• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PEMILIHAN METODE ENKAPSULASI

Penurunan viabilitas bakteri asam laktat produk terfermentasi dalam penanganan dan penyimpanannya dapat menurunkan kualitas produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut adalah keasaman (pH dan total asam), hidrogen peroksida, kandungan oksigen terlarut, konsentrasi asam laktat dan asam asetat dalam produk terfermentasi, suhu penyimpanan dan serta konsentrasi protein whey (Dave dan Shah, 1997; Kailasaphathy dan Supriadi, 1996; Lankaputra, et al., 1996). Salah satu upaya menjaga viabilitas bakteri asam laktat dengan enkapsulasi. Enkapsulasi cenderung menstabilisasi sel, berpotensi meningkatkan viabilitas dan stabilitas selama produksi, penyimpanan dan penanganan kultur bakteri asam laktat. Enkapsulasi adalah suatu teknologi untuk mengemas material padatan, cairan, atau gas dalam miniatur, kapsul yang dapat mengeluarkan isi atau kandungannya dibawah kondisi spesifik yang terkontrol (Rokka dan Pirjo, 2010). Teknik enkapsulasi yang umum digunakan antara lain; ekstrusi, emulsi, spray drying (Anal dan Sigh, 2007). Pemilihan teknik enkapsulasi yang tepat dapat mempengaruhi viabilitas bakteri terenkapsulasi dan properti sensori produk.

Besarnya viabilitas bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik emulsi sebesar 80-95% (Krasekoopt et al., 2002) dan kecilnya ukuran beads basah yang dihasilkan berkisar antara 20µm-2mm ( Krasaekoopt et al., 2003) serta kemudahannya untuk di scale up, maka atas pertimbangan itulah pada penelitian ini dipilih teknik enkapsulasi secara emulsi.

Modifikasi metode enkapsulasi secara emulsi pada penelitian ini dilakukan pada cara pemasukan larutan CaCl2 dan lama waktu gelifikasi. Cara pemasukan larutan CaCl2 dilakukan dengan menggunkan syringe pada jarak tetes tertentu dari larutan alginat-minyak. Penentuan ukuran diameter syringe dan jarak tetes dilakukan untuk mengetahui rendemen terbesar beads yang dapat dihasilkan. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 2.

Gambar 12. Rendemen beads alginat 4% yang dihasilkan oleh diameter syringe 20 G, 22G, 23G, 26G, dan 27 G pada jarak tetes 1cm dan 10 cm dari larutan emulsi alginat-minyak

27

Berdasarkan perhitungan statistik (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan jarak tetes dan ukuran dimeter syringe terhadap rendemen tidak berbeda nyata (P>0.05), sehingga pemilihan ukuran diameter syringe dan jarak tetes terbaik dilakukan melalui pendekatan jumlah rendemen tertinggi yaitu diameter syringe 23 G (0.573 mm) dan jarak tetes 10 cm dari larutan emulsi alginat-minyak. Adapun emulsifikasi (water in oil) pada proses enkapsulasi yang terbentuk dengan menggunakan ukuran diameter syringe dan jarak tetes yang terbaik disajikan pada Gambar 13.

(a) (b) (c)

Gambar 13. (a) emulsifikasi setelah 20 menit pengadukan menggunakan mixer 400rpm (b) stabilitas emulsi sesaat setelah ditambahkan CaCl2 (c) stabilitas emulsi setelah waktu gelifikasi 30 menit (keterangan: warna hijau merupakan minyak dan warna coklat merupakan alginat) Waktu gelifikasi pada metode emulsi Shue dan Marshal (1993) dilakukan selama waktu 30 menit tanpa menggunakan shaker. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan selama 24 jam menggunakan shaker. Pemilihan waktu ini dikarenakan beads kalsium-alginat yang dihasilkan relatif lebih kompak dibanding dengan beads yang dihasilkan dari waktu gelifikasi 30 menit. Hal ini terjadi karena Ca2+ memiliki dua ion positif akan bergabung dalam dua gugus karboksil dan molekul algin, disamping itu ikatan sekunder mungkin saja terjadi diantara ion kalsium dan gugus hidroksil polimer alginat. Hal tersebut yang menyebabkan penambahan sodium alginat dengan larutan CaCl2 menghasilkan gumpalan dengan ikatan silang yang bersifat hidrofob (Winarno, 1996). Oleh karena itu, semakin lama waktu gelifikasi yang diberikan semakin kuat ikatan menyilang antara ion kalsium dan algin. Selain itu, pada pengamatan tampak bahwa beads basah yang terbentuk dari waktu gelifikasi 30 menit belum sempurna mengendap pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14a), sedangkan pada waktu gelifikasi 24 jam, beads kalsium- alginat berada pada dasar lapisan kalsium klorida (Gambar 14b).

(a) (b) Gambar 14. Pemisahan beads basah yang dihasilkan dengan waktu gelifikasi 30 menit (a) dan waktu

28

Enkapsulasi teknik emulsi dilakukan dengan menjerap bakteri dalam matriks alginat dengan sistem water in oil (Gambar 13). Penjerapan bakteri dalam matriks gel alginat adalah sistem imobilisasi bakteri yang umumnya digunakan (Champagne et al., 1994). Alginat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi bakteri probiotik dalam yoghurt dibandingkan bahan enkapsulan protein whey (Kailasapathi dan Sureeta, 2004). Selain itu, enkapsulasi menggunakan alginat dapat meningkatkan ketahanan bakteri sebesar 1 log cfu/ml dibandingkan dengan sel bebas selama penyimpanan di skim milk (Talwalkar dan Kailasapathi, 2003).

Selain pemilihan teknik yang tepat pemilihan bahan pengisi enkapsulan yang tepat dalam enkapsulasi perlu dilakukan. Bahan pengisi enkapsulan yang digunakan adalah berbasis pati. Pati terdiri dari unit D-glukosa yang bergabung dengan ikatan glikosidik. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa beberapa Bifidobacteria mampu menempel pada granul pati, sehingga pati dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam teknik enkapsulasi (Critenden et al., 2001). Bahan pengisi berbasis pati yang digunakan yaitu high amylose corn starch (Hi-Maize) dan maltodekstrin.

Total padatan komposisi bahan enkapsulan dan pengisi yang digunakan sebesar 4%, mengacu pada hasil penelitian Mandal et al. (2005) yang menunjukkan bahwa ketahanan bakteri L. casei NCDC-298 yang dienkapsulasi menggunakan metode emulsi pada pH rendah, konsentrasi garam empedu yang tinggi dan selama perlakuan panas memberikan hasil maksimal sebanding dengan peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan.

Penentuan komposisi bahan pengisi enkapsulan high amylose corn starch (Hi-Maize) dengan alginat adalah 2% : 2%. Sultana et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan komposisi high amylose corn starch sampai dengan diatas 2% cenderung dapat menurunkan rendemen beads yang terbentuk dan viabilitas bakteri terenkapsulasi. Komposisi ini dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik terenkapsulasi 0.5 log cfu/ml, dibanding bakteri probiotik yang tak terenkapsulasi pada yoghurt selama 8 minggu penyimpanan.

Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 4) rendemen yang dihasilkan dari komposisi alginat 2% : high amylose corn starch 2% sebesar 21.31%. Besar rendemen beads basah yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sultana et al. (2000) sebesar 60%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi proses dan jenis high amylose corn starch yang digunakan. Menurut metode emulsi Shue dan Marshal (1993) pemisahan beads basah dari lapisan larutan CaCl2 dilakukan dengan sentrifugasi. Pada penelitian ini metode pemisahan dilakukan dengan shaker dan penyaringan. Penyaringan yang kurang akurat dapat menyebabkan loss pada hasil beads basah.

Perlakuan yang diberikan memberikan bentuk beads basah yang tidak seragam. Beads basah yang terbentuk (Gambar 15) berbentuk bulat pipih, terkadang cembung dan globular. Ukuran beads basah yang dihasilkan berkisar antara 0.77-0.89 mm. Bentuk beads yang dihasilkan berbeda dengan hasil penelitian Sultana et al. (2000) dan Hamayouni (2003) yang berbentuk bola. Sedangkan ukuran beads yang terbentuk sesuai dengan ukuran beads yang dihasilkan pada penelitian Sultana et al. (2000) sebesar 0.5-1mm dan lebih besar dibandingkan ukuran beads yang dihasilkan pada penelitian Hamayouni (2003) sebesar 17.8µm. Castila et al., (2010) menyatakan bahwa viabilitas bakteri Lactobacillus casei dalam yoghurt dan simulasi asam lambung meningkat seiring ukuran beads yang dihasilkan.

29

Gambar 15. Bentuk beads basah alginat 2%: high amylose corn starch 2%

Penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat dilakukan untuk menentukan komposisi terbaik yang menghasilkan rendemen terbesar. Parameter penentuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan enkapsulan alginat adalah secara kuantitatif (rendemen dan ukuran beads) dan kualitatif (bentuk beads). Adapun hasil kedua parameter pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter kuantatif dan kualitatif perlakuan komposisi bahan pengisi maltodekstrin dan

enkapsulan alginat

* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)

Hasil analisis statistik (Lampiran 5 dan Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rendemen dan ukuran beads basah. Berdasarkan uji Duncan rendemen beads basah yang dihasilkan perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2%:2% dan 3%:1% terhadap 1%: 3%, 1.33%: 2.67% dan 4%:0% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) namun berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2.67%:1.33%.

Ukuran beads basah yang dihasilkan pada perlakuan ini tidak seragam (Gambar 16). Ukuran beads basah komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1%: 3% menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) terhadap 1.33%: 2.67%, 2%:2%, 2.67%: 1.33%, 3%:1% dan 4%:0%, namun berbeda tidak nyata terhadap komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1.33%:2.67%.

Rendemen berkorelasi positif dengan respon ukuran beads basah yang dihasilkan. Rendemen dan ukuran beads meningkat seiring peningkatan konsentrasi alginat yang digunakan. Lee dan Heo (2000) menyatakan bahwa laju kematian B. longum terenkapsulasi alginat turun seiring peningkatan ukuran kapsul dan konsentrasi alginat. Hal ini sesuai dengan hasil bahwa ukuran beads yang terbentuk semakin meningkat seiring meningkatnya konsentrasi alginat, namun pada perlakuan alginat 3 % : maltodekstrin 1% menunjukkan bahwa ukuran beads basah yang terbentuk sama dengan perlakuan alginat 2.67% : maltodekstrin 1.33%. Hal ini kemungkinan karena alginat yang sudah jenuh, sehingga ukuran yang Komposisi alginat: maltodekstrin Rendemen (%) Ukuran beads (mm) Bentuk beads

1% : 3% 7.63±0.90e 12.99±1.77 d 19.89±1.38 c 21.54±0.63 bc 23.75±1.68 b 28.82±1.18 a 0.42±0.07 c Globular 1.33% : 2.67% 0.60±0.04 bc Globular 2% : 2% 0.72±0.12 ab Cembung 2.67% : 1.33% 0.81 ± 0.06 a Cembung 3% : 1% 0.81 ± 0.20 a Cembung 4% : 0% 0.99 ± 0.18 a Cembung

30

terbentuk menjadi sama. Hasil penelitian ukuran beads basah alginat 4% lebih besar dibandingkan dengan penelitian Purwadhani et al. (2007) yang menggunakan bahan enkapsulan alginat 3% (tanpa bahan pengisi) sebesar 50-100µm. Hal ini kemungkinan diakibatkan lama waktu gelifikasi yang relatif singkat (10 menit) pada alginate 3% dibandingkan alginat 4% (24 jam). Robinson (1987) menyatakan gel yang lebih homogen dan stabil dapat diperoleh melalui pendinginan yang lambat larutan alginat dengan adanya ion kalsium. Secara keseluruhan perlakuan menunjukkan bahwa ukuran beads yang dihasilkan sesuai dengan rentang ukuran beads yang terbentuk dengan metode emulsi yaitu sebe sar 25µm-2mm (Krasekopt et al., 2002). Chandramouli et al. (2004) menyatakan bahwa viabilitas Lactobacillus terenkapsulasi dalam simulasi getah lambung meningkat dengan meningkatnya ukuran kapsul (200-1000µm). Maka, perlakuan yang menghasilkan ukuran beads terbesar digunakan untuk untuk perlakuan berikutnya.

Parameter kualitatif menunjukkan bahwa bentuk beads yang dihasilkan oleh komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 1%: 3% dan 1.33%: 2.67% berbentuk globular dan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin 2%:2%, 2.67%:1.33%, 3%:1% dan 4%:0% berbentuk cembung. Perubahan bentuk beads basah dari globular menjadi cembung saat komposisi alginat 2% : maltodekstrin 2%. Perubahan ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh semakin tingginya komposisi maltodekstrin, maka semakin rendah komposisi alginat, sehingga matriks alginat yang berikatan dengan Ca2+akan melemah, sehingga bentuk beads basahnya berubah.

Berdasarkan parameter secara kuantitatif dan kualitatif (Tabel 5) yang dihasilkan maka komposisi alginat 3%: maltodekstrin 1% dipilih untuk perlakuan selanjutnya. Alginat 4% (menghasilkan rendemen terbesar) akan diuji sebagai kontrol dalam perlakuan selanjutnya. Berikut disajikan bentuk beads basah terpilih pada perlakuan komposisi alginat dan bahan pengisi maltodekstrin pada Gambar 16.

(a) (b)

Gambar 16. Bentuk beads basah yang dihasilkan dari (a) alginat 3%: maltodekstrin 1% (b) alginat 4% Penentuan waktu pengeringan terbaik dilakukan pada komposisi bahan pengisi enkapsulan terbaik (alginat 2%: high amylose corn starch 2% dan alginat 3%: maltodekstrin 1%) serta alginat 4% tanpa bahan pengisi (sebagai kontrol). Pengeringan dilakukan menggunakan oven suhu 40oC hingga berat beads kering tersebut stabil. Pemilihan suhu 40 oC disesuaikan dengan rentang suhu hidup bakteri yang akan dienkapsulasi yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Menurut Chitow dan Tranev (1990) bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus adalah 37 – 45 oC, sedangkan suhu optimal Lactobacillus bulgaricus 40 – 45 oC (Hutkins dan Nannen, 1993). Presentase penurunan berat beads basah tiap jamnya pada tiga perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 7.

31

Gambar 17. Presentase penurunan berat beads basah setiap jamnya selama pengeringan oven 40oC Berdasarkan laju pengeringan (Gambar 17) diketahui bahwa ketiga perlakuan menunjukkan berat yang konstan pada jam ke-dua. Pemilihan waktu tersebut turut pula dilatarbelakangi oleh hadirnya hidrogenperoksida (H2O2) akibat beads basah (yang nantinya berisi mikroba) kontak dengan oksigen selama proses pengeringan menggunakan oven 40oC. Garbut (1997) menyatakan bahwa masuknya oksigen dalam sel bakteri dapat menyebabkan terbentuknya superoksida dan hidroperoksida yang akan merusak DNA bakteri. Waktu pengeringan terbaik akan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Karakteristik beads kering (setelah dua jam pengeringan) pada masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 18.

Tabel 6. Karakteristik beads kering ketiga bahan pengkapsul dan pengisi enkapsulan Karakteristik bahan pengkapsul dan

pengisi enkapsulan

Alginat 2%: high amylose corn starch

2%

Alginat 3%:

maltodekstrin 1% Alginat 4% Bentuk bulat pipih bulat pipih bulat pipih

Warna putih coklat muda coklat tua

Kelarutan dalam media fermentasi tidak larut tidak larut tidak larut Kadar air beads basah (%) 70.9 ± 6.596 88.41 ± 2.188 88.68 ± 2.782 Kadar air beads kering (%) 7.43 ± 0.48 9 ± 0.87 6.62 ± 0.31 Rendemen beads kering (%) 13.19 ± 1.12 3.73 ± 0.87 4.81 ±1.24

32

(a) (b) (c)

Gambar 18. Karakteristik beads kering dari komposisi (a) alginat 2%: pati resisten jagung 2% (b) alginat 3%: maltodekstrin 1% (c) alginat 4% setelah pengeringan dua jam dengan oven 40oC Berdasarkan Tabel 6, komposisi bahan enkapsulan dan pengisinya alginat 3% : maltodekstrin 1% memiliki kadar air tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh sifat umum maltodekstrin yang memiliki daya dispersi yang cepat dan daya larut yang tinggi (Blancard dan Katz, 1995). Jika suatu bahan memiliki daya larut yang tinggi maka daya ikat antar komponennya rendah, sehingga banyak pula air yang terikat oleh ikatan matrik alginat dan maltodekstrin terlepaskan saat pengeringan, sehingga kadar air komposisi ini tinggi.

4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT

Dokumen terkait