• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. ENKAPSULASI STARTER YOGHURT

4.3.2. Pembuatan Yoghurt

Kultur kerja terpilih selanjutnya diaplikasikan untuk pembuatan yoghurt. Pengujian pembuatan yoghurt dilakukan secara kulitatif dan kuantitatif. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan yoghurt dari perlakuan pengkapsulan terbaik dengan yoghurt yang dihasilkan dari kultur sel bebas (tanpa enkapsulasi) dan starter komersil (yogourmet), sedangkan pengujian kualitatif dilakukan dengan uji organoleptik untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap perlakuan terpilih. Hasil pengujian secara kuantitatif disajikan pada Tabel 9.

alginat 2%: pati resisten jagung 2%

39

Tabel 9. Hasil pengujian yoghurt secara kuantatif dari starter terpilih

* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P <0.05) * Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05)

Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan starter berpengaruh nyata terhadap waktu koagulasi sempurna (Lampiran 14), pH (Lampiran 15), total asam (Lampiran 16), viskositas (Lampiran 17), dan total bakteri (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan.

Pada hasil uji Duncan (Tabel 9) diketahui bahwa perlakuan pemberian jenis starter alginat 3%: maltodekstrin 1% pada waktu koagulasi sempurna berbeda nyata (P <0.05) terhadap sel bebas dan starter komersil. Waktu koagulasi sempurna tercepat terjadi pada yoghurt yang dibuat dari starter komersil diikuti oleh sel bebas dan perlakuan terpilih. Rendahnya waktu koagulasi sempurna perlakuan terpilih kemungkinan masih adanya bakteri yang terjerap dalam matrik enkapsulasi alginat dan maltodekstrin, sehingga membutuhkan waktu untuk release ke media fermentasi. Dembczynskidan Jankowski (2002) menyatakan bahwa penghambatan asam laktat pada pertumbuhan mikroba terenkapsulasi disebabkan oleh rendahnya transfer massa pertumbuhan mikroba dibanding sel bebas.

Keasaman yoghurt diukur dengan besar nilai pH dan total asam. Frobisher et al. (1974) menyatakan bahwa pengukuran total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi), sedangakan dalam pengukuran nilai pH yang terukur adalah kosentrasi ion hidrogen yang ada pada saat itu dalam bentuk terdisosiasi. Nilai pH yang dihasilkan starter alginat 3%: maltodekstrin 1% berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas, namun nilai total asam yang dihasilkannya berbeda nyata (P<0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas. Nilai rataan total asam selalu berbanding terbalik dengan nilai rataan pH. Pada hasil (Tabel 9) diketahui bahwa korelasi pH dan total asam tidak berjalan ideal pada perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% dan sel bebas. Hal ini diakibatkan adanya sisitem buffer pada produk-produk terfermentasi (Tamime dan Robinson, 1999).

Nilai pH dan total asam pada yoghurt starter komersil memenuhi persyaratan yoghurt sesuai SNI 2981:2009, sedangkan yoghurt yang dihasilkan oleh sel bebas dan bahan enkapsulan terpilih belum memenuhi persyaratan. Rendahnya nilai pH dan total asam yang dihasilkan dari starter komersil dibandingkan dari starter dari bahan enkapsulan dan pengisi terpilih karena perbedaan proses pengkapsulan yang dialami kedua starter ini. Starter komersil dikapsul dengan menggunakan metode freeze drying, sehingga mempengaruhi viabilitas bakteri pada starter. Rybka dan Kailasapathy (1997) menyatakan bahwa viabilitas Lactobacillus bulagricus lebih rendah dibanding Streptococcus thermophilus selama freeze drying, hal ini dikarenakan pengaruh rantai hidrogen pada ikatan protein di dinding sel

Perlakuan starter Yoghurt Waktu koagulasi sempurna (jam) pH Total asam (%) Viskositas (cp) Total bakteri (cfu/ml) alginat 3%: maltodekstrin 1% 4.12±0.231 (a) 5.72±0.35(ab) 0.29±0.017(c) 529±63.789(b) (1.46±0.683)x109(a) sel bebas (tanpa

enkapsulasi) 3.41±0.202 (b)

5.90±0.006 (b) 0.33±0.025(b) 665±20.429(a) (7.57±2.39) x108 (a) starter komersil 2.65±0.173(c) 5.36±0.005(a) 0.56±0.002(a) 638±8.622(a) (2.2±3.4) x105(b)

40

bakteri dan Streptococcus thermophilus merupakan bakteri gram positif yang tahan terhadap seluruh kondisi proses pembekuan dan pendinginan (thawing) (Marth, 1973). Bottazi (1983) dalam Syahrir (2002) menerangkan bahwa S. thermophilus mampu meningkatkan keasamaan atau menurunkan pH secara cepat, oleh karena itu pH yoghurt dari starter komersil lebih rendah dan total asamnya lebih tinggi.

Nilai viskositas yoghurt diukur untuk mengetahui tekstur yoghurt yang menyangkut konsistensi atau kekentalan yoghurt. Tekstur yoghurt antara kental dan semi padat karena terkoagulasinya protein susu membentuk struktur gel yang ditandai dengan terbentuknya konsistensi atau tekstur menyerupai “pudding” (Rukmana, 2001). Berdasarkan uji Duncan diketahui bahwa viskositas yang dihasilkan oleh perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% berbeda nyata (P<0.05) terhadap starter komersil dan sel bebas.

Menurut Triyono (2010) semakin tinggi kadar protein dalam yoghurt maka kekentalan semakin tinggi. Terkoagulasinya protein susu merupakan respon terhadap kondisi asam yang dihasilkan oleh aktivitas starter BAL. Tingkat keasaman rendah mengindikasikan jumlah asam laktat yang dihasilkan lebih sedikit sebagai hasil dari metabolisme karbohidrat bakteri kultur starter yogurt (Zain, 2010). Maka semakin besar jumlah bakteri, semakin besar protein yang terkoagulasi dan semakin besar pula nilai viskositasnya. Nilai viskositas sel bebas lebih besar dibanding starter komersil dan starter perlakuan terpilih. Hal ini dimungkinkan akibat tidak adanya matriks penjerap pada bakteri, sehingga bakteri pada starter sel bebas dapat mengkoagulasi protein dengan sempurna. Hasil penampakan fisik yoghurt yang terbentuk disajikan pada Gambar 21.

(a) (b) (c)

Gambar 21. Penampakan fisik yoghurt dari perlakuan: (a) alginat 3% : maltodekstrin 1% (b) sel bebas (c) starter komersil

Penggunaan maltodekstrin sebagai bahan pengisi enkapsulan yang berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri dapat bersifat sebagai penstabil agar produk yoghurt mempunyai konsistensi dan stabilitas yang baik, semakin tinggi konsistensinya semakin tinggi protein yang terdapat pada produk. Menurut Triyono (2010) penambahan maltodekstrin yang semakin tinggi sampai 10 % akan mengikat protein semakin tinggi. Hal ini tampak pada penampakan fisik yoghurt (Gambar 21) yang menunjukkan bahwa perlakuan terpilih tidak memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan pembanding (starter komersil dan starter sel bebas).

Hasil uji Duncan (Tabel 8) menunjukkan bahwa perlakuan jenis starter alginat 3%: maltodekstrin 1% pada total bakteri yang terkandung pada yoghurt berbeda nyata (P<0.05) terhadap sel bebas dan starter komersil. Jumlah bakteri tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1%. Peningkatan jumlah bakteri pada perlakuan alginat 3% : maltodekstrin 1% sebesar 1.35x109 cfu/ml, berbeda dengan peningkatan yang terjadi pada kultur kerja yang mencapai kenaikan hingga

41

3.57x108cfu/ml. Hal ini dimungkinkan karena bakteri sudah mulai memasuki fase stasioner, sehingga pertumbuhan bakteri tak lagi optimum.

Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa produk yoghurt umumnya mengandung 107 cfu/ml dari masing-masing jenis bakteri. Hasil (Tabel 9) menunjukkan bahwa alginat 3% : maltodekstrin 1% memiliki dan sel bebas memiliki jumlah bakteri lebih besar dibanding kandungan bakteri pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan menghasilkan produk yang tidak berbeda dari yoghurt pada umumnya (berdasarkan aspek mirobiologi).

Jumlah bakteri pada yoghurt yang dihasilkan starter komersil sejumlah 2.2x105 cfu/ml. Jumlah total bakteri pada starter komersil ini lebih kecil dari hasil penelitian Rajiv dan Nagendra (1996) yang meneliti viabilitas bakteri asam laktat pada berbagai starter komersil, pada penelitiannya jumlah bakteri S.thermophilus berkisar (5.3-2.3)x108 dan L.bulgaricus berkisar (2.87-3.9)x108 (pada empat perlakuannya). Hal ini kemungkinan akibat umur simpan starter komersil yang digunakan sudah lama mengalami penyimpanan. Miwanda et al. (2006) menerangkan bahwa umur starter mempengaruhi kemampuan bakteri memecah laktosa menjadi asam laktat. Sedangkan jumlah bakteri yang dihasilkan dari bahan enkapsulan terpilih lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Rajiv dan Nagendra (1996). Hal ini menunjukkan bahwa bahan enkapsulan terpilih mampu melindungi bakteri S.thermophilus dan L.bulgaricus pada yoghurt.

Hasil pengujian secara kualitatif (Lampiran 19) terhadap perlakuan terpilih (alginat 3% : maltodekstrin 1%) menunjukkan bahwa secara visual, warna yoghurt menunjukkan nilai hedonik rata-rata sejumlah 3.88. Sayuti (1992) menerangkan bahwa yoghurt pada umumnya berwarna putih. Hal ini sesuai dengan yoghurt yang dihasilkan (Gambar 21), sehingga perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya. Perlakuan terpilih juga tidak mempengaruhi penilaian aroma yoghurt yang dihasilkan. Ukuran beads yang dihasilkan sangat mempengaruhi karakteristik sensori produk (Rokka dan Pirjo, 2010), namun pada penilaian tekstur yang menunjukkan hasil rata-rata sebesar 3.16. Maka dapat diketahui bahwa penambahan bakteri terenkapsulasi (pada kultur kerja) untuk produksi yoghurt tidak mempengaruhi kesukaan panelis. Nilai pH yoghurt yang tinggi tidak berpengaruh nyata pada penilaian panelis, hal ini dapat dilihat pada hasil nilai rata-rata yang diberikan sebesar 3.40. Penerimaan umum panelis terhadap produk perlakuan terpilih yang dihasilkan menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan dari perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya yang dikonsumsi, hal ini ditunjukkan pada hasil rata-ratanya sebesar 3.44.

42

Dokumen terkait