• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PENANAMAN MODAL ASING DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Estimasi & Interpretasi

Tahapan penting dari penelitian kuantitatif dengan menggunakan ekonometri adalah analisis hasil output ekonometri. Hasil Chow Test yang dilakukan memperlihatkan nilai probability F hitung (0,000) lebih kecil dari

α

0,05. Hasil Chow Test tersebut menjadi dasar untuk menolak H0. Berdasarkan hasil tersebut, keputusan yang diambil adalah fixed effect model lebih baik dari pada common effect model.

Selanjutnya untuk menentukan model yang lebih baik antara FEM dengan REM, dilakukan uji Hausman. Hasil Uji Hausman yang dilakukan menghasilkan nilai chi square (statistik hausman) sebesar 20,24 lebih besar dari nilai distribusi chi square sebesar 16,92 dan p-value sebesar 0,016 lebih kecil daripada

α

0,05. Hasil Uji Hausman tersebut menjadi dasar untuk menolak H0, yang berarti FEM lebih baik daripada REM.

5.2 Estimasi & Interpretasi

Setelah mendapatkan FEM sebagai model yang paling baik, tahapan selanjutnya adalah melakukan estimasi dan interpretasi model. Tahapan estimasi dan interpretasi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Output Eviews harus dilihat terlebih dahulu apakah sudah sesuai dengan kriteria yang lazim digunakan dalam studi statistika dan ekonometrika, jika tidak memenuhi kriteria statistika dan kriteria ekonometrika, maka hasil tersebut tidak layak digunakan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel. Setelah memenuhi kriteria tersebut, baru dapat dilakukan interpretasi terhadap hasil output Eviews. Hasil regresi dengan menggunakan Eviews tertuang dalam tabel 5.1.

Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Model Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PDRBRK 1,059242 0,632534 1,6746 0,0949 UPAH -0,005649 0,001013 -5,5787 0 IHK -0,732373 0,136614 -5,3609 0 JALAN 3,393428 0,771123 4,40063 0 LISTRIK 0,811087 0,323359 2,50832 0,0126 PELABUHAN 3,65E-06 1,80E-06 2,0239 0,0437 PENDIDIKAN 0,001609 0,00545 0,2952 0,768 KRIMINALITAS -0,295273 0,592413 -0,4984 0,6185 OTDA -0,017696 0,003231 -5,4774 0

Weighted Statistics

R-squared 0,978661 Mean dependent var 14,2131 Adjusted R-squared 0,976705 S.D. dependent var 10,4605 S.E. of regression 1,596555 Sum squared resid 917,636 F-statistic 2063,839 Durbin-Watson stat 1,9339

Prob(F-statistic) 0

Unweighted Statistics

R-squared 0,620974 Mean dependent var 10,6436 Adjusted R-squared 0,58623 S.D. dependent var 2,49315 S.E. of regression 1,603721 Sum squared resid 925.892 Durbin-Watson stat 1,923474

Menurut Gujarati (1995), model ekonometri yang baik harus memenuhi kriteria statistik dan kriteria ekonometrik. Kriteria Statistik terkait dengan probabilitas F statistik dan koefisien determinasi (nilai R2

Kriteria statistik dalam model ini dilihat dari probabilitas F statistik dan koefisien determinasi (nilai adjusted R

). Sedangkan kriteria ekonometrik menyangkut uji asumsi klasik yang menyangkut tiga hal, yaitu autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedasticitas.

2

). Nilai Probabilitas F Statistik model ini sebesar 0,000 sedangkan nilai adjusted R2

Interpretasi dari nilai probabilitas F statisitik dan nilai adjusted R

model ini sebesar 0,976. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut sudah memenuhi kriteria statistik untuk menjadi model yang layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

2

tersebut adalah bahwa pada tingkat kepercayaan 97 persen, variabel-variabel bebas dalam model tersebut secara bersama-sama signifikan mempengaruhi realisasi PMAL di sektor

industri manufaktur non migas di Indonesia. Sedangkan nilai adjusted R2

Sedangkan kriteria ekonometrik dalam model ini dilihat dengan melihat ada atau tidaknya autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedasticitas. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa dalam model regresi data panel permasalahan multikolinieritas dapat diabaikan, karena sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya multikolinieritas, walaupun masing-masing individu mengandung multikolinieritas (Sanjoyo, 2009). Ini merupakan salah satu keunikan dari regresi data panel. Permasalahan autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Nilai DW pada hasil output eviews sebesar 1,93 mengandung pengertian bahwa tidak terjadi autokorelasi. Permasalahan heteroskedasticitas dalam penelitian ini dapat diabaikan karena data dirubah ke dalam bentuk logaritma natural dan model diperlakukan dengan cross section weight dan white heteroscedasticity. Dengan demikian, model penelitian ini sudah memenuhi kriteria ekonometrik.

sebesar 0,976 menunjukkan bahwa 97,6 persen keragaman nilai realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman nilai variabel bebasnya. Sedangkan sisanya (2,4 persen) dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

Berdasarkan informasi dari Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang secara nyata mempengaruhi penanaman modal asing di propinsi-propinsi di Indonesia adalah variabel market size (dengan proxy PDRB riil perkapita), inflasi (dengan proxy IHK), infrastruktur (dengan proxy prosentase jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan, daya tersambung listrik untuk sektor industri dan dummy pelabuhan), upah dan otonomi daerah. Sedangkan variabel dalam model yang tidak berpengaruh terhadap penanaman modal asing adalah tingkat pendidikan (dengan proxy prosentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan minimal SLTA/sederajat) dan stabilitas sosial politik (dengan menggunakan index kerawanan daerah).

Variabel yang mempunyai pengaruh paling besar adalah panjang jalan dalam kondisi baik. Hal itu terlihat dari koefisien yang paling besar diantara semua variabel penjelas, yaitu sebesar 3,3934. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling kecil adalah variabel pelabuhan, yaitu sebesar 3,65E-06.

Market size mempunyai pengaruh positif terhadap penanaman modal asing di Indonesia pada taraf nyata 10 persen dengan koefisien sebesar 1,059. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan PDRB riil perkapita sebesar

1 persen, maka penanaman modal asing akan naik sebesar 1,06 persen (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Sarwedi (2002), Firdaus (2006), Aqeel & Nishat (2005) dan Udo & Obiora (2006). Hal ini mengindikasikan bahwa output berupa produk barang yang dihasilkan PMAL di sektor industri manufaktur diorientasikan untuk memenuhi permintaan di pasar domestik. Market seeking merupakan jenis PMAL yang lazim terjadi dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu, penanam modal akan lebih memilih melakukan kegiatan penanaman modal di daerah yang pendapatan perkapita masyarakatnya tinggi agar barang yang dihasilkan dapat terserap oleh pasar domestik. Hal ini sesuai dengan Teori Eklektik Dunning yang menyatakan bahwa PMAL akan dilakukan jika terdapat faktor-faktor yang membuat perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan produksi di negara tujuan (host country) daripada di negara asal (home country).

Variabel inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL di Indonesia dengan koefisien sebesar 0,7323. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa inflasi mempunyai hubungan yang berlawanan dengan PMAL. ini artinya bahwa, apabila terjadi inflasi sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar 0,73 persen (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan penelitian Tsen (2006) dan Udo & Obiora (2006). Hasil ini menegaskan bahwa pelaku usaha bertindak rasional, dengan mempertimbangkan keuntungan sebagai dasar untuk mengambil keputusan berinvestasi. Inflasi mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat, dimana semakin tinggi tingkat inflasi maka daya beli masyarakat semakin rendah. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang rendah, maka pilihan yang lebih menguntungkan adalah tidak melakukan investasi. Kalau dilacak lebih jauh, inflasi lebih disebabkan oleh adanya hambatan di sisi pasokan (supply side) dan persoalan struktural pada jalur distribusi, bukan disebabkan oleh permintaan (Basri, 2002).

Permasalahan pada sisi penawaran tidak terlepas dari tidak terjadinya pasar persaingan sempurna. Dalam kasus beberapa komoditi penting seperti minyak goreng, terigu, mie instan, telur, ayam ras dan gula pasir, struktur pasar yang terjadi adalah oligopolistik. Hanya beberapa perusahaan saja yang mendominasi pasar, sehingga mereka dapat leluasa menentukan harga komoditi di pasar dengan mengatur pasokan. Bahkan, yang terjadi adalah kartel, dimana perusahaan-perusahaan yang terlibat bekerja sama dalam menjual produk yang sama, sehingga harga yang ditetapkan di pasar bukan harga yang paling efisien.

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) jenis infrastruktur sekaligus sebagai variabel bebas. Proxy prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan terbukti signifikan berpengaruh positif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar 3,3934. Ini artinya, dengan kenaikan proporsi panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total panjang jalan sebesar 1 persen, maka PMAL akan meningkat sebesar 3,39 persen. Energi listrik sebagai salah satu bagian penting dari infrastruktur mempunyai hubungan positif dengan PMAL dengan koefisien sebesar 0,8111. Ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah daya tersambung ke sektor industri sebesar 1 persen, maka PMAL akan naik sebesar 0,8 persen (ceteris paribus).

Sedangkan dummy pelabuhan mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap PMAL dengan koefisien 0,00000365. Ini menunjukkan bahwa antara daerah yang mempunyai pelabuhan kelas 1 dan kelas utama signifikan berbeda lebih besar daripada propinsi yang tidak mempunyai pelabuhan kelas 1 dan utama. Walaupun perbedaannya relatif kecil, hanya sebesar 0,00000365 persen. Pengaruh positif dan signifikan dari variabel infrastruktur terhadap PMAL ini sesuai dengan hasil penelitian Erdal & Tatoglu (2001), Tsen (2006) dan Firdaus (2006).

Hasil ini sekaligus menegaskan peran vital dari infrastruktur terhadap perputaran roda perekonomian dan akselerasi pembangunan. Infrastruktur sangat penting untuk mempermudah mobilitas faktor produksi dan sekaligus mobilitas barang dan jasa, sehingga mudah difahami jika semakin bagus kondisi infrastruktur di daerah, maka minat penanam modal untuk melakukan aktivitas usaha di daerah tersebut juga akan semakin tinggi. Apalagi infrastruktur mempunyai keunikan dalam hal eksternalitas positif yang tinggi, yaitu dapat mendorong pertumbuhan sektor lain.

Variabel upah berpengaruh negatif terhadap PMAL dengan koefisien sebesar 0,0056, ini artinya jika upah naik sebesar 1 persen, maka PMAL akan turun sebesar 0,0056 persen. Hal ini sesuai dengan pendapat Vernon dan Weber bahwa PMAL akan mencari daerah-daerah yang ongkos tenaga kerjanya murah agar nilai jual produknya di pasar dapat kompetitif. Hal ini terutama untuk tenaga kerja dengan skill rendah, berbeda dengan tenaga dengan skill tinggi. Kecilnya koefisien upah, disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia. Di mana produktivitas mampu mengkompensasi kenaikan upah, sehingga elastisitas pengaruh upah terhadap PMAL dapat ditekan pada tingkat yang lebih rendah.

Tabel 5.2 Produktivitas Tenaga Kerja Beberapa Negara Asia (dalam US $)

Data produktivitas tenaga kerja pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia pada periode 2003-2007 mengalami peningkatan sebesar 11,11 persen. Namun, prosentase peningkatan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih jauh di bawah peningkatan produktivitas tenaga kerja Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. Jika ingin menikmati tingkat upah yang tinggi, mau tidak mau tenaga kerja Indonesia harus terlebih dahulu meningkatkan produktivitasnya.

Kecenderungan bahwa PMAL di Indonesia masih berorientasi pada low skilled labour dapat dilihat dari tidak signifikannya variabel tingkat pendidikan yang didekati dengan prosentase jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan minimal SMA/sederajat terhadap keseluruhan jumlah penduduk. Selain itu juga tidak signifikannya variabel tingkat pendidikan dapat terjadi karena penanam modal membawa serta tenaga kerja asing terampil yang dibutuhkannya dari negara asal penanam modal. Hal ini patut dikhawatirkan karena salah satu dampak positif PMAL dalam hal transfer of technology kepada tenaga kerja Indonesia akan terhambat.

Variabel dummy status kerawanan daerah terbukti berpengaruh tidak signifikan berbeda antara daerah yang rawan dengan yang tidak rawan. Ini menunjukkan bahwa antara daerah yang termasuk kategori rawan tidak signifikan berbeda dengan propinsi yang tidak termasuk kategori tidak rawan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Vittorio & Ugo (2008) di Italia.

Negara 2003 2007 Perubahan (persen) Hong Kong 47650 57663 21,01 Singapura 43712 56918 30,21 Brunei 42906 45142 5,21 Taipei 32433 38776 19,56 Korea Selatan 25119 36648 45,90 Malaysia 10649 13940 30,90 Thailand 2471 3327 34,64 China 2093 1921 -8,22 Indonesia 1981 2201 11,11 Mongolia 2205 2766 25,44 Philippines 653 824 26,19 Cambodia 638 824 29,15 Viet Nam 535 645 20,56

Perbedaan ini barangkali disebabkan karena data kriminalitas yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat umum, menyangkut berbagai macam jenis kriminalitas yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha, misalnya tindak pidana permainan judi, perkosaan dan penghinaan. Hal ini bukan karena faktor kesengajaan penulis, melainkan karena kesulitan dalam memperoleh data kriminalitas yang secara khusus dan terinci terkait dengan kegiatan usaha.

Variabel dummy otonomi daerah memiliki probabilitas sebesar 0,00. Ini menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat perbedaan antara periode waktu sebelum otonomi daerah (1993-2000) dengan periode setelah otonomi daerah (2001-2008). Nilai koefisien sebesar -0,0176 memperlihatkan bahwa otonomi daerah membuat elastisitas variabel-variabel independen lebih rendah jika dibandingkan dengan elastisitas sebelum otonomi daerah. Hasil itu sejalan dengan hasil kajian Basri (2002). Kajiannya tentang desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi di Indonesia menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana efek negatif tersebut terjadi karena penggunaan dana APBD yang tidak bertanggung jawab, rendahnya skill aparat pemerintahan daerah dan akuntabilitas politik yang labil.

Pengaruh negatif otonomi daerah ini kemungkinan terjadi karena otonomi daerah diterjemahkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan menerbitkan kebijakan pungutan baik dalam bentuk pajak ataupun retribusi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Berdasarkan hasil kajian KPPOD (2011) selama tahun 2001 sampai dengan 2010 terdapat 13.622 perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pungutan-pungutan baru tersebut, memaksa pelaku usaha untuk mengeluarkan biaya tambahan yang tidak pernah dikeluarkan sebelum otonomi daerah diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, pembenahan-pembenahan terhadap kebijakan PMAL di tingkat nasional baru dilakukan pada pertengahan tahun 2007 melalui pemberlakuan UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Akibatnya, dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2008, yang lebih dominan dirasakan oleh investor adalah adanya beban tambahan berusaha di daerah.

Perbedaan pengaruh setiap provinsi dapat dilihat dari koefisien setiap propinsi. Tetapi, nilai koefisien tersebut adalah nilai relatif. Maksudnya adalah, koefisien tersebut tidak menggambarkan seberapa besar pengaruh yang diterima setiap propinsi, tetapi hanya menggambarkan perbedaan pengaruh yang diterima oleh setiap propinsi. Dalam

penelitian ini, Provinsi DKI akan digunakan sebagai basis pengukuran dengan menjadikan nilainya sama dengan 0, dan koefisien provinsi lain mengikuti nilainya. Nilai paling tinggi berdasarkan penyesuaian dari koefisien masing-masing provinsi adalah Provinsi Maluku dengan nilai 6,53. Interpretasinya apabila ada perubahan independen variabel secara bersama-sama, maka dampak individu Maluku akan lebih besar 6,5 kali dibandingkan dengan dampak individu DKI Jakarta. Provinsi Maluku merupakan daerah yang paling besar nilai dampak individunya, sedangkan DKI Jakarta merupakan daerah yang paling kecil dampak individunya. Sedangkan daerah-daerah lain besar pengaruhnya bervariasi, tetapi tidak lebih besar dari Maluku dan tidak lebih kecil dari DKI Jakarta.

Dokumen terkait