathy, 1996). Penggunaan sodium alginat memungkinkan kapsul yang terdiri atas ruang kosong dapat mengikat ion kalsium pada matriks yoghurt. Ion sodium pada hydro- gel alginat dapat digantikan oleh ion kalsium dan fenomena ini dapat meningkatkan daya retak koagulum pada yoghurt. Interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat dapat menurunkan nilai pH (Onsoyen, 1992). Williams, et al. (2004) melaporkan bahwa interaksi antara protein susu dan peningkatan alginat dapat menurunkan nilai pH.

Proses enkapsulasi sinbiotik menggunakan sodium alginat yang dicampur kedalam larutan CaCl2 menyebabkan Ca2+ bereaksi dengan monovalen anion karboksilat alginat membentuk jaringan tiga dimensi, hal tersebut menyebabkan proses gelatinisasi semakin cepat sehingga viskositas kapsul yang dihasilkan semakin baik (Winarno,1996). Bentuk jaringan tiga dimensi tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Ikatan CaCl2 dengan alginate (www.fmcbiopolymer.com)

Winarno (1996) lebih lanjut menjelaskan Ca2+ memiliki dua ion positif yang akan bergabung dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara ion kalsium itu sendiri dan gugus hidroksil polimer alginat, hal tesebut yang menyebabkan penambahan sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan menyilang yang bersifat hidrofob.

2.3.4 Teknik Enkapsulasi

(29)

14

Enkapsulasi dengan cara ini dapat diterapkan pada produk namun kultur tidak terlindungi oleh lingkungan produk atau selama melalui saluran lambung. Enkapsulasi dengan penjerapan hidrokoloid beads atau sel immobile dalam matriks beads dapat melindungi sel dalam lingkungan saluran lambung (Krasaekoopt et al., 2002).

Teknik enkapsulasi probiotik yang digunakan pada produk susu fermentasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini dapat meningkatkan ketahanan bakteri probiotik hingga 80–95% (Audet et al., 1988; Rao et al., 1989; Sheu dan Marshall, 1991; Sheu dan Marshall, 1993; Sheu, et al., 1993; Jankowski, et al., 1997; Kebary et al., 1998).

Metode ekstrusi dilakukan dengan cara meyiapkan larutan hidrokoloid natrium alginat dan ditambahkan mikroorganisme probiotik, kemudian dimasukkan ke dalam jarum suntik atau syringe needle dan meneteskannya ke dalam larutan CaCl2 sehingga terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum. Pada enkapsulasi dengan metode emulsi, sebagian kecil polimer (alginat) disuspensikan ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al., 2003). Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, adapun kelebihan dan kekurangannya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan metode ekstrusi dan emulsi

Faktor pembanding Ekstrusi Emulsi

Kelayakan teknologi Susah untuk digandakan Mudah untuk digandakan

Biaya Rendah Tinggi

Kemudahan pengaplikasian Tinggi Rendah

Ketahanan mikroorganisme 80-90% 80-95%

Ukuran beads 2-5mm 25µm-2mm

Sumber: Krasaekoopt et al., 2003

Parameter keberhasilan teknik ini berbeda untuk setiap bahan yang akan dienkapsulasi. Enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang relatif tinggi dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dienkapsulasi (Triana et al., 2006).

2.3.4. Enkapsulasi Bakteri Asam Laktat

(30)

15

bakteri sebesar 0.5 log cfu/ml jika dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu waktu penyimpanan yoghurt di suhu 5oC (Sultana et al., 2000).

Penelitian Castila et al. (2009) mengengkapsulasi L. casei dengan metode emulsi dan bahan alginat-pektin menunjukkan bahwa komposisi alginat-pektin terbaik pada semua parameter yang diujikan adalah 1:4 dan 1:6, ketahanan bakteri L. casei dalam yoghurt dan simulasi getah lambung sebanding dengan diameter dan seluruh properti tekstur beads, sedangkan ketahanan bakteri setelah melewati simulasi getah lambung dan garam empedu berkorelasi positif dengan bentuk bulat beads. Enkapsulasi bakteri pada L. casei (Lc-01) dan B. lactis (Bb-12) (0.1%) pada es krim sinbiotik menggunakan metode emulsi dengan bahan enkapsulan 2% alginat dan 2% Hi-Maize menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sel bebas, ketahan bakteri terenkapsulasi meningkat sebesar 30% selama masa penyimpanan 180 hari dan suhu -20oC ( Homayouni et al., 2008). Penelitian Mandal et al. (2005) menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan, konsentrasi alginat terbaik adalah alginat 4%. Purwadhani et al. (2007) menyatakan bahwa enkapsulasi L. acidiphilus SNP 2 menggunakan teknik emulsi menghasilkan ketahanan bakteri yang lebih baik dibanding teknik ekstrusi, jumlah sel probiotik dalam beads metode emulsi sebesar 1010 cfu/ml sedangkan jumlah bakteri dalam beads metode ekstrusi sebesar 109 cfu/ml.

(31)

16

III. METODOLOGI

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai Oktober 2010. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratoriun Kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor.

3.2. ALAT DAN BAHAN

3.2.1. Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi cawan petri, bunsen, tabung ulir, tabung reaksi, mikro pipet, mikroskop (LW SCIENTIFIC type: Revelation III (RV 30AT), quebec coloni counter (Hellige), ose, oven (Imperial V), inkubator (Memmert), laminar air flow (Esco), autoklaf (Hirayama), syringe ( Becton, Dickson and Comapany), gelas piala, mixer (Philips), shaker (IKA, KS260 basic), erlemeyer, rheometer (Brookfield), timbangan analitik (Precisa), pH meter (Eutech), desikator, pipet volumetrik, penangas air, gelas ukur, gelas piala, erlemeyer, buret 10 ml, dan thermometer, serta peralatan untuk pengujian organoleptik, kemasan cup plastik jenis polypropylene (pp).

3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk penelitian pendahuluan ini antara lain;

3.2.2.1. Isolat Bakteri

Isolat yang digunakan meliputi Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Strain yang digunakan adalah isolat bakteri koleksi di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu-Bogor.

3.2.2.2. Media Pertumbuhan

Produksi biomassa sel Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus menggunakan media deMan Rogosa Sharpe Broth (Pronadisa). Sedangkan media pertumbuhan untuk menghitung jumlah koloni Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yaitu deMan Rogosa Sharpe Agar (Pronadisa). Selanjutnya, media untuk pembuatan yoghurt digunakan susu sapi segar (telah diuji kesegarannya melalui uji alkohol) dan starter komersil (yogourmet).

(32)

17

Bahan-bahan yang digunakan untuk proses enkapsulasi antara lain natrium-alginat, CaCl2 (Merck.), high amylose corn starch 260 (Natural-National Starch), maltodekstrin, vegetable oil (canola oil) (mazolla), Tween 80% (Merck), dan NaCl 0.85% (Merck).

3.2.2.4. Bahan analisis

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain; garam fisiologis (NaCl 0.85%) (Merck), alkohol 70%, indikator fenolftalien (PP) 1% (Merck), buffer pH 7 (Merck), NaOH 0.1M, MRS agar (Pronadisa),dan buffer phosphate 0.1M pH 7 (Merck).

3.3. METODE PENELITIAN

(33)

18

TPC (Total Plate Count)

Pengujian yoghurt Pengeringan beads

(t=40oC) Enkapsulasi mikroba

Kultur kerja

Produksi yoghurt Beads kering

TPC (Total Plate Count) Beads basah

Kultur kerja terbaik Komposisi bahan enkapsulan terpilih

Yoghurt Waktu pengeringan

terbaik

Modifikasi metode

Pengujian kultur kerja

mikroba bebas Kultur komersil

Susu segar (setelah uji alkohol)

Persiapan mikroba Mikroba siap untuk dienkapsulasi

[image:33.612.117.512.90.518.2]

TPC (Total Plate Count)

Gambar 8. Diagram alir kegiatan penelitian

3.3.1. Pemilihan Metode Enkapsulasi

(34)

19

(0.573 mm) (4) 22 G (0.644 mm) (5) 20G (0.812 mm). Adapun model linier statistik yang digunakan adalah sebagai berikut.

Yijk = µ + αi+ βj+(αβ)ij + ϵijk i = 1cm, 10 cm (dari larutan alginat-minyak)

j = 27 G (0.361 mm) (2) 26 G (0.405 mm) (3) 23 G (0.573 mm) (4) 22 G (0.644 mm) (5) 20G (0.812 mm)

k = 1,2 Keterangan:

Yijk : rendemen beads pengaruh jarak tetes ke-i, ukuran syringe ke-j dan ulangan ke-k µ : rataan umum

αi : pengaruh jarak tetes syringe dari larutan ke-i βj : pengaruh ukuran diameter syringe ke-j

(αβ)ij : pengaruh interaksi jarak tetes syringe dari larutan ke-i dan ukuran diameter syringe ke-j

ϵijk : komponen acak pengaruh jarak tetes syringe dari larutan ke-i, ukuran diameter syringe ke-j dan ulangan ke-k

Parameter yang diukur pada perlakuan ini adalah rendemen, ukuran, dan bentuk beads basah yang dihasilkan. Pengukuran rendemen dan bentuk beads disajikan pada Lampiran 1. Ukuran beads basah yang dihasilkan dilakukan secara pengamatan visual.

Bahan enkapsulan yang digunakan adalah natrium alginat serta bahan pengisi berupa high amylase corn starch dan maltodekstrin yang berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri. Komposisi bahan pengisi enkapsulan terbaik ditujukan untuk mengetahui komposisi perbandingan antara alginat dengan bahan pengisi maltodekstrin. Komposisi alginat dengan high amylase corn starch mengacu pada penelitian Hamayouni (2003); Sheu and Marshal (1993); Sultana et al. (2000)yaitu 2% : 2%. Penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat dilakukan dengan model linier RAK (Rancangan Acak Kelompok) tiga kali ulangan dan enam taraf dalam satu perlakuannya (perbedaan komposisi) dengan penetapan total padatan sebesar 4%. Enam taraf dalam perlakuannya yaitu berdasarkan komposisi alginat dan maltodekstrin yang antara lain adalah; (1) 1% : 3% (2) 1.33% : 2.67% (3) 2% : 2% (4) 2.67% : 1.33% (5) 3% : 1% dan (6) 4% : 0%. Perbandingan nilai rata-rata dianilisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model linier statistik sebagai berikut.

Yij= µ+α i+βj+ϵij

i = (1) 1% : 3% (2) 1.33% : 2.67% (3) 2% : 2% (4) 2.67% : 1.33% (5) 3% : 1% dan (6) 4% : 0%. j = 1,2,3

Keterangan:

Yij : rendemen dan ukuran beads pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ : rataan umum

βj : pengaruh kelompok ke-j

αi : perlakuan komposisi alginat dan maltodekstrin ke-i

(35)

20

Parameter yang diukur dalam perlakuan ini adalah rendemen, bentuk dan ukuran beads. Pengukuran rendemen dan ukuran beads disajikan pada Lampiran 1. Bentuk beads basah yang dihasilkan dilakukan secara pengamatan visual. Komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih selanjutnya akan digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan bakteri asam laktat pada penelitian penelitian berikutnya.

Komposisi bahan pengisi terbaik yang terpilih kemudian diuji waktu pengeringan optimalnya dengan mengukur berat beads kering setiap jamnya setelah dikeringkan dengan oven suhu 40oC hingga berat beads kering tersebut stabil. Selain itu juga diukur waktu pengiringan alginat 4% tanpa bahan pengisi sebagai kontrol. Modifikasi metode emulsi yang digunakan disajikan pada Gambar 9.

Pencampuran

121o

C,15 menit

Emulsifikasi Mixer 400rpm, 20 menit

Penyaringan Gelifikasi 24 jam Pencampuran 121o C,15 menit Pencampuran 40o C,5 menit Pencampuran

Larutan alginat dan high amylose corn starch (12.5 ml)

Larutan alginat dan maltodekstrin (12.5ml)

Na-alginat 3%(b/b) maltodekstrin 1%(b/b)

Kultur 0,1% (v/v) Vegetable oil mengandung(25ml) 0,5% Tween

high amylose corn starch 2%(b/b)

high amylose corn starch steril Na-alginat steril

Na-alginat 2%(b/b)

Pengeringan oven 40oC

0,1M CaCl2 (25 ml)

Sel terenkapsulasi (beads basah)

Pencampuran

121o

C,15 menit Larutan alginat (12.5ml)

Na-alginat 4%(b/b)

[image:35.612.100.543.169.555.2]

Sel terenkapsulasi (beads kering)

Gambar 9. Modifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003)

3.3.2. Enkapsulasi

Starter

Yoghurt

3.3.2.1. Persiapan Mikroba

(36)

21

difiksasi dan ditetesi dengan methylene blue. Bakteri yang telah diwarnai dicuci dari sisa pewarnaan dan dikeringkan, diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x.

Produksi biomassa sel diawali dengan pembuatan agar miring kultur murni. Kultur murni pada agar miring kemudian dipropagasi pada media deMan Rogosa Sharpe Broth (MRSB) sebagai kultur stok (intermediate culture). Kultur stok yang akan dienkapsulasi dan digunakan sebagai starter sel bebas dipanen pada fase awal eksponensial, yaitu pada jam ke-dua (Suprihanto, 2009). Cara perhitungan kultur yang dipanen pada jam ke-dua disajikan pada Lampiran 1.

3.3.2.2. Enkapsulasi

Starter

Yoghurt dengan Komposisi Bahan Pengisi Enkapsulan

Berbasis Pati

Enkapsulasi starter yoghurt dilakukan menggunakan metode enkapsulasi terpilih (Gambar 9). Komposisi bahan pengisi enkapsulan berbasis pati terpilih dan waktu pengeringan terbaik mengacu pada penelitian sebelumnya. Penentuan bahan pengisi enkapsulan terbaik dilakukan dengan menguji komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih pada proses enkapsulasi bakteri asam laktat dan pada saat pengaplikasian ke dalam kultur kerja. Perhitungan viabilitas bakteri dilakukan pada beads basah dan beads kering. Analisis varian (ANOVA) Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor menggunakan software statistik dilakukan untuk menganalisis viabilitas bakteri pada beads basah dan beads kering. Perbandingan nilai rata-rata dianilisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model linier statistik sebagai berikut.

Yij= µ+α i+βj+ϵij

i = (1) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 2%: pati resisten jagung 2% (2) starter dengan bahan pengisi enkapsulan alginat 3%: maltodekstrin 1% (3) starter dengan bahan enkapsulan alginat 4%.

j = 1,2 Keterangan:

Yij : viabilitas beads basah dan kering pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ : rataan umum

βj : pengaruh kelompok ke-j

αi : perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi ke-i

ϵij : komponen acak pengaruh komposisi alginat dan bahan pengisi ke-i dan kelompok ke-j

(37)

22

Homogenasi t=30 menit

Ditanam pada MRSa

Inkubasi T= 37oC, t= 48 h

Perhitungan mikroba

Homogenasi t=30 menit

Ditanam pada MRSa

Inkubasi T= 37oC, t= 48 h

Perhitungan mikroba

Viabilitas beads basah Viabilitas beads kering

Viabilitas mikroba dalam

beads kering Viabilitas mikroba dalam

beads basah

9,9 ml buffer phospat 0,1 M, pH=7 0,1g beads

kering 9 ml buffer phospat

[image:37.612.112.539.86.296.2]

0,1 M, pH=7 1g beads basah

Gambar 10. Prosedur pengujian viabilitas bakteri terenkapsulasi

Penyetaraan basis perhitungan viabilitas bakteri yang terenkapsulasi pada beads basah dan beads kering dihitung dengan perhitungan sebagai berikut;

3.3.3. Aplikasi

Starter

Yoghurt Terenkapsulasi untuk Produksi Yoghurt

3.3.3.1. Pembuatan Kultur Kerja

Aplikasi starter yoghurt terenkapsulasi untuk produksi diawali dengan pembuatan kultur kerja. Proses pembuatan kultur kerja adalah dengan memanaskan susu 90oC yang mengandung skim 2% selama 20 menit, kemudian memasukkan starter yoghurt (beads kering) sebanyak 0.5% (b/v) saat suhu susu telah turun menjadi 40-43 oC (Gambar 11). Jumlah starter kering yang ditambahkan mengacu pada penambahan starter komersil (yogourmet).

Viabilitas beads basah (basis kering)

(38)

23

Homogenasi dan pasteurisasi

(90oC,20 menit)

Pendinginan hingga suhu 40-43oC

pengemasan

Inkubasi pada suhu 40-43oC

Pengamatan waktu koagulasi

pencampuran Uji alkohol

Homogenasi dan pasteurisasi

(90oC,20 menit)

Pendinginan hingga suhu 40-43oC

pengemasan

Inkubasi pada suhu 40-43oC

Pendinginan T< 7oC

pencampuran Uji alkohol analisa yoghurt 0.5% (b/v) Pengamatan waktu koagulasi sempurna analisa 3% ( b/ v)

Susu sapi segar

Kultur kerja Starter komersil Kultur kerja sel bebas

Kultur kerja Sel terenkapsulasi Starter komersil

Starter (sel bebas) Starter (sel terenkapsulasi)

Skim milk 2%

Susu sapi segar

[image:38.612.98.541.79.485.2]

Skim milk 2%

Gambar 11. Proses produksi kultur kerja dan yoghurt

Penentuan bahan enkapsulan terbaik yang diaplikasikan ke kultur kerja dilakukan dengan RAL (Rancangan Acak Lengkap) satu faktor analisis varian (ANOVA) dengan dua kali ulangan dan tiga taraf dalam satu perlakuannya (perbedaan komposisi). menggunakan software statistik. Tiga taraf dalam perlakuannya berdasarkan komposisi alginat dan bahan pengisi enkapsulan yaitu ; (1) alginat 2%: pati resisten jagung 2% (2) alginat 3%: maltodekstrin 1% (3) alginat 4%. Perbandingan nilai rata-rata dianalisis kembali menggunakan uji Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model perhitungan statistik sebagai berikut.

Yij= µ+α i+ɛij

(39)

24

j = 1,2 Keterangan:

Yij : karekteristik kultur kerja pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : rataan umum

α I : perlakuan komposisi alginat dan bahan enkapsulan ke-i

ɛij : komponen acak komposisi alginat dan bahan pengisi enkapsulan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter yang diukur dalam pengaplikasian starter kering ke dalam kultur kerja adalah karakteristik kultur kerja yang meliputi viabilitas bakteri dengan uji TPC, pH dan TA (total asam). Pengujian karakteristik kultur kerja disajikan pada Lampiran 1. Bahan pengisi enkapsulan terpilih akan digunakan pada produksi yoghurt.

3.3.3.2. Pembuatan Yoghurt

Pembuatan yoghurt diawali dengan pengujian susu sapi segar dengan uji alkohol (Lampiran 1) untuk menguji kualitas kesegarannya. Proses produksi yoghurt disajikan pada Gambar 11. Jumlah starter (dari kultur kerja) yang ditambahkan pada produksi yoghurt adalah sebesar 3% (b/v) (Abubakar, 2009). Proses produksi yoghurt berlangsung hingga penampakan fisik susu berubah menjadi terkoagualasi sempurna menyerupai bentuk yoghurt, tanpa terjadi wheying off (sineresis). Komposisi bahan pengisi enkapsulan terpilih (pada penelitian sebelumnya) diaplikasikan untuk produksi yoghurt. Selanjutnya, yoghurt yang terbentuk diuji secara kuantitatif dengan membandingkan karakteristiknya dengan yoghurt yang dihasilkan dari kultur kerja sel bebas dan kultur kerja starter komersil (yogourmet). Pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan dan tiga taraf dalam satu perlakuan (perbedaan bahan pembentuk). Tiga taraf dalam perlakuannya yaitu berdasarkan bahan pembentuk starter antara lain adalah; (1) starter (beads kering) bahan enkapsulan terpilih (2) starter sel bebas (3) starter komersil (yogourtmet). Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor analisis varian (ANOVA) menggunakan software statistik. Perbandingan nilai rata-rata dianalisis kembali menggunakan uji lanjut Duncan. Probability level α = 0.05 digunakan untuk mengindikasikan signifikansi perlakuan terhadap hasil (respon) dengan model perhitungan statistik sebagai berikut.

Yij= µ+α i+ɛij

i = (1) starter dengan bahan pengisi enkapsulan terpilih (2) starter sel bebas (3) starter komersil j = 1,2,3

Keterangan:

Yij : karekteristik yoghurt pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : rataan umum

α I : perlakuan ke-i bahan pembentuk starter

ɛij : komponen acak bahan pembentuk starter ke-I dan ulangan ke-j

(40)

25

kesukaan panelis meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur yoghurt pada skala hedonik yaitu sangat suka (7), suka (6), agak suka (5), netral (4), agak tidak suka (3), tidak suka (2), sangat tidak suka (1).

(41)

26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PEMILIHAN METODE ENKAPSULASI

Penurunan viabilitas bakteri asam laktat produk terfermentasi dalam penanganan dan penyimpanannya dapat menurunkan kualitas produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut adalah keasaman (pH dan total asam), hidrogen peroksida, kandungan oksigen terlarut, konsentrasi asam laktat dan asam asetat dalam produk terfermentasi, suhu penyimpanan dan serta konsentrasi protein whey (Dave dan Shah, 1997; Kailasaphathy dan Supriadi, 1996; Lankaputra, et al., 1996). Salah satu upaya menjaga viabilitas bakteri asam laktat dengan enkapsulasi. Enkapsulasi cenderung menstabilisasi sel, berpotensi meningkatkan viabilitas dan stabilitas selama produksi, penyimpanan dan penanganan kultur bakteri asam laktat. Enkapsulasi adalah suatu teknologi untuk mengemas material padatan, cairan, atau gas dalam miniatur, kapsul yang dapat mengeluarkan isi atau kandungannya dibawah kondisi spesifik yang terkontrol (Rokka dan Pirjo, 2010). Teknik enkapsulasi yang umum digunakan antara lain; ekstrusi, emulsi, spray drying (Anal dan Sigh, 2007). Pemilihan teknik enkapsulasi yang tepat dapat mempengaruhi viabilitas bakteri terenkapsulasi dan properti sensori produk.

Besarnya viabilitas bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik emulsi sebesar 80-95% (Krasekoopt et al., 2002) dan kecilnya ukuran beads basah yang dihasilkan berkisar antara 20µm-2mm ( Krasaekoopt et al., 2003) serta kemudahannya untuk di scale up, maka atas pertimbangan itulah pada penelitian ini dipilih teknik enkapsulasi secara emulsi.

Modifikasi metode enkapsulasi secara emulsi pada penelitian ini dilakukan pada cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Cara pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan menggunkan syringe pada jarak tetes tertentu dari larutan alginat-minyak. Penentuan ukuran diameter syringe dan jarak tetes dilakukan untuk mengetahui rendemen terbesar beads yang dapat dihasilkan. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 2.

(42)

27

Berdasarkan perhitungan statistik (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan jarak tetes dan ukuran dimeter syringe terhadap rendemen tidak berbeda nyata (P>0.05), sehingga pemilihan ukuran diameter syringe dan jarak tetes terbaik dilakukan melalui pendekatan jumlah rendemen tertinggi yaitu diameter syringe 23 G (0.573 mm) dan jarak tetes 10 cm dari larutan emulsi alginat-minyak. Adapun emulsifikasi (water in oil) pada proses enkapsulasi yang terbentuk dengan menggunakan ukuran diameter syringe dan jarak tetes yang terbaik disajikan pada Gambar 13.

(a) (b) (c)

Gambar 13. (a) emulsifikasi setelah 20 menit pengadukan menggunakan mixer 400rpm (b) stabilitas emulsi sesaat setelah ditambahkan CaCl2 (c) stabilitas emulsi setelah waktu gelifikasi 30 menit (keterangan: warna hijau merupakan minyak dan warna coklat merupakan alginat)

Waktu gelifikasi pada metode emulsi Shue dan Marshal (1993) dilakukan selama waktu 30 menit tanpa menggunakan shaker. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan selama 24 jam menggunakan shaker. Pemilihan waktu ini dikarenakan beads kalsium-alginat yang dihasilkan relatif lebih kompak dibanding dengan beads yang dihasilkan dari waktu gelifikasi 30 menit. Hal ini terjadi karena Ca2+ memiliki dua ion positif akan bergabung dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara ion kalsium dan gugus hidroksil polimer alginat. Hal tersebut yang menyebabkan penambahan sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan silang yang bersifat hidrofob (Winarno, 1996). Oleh karena itu, semakin lama waktu gelifikasi yang diberikan semakin kuat ikatan menyilang antara ion kalsium dan algin. Selain itu, pada pengamatan tampak bahwa beads basah yang terbentuk dari waktu gelifikasi 30 menit belum sempurna mengendap pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14a), sedangkan pada waktu gelifikasi 24 jam, beads kalsium-alginat berada pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14b).

(a) (b) Gambar 14. Pemisahan beads basah yang dihasilkan dengan waktu gelifikasi 30 menit (a) dan waktu

[image:42.612.99.536.75.752.2]
(43)

28

Enkapsulasi teknik emulsi dilakukan dengan menjerap bakteri dalam matriks alginat dengan sistem water in oil (Gambar 13). Penjerapan bakteri dalam matriks gel alginat adalah sistem imobilisasi bakteri yang umumnya digunakan (Champagne et al., 1994). Alginat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi bakteri probiotik dalam yoghurt dibandingkan bahan enkapsulan protein whey (Kailasapathi dan Sureeta, 2004). Selain itu, enkapsulasi menggunakan alginat dapat meningkatkan ketahanan bakteri sebesar 1 log cfu/ml dibandingkan dengan sel bebas selama penyimpanan di skim milk (Talwalkar dan Kailasapathi, 2003).

Selain pemilihan teknik yang tepat pemilihan bahan pengisi enkapsulan yang tepat dalam enkapsulasi perlu dilakukan. Bahan pengisi enkapsulan yang digunakan adalah berbasis pati. Pati terdiri dari unit D-glukosa yang bergabung dengan ikatan glikosidik. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa beberapa Bifidobacteria mampu menempel pada granul pati, sehingga pati dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam teknik enkapsulasi (Critenden et al., 2001). Bahan pengisi berbasis pati yang digunakan yaitu high amylose corn starch (Hi-Maize) dan maltodekstrin.

Total padatan komposisi bahan enkapsulan dan pengisi yang digunakan sebesar 4%, mengacu pada hasil penelitian Mandal et al. (2005) yang menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan.

Penentuan komposisi bahan pengisi enkapsulan high amylose corn starch (Hi-Maize) dengan alginat adalah 2% : 2%. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan komposisi high amylose corn starch sampai dengan diatas 2% cenderung dapat menurunkan rendemen beads yang terbentuk dan viabilitas bakteri terenkapsulasi. Komposisi ini dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik terenkapsulasi 0.5 log cfu/ml, dibanding bakteri probiotik yang tak terenkapsulasi pada yoghurt selama 8 minggu penyimpanan.

Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 4) rendemen yang dihasilkan dari komposisi alginat 2% : high amylose corn starch 2% sebesar 21.31%. Besar rendemen beads basah yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sultana et al. (2000) sebesar 60%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi proses dan jenis high amylose corn starch yang digunakan. Menurut metode emulsi Shue dan Marshal (1993) pemisahan beads basah dari lapisan larutan CaCl2 dilakukan dengan sentrifugasi. Pada penelitian ini metode pemisahan dilakukan dengan shaker dan penyaringan. Penyaringan yang kurang akurat dapat menyebabkan loss pada hasil beads basah.

(44)

29

Gambar 15. Bentuk beads basah alginat 2%: high amylose corn starch 2%

Penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat dilakukan untuk menentukan komposisi terbaik yang menghasilkan rendemen terbesar. Parameter penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat adalah secara kuantitatif (rendemen dan ukuran beads) dan kualitatif (bentuk beads). Adapun hasil kedua parameter pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter kuantatif dan kualitatif perlakuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan

enkapsulan alginat

* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)

Hasil analisis statistik (Lampiran 5 dan Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rendemen dan ukuran beads basah. Berdasarkan uji Duncan rendemen beads basah yang dihasilkan perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2%:2% dan 3%:1% terhadap 1%: 3%, 1.33%: 2.67% dan 4%:0% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) namun berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2.67%:1.33%.

Ukuran beads basah yang dihasilkan pada perlakuan ini tidak seragam (Gambar 16). Ukuran beads basah komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1%: 3% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) terhadap 1.33%: 2.67%, 2%:2%, 2.67%: 1.33%, 3%:1% dan 4%:0%, namun berbeda tidak nyata terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1.33%:2.67%.

Rendemen berkorelasi positif dengan respon

Gambar

Gambar 8. Diagram alir kegiatan penelitian
Gambar 9. Modifikasi metode emulsi Sheu dan Marshall (1993) dalam Krasaekoopt W (2003)
Gambar 10. Prosedur pengujian viabilitas bakteri terenkapsulasi
Gambar 11. Proses produksi kultur kerja dan yoghurt
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lactobacillus bulgaricus dan sari buah naga merah (Hylocereus polyrhizus ) pada konsentrasi yang berbeda terhadap uji organoleptik yoghurt. Penelitian dilakukan dengan metode

Rasa yang dihasilkan oleh yoghurt berbahan susu kerbau cenderung lebih asam dibanding berbahan susu full krim, karena produksi asam oleh bakteri lebih cepat dikarenakan

Analisa total keasaman pada perlakuan perbandingan menunjukkan tidak signifikan ( Fhitung &lt; Ftabel (0.05) ), sedangkan pengaruh perbandingan starter bakteri

Yoghurt yang dibuat menggunakan dua kultur bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermopilus memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dari pada yoghurt

Hal ini diduga yoghurt 2, 3, 4, dan 5 mengandung campuran 3 bakteri yang interaksinya lebih baik dibandingkan dengan campuran 2 bakteri Lactobacillus bulgaricus,

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan niyoghurt adalah kelapa, susu skim (Produgen), gula pasir (Gulaku), star- ter yoghurt yang terdiri dari Streptococcus thermophilus

Pembuatan yoghurt secara komersial banyak dilakukan dengan menggunakan dua jenis starter bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, isolat

Yoghurt plain biokul dalam penlitian ini digunakan sebagai penggati bakteri yang berasal dari biakan murni karena didalam yoghurt plain biokul juga terdapat bakteri yang dibutuhkan