• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan a Interaksi Manusia dengan Lingkungan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perilaku Manusia

2.2.2. Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan a Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Manusia dan habitatnya (lingkungan hidup manusia), keduanya saling berinteraksi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus menjadi bagian dari lingkungan. Cara pandang manusia terhadap lingkungan dapat secara imanen atau transenden. Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan jalinan

transactional independency atau saling ketergantungan satu sama

lain, artinya perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya, sebaliknya Gifford (1987) dan Bubolz (1979) yang disitasi oleh Bianpoen (2000) lingkungan akan mempengaruhi perilaku dan pengalaman manusia itu sendiri. Melalui proses interaksi dengan lingkungan hidupnya, selain manusia akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, ia juga membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwotto, 1989; Soerjani, 1988)

Digambarkan oleh Rambo (1981) secara analitik proses interaksi ini terjadi di dalam sistem sosial (socio sistem) dengan ekosistem. Kedua sistem ini saling berhubungan terus menerus

melalui aliran enerji, materi dan informasi, sehingga terjadi proses seleksi dan adaptasi antara keduanya. Dalam proses interaksi yang berlangsung secara terus-menerus, manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya, sehingga manusia dapat hidup sejahtera dengan kualitas hidup yang lebih baik.

Interaksi manusia dengan lingkungannya dapat menimbulkan berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para perancang lingkungan, namun menurut Holahan sejumlah besar hasil rancangannya ternyata telah gagal mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya (Holahan, 1982). Di dalam lingkungan, selain manusia berinteraksi antar sesamanya secara individu atau kelompok, manusia juga berinteraksi dengan komponen-komponen lingkungan lain, baik biotik maupun abiotik. Hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan yang sifatnya positif menguntungkan manusia dan lingkungan, sebaliknya hasil interaksi yang sifatnya negatif dapat merugikan manusia dan Iingkungannya. Bahkan bila peristiwa terus-menerus berlangsung dapat merusak lingkungan yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup manusia. Interaksi ini sifatnya kompleks berlangsung dinamik dan terus menerus, meskipun dalam kondisi berubah-ubah diharapkan akan tetap dalam suatu keseimbangan (Soerjani, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan interaksi manusia dengan lingkungan adalah proses hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya yang berlangsung secara terus-menerus, dalam hubungan timbal balik ini manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya.

b. Sikap Manusia terhadap Lingkungan

Perilaku manusia sangat bergantung pada sikapnya. Dikemukakan Azwar (2007) bahwa Berkowitz (1972) menemukan pengertian lebih dari 30 definisi sikap. Puluhan pengertian sikap itu pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran, yaitu:

Pertama adalah kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh Thrstone (1928) dan Likert (1932) mendefinisikan sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Azwar, 2007). Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Holahan (1982) berpendapat bahwa sikap manusia terhadap lingkungan adalah perasaan senang atau tidak senang tehadap lingkungan sebagai obyek sikap, baik itu isu yang berkenaan dengan karakteristik lingkungan maupun isu lingkungan fisik misalnya terhadap desain rumah, penataan rumah, dan lainnya yang mereka tempati. Sikap manusia terhadap lingkungan dibentuk atas dasar keputusan tentang keiinginan untuk hidup maupun kepuasan dan ketidakpuasan

(disatification) berkaitan dengan lingkungan hidup sekarang.

Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Chave (1926); Bogardus (1931) dan Allport (1935), sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu (Azwar, 2007). Kesiapan bereaksi yang dimaksud, merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang dikondisikan. Oleh karena itu Deaux (1990) menyatakan bahwa sikap memberikan petunjuk tentang perilaku di masa datang, sehingga dimungkinkan untuk meramalkan bagaimana seseorang akan bertindak jika ia menghadapi obyek keyakinannya.

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme), yaitu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Komponen kognisi terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai obyek sikap yang mencakup fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang obyek, komponen afeksi terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap obyek sikap, dan komponen konasi adalah kesiapan seseorang untuk bereaksi atau berperilaku terhadap obyek (http//www.sbs.eku.edu/psy/winslow/psy.300.attitude.htm2/1/00p1 1of 2).

Berkaitan dengan kelompok pemikiran yang ketiga ini, ada dua pendekatan dalam melihat konstrak komponen-komponen sikap (kognisi, afeksi dan konasi), yaitu yang menyatu dan sebagai yang tidak menyatu (Rosenberg dan Hovland, 1960).

Pemikiran yang melihat komponen sikap sebagai satu kesatuan, Ajzen (1988) melihat semua komponen berada dalam suatu kontinum evaluatif, namun masing-masing dapat berbeda. Sebagai contoh seseorang yang mempunyai afeksi negatif terhadap penerbangan (takut & cemas naik pesawat) tetapi mempunyai kognisi positif terhadap pilot (pilot terlatih dan berpengalaman) akan tetap memutuskan bersedia ikut dalam penerbangan (konasi positif).

Gambar 2.2 Komponen sikap menyatu dalam kontinum evaluatif Pemikiran yang tidak menyatu menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam

Keyakinan (Kognisi) Emosi (Afeksi) Konasi (Kecende- rungan ber- perilaku) SI K AP

suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Konsepsi skematik hirarki sikap (Rosenberg & Hovland, 1960) Berdasarkan uraian di atas, sikap dapat digunakan untuk meramalkan perilaku, namun membutuhkan beberapa persyaratan yaitu, apabila (1) sikap seseorang kuat dan konsisten, (2) dikaitkan dengan perilaku yang diramalkan, (3) berdasarkan pengalaman, dan (4) sikap individu (Atkitson, 1987).

Terdapat 4 tipologi karakteristik sikap yang digambarkan oleh Krech (1962), yaitu (1) affective association, adalah sikap yang mempunyai kandungan kognisi dan kecenderungan tindakan yang minimal. Respons dari sikap ini didasari oleh emosi yang rendah yang ditimbulkan oleh obyek stimulus. Tipe ini tidak dapat memprediksikan perilaku seseorang; (2) Intellectualized attitude, karakter sikap ini mempunyai komponen kognisi yang tinggi, tetapi kurang berorientasi pada tindakan seperti halnya affective

association tipe juga tidak akurat dalam memprediksi sikap; (3) action

Variabel independent yang bisa diukur

Variabel intervening Variabel independent yang bisa diukur

STIMULI

(Individu, Situasi, Isu Sosial, Kelompok sosial

Obyek sikap lannya)

SIKAP Respons syaraf simpatetik Pernyataan lisan tentang afek Respons perseptual Pernyataan lisan tentang keyakinan Tindakan yang tampak Pernyataan lisan mengenai perilaku AFEKSI KOGNISI KONASI

oriented attitudes, karakter sikap yang berorientasi pada tindakan ini dapat merepresentasikan kecenderungan tindakan, namun dengan kandungan kognisi yang minimum; (4) balance Attitudes, karakter sikap tipe ini sangat berorientasi pada tindakan dan kaya akan komponen perasaan. Tipe ini cenderung mempunyai kaitan erat dengan sistem sikap yang lain dalam konstelasi sikap seseorang. Oleh karena itu tipe ini dapat memprediksikan kecenderungan tindakan seseorang. Dari keempat tipe tersebut, tipe terakhir inilah yang mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dibandingkan dengan 3 tipe lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sikap manusia terhadap lingkungan adalah respons manusia terhadap stimuli lingkungan yang merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu stimuli lingkungan

c. Perilaku Lingkungan

Dalam teori interaksionaisme, Sarwono (1997) mengemukakan bahwa manusia ditempatkan dalam posisi yang berhadapan dan berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya melalui penginderaannya. Setelah itu, apa yang ditangkap oleh indera akan diproses lebih lanjut dalam alam kesadaran manusia (kognitif) dan di sini ikut berpengaruh sebagai faktor yang terdapat dalam kognisi seperti memori tentang pengalaman, niat, sikap, motivasi, dan intelegensi orang yang bersangkutan. Hasil pengolahan akan berbentuk penilaian terhadap apa yang ditangkap oleh indera, dari ungkapan penilaian ini akan muncul perilaku. Ciri teori interaksi interaksionaisme yang diungkapkan oleh Sarwono tersebut adalah bahwa perilaku dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor yang terdapat dalam diri manusia dan faktor dari luar diri manusia. Jadi manusia dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Nadler (1979), menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan fungsi dari interaksi antara individu dan lingkungannya.

Perilaku manusia ini ditentukan oleh karakteristik individu itu sendiri yang meliputi kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalu. Karakteristik ini akan dibawa oleh individu bila ia memasuki lingkungannya yang selanjutnya karakteristik individu akan berinteraksi dengan karakteristik lingkungan, dengan demikian penyebab perilaku dapat berasal dari dalam diri manusia (internal) seperti kognitif, dan juga bisa bersumber dari faktor eksternal atau lingkungan. Ajzen (1980), ada empat elemen perilaku yaitu perilaku (action), target (target), kontek

(context), dan waktu (time).

Dalam hubungan manusia dengan lingkungan, Edward Chase Tolman (1886-1959) merumuskan bahwa perilaku (behavior) sangat bergantung dari situasi dan antecedent. Situasi di sini dimaksudkan sebagai suatu keadaan yang menggambarkan aktivitas pada suatu tempat, sementara yang dimaksud antecedent adalah hal-hal yang mendahului situasi.

Bila situasi tersebut di atas yang menggambarkan aktivitas pada suatu tempat dapat diartikan sebagai lingkungan manusia, maka perilaku manusia dalam merespons lingkungannya tergantung macam lingkungannya dan individu yang bersangkutan. Pendekatan ini didukung oleh pendapat Kurt Levin (1890-1947) dan Brunswik (1903-1955) yang menyatakan bahwa masing-masing lingkungan dan individu seseorang dapat mempengaruhi respons seseorang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama lingkungan dan individu mempengaruhi respons seseorang. Laurens (2005), menyatakan bahwa individu seseorang dapat berupa motivasi, pengalaman, pengetahuan, dan karakter seseorang, sedangkan lingkungan17 terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan sosial,

17 Lingkungan yang dimaksud oleh Laurens (2005) adalah lingkungan fisik terdiri atas terrestrial, seting geografis

atau seting ruang; Lingkungan social terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal; Lingkungan psikologik terdiri atas imajinasi yang dimiliki seseorang dalam benaknya dan Lingkungan behavior mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respons seseorang.

lingkungan psikologik, maupun lingkungan behavior, seperti yang digambarkan pada rumusan dan skema ini.

Gambar 2.4 Pengaruh individu dan lingkungan terhadap perilaku dapat melalui proses 1 maupun proses 2.

d. Perilaku Adaptasi Manusia terhadap Lingkungan

Manusia melalui alam pikirannya (noosfir) dapat menjangkau hal-hal yang berwujud maupun yang abstrak (Soerjani, 1987). Oleh karena itu, manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan adaptasi18 yang sangat besar dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dibandingkan mahluk hidup lainnya (Soemarwoto, 1991). Dengan kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang besar ini, hampir di semua habitat utama19 dapat dihuni oleh manusia.

Adaptasi pada manusia dapat melalui proses fisiologi (adaptasi fisik), proses morfologi (adaptasi bentuk), dan proses sikap atau tingkah laku (adaptasi kultural) (Soemarwoto, 1991; Environmental

and Human Adaptation 2006). Dalam jangka pendek adaptasi fisik

manusia merupakan respons fisik akibat adanya perubahan lingkungan20, sedangkan untuk jangka panjang adaptasi fisik manusia dapat secara genetik. Manusia dalam beradaptasi secara kultural dapat melakukan adaptasi tindak penyesuaian diri melalui perilaku

18 Adaptasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan alam atau lingkungannya (Holahan, 1982; Soemarwoto, 1991).

19 Habitat Utama: perairan, Daerah Aliran Sungai, hutan hujan tropis, lahan kering, dataran rendah teririgrasi, lahan basah, lahan liar, daerah urban dan industri (Haeruman, 2007).

20 Disebutkan dalam Environmental and Human Adaptation 2006 : suhu (panas, beku), ketinggian /tekanan atmosfir, ultra violet sinar matahari, dan pencemaran.

dan teknologi, menurut Bell (1978) upaya ini disebut dengan

Coping21.

Coping atau mekanisme diri adalah upaya tindak penyesuaian

diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup manusia baik itu sistem sosial maupun ekosistem. Macam atau bentuk tindak coping ini dilakukan seseorang berdasarkan persepsinya22 terhadap lingkungan.

Dalam melihat persepsi lingkungan ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson

(Bell, 1978). Pendekatan konvensional, persepsi adalah proses penerimaan sejumlah sensasi melalui bekerjanya sistem syaraf, sehingga kita dapat mengenal dan menyusun suatu pola yang terjadi sebagai hasil proses penerimaan informasi melalui penarikan kesimpulan atau pembentukan arti dari suatu kejadian saat itu, serta dikaitkan dengan kesan/ingatan untuk kejadian yang sama di masa lalu.

Pendekatan ekologis dari Gibson, persepsi adalah penyesuaian timbal balik antara individu, lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Pola persepsi menyampaikan lebih banyak informasi secara cepat tanpa melalui proses penyesuaian pusat syaraf yang lebih tinggi. Persepsi lebih banyak holistik, sehingga informasi lingkungan yang diterima bukan merupakan bagian yang terpisah- pisah melainkan satu kesatuan yang penting. Persepsi ini mempengaruhi reaksi seseorang dalam coping sesuai nalurinya, reaksi ini akan homeostasis bila yang dipersepsikan masih dalam batas optimal (toleran). Bila lingkungan dipersepsikan di luar batas optimal atau intoleran, penghuni mengalami stress23 yang memicu untuk melakukan penyesuaian diri yang kadang kala berhasil dan kadang kala gagal (Gambar 2.5).

21 Contoh: Manusia yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah domestik, dalam tubuhnya berkembang kekebalan terhadap infeksi muntah berak. Orang Indian di pegunungan Andes yang tinggi telah teradaptasi pada kadar oksigen dalam udara yang rendah. Ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dilakukan dengan penyesuaian perakaran yang dalam dan luas. Tumbuhan dapat membentuk zat dalam tubuhnya yang membuat mereka kebal terhadap serangan hama.

22 Persepsi adalah stimulus (sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada syaraf) yang ditangkap oleh panca indera yang diberi interpretasi (arti) oleh sistem syaraf (Sarwono, 1989.)

23 Stress adalah beban mental yang timbul akibat suatu rangsangan yang dipersepsikan di luar ambang toleransi seseorang ( Sarwono, 1992),

Gambar 2.5 Model tindak penyesuaian diri (Bell ,1978)

Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory) menyebutkan, manusia menyesuaikan respons terhadap rangsang atau stimulus yang datang dari luar, sementara itu stimulus dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia. Penyesuaian respons terhadap stimulus sebagai adaptasi, sedangkan penyesuaian stimulus pada keadaan individu disebut sebagai adjustment (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Bentuk coping yang terdiri dari adaptasi dan adjustment

Dalam hubungan ini, Wohlwill mengatakan bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Kondisi lingkungan yang

Obyek Fisik

Individu

Stress berlanjut

Adaptasi Kemungkinan efek lanjutan Persepsi Dalam batas optimum / toleran Di luar batas optimum /

intoleran Stress Coping

Berhasil

Gagal Homeostasis

Kemungkinan efek lanjutan

Ma nusia Ling k. Ala m a ta u Bua ta n Ad a p ta si = re sp o ns d ise sua ika n

d e ng a n ling kung a n/ stimulus

Adjustm e nt = stim ulus d ise sua ika n d e ng a n ma nusia

sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal (Sarwono, 1992). Pendapat Lazarus yang disitasi Sarwono (ibid), ada dua macam adaptasi, yaitu tindak penyesuaian diri langsung dan tindak penyesuaian mental (Palliative coping). Individu cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell di atas kondisi ini dinamakan kondisi homeostasis. Respons dalam bentuk adaptasi cenderung tidak berdampak negatif pada lingkungan, tetapi respons dalam bentuk adjustment seringkali dapat merusak lingkungan baik fisik maupun non fisik.

Permasalahan sosial yang terjadi pada masyarakat, anggota masyarakat dalam melakukan coping akan mencoba berbagai solusi yang akhirnya akan menjadi solusi yang terbentuk dengan stabil pada kebiasaan masyarakat (homeostasis). Kebiasaan ini akan terpancar kuat pada generasi berikutnya sebagai budaya dari masyarakat itu sendiri (Krech, 1992).

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud coping lingkungan adalah upaya tindak penyesuaian diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup manusia, baik lingkungan sosial, lingkungan alami, maupun lingkungan buatan, baik secara langsung dalam bentuk adaptasi dan

adjustment maupun secara mental.

2.3. Spatial Behavior (perilaku spasial)