• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warna Aroma Tekstur Rasa

Penerimaan secara umum 1 4 5 3 3 4 2 4 3 2 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 3 4 4 4 6 4 3 4 3 4 7 4 3 4 3 3 8 4 3 2 3 3 9 4 3 3 2 3 10 2 3 2 4 3 11 4 4 3 3 3 12 4 3 3 4 4 13 3 2 3 4 3 14 4 3 2 3 3 15 3 3 4 4 4 16 4 3 3 3 3 17 5 4 4 4 4 18 3 2 4 2 3 19 4 4 3 4 4 20 4 4 4 4 4 21 4 3 2 3 3 22 4 3 2 2 2 23 4 3 4 4 4 24 5 3 3 3 3 25 4 3 2 4 3 rata-rata 3.88 3.16 3.08 3.40 3.44

1

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang banyak terlibat dalam proses fermentasi pangan seperti yoghurt dan pangan fermentasi lainnya. Yoghurt merupakan olahan susu yang difermentasi menggunakan bakteri asam laktat kombinasi Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Tingginya minat konsumen mengkonsumsi yoghurt antara lain memiliki efek kesehatan dan umumnya dinilai memiliki rasa yang segar dan enak serta harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat luas.

Viabilitas bakteri asam laktat mengalami penurunan selama proses penanganan starter susu fermentasi, hal ini berakibat terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Enkapsulasi merupakan suatu upaya perlindungan bakteri asam laktat dalam penanganannya relatif mempertahankan viabilitas bakteri tersebut. Selain untuk alasan kesehatan, enkapsulasi juga dilakukan untuk menjaga mutu produk (utamanya makanan terfermentasi seperti yoghurt) sehingga tetap terjaga hingga ketangan konsumen. Teknik enkapsulasi bakteri asam laktat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstrusi (droplet method) dan emulsi (sistem dua fase). Kedua teknik ini relatif dapat meningkatkan ketahanan bakteri selama penyimpanan dan penanganannya.

Selama enkapsulasi kehadiran chelating agents seperti fosfat, laktat, dan sitrat dapat menyebabkan ketidakstabilan beads (manik) sehingga harus dihindarkan. Salah satu upaya untuk meningkatkan stabilitas beads diantaranya dengan penambahan cryoprotectants seperti gliserol, ikatan silang dengan polimer kation (seperti polyethyleneimine dan glutaraldehide), penyalutan dengan khitosan, serta pencampuran dengan pati dan melakukan pengkapsulan atau penyalutan beads. Pada penyalutan beads diperlukan pemilihan enkapsulan yang tepat. Enkapsulan yang digunakan harus memiliki sifat berdifusi yang baik untuk transfer substrat dan produk, sehingga proses fermentasi berjalan dengan baik. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa. Diantara jenis bahan pengisi enkapsulan tersebut, pati merupakan jenis bahan pengisi enkapsulan yang jumlahnya melimpah di Indonesia. Salah satu sumber pati yang melimpah jumlahnya yaitu singkong dan jagung.

Maltodekstrin dan high amylose corn starch merupakan produk turunan singkong dan jagung cocok digunakan sebagai bahan pengisi enkapsulan dalam enkapsulasi bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus karena kedua jenis produk turunan ini dapat berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri. Enkapsulasi diharapkan dapat meningkatkan kestabilan beads bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dan mempertahankan viabilitas kedua bakteri ini dalam starter yoghurt.

1.2. TUJUAN

Tujuan penelitian ini antara lain;

1.Menentukan komposisi pati sebagai bahan pengisi penyalut terbaik yang dapat melindungi dan mempertahankan viabilitas bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. 2.Mengetahui karakteristik yoghurt yang dihasilkan dari starter terenkapsulasi kering (dengan

2

3

2.1. YOGHURT

Pengertian yoghurt menurut SNI 2981:2009 adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987) dalam Ambawathy (2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat keasaman yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu yoghurt menurut SNI 2981:2009 disajikan pada Tabel 1. Oberman (1985) dalam Ambawathy (2007) menyatakan bahwa komposisi produk fermentasi bergantung pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme.

Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. Penggunaan starter yogurt sebanyak 2–5% dari bahan yang digunakan. Penggunaan inokulasi starter (Lactoacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus) memungkinkan terjadinya perubahan laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi dan terbentuknya gumpalan yogurt (Robinson, 1990). Kadar asam yang dihasilkan oleh gabungan kedua jenis kultur ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur secara individual. Bahan yang diproduksi selama proses fermentasi tidak hanya membantu proses pertumbuhan kultur starter, tetapi juga mempengaruhi karakteristik sensori yogurt yaitu aroma, rasa dan tekstur (Capela , 2006 dalam Zain, 2010).

Bahan baku utama pembuatan yoghurt adalah susu segar. Menurut SNI 01-3141-1998 tentang susu segar menyebutkan bahwa susu murni adalah cairan yang berasal dari puting sapi yang sehat dan bersih diperoleh dengan cara yang benar yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan susu segar adalah susu murni dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniaannya. Syarat mutu susu segar disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt (SNI 2981:2009)

No .

Kriteria uji Satua

n Yog- hurt Yog-hurt rendah Yog-hurt tanpa Yog- hurt Yog-hurt rendah Yog-hurt tanpa

4

lemak lemak lemak lemak

1 Keadaan

1. 1

Penampakan

- Cairan kental-padat Cairan kental-padat

1. 2 Bau - Normal/khas Normal/khas 1. 3 Rasa - Asam/khas Asam/khas 1. 4 Konsistensi - Homogen Homogen

2 Kadar lemak (b/b) % Min

3.0 0.6 – 2.9 Maks 0.5 Min 3.0 0.6 – 2.9 Maks 0.5

3 Total padatan susu

bukan lemak % Min 8.2 Min 8.2

4 Protein (N x 6,38)

(b/b) % Min 2.7 Min 2.7

5 Kadar abu % Maks 1.0 Maks 1.0

6

Keasaman (dihitung

sebagai asam laktat (b/b) % 0.5 – 2.0 0.5 – 2.0 7 Cemaran logam 7. 1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0.3 Maks 0.3 7. 2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20.0 Maks 20.0 7. 3 Timah (Sn) mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0 7. 4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.03 Maks 0.03

5

9 Cemaran mikroba

9. 1

Bakteri coliform APM/

g atau koloni /g Maks 1.0 Maks 10 9. 2 Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g 9. 3 Listeria monocytogenes - Negatif/25 g Negatif/25 g

10 Jumlah bakteri starter Koloni

/g Min 10

7

-

Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2009

Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar (SNI 01-3141-1998)

Karakteristik Syarat

Berat jenis (pada suhu 27,5oC) minimum 10.280

Kadar lemak minimum 3%

Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8%

Kadar protein minimum 2.7%

Warna, bau,rasa dan kekentalan tidak ada perubahan

Derajat asam 6-7oSH

Uji alkohol 70% Negatif

Uji katalase maksimum 3(cc)

Angka refraksi 36-38

Angka reduktase 2-5 jam

Cemaran mikroba maksimum

Total kuman 1,000,000 cfu/ml

Salmonella Negatif

E.coli (patogen) Negatif

Coliform 20/ml

Streptococcus Group B Negatif

Staphylococcus aureus 100/ml

6

Cemaran logam berbahaya maksimum:

Timbal (Pb) 0,3 ppm

Seng(Zn) 0,5 ppm

Merkuri (Hg) 0,5 ppm

Arsen (As) 0,5 ppm

Residu: sesuai dengan peraturan keputusan

Antibiotika bersama Mentri Kesehatan dan

Petisida/insektisida Menteri Pertanian berlaku

Kotoran dan benda asing Negatif

Uji pemalsuan Negatif

Titik beku -0,520 oC s/d -0,560oC

Uji peroxidase Positif

Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1999

2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT

Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif, katalase positif, tidak membentuk spora, anaerobik hingga mikrofilik. Kemampuan biosintesanya sangat terbatas sehingga non motil dan perolehan energinya semata-mata hanya bergantung pada metabolisme secara fermentatif. Bakteri asam laktat dikelompokkan menjadi heterofermentatif apabila produk akhirnya terutama adalah asam laktat dan heterofermentatif apabila asam laktat yang dihasilkannya bersama-sama dengan asam asetat, karbondioksida dan senyawa diasetil (Tamime dan Robinson, 1999).

Pemanfaatan BAL pada produksi pangan semakin mengalami peningkatan terutama untuk memfermentasi. Menurut Misgiyarta dan Widowati (2000) BAL yang digunakan dalam fermentasi perlu diseleksi untuk memperoleh isolat yang memiliki kemampuan unggul, sehingga memiliki kelebihan- kelebihan:

1. Memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi.

2. Ketersediaan mikroba terjamin, sebab bersumber dari lingkungan alam Indonesia yang dapat diisolasi dari banyak sumber.

3. Memungkinkan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah untuk industri besar, maupun industri kecil, karena ketersediaan yang cukup serta biaya relatif murah.

Pada produk probiotik seperti susu fermentasi (yoghurt, kefir, dan dadih), beberapa BAL dimanfaatkan sebagai bakteri probiotik yang dapat memfermentasi komponen susu membentuk asam laktat, bakteriosin dan komponen flavor lainnya (Tamime dan Robinson, 1999). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang secara aktif meningkatkan kesehatan konsumen, dengan menyeimbangkan mikroflora dalam saluran pencernaan jika dikonsumsi pada kondisi hidup dalam jumlah yang cukup (Fuller 1992). Berbagai senyawa hasil metabolisme bakteri probiotik seperti asam laktat, H2O2, bakteriosin bersifat antimikroba dan berbagai enzim seperti laktase dapat membantu mengatasi intoleransi

7

terhadap laktosa, serta bile salt hydrolase dapat menurunkan kolesterol serta aktivitas antikarsinogenik dan stimulasi sistem imunitas (Nagao et al., 2000; Schrezenmeir dan de Vrese, 2001).

Syarat probiotik adalah tidak patogen, toleran terhadap asam dan garam empedu, mempunyai kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dapat bertahan pada penyimpanannnya serta memiliki kemampuan memberi efek kesehatan yang sudah terbukti (Shortt, 1999). Syarat minimum jumlah kandungan probiotik pada produk terfermentasi pada negara-negara di Eropa dan Jepang adalah 106-108 CFU/ml, sedangkan jumlah viabilitas sel dalam produk yoghurt minimum sebesar 105-106 CFU/ml (Robinson, 1987; Kurmann dan Rasic, 1991).

2.2.1. Streptococcus thermophilus

Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan suhu pertumbuhannya yang dapat tumbuh pada suhu 45 oC dan mati pada suhu 10oC (Helferich dan Westhoff, 1980). Tamime dan Robinson (1999) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus adalah 37 – 45 oC. Bakteri ini berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm dan kadang- kadang berbentuk rantai. Streptococcus thermophilus termasuk kelompok bakteri gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana netral dengan pH optimal 6.5 (Helferich dan Westhoff, 1980).

Gambar 1. Morfologi bakteri Streptococcus thermophilus (www2.unibas.it)

Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus bersifat homofermentatif yang memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa, fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Streptococcus thermophilus memiliki keterbatasan dalam pemanfaatan glukosa, dan fungsi utamanya pada industri susu fermentasi adalah mengkonversi laktosa menjadi asam laktat. Tidak seperti kebanyakan bakteri gram positif lainnya, Streptococcus thermophilus lebih menyukai laktosa sebagai sumber karbon dan penghasil energi dibanding glukosa. Peran utama Streptococcus thermophilus dalam industri susu fermentasi adalah memiliki laju pengasaman yang lebih tinggi dibanding BAL lainnya (Iyer et al., 2009).

Kelemahan dari Streptococcus thermophilus adalah sensitif terhadap lingkungan asam lambung, sehingga tidak dapat tumbuh di usus manusia (Iyer et al., 2009). Oleh karena itu Streptococcus thermophilus tidak dapat digolongkan sebagai bakteri probiotik.

2.2.2. Lactobacillus bulgaricus

Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri gram positif, membentuk koloni dengan diameter 1-3 µm, tidak tumbuh pada 45 oC , mereduksi “litmus milk”, katalase negatif, tidak berspora dan bersifat thermodurik (Kosikowski, 1982). Hutkins dan Nannen (1993) menjelaskan bahwa suhu optimal Lactobacillus bulgaricus 40 – 45 oC dengan pH optimum pertumbuhan berkisar pH 5.5 -5.8. Bakteri

8

asam laktat ini bersifat anaerob, berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya bersifat homofermentatif.

Gambar 2. Morfologi bakteri Lactobacillus bulgaricus (www.novinite.com)

Selama proses fermentasi susu, Lactobacillus bulgaricus memecah laktosa menjadi asam laktat serta menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada susu fermentasi. Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah protein sehingga mudah dicerna dan diserap saluran pencernaan (Chaitow dan Tranev, 1990).

Tamime dan Deeth (1980) menyatakan bahwa Lactobacillus bulgaricus mempunyai aktivitas proteolitik yang cukup tinggi. Aktifitas proteolitiknya yang penting di dalam susu adalah memecah kasein dengan bantuan enzim protease. Enzim ini optimum pada pH 5.2-5.8 dan temperatur 45-50oC, pada pH yang lebih rendah yaitu 4.5 protease tidak dihasilkan.

Dalam proses fermentasi yoghurt Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan. Streptococcus thermophilus akan menurunkan pH medium yang akan memacu pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Selanjutnya Lactobacillus bulgaricus akan melepaskan asetal dehid, asam asetat, diasetil, valin, glisin, leusin, isoleusin, dan histidin ke dalam medium yang membentuk flavor khas susu fermentasi (Tamime dan Robinson, 1999).

Lactobacillus bulgaricus memiliki kemampuan menghasilkan senyawa yang bersifat bakteriostatik serta mampu menghasilkan senyawa flavor yang khas. Akan tetapi, Lactobacillus bulgaricus tidak tidak dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga tidak termasuk probiotik (Yuguchi et al., 1992).

2.3. ENKAPSULASI

Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core (Young et al.,1995; Frazier dan Westhoff, 1998; Victor dan Heldman, 2001). Enkapsulasi adalah pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dari kondisi lingkungan yang ekstrim (Victor dan Heldman, 2001).

Teknik enkapsulasi banyak diaplikasikan pada bidang industri bahan pangan karena mampu mengawetkan makanan relatif lebih lama sehingga mengurangi resiko kerusakan bahan makanan oleh mikroba (Victor dan Heldman, 2001). Young et al. (1995); Frazier dan Westhoff (1998); Victor dan Heldman (2001) menjelaskan bahwa enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia. Susu skim adalah salah satu bahan penyalut yang umum digunakan, terutama sebagai penyalut matriks yang diaplikasikan secara oral.

9

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi pengemasan material padat, cair ataupun gas dalam miniatur pengkapsulan yang dapat melepaskan bahan terkapsul pada laju terkontrol dibawah pengaruh kodisi spesifik (Anal, et al., 2007). Mikroenkapsulasi pada beberapa bakteri probiotik dilakukan untuk meningkatkan viabilitas sel dalam lingkungan asam lambung yang dapat mencapai pH 2. Chandramouli et al. (2003) menyatakan enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai enkapsulan adalah lemak, lilin, turunan gliserol, gula, pati alami dan pati termodifikasi, dekstrin, gum, protein, skim, gelatin, dan turunan selulosa (Vidhyalakshmi et al., 2009). Beberapa penelitian dilaporkan bahwa mikroenkapsulasi menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten (Godward dan Kailasapathy, 2003; Sultana et al., 2000), polimer kappakaragenan (Adhikari et al., 2000) dan polimer protein whey (Picot dan Lacroix, 2004) dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik pada yoghurt selama penyimpanan. Dave et al. (1997) dalam Adhikari (2000) menyatakan bahwa penambahan suplemen seperti cystein, bubuk whey, konsentrat protein whey dan hidrolis asam kasein dapat meningkatkan ketahanan bifidobacteria, namun hanya dalam jumlah yang kecil. Sedangkan Sultana et al. (2000) mengenkapsulasi L. acidophilus and Bifidobacterium spp. menggunakan kalsium-alginat-polimer pati resisten menunjukkan penurunan 0.5 log CFU/ml dibandingkan dengan sel bebas selama delapan minggu masa penyimpanan yoghurt. Crittenden et al. (2001) menyatakan penambahan bahan pendorong pertumbuhan atau prebiotik seperti pati dan oligosakarida dapat meningkatkan ketahanan bakteri. Beberapa jenis pati yang dapat digunakan sebagai prebiotik antara lain pati resisten dan maltodekstrin.

2.3.1. High Amylose Corn Starch

Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006) pati dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan respon pati tersebut saat diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly Digestible Starch (RDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah Slowly Digestible Starch (SDS). Seperti juga RDS, Slowly Digestible Starch (SDS) dapat sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan waktu lebih lama.Jenis pati ketiga adalah Resistant Starch (RS) atau pati resiten yaitu fraksi kecil dari pati yang resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara in vitro. Pati resisten atau RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang pati resisten didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006).

Pati resisten (resistant starch) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat dan pencernaan tidak mengalami gangguan. Menurut Gonzales, et al. (2004) dalam Anggraini (2007) pati resisten dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam makanan. Pati resisten tipe I (RS tipe I) adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada biji legumes (polong-polongan). Pati resisten tipe II (RS tipe II) adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah dan pati kentang mentah. Pati resisten tipe III (RS tipe III) adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. Pati resisten tipe IV (RS tipe IV) adalah pati yang dimodifikasi secara kimia.

10

Menurut Asp NG (1992) high amylose corn starch (Hi-Maize) termasuk dalam jenis pati resisten tipe II (RS tipe II). Pati resisten ini memiliki kandungan amilosa yang tinggi dan memiliki karekteristik suhu gelatinisasi yang tinggi yaitu di atas 120oC. Pati kentang mentah juga termasuk dalam golongan pati resiten tipe II (RS II), tetapi pati ini memiliki suhu gelatinisasi yang rendah yaitu sekitar 60oC. Beberapa penelitian in vivo pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan pati resisten yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan untuk melekat bagi prebiotik (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al. (1998) menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup dan pati resisten beramilosa tinggi mengekskresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih banyak daripada tikus yang tidak diberi pati resisten.

Gambar 3. Penampakan high amylose corn starch (www.kingarturecompany.com)

2.3.2. Maltodekstrin

Pati adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Struktur amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1.4)-glukosidik, sedangkan amilopektin merupakan struktur bercabang terdiri atas ikatan α-(1.4)-glukosidik dengan titik percabangan α-(1.6)-glukosidik (Wilbrahan dan Matta, 1992).

Gambar 4. Struktur amilosa dan amilopektin (www.fmcbiopolymer.com)

Menurut Fogarty (1983) dalam Sunarti et al. (2004) pati mudah mengalami hidrolisis yang diakibatkan oleh asam dan enzim. Hidrolisis asam mengakibatkan rusaknya daerah amorph dan akan memotongan ikatan α-(1.4)-D-glukosidik dari amilosa dan α-(1.6)-D-glukosidik dari amilopektin,

11

sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah. Hidrolisis pati dengan enzim dapat dilakukan dengan α-amilase. Hidrolisis amilosa dengan α-amilase terjadi dengan dua tahap. Tahap pertama degadrasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosan sebagai hasil akhir dan tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat, sedangkan pada molekul amilopektin sebagai produk akhir dan tidak acak. Sedangkan pada molekul amilopektin kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri α-limit dekstrin, serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan α (1.6) glikosidik. Selama proses hidrolisis, terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas dan meningkatnya gula pereduksi.

Produk komersil dari hidrolisis pati diklasifikasikan berdasarkan dekstrosa equivalen (DE). Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum malodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O] (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin DE 5-10 dibuat menurut metode pati singkong dihidrolisis dengan α-amilase (Termamyl 120L) yang mempunyai aktivitas 6147.66 unit/ml pada suhu 85° C selama 65 menit. Untuk menghentikan aktivitas enzim ditambahkan HCl 0.1N sampai pH 3.7 – 3.9. Campuran yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45° C, kemudian dihaluskan, dan terakhir diayak dengan ayakan mesh 100 (Anwar, 2002). Walaupun α-amilase bekerja dengan memotong ikatan pati, namun diduga pati tidak terhidrolisis seluruhnya. Sebagian kecil pati dapat berupa resistant starch yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan yang disebabkan strukturnya berupa kristal tidak larut air.

Gambar 5. Penampakan maltodekstrin (www.wordpress.com)

Menurut Blancard dan Katz (1995) maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air (higroskopis). Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau enzim. Kebanyakan produk ini ada dalam bentuk kering dan hampir tidak berasa. Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri atas campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang. Nilai DE maltodekstrin berkisar antara 3 – 20.

Blancard dan Katz (1995), menerangkan lebih lanjut sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya larut yang tinggi maupun membentuk film, membentuk sifat higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, mampu menghambar kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat. Spesifikasi maltodekstrin disajikan pada Tabel 3.

12

Kriteria Spesifikasi

Kenampakan Bubuk putih agak kekuningan

Bau Bau seperti malt- dekstrin

Rasa Kurang manis, hambar

Kadar air 6%

DE (Dextrose Euquivalent) 10-20%

pH 4.5 – 6.5

Sulfated ash 0.6% (maksimum)

Total Plate Count (TPC) 1500 cfu/g Sumber: Blancard dan Katz (1995)

Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya antara lain sebagai bahan pengental sekaligus emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah larut pada air dingin. Aplikasi penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi, minuman prebiotik dan produk pangan. Aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada produk makanan beku sbagai pengikat air (water holding capacity) dan berat molekul rendah sehingga dapat mempertahankan produk beku, makanan rendah kalori, produk rerotian, misalnya cake, muffin, dan biskuit, digunakan sebagai pengganti gula atau lemak.

Maltodekstrin merupakan salah satu jenis bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi membentuk padatan, meningkatkan viskositas, tekstur, dan kekentalan. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam prebiotik (makanan bakteri Probiotik), sangat baik bagi tubuh. secara nyata dapat memperlancar saluran pencernaan dengan membantu berkembangnya bakteri probiotik. Menurut Gibson (2005) maltodekstrin, oligosakarida, inulin, galakto-oligosakarida, polidekstrosa merupakan beberapa komponen prebiotik. Maltodekstrin digolongkan prebiotik dikarenakan maltodekstron mengandung oligoskarida. Maltodekstrin memiliki efek prebiotik dengan ditunjukkannya pada peningkatan konsentrasi bakteri menguntungkan dalam fekal termasuk bifidobacteria pada anjing. Kajian secara invitro pada tikus dan

Dokumen terkait