TINJAUAN PUSTAKA
7) Esthetic atau keindahan, prinsip ini terkadang kontroversial karena adanya perbedaan persepsi antara warga kota dengan
pengelola kota. Misalnya kampung kumuh atau pedagang kaki lima bagi pejabat pemerintah dianggap merusak citra, sementara bagi warganya bahwa keindahan kampung atau kaki lima terletak pada kekumuhannya.
Selain ketujuh aspek tersebut Budihardjo (1999) pernah menyebutkan dua ”E” lagi yaitu Enforcement atau penegakan hukum dan Enjoyment atau kenikmatan dan kenyamanan.
Berdasarkan uraian prinsip-prinsip yang dapat mendukung terwujudnya eco-spatial behavior di atas dan prinsip-prinsip ekologi dari Salim (2008), terdapat beberapa kesamaan prinsip seperti yang disajikan pada Tabel 2.6. berikut.
Tabel 2.6 Prinsip-prinsip yang dapat mendukung terwujudnya eco- spatial behavior
Prinsip-prinsip ekologi Salim (2008)
Prinsip-prinsip menuju kehidupan yang berkelanjutan
(IUCN, UNEP, & WWC, 1993)
Prinsip Permukiman berkelanjutan “7 E + 2 E”
(Eko Budihardjo, 2003) 1. Memperhatikan hubungan antara
diversitas dan stabilitas ekosistem.
1. Melestarikan daya hidup dan keragaman bumi
1. Perencanaan kota
memperhatikan faktor lingkungan (Environment)
2. Memperhatikan adanya ekuilibrium antar komponen ekosistem
2. Perencana dan pengelola kota mempertimbangkan Equity atau persamaan hak, kesetaraan, dan keadilan
3. Memperhatikan adanya inter- dependensi antar komponen ekosistem 2. Memelihara dan menghormati komunitas kehidupan 3. Perencanaan kota memperhatikan Development Ethic atau etika pembangunan
4. Memperhatikan daya dukung dan daya tampung ekosistem yang terbatas
3. Berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi 5. Memperhatikan transformasi zat
dan energi (yang tidak bisa diciptakan) menjadi produk lain beserta limbahnya
4. Menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak terbarukan
4. Perencanaan kota mempertimbangkan energy conservation
5. Esthetic atau keindahan 6. Enjoyment atau kenikmatan dan
kenyamanan
__ 5. Memperbaiki kualitas hidup
manusia
7. Perencanaan kota mempertimbangkan alokasi ruang untuk berbagai
employment
__ __ 8. Enforcement atau penegakan
hukum
__ __ 9. Engagement atau partisipasi
masyarakat dalam perencanaan kota
Bila dihayati dari prinsip-prinsip tersebut di atas, prinsip melestarikan daya hidup dan keragaman bumi dari IUCN, UNEP, & WWC, (1993) merupakan pijakan etika bagi prinsip-prinsip lainnya
yang merupakan kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kehidupan berkelanjutan dalam suatu pembangunan. Oleh karena itu bab berikut akan dibahas tentang melestarikan fungsi lingkungan.
c. Melestarikan Fungsi Lingkungan
Resosoedarmo (1988), menyatakan bahwa melestarikan berasal dari kata lestari berarti langgeng. Melestarikan alam mempunyai lingkup yang lebih luas, bukan saja mengawetkan alam, tetapi juga sumber daya alam, dan yang dilindungi bukan hanya jenis-jenis tertentu melainkan semua makhluk hidup dari faktor lingkungannya. Usaha melestarikan alam harus ditekankan pada pelestarian sistem kehidupan secara menyeluruh atau lingkungan yang lebih baik agar kualitas hidup manusia dapat ditingkatkan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun l997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab I, Pasal I butir 5, 7, dan 9 menyebutkan bahwa pelestarian yang dimaksud mencakup: (1) pelestarian fungsi lingkungan adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, (2) pelestarian daya dukung lingkungan hidup. adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubairan, dan (3) pelestarian daya tampung iingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya. Pelestarian
(conservation) dimaksudkan sebagai pemakaian secara rasional
lingkungan untuk tujuan kualitas hidup yang tinggi dari berbagai jenis manusia, termasuk perencanaan dan pengendalian manusia dalam menggunakan lingkungannya, dengan mempertimbangkan masa depan manusia dan dengan pandangan lingkungan yang berkelanjutan untuk kepuasan aspirasi manusia, termasuk memelihara atau meningkatkan keanekaragaman dalam lingkungan.
Berkenaan dengan pelestarian sebagaimana disebutkan di atas, Hardjasoemantri (1996) menegaskan adanya tiga sasaran konservasi yang mencakup: (1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi
kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan), (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, dan (3) mergendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Catanese (1998) mengatakan balwa pelestarian dapat berlangsung dalam berbagai skala dan situasi yang berbeda, tidak saja bangunan atau lingkungan permukiman namun keseimbangan secara ekologis.
Melengkapi pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka asas konservasi sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dituliskan pada Pasal 4 Undang-undang Lingkungan Hidup (UULH) Nomor 23 tahun 1997 mencakup: (1) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya' (2) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan hidup' (3) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan, (4) tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, (5) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara ellsien, dan (6) terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Bertitik tolak dari pendapat tentang pelestarian sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka perilaku melestarikan adalah suatu. kegiatan yang berperan membawakan pengetahuan psikologis dalam mendukung masyarakat berkelanjutan secara ekologis. Perilaku ini berkait dengan sikap lingkungan, persepsi, dan nilai positif sebagai alat untuk mengembangkan perilaku yang cocok untuk lingkungan (De Young, 1999) Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan terhadap habitat atau lingkungan. Rasa ini yang merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan (Budihardjo, 1998).
2.4.3. Indikator Eco-Spatial Behavior Penghunian Rumah Susun Memperhatikan prinsip-prinsip yang dapat mendukung terwujudnya
Eco-spatial Behavior yang telah diuraikan tersebut di atas, maka diperlukan
indikator-indikator sebagai alat untuk mengukur apakah manusia sudah berperilaku keruangan yang ekologis. Merujuk pada IUCN, UNEP, dan
WWC dalam buku Caring for the Earth, A Strategy for Sustainable Living
(1993), disampaikan beberapa indikator, yaitu indikator primer untuk mengukur kondisi ekosistem; indikator sekunder untuk mengukur dampak manusia; dan indikator tersier untuk menunjukkan keberhasilan upaya- upaya dalam mengurangi dampak. Ketiga indikator ini dapat diaplikasikan untuk mengukur “keberhasilan penghunian rumah susun”, yaitu indikator
primer untuk mengukur kondisi lingkungan permukiman rumah susun;
indikator sekunder untuk mengukur dampak perilaku penghuni terhadap
spasial lingkungan rumah susun; dan indikator tersier menunjukkan upaya- upaya untuk mengurangi dampak seting spasial permukiman rumah susun. Tetapi untuk mengetahui ada tidaknya fenomena eco-spatial
behavior pada penghunian rumah susun tidak semua indikator tersebut
dapat diaplikasikan. Karena fenomena eco-spatial behavior adalah fenomena ada tidaknya perbuatan-perbuatan penghuni, baik yang terbuka (kasat indera) maupun yang tertutup (tidak kasat mata) dalam merespons struktur spasial rumah susun secara ekologis, maka dari ketiga indikator tersebut di atas, hanya Indikator Tersier yang dapat diaplikasikan pada fenomena eco-spatial behavior penghunian rumah susun, yaitu perilaku yang menunjukkan adanya upaya-upaya untuk beradaptasi atau mengurangi dampak setting spasial dari permukiman rumah susun. Dari berbagai studi literatur yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka indikator tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memiliki sikap dan tindakan yang melestarikan fungsi lingkungan permukiman rumah susun.
b. Memiliki sikap dan tindakan melakukan coping lingkungan penghunian rusun baik dalam bentuk adaptasi atau adjustment
c. Memiliki sikap dan tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga d. Memiliki sikap dan tindakan bekerja sama dalam institusi sosial
Secara rinci indikator dan tolok ukur keberhasilan eco-spatial
behavior dalam penghunian rusun dapat dilihat pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Indikator dan tolok ukur keberhasilan eco-spatial behavior
pada penghunian rumah susun