• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Spasial Lingkungan Buatan 1 Pengertian Spasial

2.1.3. Lingkungan Permukiman Rumah Susun

Memahami lingkungan permukiman rumah susun akan dibahas mengenai makna rumah itu sendiri yang dikembangkan menjadi makna rumah susun dan lingkungannya serta penghunian rumah susun.

a. Makna Rumah

Rumah13 merupakan komponen utama perumahan14 dan perumahan sendiri merupakan komponen utama suatu

13 Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan

keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Undang-undang no 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).

14 Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang

dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. (UU no 1 tahun 2011).

permukiman15. Bagi penghuni, rumah tidak hanya berarti fisik semata, tetapi juga mempunyai makna tersendiri.

Pengertian rumah tidak hanya sebagai bangunan rumah saja juga dikemukakan oleh Pedro Arrupe yang dikutip Budihardjo (1987):

”A House is much more than building. It is social context of family life – the place where man loves and shares with those who are closed to

him”. Rumah juga bukan semata-mata merupakan tempat bernaung

untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga harus mampu memenuhi hasrat psikologis insani dalam membina keluarga (Soedarsono, 1986). Makna yang lebih luas rumah harus mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia secara penuh menuju perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Batubara, 1986). Rumah sebagai tempat tinggal merupakan satuan yang kompleks yang melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan (Suparlan, 1991).

Dari beberapa makna rumah tersebut di atas, Hayward (1987) merumuskan hakekat rumah adalah sebagai berikut:

1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri, yaitu sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni.

2. Rumah sebagai wadah keakraban, yaitu dalam rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.

3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi, yaitu merupakan tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin.

4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan, yaitu dalam konsep kampung sebagai tempat kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam menuju masa depan.

5. Rumah sebagai wadah kegiatan sehari-hari. 6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial

7. Rumah sebagai struktur fisik bangunan

15 Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang

mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU no 1 tahun 2011).

Rumah sebagai benda dalam pemenuhan kebutuhan manusia dapat merujuk pada pemenuhan kebutuhan berdasarkan kebutuhan hirarki dari Maslow, seperti yang disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia

No Kebutuhan Bertingkat

(Maslow)

Pemenuhan Kebutuhan Melalui Rumah

1 Fisiologis Memberikan perlindungan dari gangguan alam dan binatang; tempat istirahat dan pemenuhan fungsi badani.

2 Rasa aman Rasa aman menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta, menjamin hak pribadi

3 Rasa cinta dan memiliki Memberi peluang untuk berinteraksi dan aktivitas komunikasi, serta mempunyai identitas dalam komunitas lingkungan perumahan yang ditinggali 4 Rasa harga diri Memberi peluang untuk tumbuhnya harga diri

melalui kepemilikan dan tampilan rumah yang ditinggali

5 Aktualisasi diri Rumah mencerminkan kesuksesan penghuninya sebagai bagian mengaktualisasikan diri.

Sumber: Deliyanto, 1997

Dari lima hirarki tersebut di atas, Maslow16 telah mengembangkan teorinya menjadi delapan hirarki kebutuhan, yaitu dua kebutuhan setelah mencapai harga diri berupa kebutuhan kognisi dan akan keindahan, serta menambahkan kebutuhan puncak setelah aktualisasi diri yaitu kebutuhan akan keberadaan Tuhan. Secara lengkap hirarki adalah sebagai berikut : (l) kebutuhan fisik

(physiological needs), (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), (3)

kebutuhan memiliki dan kasih sayang (belongingness & love needs), (4) kebutuhan penghargaan (esteem needs), (5) kebutuhan kognisi

(needs to know & understand), (6) kebutuhan estetika (aesthetic

needs), (7) aktualisasi diri (self-actualitation), dan (8) kebutuhan

pentingnya menemukan arti keberadaan Sang Pencipta

(transcendence).

16 (Maslow hierarchy of needs http\\www.Valdosta.peachnet.edu/-wihuitt/ psy702/regsis/ maslow.html 4/4/00 pp. I of 3 – 2 of 3).

b. Rumah Susun dan Lingkungannya

Rumah susun dapat diartikan sebagai bangunan bertingkat yang terdiri dari beberapa unit rumah tinggal yang disebut Unit Satuan Rumah Susun (sarusun). Undang-undang Rumah Susun 1985, menyebutkan pengertian Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki atau disewa dan digunakan secara terpisah terutama untuk hunian; rumah susun dilengkapi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Rumah susun dan lingkungannya direncanakan sebagai tempat yang dapat mengakomodasi sebuah keluarga berikut kebutuhan-kebutuhannya yang kompleks tidak semata-mata kebutuhan fisik. Memahami makna rumah susun tentu saja tidak bisa terlepas akan makna rumah itu sendiri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seperti yang telah dibahas, lingkungan permukiman rumah susun adalah merupakan lingkungan buatan atau man-made

environment atau built environment, suatu lingkungan dengan

intervensi manusia yang tinggi. Oleh karena itu permukiman rumah susun sebagai lingkungan hidup dan habitat manusia bukan hanya untuk manusia saja tetapi juga segala mahluk lain seperti berbagai jenis hewan yang sudah banyak didominasi dengan hewan piaraan; dan tumbuh-tumbuhan yang sudah didominasi jenis tanaman hias, rumput, pohon peneduh yang ditanam manusia, sumber daya air bersih yang sudah merupakan air bersih olahan, kemampuan pemurnian kembali limbah secara alami sudah dibantu alat, dan seterusnya. Kesemuanya saling terkait serta timbal balik sebagai satu kesatuan sistem ekologi yang sering disebut “ekosistem suatu permukiman” (Deliyanto, 2004).

Eko Budihardjo (1993) melihat permukiman di perkotaan sebagai suatu jaringan sistem organisme utuh yang terdiri atas dua subsistem yaitu city's hardware (jasmani kota) dan city's software

(rohani kota). Suatu permukiman di perkotaan bisa diibaratkan sebagai jasad hidup, memahami lingkungan hidup dan kehidupan

suatu permukiman dapat didekati dengan bagaimana cara memahami sistem kehidupan jasad hidup.

Budihardjo (ibid), subsistem jasmani kota mencakup gejala

metabolisme (mirip pencernaan makanan), kardiovaskuler (peredaran

darah), nervous (persyarafan), dan skelektal (pertulangan).

Metabolisme kota, dalam kehidupan kota terdapat jaringan yang

menjamin pemenuhan kebutuhan kota seperti; air, pangan, bahan bakar, listrik, gas, dan seterusnya. Begitu juga untuk pembuangan, kota mempunyai pengolahan limbah atau menggunakan daerah pinggiran untuk pembuangan limbah dengan perlakuan tertentu. Jika penyaluran masuknya kebutuhan dan pembuangan sisa-sisa konsumsi tidak beres, suatu permukiman akan mengidap penyakit

metabolis, yaitu gangguan pencernaan. Gejala ketidakberesan ini

dapat dilihat adanya banjir jika saluran-saluran air kotor tertutup oleh sampah, kurangnya air bersih, listrik sering padam, dan seterusnya.

Kardiovaskuler kota, dalam kota terdapat lalu lintas, yang

berfungsi untuk mengirim pangan kepelosok-pelosok, mengirim para pekerja, dan seterusnya. Jika lalu lintas ini terganggu (macet) akibat kepadatan kendaraan yang tinggi, maka terganggu pula peredaran darah kota tersebut. Sementara itu udara yang kotor akibat industri dan transportasi akan mengakibatkan pernafasan terganggu dan membahayakan paru-paru. Begitu juga yang terjadi di lingkungan permukiman rumah susun, bila arus sirkulasi baik vertikal maupun horizontal seperti lift, tangga, dan koridor rusak juga akan mengganggu kenyamanan penghuni.

Nervous, diidentikkan dengan jaringan informasi atau

komunikasi seperti radio, televisi, telepon koran dan seterusnya, bila jaringan ini rusak maka penghuni rumah susun akan kehilangan informasi dan komunikasi sehingga tidak dapat berbuat apa-apa seperti bagian tubuh yang tidak bergerak akibat syarafnya rusak.

Skeletal pada permukiman kota, diidentikkan dengan

infrastruktur permukiman seperti: jaringan jalan, parkir, ruang bermain, bangunan rumah, bangunan utilitas , dan seterusnya. Terganggunya salah satu sistem jasmani permukiman tersebut di atas akan mengganggu atau berpengaruh pada sistem jasmani

permukiman yang lain, sehingga lingkungan permukiman terkesan sakit.

Di dalam lingkungan permukiman rumah susun juga terdapat subsistem yang bersifat non jasmani (rohani) atau budaya kebiasaan tinggal di rumah susun, seperti struktur kelembagaan (perhimpunan penghuni), sistem penghunian maupun sistem sosial lainnya yang akan diuraikan pada bab lain.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah susun adalah bangunan bertingkat yang terdiri dari beberapa unit rumah tinggal yang dibangun dalam lingkungan buatan dan direncanakan sebagai tempat tinggal yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sebuah keluarga yang kompleks, tidak semata-mata kebutuhan fisik melainkan juga melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan. Dalam lingkungan permukiman rumah susun mempunyai dua subsistem yaitu hardware

system dan software system.

c. Penghunian Rumah Susun

Penghunian berasal dari kata huni yang berarti didiami, ditunggui, atau berpenduduk (Poerwadarminta, 1989), sedangkan hunian dapat berarti tempat untuk didiami. Penghunian adalah proses menghuni. Soedarsono (1986), menghuni adalah kehadiran manusia dalam menciptakan ruang pada lingkungan masyarakat. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Frick (2006) menghuni dapat diartikan sebagai mengambil ruang sehingga menjadi milik. Dikatakannya, secara filosofis, proses menghuni berarti menjaga kepastian tentang perlindungan secara fisik dan non fisik, dikatakan lebih lanjut proses menghuni merupakan proses interaksi antara impian dan kenyataan antara kebebasan dan pengaturan seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penghunian adalah kehadiran manusia dalam menciptakan ruang pada lingkungan masyarakat untuk menjaga kepastian tentang perlindungan secara fisik maupun non fisik.

Gambar 2.1 Proses menghuni sebagai interaksi antara impian dan kenyataan (Sumber: Frick, 2006 )

Kehidupan bersama dalam satu bangunan rumah seperti kehidupan di rumah susun yang kita kenal saat ini, sebenarnya sudah dikenal bangsa Indonesia cukup lama. Bangsa Indonesia mempunyai pengalaman menata kehidupan bersama dalam sebuah rumah besar yang dihuni secara komunal. Rumah besar tersebut disebut “Lamin” di pedalaman Kalimantan dan “Rumah Gadang” bagi keluarga Minangkabau, atau rumah-rumah sejenis di berbagai daerah di tanah air yang dikenal sebagai “extended family”, yang berisi keakraban, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan di antara anggota-anggotanya yang berorientasi pada nilai yang sama, yaitu kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Dalam rumah besar yang dihuni bersama ini berlaku norma kehidupan yang

Arsitektur yang d apat be rpindah-pindah arsitektur yang tetap (tidak be rgerak)

Berkha yal kosong Menghuni angkasa

Proses menghuni Menghuni bersama Pen garuh rumah atas peng huninya

Transmigrasi, migrasi, pengungsi2

Komoditas tinggi, b ersifat be rkelana 1

Menghun i bu mi, kediaman = ruang hidu p

Menghuni rumah tin ggal tetap

Bentuk struktu r yang

rin gan saja (te mpat berlindung) Sejarah menghuni yang dimiliki se ndiri Menghuni rumah Menghun i rumah di pe rumahan

Tipologi gedu ng Tata kota da n tata ruang lingkungan 3

Penggunaan lahan , hak atas tanah

Pemba ngunan sesuai

dengan iklim setempat Tata re ncana pe rumahan

Prasarana (infrastru cture) 3 Menghuni rumah d i desa/kampung 4 Me miliki tempat kediaman sendiri 5

Arsitek, ahli sipil, kon tra ktor dsb.

Melengkapi rumah Arsitek interior

Pe rkemahan 6 Waktu luang/libur 3 Memiliki vila sebagai rumah kedua 1

kebebasan landasan Peraturan dan p engawasan b ertambah terus

Pe ra turan bangunan dan pen gawa san

Perancangan ko nst, bangunan 6

Mebel, ornament, cat Impian utopia

In tera ksi Sosial

Ken yataan

1 perhatian pada limit of g rowth

2 perhatian pada kependuduka n

3 pe rhatian pada mobilitas d an lalu lintas

4 pe rhatian pada jarak tempat menghuni dan te mpat kerja

5 perha tian pada ekonomi / pembiayaan 6 perha tian pada pencemaran lingkungan

ditujukan untuk kelangsungan kehidupan bersama, menghadapi musuh bersama, kepentingan bersama, dan lainnya.

Lamin, Rumah Gadang, Rumah Susun memiliki satu persamaan ciri, karena masing-masing merupakan “communal

dweling” dan proses penghunian karena proses turun temurun.

Rumah susun proses penghuniannya masih belum melalui proses turun temurun melainkan penghunian baru yang pindah dari rumah

landed houses, di samping itu dalam penghunian rumah susun

menunjukkan adanya berbagai aspek yang berbeda. Kehidupan di rumah susun nampaknya memberi gambaran suatu kehidupan masyarakat modern yang cenderung memberi nilai tinggi terhadap segi-segi kehidupan yang bersifat pribadi (private, privacy) dan eksklusif. Bila dalam sebuah Lamin atau Rumah Gadang, communal

dweling ditandai oleh adanya kebiasaan anggota rumah untuk

berbagi suka dan duka, di dalam lingkungan rumah susun keluarga hidup sendiri-sendiri, di dalam unit rumah susun mereka.